Minggu, 21 Mei 2017

FIQH MUAMALAH 40 | ​ANFAL, GHANIMAH, FAI DAN KHUMUS


ANFAL, GHANIMAH, FAI DAN KHUMUS
A. ANFAL ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ)
Anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata nafal ( ﺍﻟﻨﻔﻞ ) yang berarti ghanimah (harta rampasan perang). Sebagaimana Allah SWT berfirman,
ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﻧﻔَﺎﻝِ ﻗُﻞِ ﺍﻟْﺄَﻧﻔَﺎﻝُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ‏( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ : 1 ‏)
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang, Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul”. (QS. Al-Anfal: 1)
Ayat diatas menerangkan tentang hukum pembagian harta rampasan perang, karena harta rampasan perang pada masa-masa sebelumnya diharamkan. Adapun arti anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) jika berasal dari nafl ( ﺍﻟﻨﻔﻞ ) dengan mensukunkan huruf fa’ adalah tambahan ( ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ). Dinamakan ghanimah dengan anfal, karena kaum muslimin telah diutamakan dari umat yang lain dengan dihalalkannya ghanimah bagi mereka [1] , dan juga karena ghanimah merupakan tambahan bagi orang yang berjihad selain pahala yang dijanjikan[2] .
Sedangkan defenisi anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) menurut istilah ada lima definisi [3] yaitu:
1. Ghanimah ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﺔ ). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas (dalam salah satu riwayat), Mujahid (dalam salah satu riwayat), Adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah dan ‘Atha’(dalam salah satu riwayat).
2. Fai ( ﺍﻟﻔﻲﺀ ). Ini adalah salah satu pendapat Ibnu Abbas dan Atha’.
3. Khumus ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ). Ini merupakan salah satu pendapat dari Mujahid.
4. Tanfil ( ﺍﻟﺘﻨﻔﻴﻞ ). Tanfil adalah harta ghanimah yang diambil oleh imam sebelum dikumpulkan dan dibagi di Dar Al-Islam, jika setelah pengumpulan dan pembagian maka tanfil tidak boleh lagi kecuali diambil dari khumus. Tanfil tersebut diberikan kepada prajurit yang berhasil mengalahkan musuh lebih banyak dari yang lain.
5. Salab ( ﺍﻟﺴﻠﺐ ). Salab adalah bagian yang diberikan kepada prajurit sebagai tambahan dari pembagian ghanimah untuk memberikan semangat dalam berperang. Bagian tersebut adalah harta orang yang dibunuhnya, seperti pedang, tameng, pakaian dan lain sebagainya.
Namun secara umum defenisi anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) adalah harta-harta musuh yang diperoleh oleh kaum muslimin baik melalui peperangan maupun tidak. Ibnu Al-‘Araby mengatakan bahwa para ulama telah menyebutkan nama untuk harta rampasan perang dengan tiga nama yaitu anfal, ghanimah dan fai [4] .
Ada juga yang mendefenisikan anfal dengan harta yang diserahkan oleh orang kafir supaya umat Islam tidak memerangi mereka, seperti juga dengan harta yang diambil tanpa ada ancaman, seperti jizyah, kharaj, ‘ushr, harta orang murtad dan harta orang kafir yang mati atau orang yang tidak punya ahli waris [5] .
Dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah ghanimah, fai dan khumus. Karena tiga hal ini berhubungan lansung dengan masalah pendapatan Negara. Adapun ghanimah dan fai adalah sumber pendapatan Negara untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin, sedangkan khumus adalah cara pembagian ghanimah dan fai. Tanfil dan salab hanya berhubungan dengan pendapatan atau pembagian untuk seseorang saja [6] .
B. GHANIMAH ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﺔ )
1. Pengertian Ghanimah
Ada beberapa lafazh yang digunakan untuk menyebutkan istilah ghanimah yaitu maghnam ( ﺍﻟﻤﻐﻨﻢ ), ghanim ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻢ ), dan ghunmu ( ﺍﻟﻐﻨﻢ ). Bentuk jama’ dari ghanimah adalah ghanaim ( ﻏﻨﺎﺋﻢ ), sedangkan maghnam bentuk jama’nya adalah maghanim ( ﻣﻐﺎﻧﻢ ). Adapun maknanya secara bahasa adalah al-fauzu/ ﺍﻟﻔﻮﺯ (kemenangan) [7] . Ghanimah juga bermakna fai [8] , keuntungan ( ﺍﻟﺮﺑﺢ ) dan kelebihan ( ﺍﻟﻔﻀﻞ ) [9] .
Adapun defenisi ghanimah secara istilah adalah harta musuh yang diambil dengan cara paksaan dan melalui peperangan [10] . Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa pengambilan dengan cara paksaan tidak terjadi kecuali dengan kekuatan, baik secara hakiki atau dengan dalalah , artinya izin dari Imam[11] . Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefenisikan ghanimah yaitu harta yang diambil oleh kaum muslimin dari orang kafir dengan menunggang kuda dan unta [12] . Ar-Rafi’i mengatakan bahwa dalam kitab At-Tahzib disebutkan bahwa sama saja apakah harta itu diambil dengan cara paksa atau karena mereka kalah dan meninggalkan hartanya [13] .
2. Landasan Hukum
Ghanimah adalah salah satu dari keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah atas umat-umat yang lain. Nabi SAW bersabda,
ﺃُﻋْﻄِﻴﺖُ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻄَﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﺪٌ ﻗَﺒْﻠِﻰ ﻧُﺼِﺮْﺕُ ﺑِﺎﻟﺮُّﻋْﺐِ ﻣَﺴِﻴﺮَﺓَ ﺷَﻬْﺮٍ ، ﻭَﺟُﻌِﻠَﺖْ ﻟِﻰَ ﺍﻷَﺭْﺽُ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻭَﻃَﻬُﻮﺭًﺍ ، ﻓَﺄَﻳُّﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٍ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻰ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ ، ﻭَﺃُﺣِﻠَّﺖْ ﻟِﻰَ ﺍﻟْﻤَﻐَﺎﻧِﻢُ ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺤِﻞَّ ﻷَﺣَﺪٍ ﻗَﺒْﻠِﻰ ، ﻭَﺃُﻋْﻄِﻴﺖُ ﺍﻟﺸَّﻔَﺎﻋَﺔَ ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻳُﺒْﻌَﺚُ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﻮْﻣِﻪِ ﺧَﺎﺻَّﺔً ، ﻭَﺑُﻌِﺜْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺎﻣَّﺔً ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ‏)
ِ Artinya: “Aku telah diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku, aku dimenangkan dengan perasaan takut (dalam diri musuh) sejauh satu bulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku masjid dan suci maka siapapun yang mendapati waktu sholat maka hendaklah ia sholat, ghanimah dihalalkan bagiku dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku diberikan syafaat, Nabi hanya diutus pada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. (HR. Bukhari) [14]
Pada awalnya, pembagian ghanimah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian turunlah firman Allah SWT yang menjelaskan tentang ketentuan dalam pembagian ghanimah tersebut,
ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻤَﺎ ﻏَﻨِﻤْﺘُﻢ ﻣِّﻦ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺄَﻥَّ ﻟِﻠَّﻪِ ﺧُﻤُﺴَﻪُ ﻭَﻟِﻠﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﻟِﺬِﻱ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ ﻭَﺍﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ‏( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ : 41 ‏)
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”. (QS. Al-Anfal: 41)
Dalam ayat ini telah ditetapkan bahwa yang dibagikan kepada pasukan hanyalah 4/5 dari harta ghanimah, adapun sisanya (1/5) untuk selain mereka sebagaimana dalam ayat di atas. Ghanimah pertama yang dikenakan ketentuan menarik seperlima oleh Rasulullah SAW setelah perang Badr adalah ghanimah perang Bani Qainuqa’ [15] .
3. Macam-Macam Ghanimah
Tidak semua harta yang diambil dari orang kafir adalah ghanimah. Ada beberapa macam harta yang masuk dalam kategori ghanimah [16] , yaitu:
a. Harta yang dapat dipindahkan ( ﺍﻷﻣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻤﻨﻘﻮﻟﺔ ), seperti uang, makanan dan hewan.
Setiap harta yang dapat dipindahkan terhitung sebagai ghanimah jika diambil dari musuh di dar al-harb dengan kekuatan militer.
b. Tanah
Tanah yang didapatkan melalui peperangan terbagi kepada tiga macam yaitu:
– Tanah yang diperoleh dengan paksaan
Para ulama berbeda pendapat tentang dibagi atau tidaknya tanah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa Imam boleh memilih antara membagikannya atau tetap diolah oleh sipemiliknya dengan membayar kharaj. Imam Malik berpendapat tanah tersebut tidak dibagi, namun menjadi harat waqaf untuk kaum muslimin. Adapun Asy-Syafi’i mengatakan tetap dibagi sebagaimana harta yang dapat dipindahkan. Sedangkan Ahmad setuju dengan pendapat Abu Hanifah dan Malik.
– Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut
Tanah yang seperti ini akan menjadi waqaf, karena bukan ghanimah dan hukumnya adalah hokum fai.
– Tanah yang diperoleh dengan cara damai antara Imam atau wakilnya dengan musuh.
Tanah ini boleh menjadi milik kaum muslimin dan pemilik tanah sebagai pengolah tanah tersebut dan harus membayar kharaj. Dan boleh juga tanah ini tetap dimiliki oleh pemilik tanah dengan membayar kharaj. Kharaj tersebut statusnya adalah sebagai jizyah, maka ketika pemilik tanah itu masuk Islam maka kewajiban membayar kharaj menjadi gugur.
c. Tebusan tawanan
Tebusan tawanan termasuk ghanimah, karena Nabi SAW telah membagikan tebusan tawanan perang Badr. Setiap harta yang diperoleh dengan kekuatan militer sama dengan harta yang diperoleh dengan senjata. Adapun hadiah yang diberikan oleh musuh di dar al-harb kepada seorang tentara muslim adalah termasuk ghanimah, karena hal tersebut terjadi disebabkan perasaan takut. Namun jika hadiah diberikan di dar al-Islam, maka hadiah itu adalah menjadi milik si penerima hadiah.
d. Salab
Para ulama telah sepakat bahwa salab termasuk harta yang dikhumus, namun mereka berbeda pendapat tentang salab bagi pembunuhnya. Mayoritas ulama mengatakan tidak dikhumus, mereka berdalil dengan hadits
ﻣَﻦْ ﻗَﺘَﻞَ ﻗَﺘِﻴﻼً ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑَﻴِّﻨَﺔٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺳَﻠَﺒُﻪُ
Artinya: “Barang siapa yang membunuh musuhnya, serta memiliki bukti maka salabnya adalah miliknya” (HR. Bukhari)
Dan juga ucapan Umar RA, “Dahulu kami tidak mengkhumus salab” .
e. Nafl.
Para fuqaha’ berbeda pendapat apakah nafl termasuk ghanimah, maka ada yang berpendapat bahwa nafl asalnya adalah ghanimah, 4/5 ghanimah, 1/5 ghanimah atau 5/5 ghanimah.
f. Harta para bughat (pemberontak)
Ulama sepakat bahwa harta para pemberontak tidak termasuk ghanimah, tidak dibagi dan tidak boleh merusaknya. Akan tetapi dikembalikan kepada mereka setelah bertobat.
g. Harta muslim yang diperoleh kembali setelah dirampas oleh musuh
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa harta tersebut termasuk ghanimah. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat jika ditemukan barang/benda yang diketahui pemiliknya apakah diberikan sebelum atau sesudah pembagian atau dibayar nilainya saja. Fuqaha’ sepakat jika sebelum dibagikan pemilik benda tersebut telah diketahui, maka benda itu dikembalikan kepadanya. Namun jika pemiliknya diketahui setelah pembagian, Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyebutkan bahwa yang diberikan adalah nilai atau harganya yang dibayar oleh orang yang mendapatkannya (orang yang mendapat bagian dari benda tersebut). Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa benda tersebut baik pemilik muslim atau dzimmy tidak boleh dibagi, jika telah terjadi pembagian maka pembagian tersebut tidak sah dan pemiliknya mengambil benda/barang itu. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa harta/benda tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan orang yang mendapatkan bagian berupa benda tersebut diberikan ganti dari bagian 5/5 (khumus yang telah dibagi lima), karena tidak mungkin untuk membatalkan pembagian yang telah terlaksanakan.
Adapun Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa ghanimah itu ada empat macam yaitu harta, tanah, tawanan perang [17] ( ﺃﺳﺮﻯ ), dan tawanan anak-anak atau wanita ( ﺍﻟﺴﺒﻲ ). Untuk tawanan perang, para ulama telah sepakat bahwa hal tersebut diserahkan kepada kebijakan – yang memberikan kemaslahatan pada kaum muslimin – Imam atau orang yang diberikan wewenang untuk memimpin jihad apabila tawanan tersebut tetap dalam kekafirannya. Syafi’I menyebutkan kebijakan itu adalah 1) dibunuh, 2) dijadikan hamba sahaya, 3) ditebus atau pertukaran tawanan dan 4) diberikan amnesty. Sedangkan Malik memberikan kebijakan yaitu dibunuh, dijadikan hamba sahaya dan pertukaran tawanan. Adapun Abu Hanifah mengatakan bahwa kebijakan tersebut hanyalah dibunuh atau dijadikan hamba sahaya [18] .
Tawanan anak-anak dan wanita tidak boleh dibunuh jika mereka termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab, Syafi’I berpendapat jika menolak masuk Islam maka dibunuh, sedangkan Abu Hanifah berpendapat dijadikan hamba sahaya dan saat dijadikan hamba sahaya, seorang ibu tidak boleh dipisahkan dari anaknya yang masih kecil [19] .
4. Pembagian Ghanimah
a. Waktu dan tempat pembagian
Rampasan perang dibagikan apabila peperangan telah selesai dengan sempurna. Karena dengan selesainya perang itu baru dapat diketahui jumlah ghanimah yang akan dibagi dan juga supaya para tentara tidak terpengaruh pemikirannya [20] . Untuk tempat pembagian ghanimah, ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ghanimah tersebut dibagi di dar al-harb. Adapun Malikiyah mensyaratkan jika kondisi aman dan yang mendapatkan ghanimah tersebut adalah tentara [21] . Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa ghanimah boleh dibagikan hanyalah ketika berada di dar al-Islam[22] .
Namun demikian, Al-Mawardi mengatakan bahwa pembagian ghanimah boleh dilakukan segera di dar al-harb dan boleh ditunda hingga sampai di dar al-Islam. Keputusan ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi paling baik dalam pandangan komandan pasukan [23] .
b. Orang-orang yang berhak mendapatkan bagian [24]
Orang yang berhak mendapatkan ghanimah adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
– Benar-benar ikut dalam peperangan.
Jika seseorang sakit sebelum peperang usai, dan sakitnya tidak menghalangi dia untuk melanjutkan peperangan maka tetap berhak menerima ghanimah. Namun, jika sakit tersebut menghalangi untuk ikut berperang maka ia tidak dapat bagian, kecuali jika dia mampu memberikan sumbangan pikiran atau ide untuk memenangkan peperangan.
– Masuk ke dar al-harb dengan niat berperang.
Jika ada niat lain selain berperang, maka orang tersebut tetap mendapat bagian dari ghanimah. Karena dengan kehadirannya pasukan Islam terlihat lebih banyak sehingga musuh akan semakin takut. Bagi orang yang hadir dalam peperangan setelah perang usai dan harta telah terkumpul, maka dia tidak mendapatkan bagian. Tetapi bagi orang yang hadir sebelum harta terkumpul dan perang telah usai, ulama Hanafiyah dan salah satu pendapat Syafi’iyah menyebutkan bahwa orang tersebut diberikan bagian, adapun pendapat yang benar menurut Syafi’iyah adalah orang tersebut tidak mendapat bagian. Jika orang tersebut wafat setelah perang selesai dan ghanimah belum terkumpul, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabilah orang tersebut diberikan bagian, sedangkan menurut Hanafiyah dan salah satu pandangan Syafi’iyah tidak diberik bagian. Jika orang tersebut wafat dalam peperangan sebelum ghanimah terkumpul satu pun, maka Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa orang itu tidak mendapatkan bagian. Adapun orang yang diupah untuk menjaga binatang (kendaraan), perlengkapan atau pedagang dan orang-orang yang memiliki keahlian yang ikut dan peperangan, menurut ulama Syafi’iyah mereka diberikan bagian, sedangkan dalam salah satu pendapatnya tidak mendapatkan bagian dengan alasan bahwa mereka tersebut tidak berniat untuk berjihad.
– Laki-laki.
– Muslim.
– Merdeka.
– Berakal dan baligh.
c. Cara pembagian
Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa cara pembagian harta ghanimah diserahkan kepada Imam, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat Islam. Beliau beralasan dengan pembagian harta ghanimah pada perang Badr dan perang Hunain, QS. Al-Anfal: 1, dan perbuatan-perbuatan Rasul SAW lainnya yang berkaitan dengan pembagian ghanimah [25] .
Namun demikian, Al-Qurthuby telah menjelaskan beberapa pendapat para ulama tentang QS. Al-Anfal: 41, di antaranya [26] :
– Pendapat jumhur ulama bahwa ayat ini telah menasakh QS. Al-Anfal: 1. Ibnu Abdil Barr telah mengakui bahwa telah ada ijma’ tentang ayat ini yang turun setelah QS. Al-Anfal: 1.
– Pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Marizy dari sebagian para ulama, bahwa QS. Al-Anfal: 1 dinasakh dan bahkan muhkam artinya ghanimah itu diserahkan kepada Rasulullah SAW dan tidak dibagikan kepada orang yang berhak, begitu juga dengan Imam-imam setelah beliau. Pendapat ini dihujjahkan dengan kisah penaklukan kota Mekkah dan perang Hunain.
Al-Qurthuby kemudian melemahkan pendapat yang kedua ini, dengan menyampaikan beberapa hujjah [27] yaitu:
– Ketika Allah menyebutkan seperlima untuk orang-orang yang telah ditetapkan, maka dipahami bahwa sisanya (4/5) adalah bagian yang lain (ghanimin), hal ini sama dengan ketika Allah menyebutkan bagian ibu dalam warisan yaitu sepertiga ketika mayat tidak punya anak (QS. An-Nisa’: 11), sedangkan bagian ayah tidak disebutkan namun ulama sepakat bahwa bagian ayah adalah 2/3. Adapun 4/5 untuk para ghanimin dari ghanimah adalah ijma’, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibn Al-Mundzir, Ibn Abdil Barr, Ad-Dawudi, Al-Marizy, Al-Qadhy ‘Iyadh dan Ibn Al-‘Araby.
– QS. Al-Anfal: 1, maknanya adalah sebelum pembagian (ini pendapat Atha’ dan Al-Hasan), dan makna yang lain adalah ghanimah perang sarayah [28] (ini pendapat Ibrahim An-Nakha’I, dan juga diriwayatkan dari Makhul dan ‘Atha’oleh Abu Amr).
– Abu Ubaid membantah alasan dengan penaklukan kota Mekkah dari dua segi, 1) Allah SWT mengkhususkan untuk Rasulullah SAW sebelum ditetapkan cara pembagiannya, 2) Kota Mekkah tidak sama dengan kota-kota yang lain, dan Allah beserta Rasul-Nya telah memberikan hukum khusus, begitu juga dengan kisah Hunain, dimana Rasulullah SAW telah menjawab ucapan orang-orang Anshar,
“Apakah kalian ridho,bahwa manusia kembali dengan harta sedangkan kalian kembali dengan Rasulullah SAW ke rumah-rumah kalian?”.
Adapun urutan untuk membagikan harta ghanimah sebagai pedoman oleh Imam adalah sebagai berikut [29] :
– Meberikan salab [30] kepada yang berhak.
– Menyerahkan harta orang muslim atau dzimmy jika pemiliknya diketahui.
– Mengeluarkan biaya ghanimah, seperti upah tukang angkat, upah penjaga dan akuntan.
– Memberikan janji sayembara (ju’l) bagi orang yang berhak.
Setelah itu ghanimah dibagi kepada lima bagian. Adapun yang seperlima dibagikan kepada Allah, Rasul, karib kerabat Rasul SAW, anak yatim dan ibn as-sabil. Al-Mawardi menyebutkan pembagian ini yaitu, 1) Rasul dan dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, 2) Keluarga Nabi SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthallib, 3) Anak yatim, 4) Orang miskin, dan 5) Ibn As-Sabil [31]
Selanjutnya adalah pembagian bagi kelompok penerima hadiah kecil ( radakh/ ﺭﺿﺦ ), walaupun ada sebagian ulama mendahulukan mereka dari pembagian yang seperlima. Kelompok ini adalah orang-orang yang ikut hadir dalam peperangan, namun tidak mendapatkan bagian ghanimah. Mereka adalah hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang yang sakit keras. Adapun kafir dzimmi diberikan sesuai dengan sumbangsih mereka dalam peperangan, namun hadiah bagi mereka lebih kecil dari jumlah yang diterima oleh para prajurit muslim. Jika status kelompok ini berubah dalam kondisi perang, seperti anak-anak baligh, hamba sahaya merdeka, kafir menjadi muslim, maka mereka mendapatkan bagian yanh utuh [32] .
Kemudian yang empat perlima dibagikan kepada para pasukan yang berhak menerimanya, yaitu: Jumhur fuqaha’ menetapkan bahwa untuk satu tentara satu bagian, jika membawa kuda maka mendapatkan tiga bagian (satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kuda), dengan alasan riwayat dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW telah memberikan untuk kuda dua bagian dan untuk pemilik kuda satu bagian (HR. Bukhari). Sedangkan menurut Abu Hanifah, orang tersebut hanya mendapat dua bagian (satu bagian untuk tentara dan satu bagian untuk kuda), sebab orang lebih utama dari kuda, kuda tidak bisa ikut berperang tanpa ada orang menungganginya dan juga biaya seorang tentara lebih banyak dari seekor kuda. Perbedaan ini terjadi karena ada beberapa riwayat yang saling bertentangan, dimana dalam satu riwayat Nabi SAW memberikan bagian tentara yang memiliki kuda dua bagian dalam riwayat lain tiga bagian [33] .
5. Hal-hal yang berhubungan dengan ghanimah
a. Pemeliharaan ghanimah
Seorang panglima perang wajib menjaga ghanimah, meskipun harus mengeluarkan biaya. Jika penjagaan itu dilakukan oleh tentara, maka ia boleh mengambil upah tanpa menggugurkan bagian ghanimahnya [34] .
b. Mencuri atau mengkorupsi ( ﻏﻠﻮﻝ ) harta ghanimah
Harta yang diambil setelah dikumpulkan adalah tindakan pencurian, dan jika diambil sebelum dikumpulkan adalah tindakan korupsi (ghulul/khianat). Ghulul adalah dosa besar sebagaimana firman Allah SWT,
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻐْﻠُﻞْ ﻳَﺄْﺕِ ﺑِﻤَﺎ ﻏَﻞَّ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
Artinya: “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu”. (QS. Ali Imran: 161)
Tidak termasuk ghulul, jika seseorang mengambil dengan sekedarnya apabila panglima perannya adalah orang zalim dan tidak membagi secara syar’i.
c. Hak orang yang tidak ikut dalam peperangan namun mempunyai sumbangsih yang besar untuk kemaslahatan para tentara.
Misalnya adalah utusan, mata-mata atau intelijen, penunjuk jalan, maka mereka ini berhak mendapatkan bagian ghanimah walaupun mereka tidak ikut dalam kancah peperangan. Begitu juga jika panglima membagi pasukan kepada dua kelompok, maka walaupun hanya satu kelompok yang mendapatkan ghanimah namun kelompok lain juga mempunyai hak [35] .
C. FAI ( ﺍﻟﻔﻲﺀ )
1. Pengertian Fai
Fai secara bahasa bermakna naungan ( ﺍﻟﻈﻞ), kumpulan ( ﺍﻟﺠﻤﻊ), kembali ( ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ), ghanimah, kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada pemeluk agama-Nya yang berasal dari harta-harta orang yang berbeda agama tanpa peperangan [36] . Adapun fai secara istilah adalah harta-harta yang didapatkan dari musuh dengan cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir peperangan seperti jizyah, kharaj dan lain sebagainya [37] .
Harta fai dengan harta ghanimah ada kesamaan dari dua segi dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya adalah:
Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan orang kafir, Kedua, penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi perbedaannya adalah: Pertama, harta fai diberikan dengan suka rela, sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat perlima bagian dari harta fai berbeda penggunaannya dengan empat perlima bagian dari ghanimah [38] .
Muhammad Saddam mengemukakan Negara mempuyai otoritas penuh dalam mengatur harta fai, maka kita dapat menyebutnya sebagai pendapatan penuh Negara, karena keuntungan dari pendapatan fai dibagi rata untuk kepentingan bersama dari seluruh populasi, maka Al-Ghazaly mendefenisikannya sebagai amwal al-mashalih yaitu pendapatn untuk kesejahteraan rakyat [39] .
2. Landasan Hukum
Fai disyariatkan melalui firman Allah dan juga atsar [40] . Adapun firman Allah adalah,
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻓَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻓَﻤَﺎ ﺃَﻭْﺟَﻔْﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﻞٍ ﻭَﻟَﺎ ﺭِﻛَﺎﺏٍ ﻭَﻟَٰﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺴَﻠِّﻂُ ﺭُﺳُﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ۚ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ . ﻣَّﺎ ﺃَﻓَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻘُﺮَﻯٰ ﻓَﻠِﻠَّﻪِ ﻭَﻟِﻠﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﻟِﺬِﻱ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ ﻭَﺍﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ﻛَﻲْ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺩُﻭﻟَﺔً ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﺄَﻏْﻨِﻴَﺎﺀِ ﻣِﻨﻜُﻢ ‏( ﺍﻟﺤﺸﺮ : 7-6 ‏)
Artinya: “Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS. Al-Hasyr: 6-7)
Atsar dari Umar RA bahwa beliau berkata: “Dahulu harta dari Bani Nadhir adalah fai yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan harta itu ada yang dikhususkan untuk beliau. Kemudian beliau mengeluarkan biaya hidup keluarga untuk satu tahun sedangkan sisanya beliau jadikan untuk kuda dan senjata”. (HR. Bukhari).
3. Sumber-Sumber Fai
Harta fai bersumber dari beberapa jalan [41] yaitu:
a. Tanah dan harta yang tidak bergerak lainnya seperti rumah.
b. Harta yang bisa dipindahkan.
c. Kharaj
d. Jizyah
e. Ushur ahl adz-dzimmah
f. Harta yang diperoleh oleh kaum muslimin dari musuh untuk berdamai.
g. Harta orang murtad jika terbunuh atau mati
h. Harta kafir dzimmy jika mati dan tidak punya ahli waris.
i. Tanah-tanah ghanimah artinya tanah-tanah pertanian bagi yang berpendapat bahwa tanah tersebut tidak dibagi.
4. Cara Pembagian Fai
Dalam pembagian harta fai para fuqaha’ berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah serta Asy-Syafi’i dalam qaul al-qadim dan juga Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa harta fai itu tidak dikhumus, bahkan semuanya diserahkan kepada Rasulullah SAW dan orang yang telah disebut dalam firman Allah QS. Al-Hasyr: 7-10. Karena dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan jumlah seperti seperlima. Ibn Al-Mundzir berkata, “Kami tidak menghafal (pendapat) dari seorang pun sebelum Asy-Syafi’i tentang adanya khumus pada harta fai sebagaimana pada ghanimah” [42] . Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa tidak khumus dalam fai [43] .
Asy-Syafi’i dalam qaul al-jadid , Muhammad Asy-Syaibany dan salah satu riwayat Ahmad menerangkan bahwa dalam fai ada khumus [44] . Al-Mawardi juga berpendapat bahwa ada khumus pada harta fai, karena nash Al-Quran tentang khumus dari harta fai akan mencegah terjadinya pertentangan. Kemudian beliau merincikan pembagian tersebut sebagai berikut [45] :
a. Seperlima dibagikan kepada:
– Rasulullah SAW ketika masih hidup, untuk dipergunakan bagi kebutuhan beliau, keluarga dan kaum muslimin. Namun setelah beliau wafat, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa bagian tersebut jatuh ke ahli waris beliau. Abu Tsaur berpendapat bahwa bagian tersebut jadi milik Kepala Negara. Abu Hanifah berpendapat, bagian ini menjadi hilang. Asy-Syafi’i berpendapat, bagian ini dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
– Keluarga dan kerabat Nabi SAW. Abu Hanifah mengatakan bahwa bagian ini telah ditiadakan, sedangkan menurut Asy-Syafi’i bagian ini tetap ada dan diberikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthallib.
– Anak-anak yatim
– Orang miskin
– Ibn as-sabil
b. Untuk bagian empat perlima diserahkan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih hidup, namun ketika beliau telah wafat maka ulama berbeda pendapat yaitu:
– Diberikan khusus untuk tentara.
– Dipergunakan untuk keperluan dan kepentingan kaum muslimin.
Abdul Qadim Zallum juga mengemukakan bahwa harta fai tersebut disimpan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin serta memelihara urusan-urusan mereka. Ini dilakukan menurut pertimbangan Khalifah dan diyakini bahwa didalamnya sungguh-sungguh terdapat kemaslahatan kaum muslimin [46] .
Imam Bukhari meriwayatkan dalam bab Khumus , bahwasanya Utsman, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Umar untuk memasuki rumah kediaman Umar, dan Umar mengizinkannya. Kemudian mereka duduk dengan tenang. Lalu datang Ali dan Abbas yang juga meminta izin masuk, dan Umar mengizinkan mereka berdua. Ali dan Abbas pun masuk, memberi salam lalu duduk. Abbas berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin berikanlah keputusan antara aku dan orang ini (‘Ali ra)–kedua orang ini tengah berselisih dalam hal fai’ yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw dari harta bani Nadlir– .’ Mendengar hal itu, Utsman dan sahabatnya berkata,” ‘Wahai Amirul Mukminin, buatlah keputusan diantara mereka berdua agar satu sama lain bisa merasa puas.’ Berkatalah Umar: ‘Kusampaikan kepada kalian dan bersumpahlah kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah berkata, “Segala sesuatu yang kami tinggalkan tidak diwariskan tetapi menjadi shadaqah’, dan yang Rasulullah saw maksudkan itu adalah beliau sendiri’ . Berkatalah mereka semua, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.’ Maka Umar berpaling kepada Ali dan Abbas seraya berkata, “ Bersumpahlah kalian berdua dengan nama Allah, tahukah kalian berdua bahwa Rasulullah saw telah bersabda seperti itu?’ Mereka berdua menjawab, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.” Berkatalah Umar, “‘Maka akan kukabarkan kepada kalian tentang hal ini, yaitu bahwa Allah Swt telah mengkhususkan fai ini kepada RasulNya dan tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau”.’ Kemudian Umar membacakan ayat:
“Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka” – sampai firman Allah – “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu”. Hal ini menunjukan bahwa fai ini benar-benar menjadi milik Rasulullah saw. Dan demi Allah, harta tersebut dihindarkan dari kalian, tidak diwariskan kepada kalian. Akan tetapi beliau telah memberikan sebagian dari harta tersebut kepada kalian dan membagikannya di antara kalian, sedangkan sisanya oleh Rasulullah saw dibelanjakan sebagian untuk keperluan keluarganya selama setahun dan sisanya dijadikan oleh beliau tetap menjadi harta milik Allah. Rasulullah telah melakukan hal tersebut selama hidupnya. Bersumpahlah dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’ Mereka semua menjawab, ‘Ya.’ Selanjutnya Umar berkata:
‘Kemudian Allah mewafatkan Nab-Nya saw, dan saat itu Abubakar berkata, ‘Aku adalah pengganti Rasulullah saw.’ Maka Abubakar menahan harta tersebut dan kemudian melakukan tindakan seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan Allah mengetahui bahwa dia (Abubakar) dalam mengelola harta tersebut sungguh berada dalam sifat yang benar, baik, mengikuti petunjuk serta mengikuti yang hak. Kemudian Allah mewafatkan Abubakar dan akulah yang menjadi pengganti Abubakar. Akupun menahan harta tersebut selama dua tahun dari masa pemerintahanku. Aku memperlakukan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw dan Abubakar. Selain itu Allah mengetahui bahwa aku dalam mengelola harta tersebut berada dalam kebenaran, kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran.” (HR. Imam Bukhari).
Atas dasar itu, harta fai’ yang diperoleh kaum Muslim merupakan milik Allah, seperti halnya kharaj dan jizyah . Harta semacam ini disimpan di Baitul Maal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim serta memelihara urusan-urusan mereka, berdasarkan keputusan atau ijtihad seorang Khalifah .
5. Karakteristik Petugas Fai[47]
Petugas fai selain harus memiliki sifat amanah dan kredibilitas pribadi yang baik, ia juga harus mempunyai karakteristik khusus sesuai dengan bidang yang dia tangani. Bidang atau tugas yang ditangani tersebut ada tiga macam, yaitu:
a. Penentu jumlah fai yang harus dipungut dan orang-orang yang berhak mendapatkan bagian. Untuk bagian ini karakteristiknya adalah merdeka, Islam, mujtahid, menguasai ilmu berhitung dan pengukuran luas tanah.
b. Pengumpul seluruh harta fai. Petugas ini harus memiliki syarat seperti pada bagian pertama kecuali mujtahid.
c. Pengumpul satu jenis dari harta fai. Tugas ini jika dijalankan secara resmi, maka petugasnya harus merdeka, Islam dan menguasai ilmu berhitung dan pengukuran luas tanah. Jika tidak resmi maka bisa dilakukan oleh hamba sahaya atau kafir dzimmi.
D. KHUMUS ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ) [48]
1. Pengertian Khumus
Khumus ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ) secara bahasa bermakna satu bagian dari yang lima atau seperlima, jika dilafazkan ﺧﻤَّﺲ – ﻳﺨﻤِّﺲ – ﺗﺨﻤﻴﺲ maknanya adalah mengambil seperlima [49] . Defenisi istilah adalah sama dengan definisi bahasa.
2. Landasan Hukum
Para ulama sepakat bahwa wajib dilaksanakan khumus pada ghanimah, dengan dalil firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal: 41, namun mereka berbeda pendapat pada fai.
3. Harta-Harta yang dikhumus
a. Ghanimah
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam hal membagikan seperlima ghanimah kepada lima pendapat, 1) Syafi’iyah dan Hanabilah, dibagikan kepada lima kelompok yaitu
Pertama, Allah dan Rasul-Nya, Kedua, Bani Hasyim dan Bani Muthallib, Ketiga, Anak Yatim, Keempat, Orang miskin dan Kelima, Ibn As-Sabil. 2) Hanafiyah, dibagikan kepada tiga kelompok saja, yaitu, Pertama, Anak Yatim,
Kedua, Fakir miskin, Ketiga, Ibn As-Sabil. 3) Malikiyah, tidak dibagikan tetapi Imam meletakkannya di Baitul Mal atau digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan bisa juga diberikan kepada keluarga Nabi SAW dan yang lainnya. Jadi, khumus diserahkan kepada ijtihad Imam, sebagaimana yang telah diamalkan oleh Khalifah Ar-Rasyidin. 4) Dibagikan kepada enam kelompok, dengan memisahkan bagian Allah dan Rasul-Nya. Bagian untuk Allah diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang membutuhkan. 5) Abu ‘Aliyah berpendapat bahwa setelah ghaniah dibagi lima, dan yang seperlima diambil oleh Imam. Dari yang seperlima itu Imam mengambil untuk biaya pemeliharaan Ka’bah, kemudian setelah itu sisanya baru dibagikan kepada lima kelompok. Maka yang dijadikan untuk Ka’bah tersebut adalah bagian Allah SWT.
b. Fai
c. Salab
Untuk fai dan salab telah dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut.
d. Rikaz
Rikaz adalah harta yang terkubur sejak zaman jahiliyah (Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbilah) atau harta yang ditanam di dalam bumi, baik diciptakan maupun diletakkan (Hanafiyah) [50] . Ulama sepakat bahwa harta rikaz wajib dikhumus, karena Nabi SAW telah bersabda,
ﻭَﻓِﻰ ﺍﻟﺮِّﻛَﺎﺯِ ﺍﻟْﺨُﻤُﺲُ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ‏)
Artinya: “…… dan pada rikaz itu ada khumus”. (HR. Bukhari).
PENUTUP
Rasulullah SAW telah berhasil menciptakan stabilitas ekonomi Negara Islam pada masanya. Sehingga Negara Islam memiliki izzah yang tinggi dihadapan seluruh Negara-negara lain. Namun keberhasilan Rasulullah SAW adalah dibawah bimbingan Allah SWT. Di antara sumber pendapatan Negara pada waktu itu adalah ghanimah dan fai.
Ghanimah adalah rampasan perang yang diperoleh melalui peperangan sedangkan fai adalah harta yang diperoleh dari musuh tanpa melalui paksaan atau peperangan. Pada mulanya rampasan perang ini tidak halalkan, namun Allah memberikan keutamaan kepada Rasulullah SAW dan umatnya yaitu dengan menghalalkan rampasan perang tersebut. Ketika dihalalkan itu, untuk pembagian diserahkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Allah SWT memberikan panduan dalam tata kelola pembagiannya. Khusus untuk ghanimah semua ulama sepakat bahwa khumus diwajibkan. Sedangkan untuk fai mereka berbeda pendapat.
Dengan demikian, apabila Rasulullah telah tiada maka para khalifah selanjutnya bisa untuk meneruskannya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Khalifah Ar-Rasyidin, sehingga terwujud kemaslahatan kaum muslimin.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Qadim Zallum, bahwa ghanimah dan fai pada saat ini haruslah disimpan di Baitul Mal dan Kepala Negara diberikan amanah untuk mengelolanya dalam rangka untuk menciptakan kemaslahatan bagi semua rakyat baik kemaslahatan di dunia dan juga di akhirat (jika Khilafah Islamiyah telah berdiri). Selain ghanimah dan fai ada sumber pendapatan lain bagi Negara yaitu khumus dari rikaz.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Araby, Ibnu, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2003)
Al-‘Asqalany , Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2004)
Al-Kasany, Bada’I Ash-Shana’I, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005)
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989)
Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2007)
Ar-Rafi’I, Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997)
Hammad, Nazih, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995)
Majamma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-Idarah Al-‘Ammah li Al-Mu’jamat wa Ihya’ At-Turats Negara Mesir, Al-Mu’jam Al-Washith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2004)
Manzhur, Ibnu, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005)
Saddam, Muhammad, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta: Taramedia, 2002)
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz VII, (Kuwait: Dzat As-Salasil, 1986)
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XX, (Kuwait: Dzat As-Salasil, 1990)
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XXXI, (Kuwait: Dar Ash-Shofwah, 1994)
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XXXII,(Kuwait: Dar Ash-Shofwah, 1995)
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor: Thariqul Izzah, 2002)
[1] Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005), Cet. I, Juz. VI, hlm. 736.
[2] Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 86.
[3] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dzat As-Salasil, 1986), Cet. II, Juz. VII, hlm. 18
[4] Ibnu Al-‘Araby, Ahkam Al-Qur’an,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2003), Cet. III, Juz. II, hlm. 377.
[5] Wizarah Juz. VII, op.cit, hlm. 19
[6] Istilah lain untuk pembagian bagi seseorang adalah radhakh yaitu pemberian harta ghanimah yang ditetapkan oleh imam yang kadarnya ditentukan dengan ijtihad imam tersebut.
[7] Majamma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-Idarah Al-‘Ammah li Al-Mu’jamat wa Ihya’ At-Turats Negara Mesir, Al-Mu’jam Al-Washith,
(Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2004), Cet. IV, hlm. 664.
[8] Manzhur, op.cit, Juz. VII, hlm. 406.
[9] Hammad, op.cit, hlm. 262.
[10] Ibid.
[11] Al-Kasany, Bada’I Ash-Shana’I,
(Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), Juz. IX, hlm. 394.
[12] Ar-Rafi’I, Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997), Cet. I, Juz. VII, hlm. 345.
[13] Ibid.
[14] Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Fath Al-Bari, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 513. Hadits nomor: 335.
[15] Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989), Cet. I, hlm. 177.
[16] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar Ash-Shofwah, 1994), Cet. I, Juz. XXXI, hlm. 303-306.
[17] Maksudnya adalah tentara-tentara musuh yang tertangkap.
[18] Al-Mawardi, op.cit, hlm. 166.
[19] Ibid. hlm. 171.
[20] Ibid. hlm. 177.
[21] Wizarah Juz. XXXI, op.cit, hlm. 306.
[22] Al-Mawardi, op.cit, hlm. 177.
[23] Ibid. hlm. 176-177.
[24] Wizarah Juz. XXXI, op.cit, hlm. 311-312. Untuk mendalaminya silahkan lihat kitab Al-Bada’I, Manhul Jalil, Hasyiah Ad-Dasuqy, Nihayah Al-Muhtaj, Al-Iqna’, Al-Mughny dan Kasyf Al-Qina’.
[25] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor: Thariqul Izzah, 2002), Cet. I, hlm. 27-30.
[26] Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2007), Juz. IV, hlm. 365-366.
[27] Ibid. hlm. 366-367., pentahqiq Tafsir Al-Qurthuby ini menyebutkan bahwa QS. Al-Anfal: 1 tidak dinasakh oleh QS. Al-Anfal: 41, karena tidak terjadi pertentangan maka bias dijama’ dengan mengatakan bahwa QS. Al-Anfal: 41 menjelaskan rincian pembagian tentang anfal pada QS. Al-Anfal: 1.
[28] Sarayah adalah pasukan pengintai atau rahasia. Diriwayatkan bahwa di antara tim yang cukup dikenal adalah tim pimpinan Abdullah bin Jahsy. Tim ini diutus pada bulan Rajab tahun kedua Hijriyah atau tahun 624 M, terdiri dari 12 orang Muhajirin. Rasulullah SAW membekali tim inidengan sepucuk surat yang tidak beleh mereka buka kecuali setelah perjalanan dua hari. Lalu setelah dua hari perjalanan surat tersebut mereka buka, isinya adalah: “Jika kalian telam membaca suratku, berjalanlan menuju Nakhlah yang terletak antara Mekkah dan Tha`if, intailah rombongan Quraisy dan informasikan kepada kami beritanya.” Karenanya tim ini dikenal dengan
Saraya Nakhlah (Tim Rahasia Nakhlah).
[29] Wizarah Juz. XXXI, op.cit, hlm. 312-314.
[30] Salab adalah harta yang berada pada diri musuh yang terbunuh. Untuk mendalami silahkan lihat Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karangan Imam Al-Mawardi.
[31] Al-Mawardi, op.cit. hlm. 178.
[32] Ibid. hlm. 178-179.
[33] Hadits yang pertama adalah riwayat Abu Daud dari Majma’ bin Jariyah, Ibnu Hajar mendhaifkan isnad hadits ini. Sedangkan hadits yang kedua juga riwayat Abu Daud dari Abu Amrah, dan dalam isnadnya adalah jahalah.
[34] Wizarah Juz. XXXI, op.cit, hlm. 306.
[35] Ibid. hlm. 310.
[36] Manzhur, op.cit. Juz. I, hlm. 131-132.
[37] Hammad, op.cit. hlm. 270. Ada juga yang mendefenisikan fai dengan kembalinya seorang suami untuk menggauli istrinya setelah dia bersumpah atau berjanji untuk tidak menggaulinya.
[38] Al-Mawardi, op.cit. hlm. 161.
[39] Muhammad Saddam, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta: Taramedia, 2002), hlm. 51.
[40] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar Ash-Shofwah, 1995), Cet. I, Juz. XXXII, hlm. 229-230.
[41] Ibid. hlm. 230. Untuk pembahasan lebih lanjut lihat kitab Al-Amwal karangan Abu Ubaid dan karangan Humaid bin Zanjawaih.
[42] Ibid. hlm. 230.
[43] Al-Mawardi, op.cit. hlm. 161.
[44] Wizarah, Juz. XXXII, op.cit, hlm. 231.
[45] Al-Mawardi, op.cit. hlm. 162-165.
[46] Zallum, op.cit, hlm. 33-34.
[47] Al-Mawardi, op.cit. hlm. 165-166.
[48] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dzat As-Salasil, 1990), Cet. II, Juz. XX, hlm. 10-21.
[49] Hammad, op.cit. hlm. 156.
[50] Hammad, op.cit., hlm. 183.

Jumat, 19 Mei 2017

PEMAHAMAN IKHLAS DALAM AL-QUR'AN



Seluruh kata yang terdapat dalam kamus Islam, jika maknanya diambil dari al-Qur`an maka kita akan bisa memahami makna tersebut secara mendalam, yang dapat membantu kita dalam memahami Islam pada seluruh aspeknya, karena al-Qur`an adalah ajaran Islam itu sendiri.
Kata ikhlas -dalam tinjauan etimonologi- banyak sekali terdapat dalam al-Qur`an, di antaranya:
  • Khaalish, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun. Seperti dalam firman Allah, “Ingatlah, hanya kepunyaaan Allah-lah agama yang bersih.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
  • Khalashuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah, “Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.” (QS. Yûsuf [12]: 80)
  • Khaalishah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shâd [38]: 46)
  • Mukhlishan, yaitu orang yang ikhlas memperjuangkan agamanya hanya untuk Allah semata, dan tidak ada cela sedikit pun. Kadangkala kata mukhlishan dipadukan dengan kata mukhlishin. Seperti dalam firman Allah, “Katakanlah, ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’(QS. Az-Zumar [39]: 14); “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’(QS. Az-Zumar [39]: 11)
  • Mukhlashan, kadangkala kata ini dipadukan dengan kata mukhalashin. Seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19]: 51)
Setiap kata ikhlas dalam al-Qur`an pasti mengandung salah satu makna di atas.
Hakikat ikhlas -seperti yang akan kami bahas nanti- adalah berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah Swt.
Apabila kata ikhlas dihubungkan dengan kaum muslimin, maka mengandung makna bahwa mereka berlepas diri dari klaim Yahudi tentang tasybih (penyerupaan Uzair dengan Allah) dan klaim Nasrani tentang tatliist (trinitas).
Agar kami bisa memperjelas makna ikhlas seperti yang terdapat dalam al-Qur`an, maka kami akan memaparkan beberapa ayat al-Qur`an yang menyinggung kata ikhlas.
Pertama: Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruhku menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah), ‘Luruskanlah wajah kalian di setiap shalat dan sembahlah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kami pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali kepada-Nya).’(QS. Al-A’râf [7]: 29)
Kata “al-Qisth” dalam ayat di atas berarti konsisten dan bijaksana. Makna ayat tersebut adalah, Allah memerintahkan kalian untuk beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. “Mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya.” Maksudnya, hendaknya kalian mengkihlaskan ketaatan kalian untuk mengharapkan keridhaan Allah.
Ibadah kepada Allah tidak dianggap benar kecuali sesuai dengan apa yang datang dari sisi Allah melalui sabda Nabi-Nya Rasulullah Saw., dan harus bersih dari segala bentuk penyekutuan.
Kedua: Allah Swt. berfirman, “Dan mereka yakin bahwa mereka telah (terkepung) bahaya, maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’(QS. Yûnus [10]: 22)
Maksudnya tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Karena saat itu mereka tidak berdoa kepada selain Allah seraya berkata, “Jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur,” yang tidak menyekutukan-Mu dengan siapa pun.
Ketiga:Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.(QS. Az-Zumar [39]: 1-2)
Yakni Kami bersihkan agama ini dari syirik dan riya dengan tauhid dan mensucikan rahasia. Ajaklah manusia untuk melakukan hal itu dan beritahukanlah kepada mereka, bahwa ibadah tidak layak dipersembahkan kecuali kepada Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih,” yakni, Allah tidak menerima amal seseorang kecuali jika amal itu dipersembahkan hanya kepada-Nya. Tiada sekutu bagi-Nya.
Qatadah berkata, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.” Yakni kalimat syahadat, tiada Tuhan selain Allah.
Keempat:Allah Swt. berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Ghâfir [40]: 14)
Maksudnya, murnikanlah ibadah dan doa kepada Allah Swt. serta jauhilah perilaku dan aliran orang-orang musyrik.
Kelima:Allah Swt. berfirman, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Ghâfir [40]: 56)
Maksudnya, Dialah Dzat Yang Mahahidup selama-lamanya. Dialah Yang pertama dan Yang terakhir, Yang zahir dan Yang batin. “Tiada Tuhan selain Allah,” maksudnya tiada yang sanggup menandingi dan menyukutukan Allah. “Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya,” maksudnya mengesakan Allah seraya berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah. “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Ada sekelompok kaum intelektual menyuruh orang yang berkata, “Tiada Tuhan selain Allah,” untuk mengiringinya dengan ucapan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” Sebagai manifestasi pengimplimentasian ayat di atas.
Keenam: Allah Swt. berfirman, “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). Agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya itu).(QS. Al-‘Ankabût [29]: 65-66)
Menurut mufassirin (para ahli tafsir), yang dimaksud dengan ayat “Mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya,” adalah mereka tampak seperti orang yang memurnikan agama karena Allah semata, dia itu termasuk bagian dari orang-orang mukmin yang aktivitasnya hanya mengingat Allah, dan dia tidak pernah memohon kepada selain Allah. “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat,” dan Allah menempatkan mereka di daratan, dengan seketika mereka beriman kepada Allah setelah mereka dihantui rasa takut yang amat sangat. “Tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” Yakni kembali melakukan kesyirikan. “Agar mereka mengingkari nikmat yang Kami berikan dan agar mereka (hidup) bersenang-senang dalam (kekafiran),” Yakni kembali kepada kekufuran dan mengingkari nikmat berupa keselamatan, yang semata-mata hanya untuk mendapatkan kesenangan dan kelezatan. Berbeda dengan keadaan orang-orang mukmin yang mensyukuri nikmat Allah, ketika diberikan keselamatan maka mereka jadikan nikmat itu sebagai pemacu untuk meningkatkan ketaatannya.
Ketujuh: Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Apakah kalian memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian; bagi kami amalan kami, bagi kalian amalan kalian dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.'” (QS. Al-Baqarah [2]: 139)
Maksudnya, apakah kalian akan mendebat kami tentang Allah dan tentang terpilihnya Nabi dari Arab yang bukan dari golongan kalian, seraya kalian berkata, “Jika Allah menurunkan (wahyu) kepada seseorang, niscaya Dia juga menurunkan wahyu kepada kami.” Dia melihat bahwa kalian lebih berhak menyandang kenabian daripada kami. “Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian.” Kita sama-sama hamba-Nya, Dia adalah Tuhan kita. Dia mencurahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. “Bagi kami amalan kami, bagi kalian amalan kalian.” Maksudnya, amal itu merupakan asas daripada perintah. Jika kalian memiliki amalan, kami juga demikian. “Dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” Yakni kami hanya mengesakan dan beriman kepada Allah, sedang kalian menyekutukan-Nya. Orang-orang yang ikhlas lebih patut mendapat kemuliaan dan lebih berhak mendapat cap kenabian daripada yang lainnya.
Kedelapan: Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (di tempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itulah adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.(QS. An-Nisâ` [4]: 146-147)
Maksudnya, orang-orang munafik akan mendapatkan balasan atas kekafiran mereka yang busuk pada hari kiamat kelak. Mereka akan di tempatkan di bagian bawah Neraka Jahannam. Tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan mereka, dan tidak ada yang sanggup mengeluarkan mereka dari azab yang pedih. Namun demikian, barangsiapa yang bertaubat ketika berada di dunia, niscaya Allah akan menerima taubat dan penyesalannya, selama taubat yang dia lakukan benar-benar ikhlas dan dia memperbaiki amalnya. “Berpegang teguh kepada Allah dalam semua urusannya.” Yakni, mereka mengubah sikap riya menjadi sikap ikhlas sehingga dicatat sebagai amal shaleh, meskipun hanya sedikit.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Mu’az bin Jabal r.a., dia berkata, “Bahwa Rasulullah pernah bersabda, ‘Hendaknya kamu tulus ikhlas dalam mengerjakan agamamu. Itu sudah cukup bagimu meskipun hanya sedikit.'”
Ada juga lafadz ikhlas dalam al-Qur`an yang tidak menggunakan kata ikhlas, akan tetapi mempunyai makna ikhlas. Yang demikian itu banyak terdapat dalam al-Qur`an. Di antaranya yang tercantum di berbagai surat berikut ini:
  • Surat Al-An’aam [6]: 163
  • Surat Al-Israa` [17]: 111
  • Surat Al-Furqaan [25]: 2
  • Surat An-Nisaa` [4]: 125
  • Surat Al-Kahfi [18]: 125
Dan surat-surat yang lainnya dalam al-Qur`an.
Semua ayat-ayat dalam al-Qur`an yang menyinggung kata ikhlas, maka itulah yang akan dijadikan acuan oleh kita dalam menjelaskan pengertian ikhlas serta menjabarkannya sedetail mungkin. Ayat-ayat tersebut yang akan memberikan pemahaman yang tepat, seperti yang diinginkan oleh Islam terhadap lafadz dan musytaq kalimat ikhlas, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas.
Sumber: Ruknul Ikhlas: Fii Majaalaati al-‘Amaal al-Islaami, karya Dr. Ali Abdul Halim Mahmud. Diterjemahkan oleh Hidayatullah dan Imam (Guntur).

Jumat, 12 Mei 2017

Kang Jalal Dialog di Kemenag Bersama 50 Doktor Hadis dan Ahli Sejarah


Salam wa rahmah. Berikut ini ada kabar dari Facebook Anggota IJABI bahwa pada Kamis, 13 September 2012, telah berlangsung Dialog Sunni-Syiah di Kemenag (Kementerian Agama). Dialog ini dihadiri 50 doktor ahli hadis dan sejarah dengan narasumber Ustdaz Jalaluddin Rakhmat dari IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia). Ustadz Jalal atau yang biasa disapa Kang Jalal menjelaskan bagaimana ilmu Jarh wa Ta’dil dihadapan para ahli hadis dan ahli sejarah dari seluruh Indonesia yang hadir.

Ustadz Jalal menyampaikan hadis-hadis Ghadir Khum dan memberikan informasi link-link website untuk para peneliti yang akan mempelajarinya. Acara berjalan dengan baik. Tidak ada bantahan yang bersifat keras. Malah mereka meminta link dan e-book referensi hadis-hadis tentang Islam Syiah.

Sebuah informasi yang bagus. Memang yang harus didahulukan adalah dialog dan beradu argumenatsi bukan serangan fisik atau hujatan. Inilah yang saya kira termasuk dalam program kesepakatan bersama dengan pemerintah: MUI, Kemenag, Kemdagri, dan ormas IJABI, ABI, dan PBNU.

Salah satu poin dari kesepakatan yang ditandatangani pada Senin, 10 September 2012 di Kemdagri Jakarta Pusat itu adalah bahwa “Semua pihak sepakat melakukan dialog-dialog secara terus-menerus menciptakan hubungan harmonis internal umat Islam.”

Dan… Kemenag membuktikannya dengan menggelar dialog perdana bersama Ustadz Jalal. Saya berharap nanti bakal muncul dialog-dialog yang mencerahkan yang difasilitasi pemerintah yang mengedepankan ilmiah dan ukhuwah. Bravo…. dan tegaklah Ukhuwah Islamiyyah di Indonesia. [Bung Jamal, pembaca buku]