Rabu, 24 Agustus 2016

Biografi Perowi Hadits Seorang China "Imam Bukhari".


Biografi Imam Bukhari. Tokoh Muslim satu ini terkenal dengan riwayat-riwayatnya mengenai hadist Rasulullah Muhammad SAW. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Akan tetapi beliau lebih terkenal dengan sebutan Imam Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, Turkistan. Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Kehidupan Imam Bukhari
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim. Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.

Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”. Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud:

Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk hadits”. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.

Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.
Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah –ed) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim.

Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, “ Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”. Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af’aal Al Ibaad.

Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan. Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).” Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”. Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”.

Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Tokoh Syiah: Lebih Banyak Habib Dukung Ahok Daripada yang Menolak

Muktamar Rabithah Alawiyah (satuislam)
Muktamar Rabithah Alawiyah (satuislam)
intelijen – Tokoh Syiah Indonesia Haidar Bagir memastikan jika banyak habib yang mendukung Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).  Haidar Bagir menyebut sejumlah habib yang mendukung Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
“1-2 habib tolak Ahok. Lebih banyak lagi yang dukung. Puluhan orang kafirkan Ahok, lebih banyak lagi yang tidak. Termasuk saya,” tegas Haidar di akun Twitter @Haidar_Bagir. Haidar melampirkan foto sejumlah habib yang mendukung Ahok, yakni Habib Ali Al Habsyi  dan Habib Hasan Assegaf.
Terkait larangan non Muslim atau kafir menjadi pemimpin, menurut Haidar, setiap non Muslim tidak serta merta kafir. “Di Indonesia habaib difahami sebagai yang nasabnya bersambung kepada Nabi SAW. Agar habaib tak dikaitkan dengan penolak Ahok. Kritis hak smua orang. Mengafirkan, saya tak sependapat. Gunakan kekerasan, jelas saya tolak,” tulis @Haidar_Bagir.
Diberitakan sebelumnya Kepala Polda Metro Jaya Irjen (Pol) Unggung Cahyono mengatakan, selain menetapkan 21 tersangka, polisi masih memburu seorang petinggi Front Pembela Islam (FPI) terkait ricuh demo anti Ahok di di Balaikota dan Gedung DPRD DKI Jakarta (03/10).
“Kita masih mau cari Habib NB. Dia sudah jadi DPO (daftar pencarian orang) kita, sudah buron. Kita sudah bentuk tiga tim untuk mengejar satu habib itu,” kata Unggung seperti dikutip kompas (05/10).

Tokoh Syiah: Lebih Banyak Habib Dukung Ahok Daripada yang Menolak

Muktamar Rabithah Alawiyah (satuislam)
Muktamar Rabithah Alawiyah (satuislam)
intelijen – Tokoh Syiah Indonesia Haidar Bagir memastikan jika banyak habib yang mendukung Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).  Haidar Bagir menyebut sejumlah habib yang mendukung Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
“1-2 habib tolak Ahok. Lebih banyak lagi yang dukung. Puluhan orang kafirkan Ahok, lebih banyak lagi yang tidak. Termasuk saya,” tegas Haidar di akun Twitter @Haidar_Bagir. Haidar melampirkan foto sejumlah habib yang mendukung Ahok, yakni Habib Ali Al Habsyi  dan Habib Hasan Assegaf.
Terkait larangan non Muslim atau kafir menjadi pemimpin, menurut Haidar, setiap non Muslim tidak serta merta kafir. “Di Indonesia habaib difahami sebagai yang nasabnya bersambung kepada Nabi SAW. Agar habaib tak dikaitkan dengan penolak Ahok. Kritis hak smua orang. Mengafirkan, saya tak sependapat. Gunakan kekerasan, jelas saya tolak,” tulis @Haidar_Bagir.
Diberitakan sebelumnya Kepala Polda Metro Jaya Irjen (Pol) Unggung Cahyono mengatakan, selain menetapkan 21 tersangka, polisi masih memburu seorang petinggi Front Pembela Islam (FPI) terkait ricuh demo anti Ahok di di Balaikota dan Gedung DPRD DKI Jakarta (03/10).
“Kita masih mau cari Habib NB. Dia sudah jadi DPO (daftar pencarian orang) kita, sudah buron. Kita sudah bentuk tiga tim untuk mengejar satu habib itu,” kata Unggung seperti dikutip kompas (05/10).

Islam menyebar dengan cepat, dan Yahudi serta Nasrani tidak dapat mengalahkannya selama 1.300 tahun. Mengapa? Lalu, apa sebab kekalahan Islam saat ini?


            Ada beberapa sudut pandang tentang perbedaan antara Islam dan iman. Kami tidak ingin masuk dalam rincian semacam itu. Jika kita mengungkapkan Islam dan iman secara bersamaan, orang Islam adalah orang yang beriman kepada Allah dan seluruh sendi keimanan serta berserah diri kepada-Nya. Artinya, orang Islam adalah orang yang secara ikhlas terikat dengan seluruh perintah Allah dalam penataan kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan kehidupan sosialnya. Kaum muslim dalam beberapa waktu tidak mendapatkan kesempatan untuk menerapkan Islam secara total. Namun, jika semangat mereka terhadap Islam dan keinginan untuk menerapkannya terdapat dalam hati mereka, semoga Allah tidak menghukum mereka. Sebab, menjauhi Islam berarti menempuh jarak yang jauh sehingga tidak mungkin kembali kepadanya secara sekaligus hanya dengan satu langkah. Apabila mereka berharap kembali kepada Islam dengan tekad yang kuat dan keinginan yang besar lalu mereka mulai menetapkan langkah dan pemikiran untuk kembali, mereka telah menyelamatkan diri mereka dari beban tanggung jawab. Itu karena hanya ada dua jalan untuk lepas dari beban tanggung jawab pada Hari Kiamat: hidup bersama Islam secara sempurna atau berjuang mengembalikan Islam ke dalam kehidupan.
            Apabila salah satunya tidak terwujud, tidak ada tempat untuk selamat dari pertanggungjawaban pada Hari Kiamat. Kehidupan mereka di dunia pun akan hina, sebab jauh dari Islam akan membuat kekafiran berkuasa atas masyarakat dan berbagai aspek kehidupannya, baik kehidupan sosial, ekonomi, bisnis, maupun militer. Mereka juga akan kalah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu, mereka akan menjalani hisab atas kelalaian mereka pada Hari Kiamat.
            Bisa jadi jangka waktunya tidak sampai 1.300 tahun, tetapi periode kemajuan umat Islam tidak kurang dari seribu tahun. Pada masa itu mereka telah sampai di puncak yang tinggi, terutama pada masa Khulafa Rasyidin yang ketika itu kecepatan dalam mencapai ketinggian sangat menakjubkan. Rasulullah saw. telah memberitakan masa ini dengan bersabda, “Akan datang suatu masa kepada manusia yang ketika itu mereka berperang. Mereka ditanya, ‘Adakah sahabat Rasulullah saw. di antara kalian ?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang dan ditanya, ‘Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah saw.?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat kemenangan.’”[1] 
            Dalam hadis lain Rasul saw. menunjuk kepada ketiga generasi berbahagia itu dengan bersabda, “Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”[2] Kalau kita melihat sejarah umat Islam, tampak jelaslah kebenaran sabda Nabi saw. ini.
            Masa Khulafa Rasyidin hanya berlangsung selama 30 tahun. Meski demikian, kaum muslim pada masa Usman ibn Affan r.a. telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di satu sisi mereka telah sampai ke Erzurum dan di sisi lain mereka sampai ke Laut Aral. Semua ini disebabkan oleh semangat jihad yang mereka bawa. Afrika ketika itu telah dibuka dan dikuasai dari ujung ke ujung. Bahkan, Uqbah ibn Nafi‘, panglima Islam yang pertama pergi ke sana dan berhasil menguasai Afrika pada masa hidupnya, wafat dalam usia lima puluh tahun. Artinya, dalam beberapa tahun saja ia berhasil menyempurnakan penguasaan Afrika hingga mencapai Samudera Atlantik yang oleh bangsa Arab disebut dengan Lautan Teduh. Selanjutnya, ia mengarungi laut seraya berkata, “Wahai Tuhan, seandainya bukan karena laut ini, tentu aku sudah berlalu di sejumlah negeri untuk berjuang di jalan-Mu.”[3]
            Dalam jihad itu, ia juga berhasil mengikutsertakan kaum barbar dalam barisannya. Kaum muslim saat itu tidak memiliki kendaraan lintas benua, kapal pengangkut pesawat terbang, atau kapal yang bisa menghadapi badai di lautan. Mereka sampai ke berbagai negeri dengan mengendarai unta. Apabila hendak mencapai negeri di seberang lautan, mereka melintasi lautan dengan menaiki kapal kecil yang sederhana. Kendati demikian, mereka mampu membuka negeri-negeri di Timur dan di Barat dalam waktu yang singkat. Bila kita perhitungkan secara matematis, kita bisa mengatakan bahwa apa yang berhasil dikuasai umat Islam pada masa Khulafa Rasyidin menyamai bahkan melebihi apa yang berhasil dikuasai pada masa Umayyah, Abbasiah, Saljuk, dan Usmani, padahal berbagai pendudukan pada masa Khulafa Rasyidin pertama-tama ditujukan untuk membuka hati dan menyebarkan Islam.
            Di antara rahasia takdir, sejumlah negeri yang ditinggali kaum muslim saat ini dibuka dan dikuasai pada masa sahabat. Meskipun Andalusia berada di bawah kekuasaan Islam selama kira-kira delapan abad, saat ini di sana tidak ada sesuatu yang memuaskan hatimu. Sementara itu, di Turkistan, Dagistan, Mongogistan, dan Uzbekistan, sejumlah masjid, menara, dan sekolah agama masih ada karena negeri-negeri tersebut diduduki oleh para sahabat. Negeri-negeri tersebut telah melahirkan beberapa tokoh besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan Islam, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibnu Sina, dan al-Farabi. Islam telah hidup di negera-negara tersebut dengan kebenaran.
            Semoga negara-negara yang sendi-sendinya telah dibangun secara ikhlas dan benihnya telah ditanam secara jujur serta telah bercampur dengan darah para sahabat itu insya Allah akan kembali kepada Islam.[4] Ya, kita semua menunggu era tersebut. Kita merasakan keberadaan kita di negara-negara itu. Kita yakin akan datang suatu hari ketika Islam kembali ke sana seperti gelombang yang susul-menyusul. Ini adalah persoalan lain dan penting yang tidak kita bahas di sini. Marilah kita kembali kepada pembahasan semula.
            Apabila sahabat berhasil membuka dan menguasai dunia dalam waktu singkat, tentu hal ini karena sejumlah sebab. Setiap sahabat mencintai dakwah Islam sampai tingkat dakwah menyatu dengan hatinya. Orang yang melihat mereka hanya dari luar dan tidak mengetahui hakikatnya pasti mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang sembrono bahkan gila, karena tindakan mereka benar-benar mencengangkan akal.  
            Ali ibn Abu Talib r.a. tidur di kasur Rasul saw. pada malam beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Ini berarti sejak awal ia telah rela dirinya terkena sabetan pedang. Namun, tangan-tangan kaum musryik tetap menggantung di udara ketika mengetahui bahwa orang yang tidur di tempat tersebut bukan Rasulullah saw. melainkan putra pamannya, Ali r.a. Adapun sebab yang membuat tangan mereka kaku di udara adalah sesuatu yang menakjubkan, karena akal mereka tidak mampu memahaminya.
            Bagaimana seorang pemuda berusia 17 tahun dapat melakukan pengorbanan semacam itu yang bisa menamatkan hidupnya dengan cara paling keji? Kaum musyrik—termasuk Abu Jahal—tercengang tatkala melihat kenyataan tersebut. Abu Jahal kemudian pergi ke rumah Abdullah ibn Jahsy dan naik ke atap lalu di sana ia mendengar embikan kambing di dalam rumah. Ia pun tidak bisa menutupi keheranannya, karena tidak ada satu pun orang di rumah itu. Ketika Rasul saw. berhijrah ke Madinah, semua orang segera ikut berhijrah.
            Suatu hari Utbah ibn Rabi‘ah, Abbas ibn Abdul-Muttalib, dan Abu Jahal ibn Hisyam melintasi rumah keluarga Jahsy yang sedang pergi menuju dataran tinggi Mekah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa ada satu pun penghuninya. Melihat hal tersebut, ia bersenandung:
            Setiap rumah meskipun dalam waktu lama selamat
                        suatu saat akan hancur dan binasa.
            Selanjutnya, Utbah berkata, “Rumah bani Jahsy kosong ditinggal pergi penghuninya.”[5]    Mereka meninggalkan segalanya: rumah mereka, keluarga mereka, harta mereka, dan kambing-kambing mereka. Jadi, bagaimana kaum musyrik bisa memahami hal ini?
            Ya. Ketika Abu Bakar r.a. berhijrah dari Mekah ke Madinah, ia tidak membawa seorang pun keluarganya. Ia tidak membawa istri, ayah, ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Mekah dan berhijrah sendirian [bersama Rasulullah saw.]. Usman ibn Affan r.a. pun tidak membawa istrinya, Ruqayyah r.a., putri Rasulullah saw. dan penyejuk hatinya. Seandainya dikatakan bahwa Ruqayyah membutuhkan orang yang siap berkorban untuknya, tentu semua siap mengorbankan diri untuknya. Namun, ia menetap di Mekah dan Usman berhijrah seorang diri ke Madinah.
            Masa itu adalah masa orang-orang yang secara tulus dan ikhlas terpaut dengan Rasul saw. Sikap mereka mengikuti dan mencintai Muhammad adalah sesuatu yang menakjubkan. Sampai-sampai Urwah ibn Mas‘ud setelah menemui Rasul saw. dalam perjanjian Hudaibiah dan melihat perlakuan para sahabat beliau kepada beliau—ketika beliau berwudu, mereka memperebutkan air bekas wudunya, ketika beliau membuang ludah, mereka memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka segera mengambilnya—Urwah kembali ke Mekah dan berkata, “Kaum apa itu?! Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah penguasa; Aku telah diutus kepada kaisar, kisra, dan raja Najasyi. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh para pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu ia lumurkan dahak itu ke wajah dan kulitnya. Jika beliau memberikan perintah, mereka segera melakukannya. Jika beliau berwudu, mereka memperebutkan air bekas wudunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.”[6]
            Ya. Begitulah tingkat penghormatan dan cinta sahabat kepada Rasulullah saw., sementara Rasulullah saw. sendiri berkata kepada orang yang berdiri menghormatinya, “Janganlah kalian berdiri seperti bangsa asing berdiri untuk mengagungkan satu sama lain.”[7] Namun, mereka tetap berdiri menghormati beliau, karena semakin merendah kepada beliau, semakin bertambah kecintaan mereka kepada beliau. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berlari ketika melihat Jibril a.s. untuk pertama kali. Ini terjadi pada awal turunnya wahyu. Salah seorang pecinta Rasul saw. berujar, “Seandainya Jibril a.s. melihat hakikat Muhammad dari balik tirai, pasti ia akan kehilangan kesadaran.” Rasul saw. semakin mulia ketika hubungannya dengan Allah semakin dekat. Namun, semakin mulia, beliau pun semakin merendah sebab beliau menganggap dirinya hanya seorang manusia. Beliau tidak mau diperlakukan dengan cara yang melampaui batas dan merasa risih dengan perlakuan demikian.
            Itulah era saat hati dan jiwa para sahabat berpadu bersama Rasulullah saw. Sampai-sampai beliau berkata kepada mereka, “Kehidupan adalah kehidupan kalian dan kematian adalah kematian kalian.”[8] Ucapan ini tidak dilontarkan untuk menghibur mereka, namun untuk menggambarkan kesatuan hati dan jiwa. Saat tiba perintah kepada mereka untuk berhijrah di tanah Allah yang luas guna menyebarkan Islam, mereka tidak menyanggah dan bertanya, “Mengapa?” Akan tetapi, mereka segera berhijrah dan bertebaran di muka bumi demi Islam tanpa pernah berpikir kembali ke tanah air mereka. Mereka lebih memilih mati di tanah air baru tanpa keraguan sedikit pun atas hijrah yang mereka lakukan.
            Ketika Sa‘ad ibn Abi Waqqash menderita sakit panas di Mekah, ia sangat bersedih. Rasul saw. bertanya tentang sebab kesedihannya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah aku ditinggal setelah sahabat-sahabatku pergi?” Dalam riwayat lain: “Apakah aku tertinggal dalam berhijrah? Aku khawatir meninggal dunia di sini di Mekah, bukan di Madinah tempat tujuan hijrah yang telah menjadi kota penuh berkah dengan keberadaanmu di sana. Aku khawatir hijrahku menjadi cacat dan tidak sempurna.” Itu karena keterpautan para sahabat dengan kota Madinah mengacu kepada cinta mereka kepada Rasulullah saw. yang memutuskan untuk menetap di sana. Mereka benar-benar cinta kepada beliau. Namun, ketika ada perintah kepada mereka untuk berhijrah ke seluruh pelosok dunia untuk menyebarkan Islam, tidak tampak keraguan atau penolakan sedikit pun dari mereka karena mereka mencintai Islam. Sebagaimana Majnun yang tergila-gila kepada Laila terus berada di seputar Laila, hati para sahabat telah terpaut dan tertarik untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru guna mendapatkan rida Allah Swt. dan rida Rasul-Nya saw.
            Ya. Ketika datang perintah kepada mereka, mereka segera bertebaran di seluruh pelosok dunia. Di antara mereka ada yang pergi ke Tabuk, ada yang pergi ke Yaman, serta ada yang pergi ke Hadramaut dengan semangat tak tertandingi.
            Ketika sejumlah negara dan pemerintah berusaha menghalangi perjalanan dan perluasan Islam serta berusaha menghadang para pejuang itu, terpaksa kaum muslim menghunus pedang mereka karena mereka memikul tugas suci: menyebarkan cahaya di bumi. Tatkala para musuh menggunakan kekuatan materi untuk menghalangi mereka, terpaksa para sahabat menggunakan kekuatan pula untuk menghadapi mereka.
            Telah tiba waktunya untuk berjihad dan berperang. Dalam hal ini mereka tidak berlambat-lambat, namun bersegera menuju kancah perang. Mereka membunuh dan terbunuh, tetapi tidak satu pun dari mereka lari meninggalkan medan perang. Dalam setiap perang, mereka berhasil mendapatkan kemenangan hingga akhirnya sampai ke negeri Cina. Sebagai individu dan masyarakat, mereka adalah contoh kepahlawanan yang hanya bisa dikenang dalam legenda.
            Rasul saw. tidak membebani siapa pun melebihi batas kemampuannya. Kendati demikian, setiap sahabat rela memikul tugas yang nyaris melampaui kemampuannya dan saling berlomba dalam hal tersebut. Ali r.a. mengeluhkan sakit pada matanya ketika Rasul saw. hendak menuju Khaibar. Karena itu, beliau ingin agar Ali tetap berada di Madinah, namun Ali r.a. tidak rela dan menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan membiarkanku bersama anak-anak kecil dan wanita? Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak ingin engkau keluar ke sebuah negeri kecuali aku bersamamu.”[9] Demikianlah, akhirnya ia ikut serta dalam Perang Khaibar dan Allah membuka Khaibar lewat tangannya.
            Suatu kali, ketika Rasul saw. pergi dari Madinah, beliau menyerahkan urusan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum yang merupakan salah satu kerabat dekat Khadijah al-Kubra r.a. Jadi, orang semacam inilah yang diperbolehkan tidak ikut ke medan jihad karena ia buta dan lanjut usia. Sebetulnya bisa saja ia tidak ikut serta ke medan jihad sepanjang hidupnya, namun ia juga turut keluar berjihad di bumi Allah yang luas ini bersama para pejuang lain di jalan Allah. Ini dilakukannya setelah kematian Rasulullah saw. Tidak ada yang dapat mengecualikannya untuk tidak ikut keluar dengan alasan buta. Ia bergabung dengan pasukan yang menuju Qadisiah meskipun usianya sudah lanjut. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa mereka berusaha menempatkannya di barisan belakang pada hari peperangan, namun ia bisa sampai ke Panglima Sa‘ad ibn Abi Waqqash seraya terus meminta izin kepadanya untuk membawa panji. Akhirnya, ia terbunuh sebagai syahid dalam perang tersebut menurut salah satu riwayat.[10] 
            Ini adalah contoh orang yang mengorbankan nyawa di jalan Allah dengan penuh semangat dan kesungguhan. Kepergian Rasulullah saw. menjadi kesempatan besar bagi Ibnu Ummi Maktum, sebab seandainya Rasulullah saw. masih hidup, tentu beliau akan mencegahnya untuk berjihad karena uzur yang dimilikinya. Saat ini tidak ada lagi yang dapat menghalanginya untuk ikut berjihad. Karena itu, ia bergembira bisa ikut dalam barisan pertama.
            Abu Thalhah adalah orang yang sangat tua dan telah lemah. Suatu ketika saat membaca surah al-Tawbah dan sampai pada ayat: “Pergilah berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat,” ia memanggil istri dan anak-anaknya. Ia berkata kepada mereka, “Aku merasa Tuhan meminta berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkanlah diriku.” Anak-anaknya berkata, “Engkau telah berjuang bersama Rasulullah saw. hingga beliau meninggal dunia. Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarlah aku berperang menggantikanmu.” Namun, Abu Thalhah bersikeras dengan permintaannya, “Siapkanlah diriku!” Tidak ada gunanya ucapan dan rayuan kepadanya. Karena itu, mereka bangkit untuk menaikkannya ke kuda dan mengikatnya dengan baik. Tetapi, tubuh lemahnya tidak dapat menghadapi penatnya perjalanan panjang. Ia pun menyerahkan nyawanya di tengah lautan.[11] Barangkali sebelum wafat ia bersyukur kepada Allah Swt. atas kesempatan yang diberikan kepadanya.
            Khalid ibn Zaid (Abu Ayyub al-Anshari r.a.)  pada masa Yazid ibn Muawiyah ikut serta dalam rombongan yang menuju Konstantinopel meskipun ia sudah sangat tua. Ia menempuh jarak yang jauh itu hingga sampai ke pintu Konstantinopel. Ketika Nabi saw. berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub al-Anshari telah menikah dan memiliki sejumlah anak. Telah berlalu sekitar 50 tahun ketika ia keluar bersama pasukan Islam untuk membuka Konstantinopel di bawah pimpinan Yazid ibn Muawiyah. Dengan demikian, usianya sekitar 80 tahun ketika ia berjihad bersama pasukan itu. Ia menempuh jarak yang sangat jauh dari Madinah menuju Istambul di atas punggung kuda. Di sini aku ingin bertanya, “Apakah tujuan para sahabat dan orang-orang seperti mereka dalam berjuang?” Banyak ayat dan hadis memuji mereka.
            Al-Quran berbicara tentang mereka sebagai kaum Muhajirin dan Ansar. Orang-orang semacam mereka juga disebutkan dalam Taurat dan Injil. Mereka telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Kalian akan membuka Konstantinopel, maka pemimpin terbaik adalah pemimpinnya dan pasukan terbaik adalah pasukan itu.”[12] Jadi, tujuan mereka adalah menjadi pasukan penuh berkah itu dan meraih rida Rasul saw. Jika tidak, apa lagi motif dari perjuangan besar dan penderitaan itu? Rasulullah saw. mengisyaratkan kedudukan tertinggi bagi pasukan yang berhasil membuka Konstantinopel. Para sahabat tentu ingin mendapatkannya sehingga berlomba untuk itu.
            Itulah tujuan dan target Abu Ayyub al-Anshari r.a. Karena itulah, ia bangkit dan bertolak dari Madinah lalu menempuh jarak yang panjang dalam sebuah perjalanan berat dan melelahkan. Minggu demi minggu dan bulan demi bulan berlalu, namun pembukaan dan pendudukan itu belum terwujud. Penyakit dan kepenatan menimpa sahabat yang telah tua itu.  Ia selalu bertanya apakah pendudukan sudah terwujud. Saat ia sekarat, Panglima Yazid ibn Muawiyah menanyakan permintaan terakhirnya. Ia berkata, “Jika aku mati, naikkanlah aku dan bawalah ke negeri musuh selama memungkinkan. Jika sudah tidak memungkinkan, kuburkanlah aku kemudian kembalilah!” Ketika telah meninggal dunia, Yazid mengangkut lalu membawanya ke negeri musuh. Ketika keadaan tidak lagi memungkinkan, Yazid menguburnya di benteng Konstantinopel dan kembali.[13]
            Kira-kira enam abad kemudian, Allah Swt. memberikan kehormatan terwujudnya kabar gembira ini kepada sang pahlawan Muhammad al-Fatih yang ketika itu baru berusia 22 tahun. Ia sangat beruntung mendapatkan kabar gembira Rasul saw. berikut ridanya serta berhasil menunaikan tugas besar yang mengakhiri suatu era dan memulai era baru dalam sejarah umat manusia sekaligus menampilkan semangat Islam kepada Eropa. Di antara takdir Allah, namanya sama dengan nama Nabi saw. Ia bernama Muhammad dan bergelar al-Fatih setelah berhasil membuka [Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi] Istambul. Tentu jiwa Abu Ayyub al-Anshari sangat senang mendengar sorak kegembiraan Muhammad al-Fatih saat memuji Allah atas kemenangan itu dan memasuki kota tersebut di atas punggung kuda. Pemimpin [terbaik] itu adalah al-Fatih dan pasukan [terbaik] itu adalah pasukannya.
            Demikianlah orang-orang yang telah merelakan dirinya untuk jihad semacam itu atau untuk jihad dalam memberikan dakwah dan petunjuk ketika mereka menduduki berbagai negeri, sehingga negeri-negeri itu tetap berada dalam kekuasaan mereka selama berabad-abad. Namun, ketika penyakit “cinta duniadan takut mati” menghinggapi hati umat Islam—sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam beberapa hadisnya, mereka mulai kehilangan negeri-negeri itu satu demi satu.
            Dua atau tiga masa sebelum ini kita memiliki posisi dan kedudukan penting dalam sejarah manusia dan percaturan internasional. Namun, saat ini kita kehilangan kedudukan dan posisi tersebut. Dalam hal ini hanya ada satu penjelasan. Pada masa kemajuan, kita memiliki semangat Islam, tunduk kepada Allah, dan menyerah total kepada seluruh perintah-Nya, sementara pada masa kemunduran penyakit wahn telah menghinggapi hati kita. Dengan kata lain, yang ada dalam diri kita adalah rasa takut mati, kelemahan, cinta dunia, dan kecemasan menghadapi masa depan.
            Umat Islam telah menguasai seluruh dunia—dengan kecepatan menakjubkan—selama sekitar seribu tahun dan memimpin dunia dengan baik. Mungkinkah kita mengembalikan keberhasilan tersebut kepada sebab selain bahwa kaum muslim dulu telah mengorbankan seluruh milik mereka, baik jiwa maupun harta, di jalan Allah Swt.?
            Kita melihat semangat yang sama pada semua pejuang dan pahlawan dunia Islam. Mereka tidak terpaut dengan rasa cinta kepada kehidupan, tetapi mereka senang mempersembahkan kehidupan ini untuk orang lain. Tujuan mereka hanya satu: menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
            Kita melihat sikap ini pada Alip Arselan, Kalj Arselan, Sultan Murad, Muhammad al-Fatih, dan Yawuz Salim, serta para pahlawan lainnya. Dalam Perang Malazghirat yang terkenal, Alip Arselan memakai jubah putih. Ia berdiri di depan pasukannya dan menyampaikan pidato yang berapi-api. Dalam pidatonya, ia berkata bahwa ia berdoa kepada Allah agar jubah putihnya itu menjadi kain kafannya. Artinya, ia lebih menginginkan kematian syahid daripada kemenangan. Karena itu, ia memakai kain kafannya dan tanpa ragu-ragu menerobos pasukan yang jumlahnya berkali-kali lipat melebihi jumlah pasukannya. Siang harinya, ia mendapatkan kemenangan, namun ada hal yang membuatnya sedih: ia belum ditakdirkan untuk mendapatkan syahid dalam perang.
            Sultan Murad I berdoa kepada Allah sebelum perang untuk memenangkan kaum muslim dan memberinya kematian syahid. Ternyata, doanya dikabulkan. Pasukannya menang dan ia sendiri mati syahid. Ketika ia tertusuk pedang besar di dadanya dan tersungkur ke tanah, mereka menanyakan permintaan terakhirnya. Selepas mengucap dua kalimat syahadat, ia mengungkapkan kata-kata terakhirnya, “Janganlah kalian turun dari punggung kuda!”
            Negara yang didirikan oleh orang-orang seperti mereka memiliki kedudukan internasional sepanjang masa. Seluruh mata senantiasa memandangnya. Ya, pengorbanan semacam itu yang diperlihatkan oleh para pahlawan dan menempatkan rida Allah di posisi pertama itulah yang menjamin kelangsungan hidup kita dengan penuh kemuliaan.
            Ketika kita kehilangan semangat ini, musuh mengepung kita dari berbagai arah dan mulai menelan kita secara berangsur-angsur. Ya. Pertama-tama kita mati dalam hal semangat, kemudian dalam hal kemuliaan, dan selanjutnya dalam hal fisik. Sekarang kita mengharapkan bantuan dari negara-negara besar dan kita menganggap penundaan pembayaran utang kepada negara-negara itu sebagai kesuksesan besar.
            Jika umat ini ingin kembali kepada kemuliaannya seperti sediakala, ia harus menerapkan semua faktor yang telah membuatnya mulia pada masa sebelumnya tanpa mengabaikan satu pun faktor, karena “manusia tidak memperoleh kecuali apa yang telah

[1] H.R. Bukhari dan Muslim.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Ibnul-Atsir, al-Kâmil fî al-Târikh,IV, h. 106.
[4] Penulis menulis ini sebelum negara-negara tersebut terlepas dari pendudukan Rusia.
[5] Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah,  II, h. 114 – 115.
[6] H.R. Bukhari; Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah,III, h. 328;  Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, IV, h. 175.
[7] H.R. Abu Daud  dan Imam Ahmad.
[8] H.R. Muslim dan Imam Ahmad.
[9] H.R. Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad.
[10] Ibnul-Atsir, Usud al-Ghâbah,IV, h. 264.
[11] Ibid., VI, h. 181 – 182.
[12] H.R. al-Hakim dan Imam Ahmad.
[13] Ibnu Hajar, al-Ishâbah,II, h. 274 dan Ibnu Sa‘ad, al-Thabaqât,III, h. 484.

Jumat, 12 Agustus 2016

Hadis-hadis Nabawi Tentang Kabar Gembira Munculnya Imam Mahdi as


Sesungguhnya hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah saw tentang imam Mahdi as merupakan kelompok terbesar dan terbanyak yang memberikan kabar gembira akan datangnya penyelamat akhir zaman tersebut. Perlu diperhatikan bahwa hadist-hadist yang ada di dalam kitab-kitab Ahli-sunnah tentang imam Mahdi as, kebanyakannya diriwayatkan dari Rasulullah saw, dengan sanad / jalur yang banyak dan kandungan yang bermacam-macam. Terkadang Rasulullah saw mengkhabarkan imamMahdi di sela-sela / bersama para imam yang lain, di mana beliau dikenalkan sebagai imam kedua belas dan terakhir. Terkadang beliau menghabarkan kalau Mahdi adalah orang putra cucu sayyidah Fatimah Zahro as, dan sesungguhnya dia dari keturunan imam Husain as dan imam ke sembilan yang terlahir dari imam Husain as. Dan anda akan mengetahui nantinya bahwa Rasulullah saw telah memberikan kabar gembira akan datangnya imam Mahdi as pada kesempatan dan kondisi yang banyak serta di pelbagai moment penting. Yang mengindikasikan bahwa pembahasan ini sangatlah urgen dan tidak bias dipandang sebelah mata. Inilah hadis-hadis tentang imam yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan tentunya hanya sebagian saja dari hadis-hadis tersebut yang akan kami bawakan:
  1. Dari Said bin Jubair dari ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya para halifahku dan wasiku serta hujjah-hujjah Allah atas makhluk setelahku adalah dua belas orang, yang pertama dari mereka adalah saudaraku dan yang terakhir dari mereka adalah purtaku. Kemudian di tanyakan: wahai Rasulullah siapakah saudaramu itu? Rasul bersabda: Ali bin Abi Tholib. Ditanyakan: dan siapakah putramu itu? beliau bersabda: dia adalah Mahdi yang akan memenuhinya (memenuhi bumi) dengan keadilan sebagaimana bumi telah telah dipenuhi dengan kezaliman, sumpah demi Zat yang mengutusku kepada manusia dengan kebenaran, seandainya dunia ini tidak tersisa kecuali satu hari maka Allah pasti akan memanjangkan hari itu sampai munculnya putraku Mahdi as, maka akan turun ruh Allah Isa bin Maryam dan akan sholat dibelakangnya, maka bumi akan bersinar dengan cahayanya, dan akan sampai kerajaannya di barat dan di timur [1].
  2. Hudzaifah berkata: Rasulullah saw bersabda: Mahdi adalah putraku yang wajahnya seperti bintang kejora. [2]
  3. Juga dari Hudzaifah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Mahdi adalah putraku yang wajahnya seperti bintang kejora, warana kulitnya seperti warna kulit orang Arab, dan badannya seperti badan orang Israel (Yahudi) yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman, penduduk langit akan rela atas kepemimpinannya, dan begitu juga burung di angkasa, di mana beliau akan memerintah selama dua puluh tahun. [3]
  4. Dari imam Muhammad Bagir bin Ali Zainala Abidin dari ayahnya dari Amiril mu’minin Ali bin Abi Thalib as bersabda: Rasul saw bersabda: Mahdi adalah putraku, dia akan hilang dari pandangan mata (gaib), dunia akan dilanda kebingungan yang dapat menyesatkan manusia, dia akan datang sebagai simpanan atau "sejata andalan" dari  para nabi, maka dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kesesatan. [4]  
  5. Diriwayatkan dari al-Kanduzi al-Hanafi dari Abi Basir dari imam Ja’far Shodiq dari ayahnya dari Amirail mu’minin Ali bin Abi Thalib as bersabda: Rasulullah saw bersabda: Mahdi dari anak cucuku namanya sama dengan namaku, kunyahnya sama dengan kunyahku, dan dialah orang yang paling mirip dengan diriku dari segi penciptaan dan budi-pekerti, dia akan hilang dari pandangan mata (gaib), ummat akan dilanda kebingungan sehingga sesatlah mereka dari agama mereka, maka ketika itu dia akan datang bersinar laksana bintang kejora yang terang benderang, dan akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhinya dengan kesesatan dan kezaliman. [5]
  6. Diriwayatkan dari al-Majlisi dari dari Syeh Mufid dari Abi Ayyub al Ansori berkata: Rasulullah saw bersabda kepada Sayyidah fatimah as (saat beliau terbaring sakit): aku bersumpah demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya sesungguhnya ummatku pasti akan memiliki Mahdi (penyelamat akhir zaman), dan dia akan muncul darimu –alias dari anak cucumu- . [6]
  7. Dari Makhul dari imam Ali bin Abi Thalib as bersabda: aku berkata wahai rasulullah! Apaka Mahdi termasuk dari kita (keluarga Muhammad saw) atau selain dari keluarga kita? Maka Rasulullah saw bersabda: tidak, Mahdi adalah termasuk dari keluarga kita, Allah SWT akan mengakhiri agamanya melalui perantara kita sebagaimana Allah telah membukanya melalui perantara kita, dengan kita mereka terselamatkan dari fitnah atau cobaan sebagaimana mereka juga telah terbebas dari belengu kemusrikan berkat kita, dengan kitalah hati-hati manusia menjadi lunak setelah dialanda kerasnya permusuhan, dengan kitalah manusia yang dulunya bersengketa menjadi saling kasih dalam ikatan persaudaraan. [7]
Sesengguhnya pertanyaan imam Ali as kepada Rasulullah saw dikarenakan masyarakat tidak mengetahuinya, dengan demikian beliau bertanya tentang sesuatu yang telah beliau ketahui dan seakan-akan dia tidak mengetahuinya dan itu untuk suatu tujuan, dan ini termasuk dari pembicaraan yang ada dalam al Quran dan hadist begitu juga dalam percakapan sehari-hari, Allah swt berfirman: apa yang sedang berada di kananmu itu wahai Musa?.
  1. Dari Hisyam bin Salim dari imam Ja’far Shadiq dari ayahnya dari kakeknya as, beliau bersabda: Rasulullah saw bersabada: al-Qoim dari anak cucuku, namanya sama dengan namaku, dan kunyahnya sama dengan kunyahku, perangai dan sopan-santunnya sama dengan diriku, dia menerapkan sunnah yang mirip sunnahku, dia tegakkan agama dan ajaranku di antara manusia, dia mengajak mereka kepada kitab Allah swt, barang siapa yang taat kepadanya maka dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya maka dia telah bermaksiat kepadaku, barang siapa yang mengingkari gaibahnya maka dia telah menginkariku, dan barang siapa yang membohonginya maka dia telah membohongiku, dan barang siapa mempercayainya maka dia telah mempercayaiku, hanya kepada Allah SWT semata aku adukan orang-orang yang membohongiku dalam perkaranya dan orang-orang yang mendustakan perkataanku dan urusannya, dan orang yang menyesatkatkan kaumku dari jalan yang lurus... [8]
  2. Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw bersabda: Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin ummatku, dan penggantiku sepeninggalku, dan dari anak cucunya akan bangkit dan muncul al-Qoim al-Muntadzar yang Allah akan memenuhi bumi dengan keadilan dengannya, sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kesesatan dan kezaliman, aku bersumpah demi dzat yang telah mengutusku kepada manusia: sesungguhnya orang-oarang yang tetap dan berpegang teguh dengan keimanan (pada masa gaibnya), itu sangatlah sedikit sekali. Maka Jabir bin Abdullah al Ansori bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri nabi seraya berkata:” wahai Rasulullah, apakah al-Qoim  yang akan muncul dari anak cucumu itu mengalami masa gaib juga?. Rasulullah saw menjawab: ia sumpah demi tuhan. Wahai Jabir sesungguhnya ini adalah urusan dari urusan-urusan Allah SWT, dan misteri/rahasiaNya, yang tidak dapat diketahui oleh hambanya, maka berhati-hatilah akan keraguan atas urusan Allah SWT, karena hal tersebut  adalah sebuah bentuk kekufuran. [9]
  3. Dari Abi Said al Khadzri (dalam hadistnya yang panjang) berkata: Rasulullah saw bersabda (kepada Sayyidah Fathimah as) : Wahai anakku sesungguhnya kita (Ahlul bait) diberi tujuh sesuatu yang tidak ada seorangpun yang memiliknya:
1.Nabi kita adalah sebaik-baik nabi, dan itu adalah ayahmu.
2.Wasi kita adalah sebaik-baik wasi, dan itu adalah suamimu sendiri.
3.Syahid kita adalah sebaik-baik syuhada’, dan beliau adalah paman ayahmu Hamzah.
4. Hanya dari kitalah yang nantinya di surga dianugerahi dua sayap berwarna hijau, dan itu adalah putra pamanmu Ja’far.
5-6. Dari kita, anak cucu ummat ini bersumber, dan mereka berdua adalah kedua anakmu Hasan dan Husain.
7. Dari kita (demi Allah yang tiada tuhan selain dia) Mahdi yang mana Isa bin Maryam sholat di belakangnya, kemudian mengelus pundak al-Husain seraya berkata: dari dia, beliau mengulangnya sebayak tiga kali. [10] Dalam kitab al-Bayan karya Syafi’i al-Kunji, Rasulullah saw bersabda: dari dialah (al-Husain) Mahdi da penyelamat umat ini.
  1. Dari Jabir bin Abdullah al-Anshori berkata: Rasulullah saw bersabda: Isa bin maryam as akan turun –dari langit- kemudian pemimpin mereka –umat ini- Mahdi berkata: kemarilah shalat  bersama kami / pimpinlah shalat kami, maka nabi Isa menjawab: tidak, sesungguhnya sebagian dari kalian adalah pemimpin dari sebagian yang lain,hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini. [11]
  2. Dalam kitab Faraidus simthain, dari imam Ali Ridho bin Musa dari ayahnya dari kakek beliau as, bersabda: Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang mau berpegang teguh dengan agamaku dan menaiki perahu keselamatan maka hendaklah dia mengikuti Ali bin Bin Thalib as, dan memusuhi para musuhnya, dan mengikuti wali yang diikutinya, sesungguhnya dia adalah wasi dan khalifah  sepeninggalku, baik ketika aku masih hidup atau setelah aku mati kelak, dan dia adalah pemimpin semua orang muslim, dan pemimpin semua orang mukmin setelahku, perkataannya adalah perkataanku, perintahnya adalah perintaku, larangannya adalah laranganku, dan yang mengikutinya berarti dia mengikutiku, dan yang menolongnya berarti dia menolongku, dan yang menghianatinya berarti menghianatiku;
Kemudian Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang berpisah dari Ali as setelahku, dia tidak akan melihatku dan aku juga tidak akan melihatnya di hari kiamat nanti, dan barangsiapa yang berbeda pendapat dengan Ali, maka Allah SWT mengharamkan syurga baginya, dan menjadikan neraka tempat baginya, dan barangsiapa yang menghina Ali as maka Allah akan menghina di hari yang semua gamblang, dan barangsiapa menolong Ali as maka Allah swt akan menolongnya di hari perjumpaan.
Kemudian Rasulullah saw bersabda: Hasan dan Husain as keduanya adalah pemimpin umatku sepeninggal ayah mereka, dan pemimpin pemuda ahli syurga, ibu mereka adalah penghulu wanita dunia, ayah mereka adalah pemimpin para washi, dan dari anak cucu Husain sembilan imam akan muncul, yang kesembilan dari mereka adalah al-Qaim putraku, ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepadaku, dan bermaksiat kepada mereka sama halnya dengan bermaksiat terhadapku.
  1. Rasulullah saw dalam pidatonya di hari Gadir dan di depan 120 ribu umat islam bersabda: “wahai manusia: cahaya itu bersumber dari Allah SWT, yang kemudian berjalan di dalamdiriku, kemudian di Ali, kemudian di anak cucuku dan berakhir di al-Qaim Mahdi as,...[12]
Sebagaimana yang terdapat dalam hadis-hadis yang telah kita sebutkan tadi Rasulullah saw, telah bersumpah demi Dzat Allah, semuanya itu merupakan penguat dari fakta ini dan bentuk pengokohan terhadap topik Mahdawiyah ini, dan rasul tidak hanya melakukan dan mengucapkan itu saja, lebih jauh beliau bersabda:” andai usia dunia tidak tersisa lagi kecuali satu hari saja... hal ini menunjukkan bahwa hal ini pasti akan terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Dan ini merupakan penetapan yang luar biasa kuatnya.
Kita juga telah mengetahui dari beliau bahwa Mahdi as akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah disesaki oleh kezaliman dan kebatilan. Hal ini juga sebuah penguatan akan hal ini, yang mengenai penjelasan lebih lanjut, insya Allah pada kesempatan mendatang.
Adapun penyebutan secara bersama-sama dzulm dan jaur, juga kata adl dan qisth, dapat berarti bahwa dzulm itu berasal kebanyakan umat manusia, sedang jaur dari kalangan terpandang masyarakat atau para pemimpin. Sebagaimana kata adl bisa diartikan sebagai dari para penguasa dan qisth dari masyarakat kebanyakan.
Dan sebelumnya telah kita bawakan bahwa Rasul saw bersabda: kulitnya seperti kulit kaum Arab dan postur tubuh seperti orang yahudi kebanyakan. Perlu diketahui bahwa banyak penduduk negeri Yordania dan Palestina yang memiliki tinggi badan yang lumayan, tidak seperti tinggi badan penduduk Jepang atau China yang rata-rata pendek dan cethol.   

[1] Faraidu Samthain, jild, Bihar juz, 51, halaman 71.
[2] Kanzul ‘umal, juz 7.
[3]Idu durar, bab ke-3.
[4] Faraidu Samthain.
[5] Yanabi’ul mawadah.
[6] Biharul Anwar, juz 51, halaman 67.
[7] Biharul Anwar, juz 51.
[8] Biharul Anwar, juz 51.
[9] Biharul Anwar, juz 51.
[10] Biharul Anwar, juz 51.
[11] Al-‘Arain, Hafiz Abi Nu’aim.
[12] Ihtijaj, karya Thabarsi.

Minggu, 07 Agustus 2016

Imam Syafi'i dan Cinta Ahlul-Bait


Cinta yang banyak meneteskan air mata itu tak sedahsyat cinta mati-nya Imam Syafi'i kepada Ahlul-Bait. Cinta buta sang imam itu telah membuat air mata hatinya semakin deras bercucuran, dan tak henti-hentinya membisikkan "Ooohhh" dalam sanubarinya. 
Cinta penuh misteri itu telah menjadi warisan misterius dari generasi ke generasi. Ia tak dapat dicari bahkan tak mudah dimengerti. Ia hanyalah anugerah termahal bagi mereka yang benar-benar berhati. Tidak dapat dibayangkan, cinta itu mampu menembus seluruh langit sampai ke titik final. Karunia cinta itu mampu menyatukan masa depan dan masa silam dalam satu waktu yang tak lagi mengenal zaman. Limpahan cinta itu laksana musim semi yang menerangi hati. Ia tak lekang oleh panas dan tak lapuh oleh terpaan angin hujan.

Tiada harapan yang terdetak dari sosok Imam Syafi'i melainkan Ahlul-Bait. Harapan tak berujung itu senantiasa bersenandung dan mengibarkan sayapnya, terbang menuju angkasa bersama bintang-bintang yang semakin menyipratkan sinarannya, seraya mengumandangkan "Ooohhh... Ooohhh". Ia tak tahu kata apa yang pantas untuk mengekspresikan rasa yang ada, rasa yang semakin menyala-nyala, rasa yang tak kenal sebabnya, rasa yang dipercikkan oleh tinta beningnya, dan rasa yang terungkap oleh segenggam kebisuannya. Apakah cinta itu suci dan sejati? ataukah hampa dan sekedar ilusi? Setertutup itukah kau, Imam Syafi'i?!

Ketergila-gilaan Imam Syafi'i terhadap Ahlul-Bait telah menjerumuskan sekelompok orang kedalam lubang penyesatan. Tanpa perasaan sedikitpun, kelompok itu menyesatkan (menuduh sesat) Imam Syafi'i dan menggolongkannya dalam komunitas Rafidlah. Sekali lagi, Imam Syafi'i terlanjur gila kepada Ahlul-Bait. Ia hanya merespon mereka dengan sahutan halus namun begitu kencang: "Bila cinta Ahlul-Bait dinilai Rafidhah, maka bersaksilah hai segenap manusia dan jin, bahwa aku bersedia dikatakan Rafidhah !!!". Ia tak perduli nama ataupun merek, karena ia sebatas ingin bercinta dan bercinta.

Di waktu lain, Imam Syafi'i masih saja dianggap berlebihan mencintai Ahlul-Bait. Ia dituduh melakukan sekaligus meneladankan bid'ah. Namun lagi-lagi, ia terlanjur jatuh dan terjatuh, jatuh cinta kepada Ahlul-Bait.
Imam Syafi'i justru membalas: "Bila cinta Ahlul-Bait dinilai bid'ah, maka cukuplah bid'ah itu sebagai bekalku seumur hidup !!!". Di waktu lain pun ia masih bertahan dan bersaksi: "Bila cinta Ahlul-Bait dinilai dosa, maka aku tidak akan pernah bertobat dari dosa itu !!!". 
 
Penulis semakin menganga dan terheran-heran, kiranya pembaca pun demikian. Ada apa dengan cinta Ahlul-Bait?!

Tanda tanya itupun terjawab oleh imam yang sama, imam yang semakin tergila-gila oleh keluarga Baginda. Imam Syafi'i -dengan hati melayang- melantunkan pernyataan sekaligus seruannya: "Hai Ahlul-Bait, mencintaimu adalah kewajiban umat. Itulah ketetapan Allah dalam al-Qur'an-Nya. Cukuplah sebagai tanda keagunganmu; tidak akan pernah diterima sholat seseorang yang enggan berselawat kepadamu !!".

Terlepas dari identitas dan biografi Imam Syafi'i -yang sudah tidak asing lagi di hati-, Ahlul-Bait adalah perahu keselamatan umat. Cinta Ahlul-Bait adalah agama Islam sepenuhnya. Cinta Ahlul-Bait adalah kunci rahmah dan barokah Allah. Cinta Ahlul-Bait adalah segala-galanya! al-Qur'an dan al-Sunnah pun telah dipenuhi pelbagai himbauan dan seruan kepada cinta Ahlul-Bait, tiada lain karena cinta Ahlul-Bait mengandung rahasia dan satu-satunya khasiat yang luar biasa, namun hanya sanggup dirasa oleh sang pecandunya; pecandu yang kenal siapa Ahlul-Bait sebenarnya, pecandu yang cintanya natural tanpa direkayasa, pecandu yang membuktikan cintanya dengan ketaatan yang nyata, pecandu yang mengekspresikan cintanya dengan segala macam cara, pecandu yang beraqidah benar dan tidak melampaui batas-batasnya.

Apakah ada yang disebut sebagai kebenaran mutlak/ kebenaran sejagat?


Untuk memahami kebenaran mutlak atau kebenaran sejagat, kita harus mulai dengan mendefinisikan kebenaran. Menurut kamus, kebenaran adalah “kesesuaian dengan fakta atau kenyataan; sebuah pernyataan yang terbukti atau diterima sebagai benar.” Sesetengah orang akan mengatakan bahawa tidak ada realiti yang sejati, hanya persepsi dan pendapat. Orang lain pula berpendapat bahawa pasti ada realiti atau kebenaran mutlak.

Salah satu pandangan berkata tidak ada kebenaran mutlak yang dapat mentakrifkan realiti. Mereka yang memegang pandangan ini percaya bahawa segala sesuatu adalah relatif kepada sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak akan ada realiti sebenar. Kerana itu, akhirnya tidak ada kemutlakan moral, tidak ada kuasa untuk memutuskan apakah suatu tindakan itu positif atau negatif, benar atau salah. Pandangan ini mengarah kepada "etika situasi" iaitu kepercayaan bahawa apa yang benar atau salah adalah relatif kepada situasi. Kerana itu tidak ada benar atau salah, apa pun yang terasa atau kelihatan benar pada masa itu dalam situasi yang benar. Tentu saja, etika situasi membawa kepada penilaian subjektif, mentaliti dan gaya hidup "apa pun terasa baik" yang mengakibatkan banyak kesan buruk terhadap masyarakat dan individu. Ini adalah postmodernisme, ia mencipta sebuah masyarakat yang menganggap semua nilai, keyakinan, gaya hidup dan tuntutan kebenaran adalah sama-sama sah.

Pandangan lain mengatakan bahawa memang ada realiti mutlak dan piawaian yang mendefinisikan apa yang benar dan apa yang tidak. Oleh kerana itu, tindakan untuk menentukan samada benar atau salah boleh dilakukan dengan ukuran piawaian mutlak yang ada. Jika tidak ada yang mutlak, tidak ada realiti, maka kekacauan akan berlaku. Misalnya, hukum graviti. Kalau ianya bukan suatu yang mutlak, kita tidak yakin boleh berdiri atau duduk di satu tempat sehingga kita memutuskan untuk bergerak. Atau jika dua ditambah dua tidak selalu bersamaan dengan empat, bencana akan berlaku ke atas tamadun dunia. Sains dan hukum-hukum fizik akan menjadi tidak relevan dan perdagangan tidak mungkin dapat dijalankan. Keadaan kacau-bilau akan berlaku! Syukurlah, dua ditambah dua bersamaan dengan empat. Ada kebenaran mutlak dan ianya boleh ditemui dan difahami.

Sama sekali tidak logik untuk membuat kenyataan bahawa tidak ada kebenaran mutlak. Namun, pada hari ini, ramai orang memeluk relativisme budaya yang menolak semua jenis kebenaran mutlak. Soalan yang baik untuk ditanya terhadap orang-orang yang berkata, "Tidak ada kebenaran mutlak" adalah ini: “Adakah anda benar-benar yakin dengan itu?” Sekiranya mereka menjawab “ya”, mereka telah membuat satu kenyataan mutlak — yang mana jawaban mereka sendiri mengatakan bahawa memang wujud perkara yang mutlak. Kenyataan yang mereka katakan bahawa tidak ada kebenaran mutlak merupakan satu-satunya kebenaran mutlak.

Di samping masalah pertentangan-sendiri, ada beberapa masalah logik yang harus diatasi seseorang yang mahu mempercayai bahawa tidak ada kebenaran mutlak. Salah satu daripadanya adalah semua manusia mempunyai pengetahuan dan fikiran yang terhad dan oleh sebab itu secara logik manusia tidak boleh membuat kenyataan-kenyataan negatif yang mutlak. Secara logik seseorang tidak boleh mengatakan, "Tidak ada Tuhan" (walaupun ramai berbuat demikian), kerana dalam rangka untuk membuat kenyataan seperti itu, ia perlu mempunyai pengetahuan mutlak seluruh alam semesta dari awal hingga akhir. Memandangkan itu tidak mungkin berlaku, kenyataan yang paling masuk akal dapat dikatakan sesiapapun juga adalah "Dengan keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, saya tidak percaya ada Tuhan."

Masalah lain dengan penyangkalan terhadap kebenaran mutlak adalah kegagalan untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui sebagai benar dalam hati nurani, dalam pengalaman dan dalam apa yang kita lihat di dunia nyata. Jika tidak ada kebenaran mutlak, maka pada akhirnya tidak ada yang benar atau salah tentang apa pun. Apa yang mungkin "benar" bagi anda tidak bererti itu "benar" juga bagi saya. Manakala pada permukaan relativisme ini kelihatan menarik, maksudnya adalah setiap orang menetapkan peraturan sendiri untuk hidup mengikut dan melakukan apa yang difikirnya benar. Tanpa dapat dielakkan pendirian tentang apa yang benar milik seseorang pasti akan bertembung dengan pendirian orang lain. Apakah yang akan berlaku sekiranya “benar” bagi saya untuk tidak memperdulikan lampu isyarat jalanraya walaupun ianya berwarna merah? Saya akan meletakkan banyak nyawa dalam bahaya. Atau saya mungkin berpikir mencuri dari anda itu betul dan anda berpikir itu salah. Jelas, tanpa piawaian tentang benar dan salah kita akan berada dalam keadaan konflik. Jika tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada piwaian tentang benar dan salah yang kepadanya kita semua perlu bertanggungjawab, maka kita tidak akan dapat diyakinkan tentang apa pun. Orang akan bebas melakukan apa sahaja yang mereka ingin lakukan seperti pembunuhan, memperkosa, mencuri, berbohong, menipu dan tidak ada seorang pun dapat mengatakan perkara-perkara ini sebagai suatu kesalahan. Kita tidak dapat mempunyai kerajaan, tidak ada undang-undang, tidak ada keadilan, kerana tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahawa pihak majoriti mempunyai hak untuk membuat dan menegakkan piawaian-piawaian ke atas pihak minoriti. Sebuah dunia tanpa kemutlakan akan menjadi dunia yang paling mengerikan.

Dari sudut pandangan rohani, relativisme ini akan mengakibatkan kebingungan agama, di mana tidak akan ada satu pun agama yang benar dan tidak ada cara untuk mempunyai hubungan yang benar dengan Tuhan. Oleh kerana itu semua agama adalah salah kerana membuat tuntutan mutlak tentang akhirat. Bukan perkara luarbiasa pada hari ini bagi orang-orang untuk percaya kepada dua agama bertentangan sebagai sama-sama "benar", walaupun kedua-dua agama mendakwa mempunyai satu-satunya jalan ke syurga atau mengajarkan dua "kebenaran" yang saling bertentangan. Orang-orang yang tidak percaya pada kebenaran mutlak mengabaikan tuntutan tersebut dan memeluk universalisme yang lebih bertolak-ansur dan mengajar bahawa semua agama adalah sama dan semua jalan menuju ke syurga. Orang yang menganuti pandangan dunia ini dengan keras menentang orang Kristian Injili yang percaya pada Alkitab yang berkata Yesus adalah "jalan, dan kebenaran, dan hidup" dan bahawa Dia merupakan penyataan kebenaran yang tertinggi dan satu-satunya Jalan bagi seseorang untuk dapat masuk ke syurga (Yohanes 14:6).

Toleransi telah menjadi salah satu nilai murni masyarakat postmodern yang mutlak dan kerananya sikap tidak bertoleransi adalah satu-satunya kejahatan. Setiap dogmatis terutama sekali keyakinan terhadap kebenaran mutlak dipandang sebagai tidak bertoleransi dan itu merupakan dosa terbesar. Mereka yang menolak kebenaran mutlak akan sering berkata anda berhak mempercayai apa yang anda ingin percaya, selagi tidak berusaha memaksa kepercayaan anda ke atas orang lain. Tapi pandangan ini sendiri merupakan sebuah keyakinan mutlak tentang apa yang benar dan salah dan mereka yang memegang pandangan ini jelas sekali mencuba untuk memaksakan pandangan itu ke atas orang lain. Mereka menubuhkan sebuah piawaian perilaku yang mereka tuntut supaya diikuti orang lain, dengan demikian melanggar perkara yang sangat mereka tegakkan.Ini merupakan satu lagi kedudukan yang bertentangan. Mereka yang memegang keyakinan tersebut tidak mahu bertanggungjawab atas tindakan mereka. Jika ada kebenaran mutlak, maka ada piawaian mutlak tentang benar dan salah. Oleh sebab itu kita bertanggungjawab terhadap piawaian-piawaian tersebut. Pertanggungjawaban ini merupakan perkara sebenar yang ditolak oleh mereka yang menolak kebenaran mutlak.

Penolakan kebenaran mutlak dan relativisme budaya yang terhasil olehnya merupakan keputusan logik dari sebuah masyarakat yang telah menerima teori evolusi sebagai penjelasan untuk asal usul kehidupan ini. Jika evolusi naturalistik itu benar, maka kehidupan tidak bermakna, kita tidak bertujuan dan tidak ada kebenaran atau kesalahan mutlak. Manusia kemudian bebas untuk hidup sesuka hati dan tidak bertanggungjawab kepada sesiapa pun untuk tindakannya. Namun, tidak kira berapa ramai orang-orang berdosa menyangkal kewujudan Allah dan kebenaran mutlak, suatu hari nanti mereka masih akan berdiri di hadapan-Nya dalam penghakiman. Alkitab berkata “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh” (Roma 1:19-22).

Adakah terdapat bukti untuk wujudnya kebenaran mutlak? Ya. Pertama terdapat hati nurani manusia, iaitu “sesuatu” kepastian di dalam kita yang berkata dunia ini seharusnya berada dalam keadaan tertentu dan memberitahu kita beberapa perkara sebagai benar dan dan beberapa perkara sebagai salah. Hati nurani kita memberitahu bahawa terdapat sesuatu yang tidak betul dengan penderitaan, kelaparan, pemerkosaan,kesakitan dan kejahatan. Hati nurani membuatkan kita menyedari tentang cinta, kemurahan, belas kasihan dan kedamaian yang merupakan hal-hal positif yang kita harus usahakan. Hal ini berlaku di seluruh dunia dalam semua budaya di sepanjang waktu. Alkitab menjelaskan peranan hati nurani manusia dalam Roma 2:14-16: “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.”

Bukti kedua untuk kewujudan kebenaran mutlak adalah ilmu sains. Ilmu sains adalah usaha mengejar pengetahuan, iaitu pengajian tentang apa yang kita ketahui dan berusaha untuk mengetahui lebih banyak lagi. Oleh kerana itu, semua kajian saintifik perlu didasarkan pada keyakinan bahawa ada realiti objektif yang ada di dunia dan kenyataan ini boleh ditemui dan dibuktikan. Tanpa kemutlakan, apakah yang ada untuk dipelajari? Bagaimanakah kita boleh tahu bahawa penemuan-penemuan ilmu pengetahuan adalah nyata? Bahkan, hukum-hukum sains sangat didasarkan pada wujudnya kebenaran mutlak.

Bukti ketiga kewujudan kebenaran mutlak adalah agama. Semua agama di dunia berusaha untuk memberi makna dan definisi hidup. Mereka lahir dari keinginan manusia untuk sesuatu yang lebih daripada kewujudan yang sederhana ini. Melalui agama, manusia mencari Tuhan, harapan untuk masa depan, pengampunan dosa, keamanan di tengah-tengah perjuangan dan jawapan ke atas soalan-soalan kita yang terdalam. Agama adalah bukti bahawa manusia lebih daripada sekadar haiwan yang tinggi perkembangan evolusinya. Ia adalah bukti untuk tujuan hidup yang lebih tinggi dan adanya Pencipta yang bertujuan dan yang telah menanamkan dalam diri manusia keinginan untuk mengenal Dia. Jikalau memang ada Pencipta, maka Dia menjadi piawaian bagi kebenaran mutlak dan kuasa-Nya telah menetapkan kebenaran itu.

Mujurlah, ada Pencipta dan Dia telah menyatakan kebenaran-Nya kepada kita melalui FirmanNya, iaitu Alkitab. Kita dapat mengetahui kebenaran mutlak hanya melalui hubungan peribadi dengan Dia yang mengaku sebagai Kebenaran iaitu Yesus Kristus. Yesus mengaku sebagai satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup dan tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada Tuhan kalau bukan melalui Dia (Yohanes 14: 6). Fakta bahawa kebenaran mutlak memang wujud mengarahkan kita kepada kebenaran bahawa ada Allah yang berdaulat Pencipta langit dan bumi dan yang telah menyatakan diri-Nya kepada kita, supaya kita dapat mengenal Dia secara peribadi melalui Anak-Nya Yesus Kristus. Inilah kebenaran yang mutlak.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Apa dalilnya shalawât tanpa menyebut “Ali Muhammad” disebut sebagai shalawât yang bunting atau cacat? Mengapa kita dilarang untuk menyampaikan shalawât buntung atau cacat?

 
Apa dalilnya shalawât tanpa menyebut “Ali Muhammad” disebut sebagai shalawât yang bunting atau cacat? Mengapa kita dilarang untuk menyampaikan shalawât buntung atau cacat?
Pertanyaan Disebutkan bahwa apabila seseorang tatkala menyampaikan shalawât dan tidak menyebutkan “Âli Muhammad” maka ia telah melakukan dosa. Saya mengetahui hal ini dari Suyuthi dalam Tafsir-nya yang menukil dari Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah dimana seseorang berkata kepada Rasulullah Saw: Kami mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepada Anda. Namun bagiamana kami menyampaikan shalawât kepada Anda? Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah.. Allâhummah shalli ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrâhim innaka hamidun majîd.. Allâhummah bârik ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kamâ barakta ‘ala Ibrahim wa Âli Ibrahim innaka hamîdun majîd.” Suyuti mengimbuhkan pada hadis ini dengan menukil delapan belas hadis lainnya yang kesemuanya menunjukkan bahwa tatkala bershalawât maka redaksi Âli Muhammad juga harus disertakan. Sesuai nukilan dari Ibnu Hajar dalam Shawâiq, Rasulullah Saw melarang orang-orang beriman untuk menyampaikan shalawât buntung dan cacat yang semata-mata berkata, “Allâhumma shalli ‘ala Muhammad dan menganjurkan bahwa tatkala menyampaikan atau mengirimkan shalat maka katakanlah, “Allahummah shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.” Terdapat banyak riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab riwayat sekaitan dengan masalah ini.
Namun pertanyaan saya adalah bukankah ayat al-Qur’an tidak secara lugas dan tegas menunjukkan atas shalawât kepada Muhammad lalu bagaimana mungkin menyebut nama keluarga (Âli) Muhammad dalam shalat menjadi wajib? Bukankah hal ini merupakan bid’ah dalam agama? Ulama dalam hubungannya dengan penyebutan “asyhadu anna Aliyan waliyullah” dalam azan berkata, “Apabila dimaksudkan untuk menjalankan perbuatan mustahab maka akan memperoleh ganjaran. Dan apabila seseorang menyebutkannya sebagai bagian dari azan maka hal tersebut merupakan hal yang bid’ah dalam agama yang hukumnya haram. Nah, boleh tidak saya memandang shalawât atas keluarga Muhammad (Ali Muhammad) sebagai perbuatan mustahab disebabkan dalil lugasnya ayat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat menyampaikan shalawât kepada nabi. Wahai orang-orang yang beriman sampaikanlah shalawât kepadanya!” Padahal nabi sendiri tidak dapat dimasukkan sebagai Ahlibait dan demikian juga kata gantinya. Pada beberapa tempat lain dalam al-Qur’an, Ahlulbait dapat ditafsirkan dengan ulil amri, imam dan pemimpin, namun nabi tidak dapat disebut sebagai bagian dari Muhammad Saw. Dengan memperhatikan kelugasan dan ketegasan al-Qur’an kita dapat berkata bahwa shalawât atas keluarga Muhammad (Âli Muhammad) tidak termasuk bagian utama shalawât dan harus disebutkan sebagai bagian dari perbuatan mustahab. Dengan demikian, menyebutkan Âli Muhammad dalam shalawât tidak wajib hukumnya. Tolong beberkan jawaban teologis dan filosofis sehubungan dengan masalah ini dan Anda tidak perlu menyebutkan hadis-hadis yang menyinggung tentang shalawât kepada keluarga Muhammad dari riwayat Syiah dan Sunni karena saya mengetahui riwayat-riwayat tersebut.
Jawaban Global
Shalawât atas keluarga Muhammad (Ali Muhammad) dalam shalawât atas Rasulullah Saw tidak hanya bukan bid’ah akan tetapi sejalan dengan al-Qur’an, riwayat, akal dan irfan. Karena:
1.     Makna bid’ah adalah sesuatu yang tidak terdapat dalam agama kemudian dipandang sebagai bagian dari agama. Kami tidak memandang shalawât atas keluarga Muhammad Saw sebagai bidah karena terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah Saw dan Ahlulbait As terkait dengan masalah ini.
2.     Allah Swt memberikan tugas-tugas syariat (taklif) kepada para hamba-Nya dan al-Qur’an menjelaskan secara umum dan global inti kewajiban serta sebagian tipologi dari taklif-taklif tersebut. Namun seluruh hal yang partikular, syarat-syarat dan stipulasi-stipulasinya tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Untuk mengetahui seluruh bagian dan hal-hal yang partikular lainnya kita harus merujuk pada obyek wicara sesungguhnya al-Qur’an dan penafsir hakiki al-Qur’an yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Allah Swt menjadikan Rasulullah Saw sebagai penafsir dan penjelas al-Qur’an. Berdasaran hal ini, tatkala Rasulullah Saw dalam tafsir ayat shalawât bersabda bahwa Âli Muhammad (keluarga Muhammad) harus kalian sertakan dalam shalawât ke atasku; artinya hal ini dipahami dari al-Qur’an.
3.     Al-Qur’an di samping mengandung makna lahir ia juga memiliki makna-makna jeluk batin yang hanya diketahui oleh Nabi Saw dan para Imam Ahlulbait As. Makna lahir redaksi “al-nabi” meski tidak mencakup “Âli Muhammad” secara lahir namun mencakup “Âli Muhammad” berdasarkan makna batin.  
4.     Ayat-ayat al-Qur’an, memandang Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai hakikat yang satu. Di samping itu, masyarakat (urf) dan orang-orang berakal (uqalâ), memandang orang-orang yang satu pikiran dan satu keyakinan sebagai satu hakikat. Dan terdapat banyak riwayat yang menandaskan bahwa Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya adalah cahaya yang satu. Mengingat dalam Irfan, cahaya yang satu ini yaitu Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya disebut sebagai hakikat Muhammadiyah dan keluaran pertama. Dengan perhitungan ini bagaimana mungkin seseorang menyampaikan shalawât ke atas Rasulullah Saw namun tidak mengirimkan shalawât kepada keluarganya (Ahlulbait As)? Dengan kata lain, shalawât atas Ahlulbait As adalah identik dengan shalawât atas Rasulullah Saw dan keduanya mengisahkan satu hakikat dan realitas.
Poin terakhir, bahwa shalawât atas Rasulullah Saw tidak diwajibkan secara mutlak, melainkan pada hal-hal tertentu; misalnya pada tasyahhud shalat yang hukumnya wajib. Akan tetapi ketika ingin menyampaikan shalawât wajib maka menyebut “Âli Muhammad” juga akan menjadi wajib. Dalam hal-hal yang mustahab, menyebut “Ali Muhammad” juga hukumnya mustahab dan tidak menyertakan “Ali Muhammad” akan membuat shalawât yang disampaikan menjadi buntung (batra) dan cacat (nâqish).
Jawaban Detil
Untuk menjelaskan jawaban yang diberikan kiranya kita harus memperhatikan beberapa poin penting sebagai berikut:
1.     Bid’ah; artinya apa yang tidak terdapat dalam agama dijadikan sebagai bagian dari agama. Hal ini telah ditetapkan dan dibuktikan pada pembahasannya sendiri bahwa ucapan dan tindakan Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As adalah bagian dari agama. Karena itu, tatkala Anda berkata bahwa keluarga Muhammad (Âli Muhammad) tidak terdapat dalam al-Qur’an dan menyertakannya dalam shalawât sebagai bid’ah adalah pendapat yang keliru; karena apabila keluarga Muhammad tidak disebutkan dalam al-Qur’an, namun ketika ia dinyatakan dalam beberapa riwayat maka hal itu sudah termasuk bagian dari agama dan tidak akan tergolong sebagai bid’ah. Para juris yang berkata bahwa mengumandangkan syahâdah (kesaksian) atas wilâyah (asyahadu anna ‘Aliyyan waliyullâh, aku bersaksi bahwa sesungguhnya Ali adalah wali Allah) dalam azan apabila tidak dimaksudkan sebagai bagian dari azan maka syahadah ini tidak tergolong sebagai bid’ah dan maksud para fakih adalah bahwa kita memang tidak memiliki sebuah dalil dari agama (ayat-ayat dan riwayat-riwayat) bahwa syahâdah atas wilâyah ini merupakan bagian dari azan.
2.     Taklif-taklif dan tugas-tugas yang telah dibebankan Tuhan bagi manusia seperti bersuci (thaharah), shalat, puasa, haji, jihad, khumus, zakat dan lain sebagainya seluruhnya disebutkan dalam al-Quran. Namun al-Qur’an tidak menjelaskan seluruh hal-hal yang detil dan partikular, syarat-syarat, pelbagai kemestian dan halangan pada ayat-ayatnya, melainkan hanya menjelaskan keharusan dan beberapa bagian serta syarat-syarat dalam bentuk umum dan global. Misalnya inti kewajiban shalat disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa bagian dan syarat-syaratnya; seperti ruku, sujud, bersuci juga telah disinggung dalam al-Qur’an. Namun dzikir ketika ruku dan sujud, bacaan, tasbih arba’ah, qiyam yang bersambung dengan ruku, bagaimana bersuci seperti mandi, berwudhu dan bertayammum dan lain sebagianya tidak dijelaskan secara sempurna dan lengkap dengan pelbagai tipologinya pada satu pun ayat al-Qur’an. Metode kaum Muslimin semenjak awal untuk memperoleh hal-hal yang detil ini datang ke hadapan Rasulullah Saw dan bertanya tentang bagaimana melaksanakan taklif-taklif tersebut dan beramal sesuai dengan apa yang mereka dengarkan dari Rasulullah Saw.
Kaum Muslimin juga melakukan hal yang sama sekaitan dengan shalawât. Pasca turunnya ayat shalawât, “InnalLâha wa malâikatahu yushallûna ‘ala al-nabî yâ ayyuhalladzina âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslimâ[1]  kaum Muslimin datang ke hadapan Rasulullah Saw dan bertanya ihwal bagaimana menyampaikan shalawât atas Nabi Saw. Sebagaimana yang dituturkan dalam banyak riwayat (mutawatir) baik dari kalangan Syiah atau pun dari Sunni, Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kamâ shallaita ‘ala Ibrâhim…”[2] dan dengan demikian kaum Muslimin mengetahui tugas mereka dalam hubungannya dengan shalawât.[3] Dengan kata lain, tatkala Allah Swt menjadikan rasul-Nya sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an,[4] Dia berpandangan bahwa penjelasan dan penafsiran Rasulullah Saw adalah penafsiran-Nya. Dan Rasulullah Saw pada ayat shalawât, “yâ ayyuhalladzina âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslimâ”[5] menafsirkannya dengan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.” Kesimpulannya bahwa shalawât atas Âli Muhammad dipahami dari al-Qur’an itu sendiri.
3.     Al-Qur’an di samping memiliki makna secara lahir juga mengandung makna dalam secara batin yang juga diketahui oleh Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya.[6] Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa shalawât yang menyatakan “Âli Muhammad juga harus kalian sertakan sejatinya tengah menyinggung pada masalah batin al-Qur’an. Artinya meski makna lahir redaksi “al-nabi” tidak mencakup “Âli Muhammad,” namun dari sisi batin, Âli Muhammad tercakup dalam redaksi “al-Nabi pada ayat shalawât.
4.     Dari ayat-ayat al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa Allah Swt memandang Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai satu hakikat tunggal. Sebagai contoh, Anda cermati, ayat tathir, “Innama YuridulLlâh liyudzhiba ‘ankum al-rijs Ahl al-Bait wa yuthahhirakum tathirah.[7] Dari ayat ini Allah Swt menandaskan bahwa Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai satu hakikat tunggal. Ayat mawaddah,Qul la as’alukum ‘alaihi ajran illa al-mawaddah fi al-qurbâ[8] karena ketika Allah Swt menjadikan kecintaan terhadap al-Qurbâ (Ahlulbait) sebagai upah risalah Rasulullah Saw maka terang saja dalam pandangan Allah Swt, keduanya tidak terpisah dari satu dengan yang lain. Atau ayat mubâhala, “Qul ta’âlû nad’u abnâ’anâ wa abnâ’akum wa nisâ’anâ wa nisâ’akum wa anfusanâ wa anfusakum…”[9] sebagaimana yang Anda saksikan, pada ayat ini Baginda Ali As dinyatakan sebagai diri (nafs) Rasulullah Saw dan untuk menjadikan doanya terijabah maka Rasulullah Saw memandang kehadiran lima orang Ali Aba ini sebagai sesuatu yang diperlukan.
5.     Kita memiliki banyak riwayat yang menjelaskan Rasulullah Saw dan Ahlulbait As adalah satu cahaya. Sebagai contoh, silahkan Anda perhatikan riwayat berikut ini, “Aku diciptakan dari cahaya Tuhan dan Ahlulbaitku diciptakan dari cahayaku.”[10]
6.     Para arif juga menyebut esensi-esensi cahaya Rasulullah Saw dan Ahlulbait As sebagai hakikat Muhammadiyah dan keluaran pertama yang merupakan satu hakikat dan memiliki ragam jelmaan dan manifestasi.
7.     Dalam pandangan masyarakat (urf) dan orang-orang berakal (uqalâ), memandang orang-orang yang satu pikiran dan satu keyakinan, tiada pertentangan dan perbedaan pemikiran dan perbutan sebagai satu hakikat dan melihat mereka dengan satu perspektif.
Kesimpulannya adalah bahwa menyertakan shalawât atas Ahlulbait As dalam shalawât atas Nabi Saw tidak hanya bukan bid’ah melainkan sejalan dan selaras dengan al-Qur’an itu sendiri dan terdapat banyak riwayat, akal dan kebiasaan orang-orang berakal memandang bahwa shalawât atas Ahlulbait As adalah identik dengan shalawât atas Nabi Saw dan keduanya menceritakan tentang satu realitas.
Poin terakhir, bahwa shalawât atas Rasulullah Saw tidak diwajibkan secara mutlak, melainkan pada hal-hal tertentu; misalnya pada tasyahhud shalat yang hukumnya wajib. Akan tetapi ketika ingin menyampaikan shalawât wajib maka menyebut “Ali Muhammad” juga akan menjadi wajib.[11] Dalam hal-hal yang mustahab, menyebut “Ali Muhammad” juga hukumnya mustahab dan tidak menyertakan “Ali Muhammad” akan membuat shalawât yang disampaikan menjadi buntung (batra) dan cacat (nâqish). [IQuest]


[1]. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:56)
[2]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 419.  
[3]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat indeks: Al-Shalat ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad, Pertanyaan No. 482.  
[4].  “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7)
[5]. “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:56) 
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 90-95.  
[7].  “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:33)
[8]. Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. Syura [42]:23) 
[9]. “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Qs. Ali Imran [3]:61) 
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 15, hal. 20.  
[11]. Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 143, al-Qaul fi al-Tasyahhud, Masalah 1.