Rabu, 15 Juni 2016


Keterangan Gambar : Usai diwawancara Beritagar.id Jumat sore (27/5/2016), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berpose di dekat foto sang ayah, almarhum Saifuddin Zuhri, yang merupakan menteri agama di era Presiden Sukarno. Foto ayahnya itu tergantung di dinding lorong lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat.
Menteri Lukman bicara banyak hal, mulai dari intoleransi hingga rencana membuat RUU Perlindungan Umat Beragama.
Menteri Lukman Hakim Saifuddin bisa bernapas lega. Dua urusan berat sudah dilewatinya. Satu: terkait penentuan 1 Ramadan 1437 Hijriah yang jatuh pada Senin 6 Juni 2016, dan dua: menyepakati biaya haji 2016 bersama Dewan. "Turun sekitar 4,8 persen atau US$132 per jemaah," kata Lukman.
Pekerjaan rumah dia selanjutnya adalah merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB). Undang-undang ini yang akan mengatur soal definisi agama, syarat pendirian rumah ibadah hingga cara penyiaran agama.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menargetkan rancangan kelar tahun ini. Namun, sebelum diajukan ke dewan, ia terus menggelar diskusi dengan organisasi masyarakat keagamaan, ulama dan pemerhati hak asasi manusia. "Kami akan mengakomodasi semua kelompok," ujarnya.
Aksi intoleransi yang masih marak jadi perhatian Lukman. Kasus Tolikara dan Aceh Singkil masuk dalam catatan hitamnya. Kemudian yang teranyar adalah perusakan masjid Ahmadiyah di Kendal, Jawa Tengah--yang diduga dipicu dari pendirian rumah ibadah yang tak berizin.
Didasari peristiwa-peristiwa itu maka UU PUB diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap penganut keyakinan. "Khususnya perlindungan terkait kehidupan keagamaan mereka," tutur Lukman.
Beragam tanggapan pun muncul. Yang konservatif menganggap RUU ini cara negara melakukan liberalisasi agama--karena mengakomodasi kepercayaan-kepercayaan di luar yang ditetapkan. Sedang kelompok liberal juga khawatir RUU ini justru memasung kebebasan orang dalam beragama.
"Begitulah dinamikanya," kata Lukman saat diwawancara Fajar WH dan Heru Triyono, serta fotografer Jefri Aries dari Beritagar.id di Kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, Jumat sore (27/5/2016).
Mengenakan kemeja putih tanpa peci, Lukman dengan lugas menjawab setiap pertanyaan dari Beritagar.id soal perdebatan 1 ramadan 1437 Hijriah, persiapan RUU PUB, serta haji, selama satu jam. Simak petikan wawancaranya:
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada  Jumat sore (27/5/2016).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada Jumat sore (27/5/2016).
© Jefri Aries untuk Beritagar.id
Mengapa sidang isbat ramadan digelar tertutup semenjak Anda jadi menteri?Saya melihat lebih banyak mudaratnya kalau dibuka. Dengan banyaknya kamera di sana-sini maka siaran sidang jadi keluar konteks, tidak substantif. Ada yang malah menjadikan sidang sebagai panggung, dengan tujuan macam-macam. Sehingga perdebatan di depan televisi justru menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak perlu.
Apakah dengan tertutup begitu bisa meminimalisir perdebatan, sehingga lebih cepat mendapatkan suara bulat? Perdebatan sih tetap ada. Tapi saya memandangnya bukan untuk konsumsi publik. Karena yang didebat adalah persoalan teknis--yang jangankan orang awam, para ahli agama saja belum tentu bisa ikuti, sebab ini ilmu falak (ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit).
Ada kekhawatiran apa kalau perdebatan itu dikonsumsi oleh publik?Nantinya bisa salah paham. Kan yang diperlukan masyarakat adalah hasil akhirnya, bukan jalannya sidang.
Perdebatan yang tiap tahun terjadi itu tak bisa dihindari?Metodologinya kan memang tidak seragam, sehingga pendekatannya beda dan hasilnya pun tidak sama.
Apakah mustahil jika metodologinya diseragamkan...Tidak mungkin. Sebenarnya juga tidak cuma terkait sistem hisab (perhitungan) atau bulan (hilal), tapi ada juga muatan politis di dalamnya. Kedua metode itu amat penting, tapi di dalamnya ada hal-hal yang terkait eksistensi diri juga.
Di masing-masing organisasi pasti ada aktor yang ingin menentukan sesuatu. Saya tidak mau bilang mereka keras lho.
Apakah Anda pernah berupaya mencari titik temu di tengah perbedaan sistem yang dipakai, misalnya antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?Masyarakat luas tahu perbedaan metode dalam penanggalan kedua ormas tersebut. NU memakai metode rukyatul hilal (melihat bulan), sehingga penetapan baru bisa dilakukan sehari menjelang hari H. Sedangkan Muhammadiyah memakai cara hisab (penghitungan)--sehingga penetapan tersebut bisa dilakukan jauh hari.
Jadi ya memang sulit mengambil titik tengah antara kriteria ketinggian hilal di atas nol derajat (versi Muhammadiyah) dan di atas 2 derajat (versi NU). Pak Jusuf Kalla pernah meminta NU menurunkan satu derajat saja, sementara Muhammadiyah diminta naik satu derajat juga, agar bisa ketemu, tapi tetap tidak bisa ha-ha.
Ini bukan soal tawar penawar satu naik, lalu satu turun, ini persoalan keyakinan.
Sebenarnya perdebatan awal ramadan seperti ini juga terjadi di luar Indonesia?Sama saja, tapi ada juga yang tidak. Yang pasti Indonesia itu negara yang bukan negara Islam formal tapi juga bukan sekuler-- jadi tidak menyerahkan sepenuhnya urusan agama ke masyarakat. Pemerintah wajib memberi panduan kepada umat dalam menjalankan ibadahnya.
Apalagi ramadan bukan peristiwa agamis semata. Peristiwa sosialnya justru yang lebih banyak. Lihat saja peristiwa mudiknya, kapan tunjangan turun, kapan open house, ya implikasinya banyak. Kalau negara sekuler, Pemerintah tidak akan peduli kapan 1 Ramadan atau 1 Syawal. Itu urusan masing-masing.
Artinya negara tidak boleh intervensi, sebatas memandu saja?Negara tidak boleh intervensi soal syariat. Negara cukup mengatur saja. In between (negara Islam bukan, sekuler juga bukan). Iinilah yang menarik. Tarik ulurnya harus pandai, dan harus menyentuh semua golongan.
Tapi tarekat naqsabandiyah sering kali melakukan puasa dan Lebaran lebih dulu...Mereka itu kecil lingkupnya, sehingga tidak terlalu berpengaruh. Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi kelompok-kelompok kecil itu tetap kita libatkan dan rangkul.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada  Jumat sore (27/5/2016).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada Jumat sore (27/5/2016).
© Jefri Aries untuk Beritagar.id
Mengapa aksi sweeping masih saja terjadi di bulan ramadan, seperti tidak ada pengawasan?Saya terus mengimbau umat Islam sebagai mayoritas agar lebih mengayomi. Toleransi harus dimaknai menghormati yang berbeda dengan kita. Bukannya malah menuntut.
Sering kali kita bicara toleransi tapi nadanya itu menuntut orang lain yang berbeda agar sama dengan kita. Kalau semua menuntut dihormati maka tidak ada satu pun yang mendapat kehormatan itu.
Tapi toleransi Anda banyak yang mengkritik, apalagi ketika Anda menyatakan warung makan tidak perlu dipaksa tutup selama ramadan...Pernyataan saya disalahpahami waktu itu, karena dipenggal-penggal oleh media, sehingga menimbulkan kesan saya melakukan pembiaran terhadap rumah makan yang tetap buka.
Untuk ramadan kali ini Anda juga mengimbau rumah makan agar tetap buka?Bukan mengimbau membuka, nanti salah lagi he-he. Yang jelas kita hormati orang yang sedang tak berpuasa. Karena tidak sedikit juga yang tidak berpuasa. Bisa karena keyakinan, atau yang lagi musafir atau haid. Mereka ini berhak makan pagi dan siang.
Nah hak-hak mereka ini yang dipenuhi, sebagai bentuk toleransi kita kepada mereka.
Bicara toleransi. Ternyata masalah intoleransi antar umat beragama masih saja terjadi. Yang masih hangat adalah perusakan masjid Ahmadiyah di Kendal, Jawa Tengah...Teman-teman wartawan kan ahlinya memotret sebuah berita. Kalau di zoom memang masih ada daerah rawan gejolak. Tapi kalau lihat secara makro, Indonesia ini termasuk rukun di tengah heterogenitasnya.
Apakah agama adalah faktor utama gejolak sosial di Indonesia?Saya melihat agama hanya jadi landasan saja, sebagai alas, juga alat justifikasi untuk tindakan yang sebenarnya salah, misalnya kekerasan.
Kelompok-kelompok aksi kekerasan bukannya itu-itu saja. FPI (Front Pembela Islam) misalnya. Anda tidak berusaha dialog dengan mereka?Kalau bentuknya tindakan kekerasan maka sudah jadi kewenangan aparat hukum. Kalau kita masuk, malah offside. Kita hanya masuk pada tataran preventif saja lewat FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang ada di setiap provinsi.
Salah satu pemicu konflik adalah terkait izin pendirian rumah ibadah. Bagaimana upaya Anda agar peristiwa serupa tak berulang terus...Pemicunya banyak, tidak cuma itu. Apalagi jelang Pilkada, maka alasannya bisa politik, ekonomi dan soal eksistensi antar tokoh di sebuah daerah. Lalu agama yang dijadikan alat mobilisasi.
Kalau yang murni konflik karena agama, saya rasa praktis tidak ada.
Memangnya aturan main dalam pendirian rumah ibadah saat ini seperti apa?Itu diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat.
Dalam pasal 14 ayat 2 PBM berbunyi pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat.
Kemudian dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa dan juga rekomendasi dari FKUB.
Selama ini izin pendirian rumah ibadah ini yang justru menimbulkan banyak permasalahan...Karena syarat yang 60 orang itu sering dimainkan oleh pihak-pihak tertentu. Ada yang mendadak mengundurkan diri, ada yang ditekan, sementara kepala daerah tidak cukup tegas untuk menyediakan lahan alternatif karena dia juga mendapat desakan dari masyarakat.
Apalagi kejadiannya jelang Pilkada, para pejabat kan pasti butuh dukungan, sehingga kebijakan yang tidak populis tidak mungkin dilakukan.
Apakah PBM ini akan dievaluasi, melihat deretan aksi kekerasan di Aceh Singkil juga Tolikara, dan terakhir di Kendal...Inilah yang juga dibahas dalam RUU Perlindungan Umat Beragama nantinya. Evaluasi bukan mengarah pada pencabutan PBM tetapi penyempurnaan di RUU itu.
Penyempurnaan harus dimaknai dengan melihat bagian-bagian yang perlu dihilangkan, atau sebaliknya, jika ada bagian-bagian yang belum cukup kuat dan tegas, sehingga perlu penambahan.
Apakah RUU ini dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan pelayanan negara terhadap pemeluk agama selama ini?Undang-undang dasar tegas menjamin setiap penduduk memeluk agama dan menjalankan ajaran agama yang dipeluknya. Itu perintah konstitusi. Nah, sampai sekarang belum ada yang mengatur dan menjabarkan bagaimana bentuk jaminan itu.
Persoalan yang muncul adalah apa sih yang disebut agama. Itu persoalan besar yang ada di depan mata. Sebagian menyatakan agama itu ya yang enam itu saja, di luar itu bukan agama. Tapi sebagian yang lain juga mengklaim sebagai agama. Ada Tao, Sinto, kemudian yang lokal seperti Sunda Wiwitan.
Nantinya aliran-aliran kepercayaan seperti itu akan diakui negara?Harus diperjelas dulu dan disamakan persepsinya soal agama. Apa definisinya, pengertiannya, batasannya, sehingga apakah agama-agama lokal yang sudah hidup ratusan tahun lalu itu kita katakan sebagai agama.
Artinya kemungkinan aliran-aliran di luar enam agama itu bisa menjadi agama sendiri...Dalam RUU itu nanti akan diatur apa yang dikategorikan sebagai agama, sedang kita siapkan. Misalnya harus ada kriteria seperti memiliki tata peribadatan tertentu yang baku atau minimal memiliki pengikut sekian orang.
Ini yang sedang kita coba rumuskan, sehingga kepercayaan seperti Sunda Wiwitan atau Kaharingan bisa terakomodasi.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin usai diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada  Jumat sore (27/5/2016).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin usai diwawancara Beritagar.id di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada Jumat sore (27/5/2016).
© Jefri Aries untuk Beritagar.id
Apa pendekatan yang dipakai dalam mendefinisikan agama itu?
Bisa pakai pendekatan sosiologis. Misalnya agama itu yang punya Tuhan, nabi, kitab suci, dogma dan pokok ajaran. Ada juga yang bicara teologis, bahwa yang penting kepercayaan itu punya keyakinan kepada Tuhan, jadi tidak perlu ada orang suci dan kitabnya.
Ini yang masih jadi perdebatan, dan prinsipnya ada pada semangat ingin mengakomodasi.
Tapi seberapa besar keranjang yang dimiliki RUU PUB ini untuk mencakup semua, jumlah aliran kepercayaan kan banyak sekali?
Ada ratusan bahkan. Tapi apakah semua diakomodasi? Akan dibahas juga nanti. Karena implikasinya negara harus memberi fasilitas, tidak hanya pengakuan atau registrasi, tapi juga pendidikan agamanya.
Anak itu harus mendapat pendidikan agama sesuai dengan pendidikan agama yang dianutnya. Dan guru yang memberikan pendidikan itu harus sama agamanya dengan agama yang diajarkan. Kan begitu.
Tidak khawatir justru melahirkan kontroversi?
Itu yang memang saya rasakan. Mereka yang konservatif atau fundamentalis menganggap RUU ini adalah cara negara ingin melakukan liberalisasi dalam agama, karena ingin mengakomodasi kepercayaan-kepercayaan. Sementara di kalangan kaum liberalis mereka juga khawatir dengan RUU ini. Karena menduga memasung kebebasan orang dalam beragama.
Padahal yang utama dari undang-undang ini adalah memberikan perlindungan. Jadi itu semangatnya gitu lho. Bukan soal liberalisasi dan memasung kebebasan beragama.
Di mana negara berperan dalam kehidupan beragama itu?
Begini. Sekarang kan banyak dakwah yang tidak hanya menyalahkan, bahkan mengafir-kafirkan orang lain. Bagaimana bisa di ruang publik kita tidak punya aturan yang mengatur hate speech seperti itu.
Pasalnya konflik sosial di bawah itu muncul karena persoalan tadi, yang harusnya diatur. Contoh lain adalah ada banyak spanduk yang menyerang aliran agama lain. Misalnya mereka menulis tolak Syiah atau tolak Wahabi. Apa ini harus didiamkan atau bagaimana?
Sementara aparat hukum tidak punya landasan kuat untuk mengambil tindakan terhadap orang yang dengan leluasa menolak sebuah paham. Ini yang akan diatur juga dalam RUU PUB itu.
Sudah berapa persen rancangan undang-undang tersebut?
Saya tidak tahu kalau hitungan persennya. Yang jelas kita terus dalami dengan melibatkan para tokoh-tokoh agama, para pemuka agama, tokoh-tokoh ormas keagamaan, para akademisi, para pemerhati HAM, termasuk kepada pers.
Target rancangan itu akan selesai pada tahun ini?
Harapan kita sih begitu, meski pun tidak mudah juga. Karena semakin didalami, semakin rumit. He-he.
Soal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang turun. Apa dampaknya pada pelayanan?
Pelayanan tidak berpengaruh karena justru efisiensi yang kita lakukan. Bukan harga murah yang dikejar tapi yang memang betul-betul efisien sesuai kualitas pelayanan yang akan diberikan.
Faktor lain yang menyebabkan harga lebih murah antara lain karena harga aftur yang juga turun.
(*Tahun ini biaya haji reguler disepakati Pemerintah dan dewan turun 132 dolar AS menjadi rata-rata 2.585 dolar AS dibanding BPIH tahun lalu sebesar 2.717 dolar AS, sekitar Rp34,6 juta).
Ngomong-ngomong kenapa santunan bagi korban crane Mekah tak kunjung cair?
Kita ini sudah paling siap di awal dalam menyerahkan nama korban, bahkan dengan nama ahli warisnya segala. Tapi Pemerintah Saudi berdalih bahwa mereka ingin memberi santunan serentak ke semua negara.
Sementara masih ada beberapa negara yang belum kunjung rapi menyerahkan daftar nama korban dan ahli warisnya. Berubah-ubah karena tahu dapat santunan besar. Sehingga perlu waktu untuk verifikasi.
Di berbagai media ahli waris terus menagih janji kepada Anda untuk santunan tersebut?
Memang ada ahli waris yang menelpon. Bahkan protes. Padahal kami sudah menyampaikan dengan cepat ke sana nama-nama mereka.
Lagipula ini sudah bukan kewenangan menteri agama lagi. Ini sudah urusan diplomatik. Tapi kan saya tidak bisa bilang begitu ke masyarakat. Masa main lempar-lemparan. Tidak benar juga.
Laporan terakhir dari pemerintah Saudi bagaimana?
Perwakilan kita di sana terus memonitor, sudah bosan dan malu juga. Pasalnya santunan itu dipersepsikan oleh kita adalah hak yang harus dituntut, padahal bukan. Santunan ya didasari atas belas kasihan yang memberi.
Maksud Anda kita tidak pantas menuntut santunan itu?
Ya karena tidak ada regulasinya bahwa yang jadi korban akan menerima. Jadi kalau kita mau menuntut dasarnya apa? Seandainya pemerintah Saudi tidak jadi, kita susah juga, karena santunan bukanlah utang.
MUAT LAGI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar