Rabu, 03 Agustus 2016

HADITS-HADITS TENTANG NASAB IMAM MAHDI (A.S.


Siapa Imam Mahdi Yang Dimaksud? 

Pada bagian yang lalu, telah kami jelaskan bagaimana kaum muslimin sepakat dalam kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi di akhir zaman melalui hadits-hadits mutawatir yang membawa kabar gembira dari Nabi saw ini. Dari sinilah, seorang insan muslim akan bertanya-tanya dalam dirinya dan mengatakan:
“Jika hadits-hadits yang menerangkan Imam Mahdi dan kedatangannya di akhir zaman memiliki tingkat kejelasan dan keotentikan yang sedemikian rupa, sehingga para ulama Islam menegaskan akan kesahihan dan kemutawatirannya, mengapa terdapat juga sebagian riwayat yang berlainan dalam menyebut nasab Al Mahdi yang saling berlawanan dan bertentangan? Jadi, siapakah Imam Mahdi tersebut? Melalui riwayat-riwayat yang bertentangan tersebut, dapatkah kita mengenalinya sehingga tidak ragu lagi dalam memberikan gelar Al Mahdi kepada pemilik aslinya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus kami jelaskan poin-poin yang menjadi perintang jalan bagi sebagian orang dalam mengidentifikasikan nasab dan silsilah keturunan Imam Mahdi, walaupun mereka meyakini akan kedatangannya di akhir zaman. Di sini perlu kita tekankan -sebelum menjelaskan poin-poin tersebut- bahwa mereka yang meyakini dengan kuat kemunculan Imam Mahdi, sedangkan sosok Mahdi tersebut tidak atau belum jelas baginya, ibarat orang yang yakin akan kewajiban shalat, tapi tidak mengetahui rukun-rukunnya. Dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang menunaikan shalat. Demikian juga keadaan orang yang menanti sosak Al Mahdi yang tidak diketahuinya, hal ini akan kami jelaskan nanti.
Bagaimanapun juga, jawaban dari semua persoalan yang ada berkenaan dengan nasab Imam Mahdi terdapat di bagian ini, karenanya jika pembaca yang budiman mau bersama-sama kami sampai di akhir, akan mendapatkan sebagian besar jawaban dari pertanyaan siapakah Mahdi yang dijanjikan, yang ditunggu-tunggu itu? Kami berjanji untuk tidak mengikutkan keyakinan pribadi dalam kajian ini, sehingga tidak menghakimi sendiri dalil-dalil yang ada, selama kebenaran adalah tujuan kita, baik kebenaran itu ada pada kita atau ada pada orang lain. Karena orang yang berakal adalah orang yang tidak memusuhi kebenaran. Bila pembaca memperhatikan dengan cermat apa yang kami katakan, akan dapat menyaksikan kejujuran dan ketulusan kami dalam mengkaji poin-poin identifikasi nasab Imam Mahdi dalam bahasan-bahasan mendatang.
Yang kami maksud dengan poin-poin identifikasi hadits-hadits Al Mahdi adalah hadits-hadits yang seakan-akan bertentangan satu sama lain, yang bagi kebanyakan orang-khususnya mereka yang tidak secara langsung terjun dalam bidang ilmu hadits - sulit  untuk dipecahkan. Hal ini mempermudah  jatuhnya mereka yang beriman lemah ke dalam jurang pengingkaran akan Al Mahdi, baik mereka itu orang Islam maupun yang memang secara terang-terangan memusuhi Islam.
 

HADITS-HADITS TENTANG NASAB BELIAU

 
Hadits-hadits sahih yang menerangkan nasab Imam Mahdi as dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yang mempunyai satu makna dan tidak saling bertentangan, juga bukan hambatan untuk mengidentifikasi nasab beliau seperti yang akan kita kaji, sebagai berikut:

Al Mahdi dari Kinanah, Suku Quraisy, Bani Hasyim

Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar dan Hakim dalam Mustadrak meriwayatkan hadits yang menyebutkan nasab Imam Mahdi sampai ke Kinanah, lalu Quraisy dan Bani Hasyim.
Hadits riwayat Qatadah dari Sa’id Bin Musayyib. Qatadah berkata, “Saya bertanya kepada Sa’id Bin Musayyib “Apakah Janji tentang Al Mahdi itu haq ?”. Dia menjawab “Ya, haq.” Lalu saya bertanya, “Dari keturunan siapakah dia?” Jawabnya: “Dari Kinanah.” Tanyaku lagi, “Lalu dari keturunan siapa?” “Dari Quraisy dari Bani Hasyim,” jawabnya.
Lalu Muqaddasi mengatakan, “Hadits ini juga dinukil oleh Imam Abu Umar Usman Bin Said Muqri dalam Sunannya. Diapun meriwayatkan hadits yang seperti ini dengan redaksi yang berlainan, juga dari Qatadah dari Said Bin Musayyib.”
Lalu katanya, “Imam Abul Husein Ahmad Bin Jafar Manawi dan Imam Abu Abdillah Nuaim Bin Hammad juga mengeluarkan hadits ini.”[1]
Sekilas hadits ini terasa bertentangan isinya, karena menyebutkan nasab Imam Mahdi pertama dari Kinanah, lalu Quraisy dan terakhir bani Hasyim. Jawabnya adalah tidak ada pertentangan sama sekali dalam hadits ini. Karena setiap orang bani Hasyim juga orang Quraisy. Dan setiap orang Quraisy pasti orang dari Kinanah, karena menurut para pakar nasab, Quraisy adalah nama lain dari Nadhr Bin Kinanah.

Al Mahdi dari keturunan Abdul Mutthalib

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya dengan sanad yang sampai kepada Anas Bin Malik, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,:
نحن ولد عبد المطلب سادة اهل الجنة انا وحمزة وعلي وجعفر والحسن والحسين والمهدي
“Kami putra keluarga Abdul Mutthalib, penghulu ahli surga. Aku, Hamzah, Ali, Ja’far, Hasan, Husein,  dan  Mahdi.”[2]
Dalam kitab ‘Iqd Al Durar diriwayatkan dengan redaksi seperti berikut:
نحن سبعة بنو عبد المطلب سادات اهل الجنة انا واخي علي وعمي حمزة وجعفر والحسن  الحسين  المهدي
“Kami tujuh orang  dari keturunan Abdul Mutthalib penghulu ahli surga. Aku, saudaraku Ali,  pamanku Hamzah, Ja’far, Hasan, Husein dan Mahdi.”
Kemudian berkata bahwa hadits  ini dikeluarkan juga oleh sekelompok ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka diantaranya : Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid Bin Majah Qazwini dalam sunannya, Abul Qasim Thabarani dalam Mu’jamnya, Al-Hafidz Abu Nu’aim Al Isfahani dan lainnya.[3]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya bahkan mengkhususkannya,[4] karena semua menyatakan bahwa kakek Nabi, Abdul Mutthalib adalah putera Hasyim juga. Kesimpulannya, Imam Mahdi adalah dari keturunan Abdul Mutthalib Bin Hasyim dari Quraisy dan Kinanah.

 

Al Mahdi Dari Keturunan Abu Thalib

Hadits ini dinukil oleh Syekh Mufid dalam kitab Al Irsyad dan Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar, beliau mengatakan bahwa Nu’aim Bin Hammad meriwayatkan di kitab Al Fitan. Hadits ini adalah riwayat Saif Bin Umairah, dia berkata, “Ketika saya sedang berada di tempat khalifah Abu Ja’far Al Mansur, tiba-tiba dia mengatakan , “Wahai Saif Bin Umairah ! Akan terjadi pada suatu hari nanti, panggilan dari langit yang memanggil nama seorang dari keturunan Abu Thalib”. Saya bertanya, “Jiwaku untukmu wahai Amirul Mukminin, apakah benar Anda meriwayatkannya?” Dia menjawab, “Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, saya mendengar sendiri hadits ini dengan kedua telingaku.” Saya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya belum pernah mendengarnya sebelum ini.” Beliau berkata, “Wahai Saif, ini adalah suatu kebenaran.”
“Bila mana itu terjadi, kami orang yang pertama-tama yang akan menjawabnya. Sungguh panggilan langit itu ditujukan kepada seorang dari keturunan paman kami Abu Thalib”. “Apakah dia cucu dari Fatimah,” tanyaku. Jawabnya, “Ya, wahai Saif. Jika hadits ini tidak aku dengar sendiri dari Abu Ja’far Muhammad Bin Ali tidak mungkin aku akan menerima dan mengiyakannya walaupun seluruh penghuni bumi ini menyatakannya kepadaku. Tapi hadits ini aku dengar sendiri dari Muhammad Bin Ali (Imam Baqir as).”[5]
Hadits ini mengkhususkan lagi hadits sebelumnya. Karena setiap keturunan Abu Thalib pastilah ia juga keturunan ayahnya, Abdul Mutthalib.
Tanpa melihat kalimat di dalam hadits ini yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Fatimah as -hal yang akan kita bahas nanti-, sampai di sini kita telah dapat mengambil kesimpulan bahwa Al Mahdi yang kedatangannya di akhir zaman dan menjadi kabar gembira adalah seorang dari keturunan Abu Thalib Bin Abdul Mutthalib Bin Hasyim Quraisyi Kinaniy.

Al Mahdi Dari Keturunan Abbas

Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits semacam inilah yang menjadi problem dalam pengidentifikasian nasab Imam Mahdi, sebab anak cucu dari Abbas bukan keturunan Abu Thalib. Karenanya, hadits-hadits ini perlu untuk kita kaji. Kita katakan bahwa hadits-hadits yang memiliki makna di atas dapat di bagi menjadi dua kategori.

Pertama, hadits-hadits umum.

Bagian pertama dari dua kategori ini adalah hadits-hadits yang menyebutkan istilah bendera. Di antaranya, yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Tsauban dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda:
اذا رأيتم الرايات السود قد اقبلت من خراسان فأتوها ولو حبوا على الثلج فان فيها خليفة الله المهدي
"Jika kalian melihat bendera-bendera hitam berkibar dari arah Khurasan, sambutlah ia walaupun harus merangkak di atas salju, karena di sanalah Al Mahdi, Khalifah Allah.”[6]
Ibnu Majah meriwayatkan juga hadits yang demikian dengan sanad yang tidak jauh berbeda.[7]
Sebagaimana juga Tirmidzi dengan sanadnya dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,
تخرج من خراسان الرايات السود فلا يردها شيء حتى تنصب بإيلياء
“Dari arah Khurasan kelak  akan berkibar panji-panji hitam. Tak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi lajunya sehingga sampai di Iliya’.”[8]
Hadits-hadits ini, walaupun tidak dengan jelas mengatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Abbas, akan tetapi dapat dipahami bahwa hadits ini memiliki makna yang demikian. Dengan penjelasan sebagai berikut: Maksud dari panji-panji hitam di atas adalah panji-panji yang dikibarkan oleh Abu Muslim Khurasani dari Khurasan yang menjadi batu pertama Kekhalifahan bani Abbas.

Dhaifnya Hadits di Atas

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Majah dalam Sunannya di atas, menurut sebagian ulama adalah hadits dhaif. Di antara mereka yang memiliki keyakinan tersebut  adalah Ibnul Qayyim. Dalam kitabnya Al Manarul Munif mengatakan’ “Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini dan hadits sebelumnya  sama sekali tidak menunjukkan bahwa Khalifah Mahdi Abbasi adalah Imam Mahdi yang akan datang di akhir zaman.”[9]
Salah satu buktinya adalah bahwa khalifah Mahdi Abbasi meninggal dunia pada tahun 169 H, di mana dalam masa khilafahnya banyak wanita yang ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan. Thabari mengatakan bahwa Khaizaran istri khalifah Mahdi Abbasi memiliki campur tangan dalam pemerintahan. Bahkan di masa khilafah anaknya Hadi Abbasi,[10] puncak pemerintahan ada di tangannya. Figur dengan keadaan yang demikian, layakkah disebut sebagai khalifah Allah di muka bumi?”
Selain itu, Mahdi Abbasi, maupun seluruh khalifah bani Abbas, semuanya hidup bukan di akhir zaman. Tidak seorangpun dari mereka yang memberikan harta tanpa menghitung jumlahnya. Tak seorangpun dibai’at di antara Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Tak ada pula yang membunuh Dajjal. Nabi Isapun tidak turun dan melaksanakan shalat di belakang Mahdi Abbasi. Tanah Baida’ juga tidak menelan tentara Sufyani di zaman mereka, dan tidak ada satupun tanda dari tanda-tanda kedatangan Al Mahdi yang terjadi di zaman mereka.
Adapun tentang hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Katsir telah mencapnya sebagai hadits gharib, beliau mengatakan “Panji-panji yang dimaksud oleh hadits ini bukanlah bendera yang dikibarkan oleh Abu Muslim Khurasani untuk menumpas habis kekuasaan bani Umayyah pada tahun 132 H. Akan tetapi yang dimaksud adalah panji-panji lain yang dibawa oleh Al Mahdi...yaitu Imam Mahdi yang terpuji dan dijanjikan kedatangannya di akhir zaman, di mana kemunculan dan kebangkitannya dimulai dari arah timur.”[11]
Tidak mustahil jika dikatakan bahwa para juru dakwah dan muballigh bayaran Bani Abbas telah memanipulasi hadits-hadits semacam ini untuk menguatkan posisi tuan-tuan mereka, sebagaimana mereka juga telah membuat hadits-hadits palsu yang dengan jelas menunjuk ke makna ini, seperti yang akan kita bahas sebentar lagi. Kemungkinan inilah yang dapat kita simpulkan. Karena jika tidak sangatlah sulit bagi kita untuk mengingkari hadits tentang bendera hitam yang menunjukkan keluarnya tentara Imam Mahdi dari arah timur. Sebab hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur dan Hakim sendiri mengatakan bahwa sebagiannya adalah hadits yang sahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.[12]

Kedua, Hadits-Hadits rinci.

1. Hadits
المهدي من ولد العباس عمي
 “Imam Mahdi dari keturunan pamanku, Abbas.”
Suyuthi menukil hadits ini dalam kitab Jami’ Al Shaghir, seraya mengatakan bahwa hadits ini dhaif.[13] Munawi Syafi’i dalam Faidh Al Ghadir mengatakan bahwa Daruquthni meriwayatkannya dalam Al Ifrad. Ibnul Jauzi berkata “Di dalam sanadnya terdapat Muhammad Bin Walid Muqhri yang menurut Ibnu ‘Addy adalah orang yang gemar membuat hadits palsu dan dusta serta suka mengubah-ubah dan mengganti sanad dan teks hadits sekehendaknya.” Ibnu Abi Ma’syar menyifatinya sebagai pembohong. Samhudi mengatakan bahwa hadits-hadits sebelum dan sesudah hadits ini adalah hadits shahih, hanya saja di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad Bin Walid yang suka membuat hadits palsu.”[14]
Suyuthi juga mendhaifkannya dalam Al-Hawi. Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab Al Shawaiqnya, Shabban dalam Is’af dan Abul Faidl dalam Ibraz Al Wahm Al Maknun. Mereka semuanya dengan tegas menyatakan bahwa hadits ini palsu.[15]

2. Hadits riwayat Ibnu Umar:

رجل يخرج من ولد العباس    
“ Seseorang dari keturunan Abbas.”
Hadits ini diriwayatakan dalam kitab Kharidat Al ‘Ajaib secara mursal dari Ibnu Umar yang berarti ucapan Ibnu Umar sendiri.[16] Hadits ini selain mursal, yang menjatuhkannya dari posisi argumentasi, juga tidak secara jelas menyebutkan bahwa dia adalah Mahdi. Karena itu hadits ini lebih layak jika dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu hadits -hadits yang hanya secara global menunjuk arti ini, walaupun hadits ini menyebutkan nama Abbas
3. Hadits riwayat Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada paman beliau, Abbas:
 إن الله ابتدأ بي الإسلام وسيختمه بغلام من ولدك وهو الذي يتقدم عيسى بن  مريم
“Allah swt telah membuka Islam denganku. Dialah yang akan mengakhirinya dengan seorang dari keturunanmu. Dialah yang akan menjadi imam sedangkan Isa putera Maryam menjadi makmumnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Khatib Baghdadi dalam Tarikhnya. Di dalam sanadnya terdapat Muhammad Bin Mukhalid[17] yang didhaifkan oleh Dzahabi, yang keheranan ketika melihat Khatib tidak menyatakannya sebagai hadits yang dhaif. Beliau berkata “Khatib meriwayatkannya dari Muhammad Bin Mukhalid Al ’Aththar, yang menjadikan riwayat ini cacat. Sungguh aneh Khatib menyebutkan hadits ini dalam Tarikhnya tanpa mendhaifkannya. Sepertinya dia tidak berkomentar karena keadaan orang tersebut sudah maklum bagi semua orang.”[18]
4. Hadits riwayat Ummul Fadl, dari Nabi saw, beliau bersabda:
يا عباس إذا كانت سنة خمس وثلاثين ومائة فهي لك ولولدك منهم السفاح ومنهم المنصور ومنهم المهدي
“Wahai Abbas, Jika tahun 135 H  tiba,kekuasaan ada di tangan anak cucumu. Dari mereka ada yang dikenal dengan Saffah, Mansur dan Mahdi.”
Hadits ini juga dinukil oleh Khatib dan Ibnu Asakir dari Ummul Fadl.[19]
Dzahabi berkata tentang hadits ini, “ Di dalam sanadnya terdapat Ahmad Bin Rasyid Hilali dari Said Bin Khaitsam. Riwayat yang tidak benar dalam menyebutkan bani Abbas dari riwayat Khaitsam dari Handzalah -sampai pada pernyataannya ketika menyebut Ahmad Bin Rasyid Hilali- dialah yang memalsukan hadits ini dengan kebodohannya.”[20]
Dzahabi menyinggung soal kebodohan Ahmad Bin Rasyid dalam memalsukan hadits ini, sebab kekuasaan bani Abbas dimulai pada tahun 132 H, bukan tahun 135 H, seperti yang disepakati oleh seluruh ahli sejarah. Dan ini menunjukkan kebodohan si pemalsu hadits ini akan permulaan kekuasaan Bani Abbas
5. Persis hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Suyuthi dari Ibnu Abbas dalam kitab Al la’al Al Mashnu’ah fi Al Ahadits Al Maudlu’ah, tokoh yang menjadikannya cacat adalah Al Qilabi.[21] Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wa Al Nihayah menukilnya dari riwayat Dhahhak dari Ibnu Abbas dan mengatakan “Sanad hadits ini dhaif, karena Dhahhak, menurut pendapat yang benar, tidak pernah mendengar satu haditspun dari Ibnu Abbas Jadi sanad ini terputus.”[22]
Hakim juga meriwayatkannya dari jalur lain yang di dalamnya terdapat nama Ismail Bin Ibrahim Muhajir.[23] Abul Faidl Ghimari Syafi’imenyebutkan dari Dzahabi bahwa Ismail Bin Ibrahim adalah sosok yang disepakati sebagai orang yang dhaif dalam hadits, walaupun ayahnya tidak demikian.[24]
Hadits-hadits inilah yang menyulitkan dan memBingungkan sebagian orang untuk mengetahui identitas Imam Mahdi yang sebenarnya.
Melalui pembahasan yang lalu kita telah sampai pada kesimpulan bahwa Imam Mahdi adalah dari keturunan Abu Thalib. Inilah silsilah beliau yang sesungguhnya. Karena hadits-hadits yang menyatakan bahwa beliau keturunan Abbas adalah  hadits-hadits palsu. Di samping itu hadits tentang bendera hitam dari Khurasan sama sekali tidak mempengaruhi hasil yang telah kita capai. Pada pembahasan mendatang, ketika membicarakan tentang kelompok hadits-hadits Al Mahdi lainnya, masalah akan menjadi bertambah jelas, bahwa beliau bukan dari keturunan Abbas

Al Mahdi Dari Keturunan Ali as

Abu Thalib mempunyai lebih dari seorang putera. Karenanya terdapat beberapa hadits yang mengkhususkan keturunan Amirul Mu’minin Ali as dari anak-anak beliau yang lain, bahwa Al Mahdi dari keturunan Ali as Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah perkataan Ali as sendiri,. Beliau berkata:
هو رجل مني
“Al Mahdi adalah keturunanku.”[25]
Semua orang tahu bahwa Amirul Mukminin memiliki anak lebih dari satu, dan untuk mengetahui dari anak beliau yang manakah Al Mahdi, merupakan pekerjaan sulit. Tapi karena banyaknya hadits-hadits yang yang menyebutkan nasab Al Mahdi dan dinyatakan sebagai hadits yang sahih bahkan mutawatir oleh para ulama adalah hadits yang menyebutkan bahwa Al Mahdi dari Ahli Bait, dari Ithrah dan dari keturunan Nabi saw, maka pekerjaan kita ini lebih mudah. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa gelar Ahli Bait, ithrah maupun cucu Nabi saw hanya tepat untuk disandang keturunan Amirul Mukminin dari istri beliau Fatimah Zahra’ as. Contoh hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

Al Mahdi Dari Ahli Bait as

1 . تنقضي الأيام ولا يذهب الدهر حتى يملك العرب رجل من اهل بيتي اسمه يواطئ اسمي  
“Hari tidak akan habis dan masa tidak akan selesai, sampai seluruh Arab dikuasai oleh seorang dari Ahli Baitku, yang namanya sama dengan namaku.”
Hadits ini dinukil oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Ibnu Mas’ud dengan beberapa jalur. Juga dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir. Tirmidzi dan Kunji Syafi’i mensahihkannya, sedangkan Baghawi menganggapnya sebagai hadits hasan.[26]
2.  لو لم يبق من الدهر إلا يوم لبعث الله رجلا من اهل البيت يملأها عدلا كما ملئت جورا
"Jika hari kiamat sudah dekat, niscaya Allah akan mengutus seorang dari Ahli Bait yang memenuhi  bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits riwayat Imam Ali as dari Rasulullah ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, juga Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud dan Baihaqi.  Thabarsi dalam Majma’ Al Bayan menyebutkan bahwa seluruh kaum muslimin baik dari Syi’ah maupun Ahli Sunnah mengakui kebenaran riwayat ini.[27] Abul Faidl Ghimari ketika menyifati hadits ini mengatakan, “Hadits ini tanpa diragukan lagi adalah hadits yang sahih.”[28]
3. لا تقوم الساعة حتى يلي رجل من اهل بيتي يواطئ اسمه اسمي          
“Hari kiamat tidak akan datang sampai seorang dari Ahli baitku yang memiliki nama seperti namaku, memerintah dunia ini.”
Hadits ini dinukil oleh Ahmad, Tirmidzi dan Thabrani dari beberapa jalur. Juga Kunji Syafi’i yang telah mensahihkannya dan Syekh Thusi dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah saw. Sedangkan Abu Ya’la mengeluarkannya dalam Musnad beliau dari riwayat Abu Hurairah.[29] Dalam kitab Al Durr Al Mantsur disebutkan bahwa Tirmidzi menukil hadits ini dari Abu Hurairah dan menyatakanya sebagai hadits sahih.[30]
4 .المهدي منا اهل البيت اشم الأنف اجلى الحبهة يملأ الأرض قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا
“Al Mahdi adalah seorang dari kami Ahli Bait. Seorang yang mulia dan berparas tampan. Dialah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id Khudri dari Nabi saw dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq. Hakim mensahihkannya sesuai dengan syarat Muslim dan Arbili menukilnya dalam  Kasyf Al Ghummah.[31]

Al Mahdi dari keturunan Rasulullah

Banyak hadits yang diriwayatkan dengan makna demikian, tapi kita hanya menyebutkan satu saja, yaitu riwayat Abu Said Khudri  dari Nabi saw, beliau bersabda:
لا تقوم الساعة حتى تملأ  الارض ظلما وعدوانا ثم يخرج رجل من عترتي ومن اهل بيتي -الترديد في الراوي- يملؤها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا
"Hari kiamat tidak akan datang sampai dunia dipenuhi oleh kezaliman dan permusuhan. Setelah itu seorang dari ‘itrah atau Ahli Baitku -perawi ragu akan kepastian satu dari dua kata tersebut- yang akan memenuhinya dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim seraya menegaskan kesahihannya dan Shafi dalam Muntakhabul Atsar.[32] Abul Faidh Ghimari Syafi’i -setelah mempelajari dengan cukup cermat jalur-jalur riwayat dan perawi-perawi hadits ini- mengatakan, “Hadits ini sahih, sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim seperti yang dinyatakan oleh Hakim.”[33]

Al Mahdi adalah cucu Nabi saw

1. Hadits riwayat Abu Said Khudri dari Nabi saw, beliau bersabda:
المهدي مني اجلى الجبهة افتى الانف يملا الارض قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا يملك سبع سنين.
"Al Mahdi adalah cucuku, berdahi lebar dan berhidung mancung. Dialah yag akan memenuhi dunia ini dengan keadilan setelah penuh dengan kezaliman.”
Hadits ini diriwayatkan sahih oleh Hakim sesuai dengan syarat-syarat Muslim, begitu juga Kunji Syafi’i, Suyuthi, Syekh Mansur Ali Nasif dalam Al Taj Al Jami’ Li Al Ushul dan Abul Faidl.[34] Sedangkan Baghawi menganggapnya hasan. Menurut Ibnul Qayyim sanad hadits ini bagus.[35] Riwayat Abu Said ini dikeluarkan oleh Abu Daud, Abdur Razzaq, Khattabi dalam Ma’alim Al Sunan, dari kalangan Syi’ah oleh Sayid Bin Thawus dan Ibnu Bithriq.[36]
2. Hadits riwayat Amirul mukminin as dari Rasulullah saw, Beliau bersabda:
المهدي من ولدي تكون له غيبة وحيدة تضل فيها الامم ياتي بذخيرة الانبياء (ع) يملؤها عدلا وقسطا كما ملئت جورا وظلما
"Al Mahdi adalah seorang dari keturunanku, kehidupannya akan diwarnai dengan kegaiban yang menyebabkan kebimbangan sehingga banyak umat yang sesat karenanya. Dia akan datang dengan membawa peninggalan para Nabi as untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits ini dinukil oleh Syekh Shaduq dalam Kamal Al Din. Juwaini berhujjah dengan hadits ini dalam Faraid Al Simthain, juga Qunduzi Hanafi dalam Yanabi’Al Mawaddah.[37]
Dengan demikian jelaslah bahwa Al Mahdi adalah keturunan Imam Ali as dari isteri beliau Fatimah as. Di samping itu, terdapat pula hadits-hadits yang menerangkan hal ini dengan jelas, seperti berikut ini.

 

Al Mahdi Dari Keturunan Fatimah as

المهدي حق وهومن ولد فاطمة
“Berita tentang Al Mahdi merupakan suatu kebenaran yang pasti. Dia dari keturunan Fatimah as”
Hadits ini diriwayatkan dari Ummu Salamah oleh Abu Daud, Ibnu Majah , Thabrani, Hakim dari dua jalur. Empat orang ulama Ahli Sunnah menukil hadits tersebut dari Sahih Muslim.[38] Sedangkan beberapa ulama lain meyakini akan keshahihan sanadnya bahkan sebagian menegaskan akan kemutawatirannya.[39]
Nu’aim Bin Hammad mengeluarkan riwayat dari Imam Ali as beliau berkata:
المهدي رجل منا من ولد فاطمة
“Al Mahdi seorang dari kami, dari keturunan Fatimah as.”[40]
Juga dari Zuhri[41] dan Kaab[42]:
المهدي من ولد فاطمة
 “Al Mahdi dari keturunan Fatimah.”
Di samping riwayat di atas, ada sebuah riwayat yang mengumpulkan sebagian besar hadits-hadits yang telah kita pelajari. Hadits yang diriwayatkan oleh Qatadah tersebut telah kita nukil -permulaannya- ketika menyebutkan bahwa Imam Mahdi as adalah dari Bani Hasyim dan dari Quraisy.
Qatadah bertanya kepada Said Bin Musayyib, “Apakah Imam Mahdi benar-benar ada ?” “Ya, itu merupakan kebenaran yang tidak dapat dipungkiri.” Dari keluarga manakah dia? Tanyaku.” “Dari Quraisy,” jawabnya. Aku bertanya lagi, “Dari keturunan siapakah dia?” Dia menjawab, “Dari Bani Hasyim”. Tanyaku lagi, “Dari Bani Hasyim yang mana ?” Dia menjawab, “Dari keturunan Abdul Mutthalib.” “Dari anak Abdul Mutthalib yang manakah ? tanyaku. “Dari keturunan Fatimah” jawabnya.”[43]
Walaupun kita telah mendekati hasil dalam mencari jawaban dari pertanyaan “siapakah Mahdi yang dijanjikan dan dinanti itu?, akan tetapi perjalanan studi kita tidak terlalu mulus. Sebab untuk mengetahui dengan jelas dan pasti, nasab keturunan Imam Mahdi, kita harus tahu dari putra  Fatimah yang manakah silsilah beliau tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Fatimah as memiliki dua orang putra Imam Hasan as dan Imam Husein as
Karena  itu ada tiga alternatif yag dapat kita ambil di sini:
Pertama, bahwa Imam Mahdi dari keturunan Imam Hasan as.
Kedua, bahwa Imam Mahdi dari keturunan Imam Husein as.
Ketiga, bahwa Imam Mahdi dari keturunan keduanya..
Untuk mengetahui apakah alternatif ketiga dapat diterima atau tidak, kita cukup melihat hasil dari kajian terhadap dua alternatif lainnya, melalui hadits-hadits yang ada.
Adapun, kemungkinan adanya alternatif keempat yaitu, Al Mahdi dari selain Imam Hasan dan Imam Husein as  adalah kemungkinan yang batil dan tidak masuk akal. Karena hadits-hadits sahih dan mutawatir menyatakan bahwa Al Mahdi dari Ahli Bait dan dari keturunan Fatimah as.
Oleh sebab itu, kajian ini hanya akan kita fokuskan pada dua alternatif pertama. Tapi sebelumnya, perlu kita ingatkan bahwa, jika alternatif pertama tidak benar dan tidak dapat diterima, kita tidak lagi membutuhkan dalil pembenaran alternatif kedua karena sudah pasti benar. Dan itulah yang kita yakini kebenarannya dan sesuai dengan realita. Sebab tidak mungkin kedua alternatif di atas sama-sama tidak benar. Dan itulah, kita berusaha mendapatkan dalil-dalil yang dapat menguatkan dan mendukung kebenaran alternatif pertama.

Al Mahdi Dari Keturunan Imam Hasan as

Dalam kitab-kitab Ahli sunnah, saya tidak menemukan hadits yang mengatakan bahwa Imam Mahdi Muntadzar as dari keturunan Imam Hasan as kecuali hanya satu hadits saja. Mungkin yang ada dalam khazanah Islam, tidak terdapat hadits lain dalam masalah ini. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud Sajistani di dalam Sunannya. Telaah hadits ini sebagai berikut:
Abu Daud berkata, “Saya diberitakan tentang sebuah hadits dari Harun Bin Mughirah, dia berkata, Umar Bin Abi Qais memberitahuku akan sebuah hadits dari Syu’aib Bin Khalid dari Abu Ishaq, dia berkata, Imam Ali as mengatakan seraya menunjuk kepada anaknya, Hasan as:
ان ابني هذا سيد كما سماه النبي (ص) و سيخرج من صلبه رجل يسمى باسم نبيكم يشبهه في الخلق ولا يشبهه في الخلق
“Putraku ini adalah seorang pemimpin seperti yang dikatakan tentangnya oleh Nabi saw Kelak dari sulbi aku keluar seorang yang bernama sama dengan nama Nabi kalian. Dia sangat mirip dengan Nabi dalam tingkah laku dan kesopanannya tapi tidak menyamai wajahnya.” Lalu beliau menyebutkan berita bahwa dia akan memenuhi dunia dengan keadilan.[44] Hadits berakhir sampai di sini dengan teks yang demikian.

Kelemahan Hadits Tersebut

Dengan mengkaji sanad dan matan (teks) hadits di atas, lalu membandingkannya dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Imam Husein as maka kita akan yakin bahwa hadits ini adalah palsu. Kepalsuan hadits ini dapat dibuktikan dari tujuh poin di bawah ini.
Pertama, perbedaan yang ada dalam menukil riwayat Abu Daud tersebut. Jazri Syafi’i (wafat 833 H) menukil hadits ini dengan sanadnya dari Abu Daud, dengan nama "Husein” sebagai ganti nama Hasan, seraya berkata, “Yang benar adalah bahwa Al Mahdi dari keturunan Husein Bin Ali sesuai dengan yang dikatakan sendiri oleh Amirul Mukminin Ali as.
Dalam sebuah riwayat yang dibacakan oleh guru besar kami Umar Bin Hasan Ruqqi kepada kami. Beliau berkata bahwa saya mendengar riwayat ini dari Abul Hasan Bin Bukhari, saya mendapatkannya dari Umar Bin Muhammad Daruquthni, dari Abul Badr Karakhi dari Abu Bakar Khatib dari Abu Umar Hasyimi, dari Abu Ali Lu’lu’ dari Abu Daud Al-Hafidz, dia berkata, “Saya diberitakan akan satu riwayat dari Harun Bin Mughirah, dia berkata, Umar Bin Abi Qais memberitahuku sebuah hadits dari Syu’aib Bin Khalid dari Abu Ishaq, dia berkata bahwa Imam Ali as berkata seraya menunjuk kepada Husein as:
ان ابني هذا سيد كما سماه النبي(ص) وسيخرج من صلبه رجل يسمى بإسم نبيكم يشبهه في الخلق ولا يشبهه في الخلق.
Lalu menyebut kisah tentang bahwa dia akan memenuhi dunia dengan keadilan.”
Demikianlah teks akhir dari riwayat tersebut yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya tanpa komentar apapun.[45]
Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar menjelaskan hadits ini di halaman 45  bab pertama, dengan menyebut nama Hasan. Akan tetapi komentator kitab tersebut pada catatan kaki menulis bahwa dalam naskah lain kitab ini tertulis nama Husein. Dari naskah tersebut, Sayyid Sadruddin Shadr menukil riwayat di atas dengan menyebut nama Husein.[46]
Perbedaan teks dari naskah-naskah tersebut di atas memberikan kesimpulan, bahwa kedua nama tersebut sama kedudukannya, tanpa ada yang lebih unggul satu dari yang lain. Maka dari itu, diperlukan dalil lain dari luar hadits ini untuk mengetahui nama siapakah  yang lebih cocok dan tepat dalam riwayat tersebut. Dalil-dalil yang ada menguatkan bahwa nama Huseinlah yang tepat untuk hadits ini, bukan Hasan.
Kedua, sanad hadits ini terputus, karena perawi yang mendengar langsung riwayat ini dari Imam Ali as adalah Abu Ishaq yang tidak lain adalah Sabi’i. Padahal dia termasuk orang yang diragukan bahwa secara langsung mendengar walaupun satu riwayat dari Imam Ali as seperti yang ditegaskan oleh Mundziri ketika menerangkan hadits ini.[47] menurut pendapat Ibnu Hajar  Sabi’i pada hari ketika Imam Ali as syahid baru berumur tujuh tahun, karena ia dilahirkan dua tahun sebelum masa kekhalifahan Utsman berakhir.[48]
Ketiga, sanad hadits ini juga tidak diketahui dengan jelas (majhul). Karena Abu Daud mengatakan, “Saya diberitahu akan satu hadits dari riwayat Harun Bin Mughirah” tidak jelas siapa yang memberitahu riwayat ini, dan hadits majhul sesuai dengan kesepakatan ulama serta tidak memiliki nilai apapun.
Keempat, Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Saleh Salili -seorang ulama besar Ahli Sunnah- dengan sanadnya dari Imam Musa Bin Ja’far dari ayahnya Ja’far Bin Muhammad Shadiq, dari kakeknya Ali Bin Husein dari kakeknya Ali Bin Abi Thalib as dengan menyebut nama Husein bukan nama Hasan.[49]
Kelima, hadits ini bertentangan dengan hadits lainnya dari jalur Ahli Sunnah yang dengan jelas menyebutkan bahwa Al Mahdi dari keturunan Imam Husein as. Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Bin Al Yaman, beliau berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berkhubah di hadapan kita dengan menyebutkan apa yang kelak akan terjadi. Kemudian beliau bersabda:
لولم يبق الدنيا الا يوم واحد لطول الله عزوجل ذلك اليوم حتى يبعث فيه رجلا من ولدي اسمه اسمي. فقام سلمان الفارسي ، يا رسول الله من أي ولدك؟ قال: من ولدي هذا وحذب بيده على الحسين.
"Jika umur dunia ini tinggal satu hari, Allah akan memanjangkan hari itu sampai mengutus seorang dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku”. Tiba-tiba Salman berdiri dan bertanya, “Ya Rasulullah, dari cucumu yang manakah dia? Beliau menjawab, “Dari anakku ini", sambil menepuk Husein dengan tangannya.”[50]
Keenam, kemungkinan adanya penggantian dari Husein ke Hasan dalam riwayat Abu Daud, tidak jauh, dengan bukti adanya perbedaan dan ikhtilaf dalam menukil riwayat tersebut. Jika kemungkinan ini tidak diterima, maka kita katakan bahwa hadits ini adalah riwayat ahad dan tidak berarti apa-apa di depan hadits mutawatir, seperti yang akan kami jelaskan nanti.
Ketujuh, dengan melihat poin-poin di atas, sangat mungkin sekali bahwa hadits ini palsu. Kemungkinan ini didukung oleh realita sejarah yang mengatakan bahwa sebagian keturunan Imam Hasan as dan para pengikut mereka menganggap bahwa Muhammad Bin Abdillah Bin Hasan Mutsanna Bin Imam Hasan Mujtaba as, yang terbunuh pada tahun 145 H di masa pemerintahan khalifah Mansur Abbasi, adalah Imam Mahdi. Hal itu persis dengan apa yang didakwakan oleh penguasa Abbasiah dan para pengikut mereka, bahwa Muhammad Bin Abdillah Al Mansur, khalifah Bani Abbas yang bergelar Al Mahdi, adalah Imam Mahdi yang sesungguhnya. Itu dilakukan agar mereka dapat sampai tujuan dan kepentingan politik yang tidak mungkin mereka dapatkan dengan leluasa tanpa melalui jalur pintas ini.

Mempertemukan dua hadits

Jika kita menutup mata dari poin-poin yang lalu dan mengumpamakan bahwa hadits ini sahih, kita masih dapat mengatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Imam Husein, dengan mencari jalan keluar mempertemukan antara keduanya. Sebab nasab Imam Mahdi as melalui ayah beliau sampai ke Imam Husein, sedangkan dari pihak ibu nasab beliau sampai ke Imam Hasan. Karena isteri Imam Ali Zainal Abidin Bin Husein Bin Ali as ibu Imam Muhammad Baqir Bin Ali Bin Husein as adalah Fatimah Binti Imam Hasan Mujtaba as. Dengan demikian Imam Baqir adalah cucu Imam Husein melalui ayahnya  dan cucu Imam Hasan dari jalur ibu dan keturunan beliau adalah keturunan asli dari dua cucu Nabi saw.
Ada satu ayat suci Al Qur’an yang mendukung teori di atas Allah swt berfirman:
ووهبنا له اسحاق ويعقوب كلا هدينا و نوحا هدينا من قبل ومن ذريته داود وسليمان ... وعيسى وإلياس كل من الصالحين
"Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk, juga kepada sebagian dari keturunannya, yaitu Daud, Sulaiman, ... Isa dan Ilyas Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.”
Dalam ayat tersebut Nabi Isa as digolongkan sebagai keturunan para nabi dari jalur ibunda beliau, Maryam as Karenanya tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan bahwa Imam Baqir adalah keturunan Imam Hasan dari pihak ibu, seperti Nabi Isa as.
Teori mempertemukan dua hadits di atas tidak ragu lagi dapat diterima jika riwayat Abu Daud tersebut sahih, walaupun sebenarnya melihat tujuh poin di atas sangat sulit menyatakannya sebagai hadits sahih.
Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa alternatif kedua -bahwa Imam Mahdi keturunan Imam Husein as- bukan sekedar alternatif unggul, tapi inilah yang sesuai dengan realita yang ada, baik kita mengatakan hadits yang menyebut Al Mahdi keturunan Imam Hasan tersebut sahih atau tidak.
Apabila kita menyatakan kesahihan hadits itu, hal tersebut tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Al Mahdi keturunan Imam Husein as, bahkan bisa dikatakan menguatkan riwayat-riwayat tersebut.
Tapi jika kita katakan bahwa hadits itu tidak sahih -sesuai dengan tujuh poin di atas- keadaan sudah jelas tanpa memerlukan keterangan lebih lanjut. Karena sebelumnya telah kita tegaskan bahwa jika satu alternatif salah maka alternatif yang lain pastilah benar dan sesuai dengan realita yang ada. Sebab tidak mungkin kedua alternatif tersebut sama-sama salah, padahal kita meyakini dengan benar bahwa Al Mahdi dari keturunan Fatimah as.

Riwayat-riwayat yang bertentangan

Dari kajian tentang nasab Imam Mahdi melalui hadits-hadits di atas, telah kita simpulkan bahwa, beliau adalah dari keturunan  Imam Husein as. Sebelum membahas hal-hal yang menguatkan dan mendukung hasil telaah kita -dan berikutnya membenarkan aqidah Syi’ah Imamiyah, bahwa Al Mahdi adalah keturunan kesembilan dari Imam Husein as, yang telah lahir di dunia dan beliau adalah Muhammad Bin Hasan Al Mahdi-, terlebih dahulu kita bahas beberapa riwayat dari Ahli Sunnah yang bertentangan dengan aqidah Syi’ah, karena menyebutkan ayah Imam Mahdi dengan nama Abdullah, sehingga menjadikan sebagian orang berkeyakinan bahwa Imam Mahdi adalah Muhammad Bin Abdillah yang belum lahir dan kelahiran akan terjadi kelak diakhir zaman.
Ketika kita lihat hadits-hadits mutawatir menceritakan tentang seorang Al Mahdi, mau tidak salah satu dari dua keyakinan di atas tak berasas sama sekali. Oleh karena itu, masing-masing kelompok haruslah merujuk lagi ke dalil-dalil yang menjadi sandaran aqidah mereka sendiri dengan kaca mata bahwa dalil mereka adalah salah dengan kemungkinan benar dan dalil kelompok lain adalah dalil benar dengan kemungkinan salah. Sikap demikian ini walaupun sulit, tapi tidak mustahil dimiliki oleh mereka yang berusaha untuk sampai pada kebenaran -sebelum terlambat- bagaimanapun juga hasilnya.
Untuk mengetahui dengan benar nama ayahanda Imam Mahdi apakah beliau bernama Abdullah ataukah Hasan, kita katakan:
 
Hadits, "Nama ayahnya sama dengan dengan ayahku (Abdullah).”
Sebelum masuk ke dalam pembahasan inti, saya ingin mengingatkan bahwa sebagian ulama Syi’ah Imamiyah menukil sebagian dari hadits-hadits tersebut, bukan karena meyakininya karena jelas bertentangan dengan  asas mazhab mereka, tapi karena ke-fair-an mereka  dalam menukil hadits-hadits itu dari kitab-kitab Ahli Sunnah tanpa mengubah atau mengurangi. Hal tersebut mereka lakukan karena hadits-hadits tersebut bisa dita’wilkan dengan sesuatu yang tidak bertentangan dengan asas kidah mereka atau mungkin karena amanat penukilan untuk membuktikan kebenaran mazhab mereka dan mengajak kaum muslimin untuk mendiskusikannya.
Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah, Thabrani dan Hakim. Mereka semua meriwayatkan dari jalur ‘Ashim Bin Abu Nujud, dari Zurr Bin Hubaisyi, dari Abdulllah Bin Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda:
لا تذهب الدنيا حتى يبعث الله رجلا يواطئ اسمه اسمي واسم ابيه اسم ابي
"Umur dunia tidak akan berakhir sampai Allah mengutus seseorang  dengan nama yang sama dengan namaku dan nama ayahnya sama sengan nama ayahmu.”[51]
2. Hadits yang dinukil oleh Abu Amr Dani, dari Khatib Baghdadi, keduanya dari jalur 'Ashim Bin Abu Nujud, dari Zurr Bi Hubaisyi, dari Abdullah Bin Mas’ud dari Nabi saw, beliau bersabda:
لا تقوم الساعة حتى يملك الناس رجل من اهل بيتي يواطئ اسمه اسمي واسم أبيه اسم أبي.
"Kiamat tidak akan terjadi sampai seorang dari Ahli Baitku memerintah umat manusia. Namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.”[52]
3. Hadits yang dikeluarkan oleh Nu’aim Bin Hammad, Khatib dan Ibnu Hajar. Kesemuanya dari ‘Ashim dari Zurr dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saw, beliau bersabda:
المهدي يواطئ اسمه اسمي و اسم أبيه اسم أبي
"Mahdi namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.”[53]
4. Hadits yang dikeluarkan oleh Nu’aim Bin Hammad dari Abu Thufail, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
المهدي اسمه اسمي واسم أبيه اسم أبي
"Al Mahdi namanya sama sengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.”[54]

Hakikat perbedaan Ini dan nilai ilmiahnya

Hadits-hadits Inilah yang dijadikan sandaran oleh sebagian orang dalam menentukan seorang yang bernama Muhammad Bin Abdullah sebagai Mahdi akhir zaman. Padahal semuanya tidak layak untuk dijadikan dalil dan pegangan. Seperti yang anda ketahui bahwa tiga hadits pertama sanadnya berakhir pada Abnu Mas’ud dari jalur yang sama yaitu ‘Ashim Bin Abu Nujud. Jalur riwayat ini akan kita bahas secara terperinci.
Adapun hadits keempat, menurut kesepakatan ulama sanadnya adalah lemah, karena di dalamnya terdapat nama Risydin Bin Saad Mihr. Dia adalah Risydin Bin Abi Risydin yang didhaifkan oleh ulama ilmu rijal dari kelompok Ahli Sunnah.
Ahmad Bin Hanbal menyatakan bahwa dia (Risydin) tidak pernah peduli dari siapa dia meriwayatkan hadits. Harb Bin Ismail berkata “Saya bertanya kepada Ahmad Bin Hanbal tentang Risydin dan beliau mendhaifkannya. Dari Yahya Bin Mu’in, “haditsnya tidak boleh ditulis”. Abu Zar’ah, “Dia orang dhaif haditsnya”. Abu Hatim, ’Haditsnya munkar.” Jauzjani, “Dia banyak memiliki hadits yang cacat dan munkar.” Nasa’i, “Haditsnya harus ditinggalkan dan tidak boleh ditulis.”
Secara umum saya tidak menemukan seorang ulama pun yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya kecuali Haitsam Bin Najah. Beliau menyatakan bahwa Risydin bisa dipercaya, padahal Ahmad Bin Hanbal hadir di majlis tersebut dan beliau hanya tersenyum. Hal ini menunjukkan betapa para ulama mempunyai kata sepakat dalam mendhaifkannya.[55]
Tidak diragukan lagi, masalah agama yang besar dan penting ini tidak mungkin diambil dari orang yang keadaannya telah kita ketahui bersama.
Adapun tiga hadits pertama, dilihat dari semua sudut, tidak dapat dijadikan dalil dan argumen. Hal yang melemahkan hadits-hadits ini adalah kata-kata “Nama ayahnya sama dengan nama ayahku” tidak ada dalam riwayat para ulama besar ahli hadits akan tetapi yang mereka riwayatkan hanyalah ungkapan “Namanya sama dengan namaku”, tanpa tambahan lagi, seperti yang akan kita buktikan nanti. Selain itu, sebagian ulama Ahli Sunnah yang meneliti jalur riwayat ‘Ashim Bin Abu Nujud menegaskan bahwa tambahan ini pada asalnya tidak ada. Dalam pembahasan nanti, hal ini akan kita uraikan.
Seperti yang kita ketahui, sanad ketiga hadits tersebut berakhir pada Ibnu Mas’ud. Padahal Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan hadits ini juga dari Ibnu Mas’ud -dalam beberapa tempat dari musnad- dengan hanya menyebutkan “ Namanya sama dengan namaku”.[56] Demikian pula dengan Tirmidzi yang merawikannya tanpa tambahan di atas sekaligus beliau menunjuk  riwayat Ali as, Abu Sa’id Khudri, Ummu Salamah dan Abu Hurairah yang menyebutkan “Namanya seperti namaku .” Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud tersebut, beliau mengatakan, “ Dalam masalah ini juga ada hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ali, Abu Sa’is Khudri, Ummu Salamah dan Abu Hurairah. Hadits ini adalah hadits hasan sahih.”[57]
Hadits juga diriwayatkan oleh para ulama hadits besar lainnya. Thabrani, misalnya, mengeluarkan hadits ini dari Ibnu Mas’ud melalui beberapa jalur yang lain dengan teks hadits “Namanya sama dengan namaku.” seperti yang disebutkan dalam kitab Mu’jam Kabir nya dengan nomer hadits: 10214, 10215, 10217, 10218, 10219, 10220, 10221, 10223, 10225, 10226, 10227, 10229, dan 10230.
Hal yang sama juga dilakukan Hakim dalam “ Al-Mustadrak”nya. Dimana beliau merawikan hadits tersebut dari Ibu Mas’ud dengan teks hadits “ Namanya seperti namaku” saja, lalu berkata,”Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, tapi mereka berdua tidak meriwayatkannya.”[58] Dzahabi dalam hal ini mengikuti jejak Hakim tersebut. Demikian juga dengan Baghawi dalam kitabnya Mashabih Al Sunnah. Beliau meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Mas’ud tanpa tambahan di atas, padahal beliau menegaskan bahwa hadits ini hasan.[59]
Muqaddasi Syafi’i menyatakan bahwa tambahan tersebut, tidak pernah diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Beliau berkata, “Riwayat yang demikian ini dikeluarkan oleh sejumlah imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, antara lain, Imam Abu Isa Tirmidzi dalam Jami’, Imam Abu Daud di kitab Sunannya, Al  Hafidz Abu Bakar Baihaqi dan Syekh Abu Amr Dani, yang kesemuanya meriwayatkan dengan demikian”,[60] yakni tanpa tambahan kata “Nama ayahnya sama dengan nama ayahku”. Kemudian beliau membawakan sejumlah hadits yang menguatkan hal ini dengan menyebutkan para perawinya dari kalangan ahli hadits seperti, Thabrani, Ahmad Bin Hanbal, Tirmidzi, Abu Daud, Al Hafidz Abu Daud dan Baihaqi dari Abdulah Bin Mas’ud, Abdullah Bin Umar dan Hudzaifah.[61]
Ini kami sebutkan sebagai tambahan dari apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Tirmidzi meriwayatkannya juga dari jalur Ali as, Abu Sa’id Khudri, Ummu Salamah dan Abu Hurairah yang kesemuanya hanya menyebut kalimat “Namanya seperti namaku.”
Melihat itu semua, sangatlah tidak mungkin bila dikatakan bahwa seluruh imam ahli hadits di atas sepakat untuk bersama-sama membuang tambahan “Nama ayahnya sama dengan nama ayahku” dari teks aslinya, jika memang riwayat ini benar-benar memiliki tambahan tersebut. Disamping itu mereka juga meriwayatkanya dari Ashim Bin Abi Nujud. Bahkan mustahil untuk membayangkan bahwa mereka membuang kalimat tersebut, sedangkan kalimat itu  sangatlah penting untuk membuktikan kelemahan aqidah dan kepercayaan pihak lain.
Karenanya, jelas sudah bahwa riwayat Ibnu Mas’ud dari jalur Ashim sengaja diubah oleh para pengikut keturunan Imam Hasan untuk menguatkan klaim mereka bahwa Muhammad Bin Abdillah Bin Hasan Mutsanna adalah Mahdi akhir zaman, atau oleh pihak penguasa Bani Abbas dan para pengikut mereka guna mengukuhkan klaim mereka bahwa Al Mahdi adalah Muhammad Bin Abdullah -Abu Ja’far khalifah Mansur Abbasi.
Penambahan di atas diperjelas lagi oleh kenyataan sejarah yang menguatkan bahwa kata-kata Muhammad Bin Abdullah Bin Hasan Mutsanna sulit dipahami. Hal inilah yang mendorong para pengikutnya untuk berbuat kebohongan atas Abu Hurairah dengan mengatakan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan hadits:
ان المهدي اسمه محمد بن عبدالله في لسانه رتة.
"Al Mahdi bernama Muhammad Bin Abdullah, ciri-cirinya adalah bahwa kata-katanya sulit dimengerti.”[62]
Melihat kenyataan bahwa ketiga hadits pertama yang diriwayatkan dari Ashim Bin Abu Nujud dari Zurr Bin Hubaisyi dari Abdullah Bin Mas’ud bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh para ahli hadits terkemuka dari Ashim tentang Al Mahdi, terdoronglah Al Hafidz Abu Nu’aim Isfahani (wafat 430 H) dalam kitabnya Manaqib Al Mahdi untuk mengkaji dan meneliti hadits ini dari seluruh jalur Ashim. Dalam kajiannya ini, beliau berhasil mendapatkan 31 jalur yang tidak satupun dari mereka meriwayatkan hadits ini dengan tambahan “Nama ayahnya seperti nama ayahku". Tetapi mereka justru sepakat dengan hanya menyebutkan kalimat “Namanya seperti namaku.”
Kunji Syafi’i (wafat 638 H) setelah menukil hasil kajian tersebut mengatakan, “Perawi selain Ashim yang meriwayatkan hadits ini dari Zurr adalah Amr Bin Murrah. Mereka semua meriwayatkan, “Namanya seperti namaku”. Hanya jalur riwayat Ubaidullah Bin Musa dari Zaid dari Ashimlah yang menyebutkan “Nama ayahnya seperti nama ayahku”.
Orang yang berpikiran sehat tidak akan ragu untuk mengatakan bahwa riwayat tersebut tidak memiliki nilai apapun setelah tahu bahwa riwayat para ahli hadits berseberangan dengannya. -sampai pada perkataan beliau- Pendapat yang netral dan benar dalam masalah ini adalah bahwa Imam Ahmad Bin Hanbal -dengan segala kepandaian dan ketelitiannya- meriwayatkan hadits tersebut  dibeberapa tempat dalam Musnadnya hanya dengan menyebutkan “Namanya seperti namaku”. [63]
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa riwayat (..nama ayahnya sama dengan nama ayahku) sangat lemah dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui nama ayah kandung Imam Mahdi as.
Karenanya mereka yang menanti-nantikan kedatangan Imam Mahdi dengan nama Muhammad Bin Abdillah berarti dia -sesuai dengan apa yang disebutkan oleh banyak riwayat yang ada dalam khazanah agama Islam- bagaikan seorang yang menunggu fatamorgana.
Dari situlah, guru besar Al-Azhar Sa’ad Muhammad Hasan menegaskan bahwa hadits yang menyebutkan “Nama ayah Al Mahdi sama dengan nama ayahku” adalah hadits palsu dan maudlu’. Lucunya, beliau menuduh Syi’ah memalsukan hadits ini dengan tujuan untuk menguatkan aqidah dan kepercayaan mereka[64] !?
Kesimpulannya adalah bahwa beliau dari keturunan Imam Husein as sebab hadits-hadits yang bertentangan dengan kesimpulan ini adalah hadits dhaif dan tidak ada faktor yang dapat menguatkan dan mensahihkannya. Bahkan tidak sedikit yang palsu.
Jika kita menengok hasil kesimpulan yang telah kita buat melalui studi di atas, akan kita dapati bahwa hal itulah yang didukung oleh banyak hadits mutawatir yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.

Beberapa penguat

Dalam khazanah hadits Syi’ah Imamiyyah terdapat banyak hadits yang menyebutkan dua belas orang imam lengkap dengan nama mereka, dimulai dari Imam Ali dan diakhiri dengan Imam Mahdi as. Ditambah lagi adanya hadits-hadits yang menyebutkan bahwa seorang imam ditunjuk secara langsung oleh imam sebelumnya. Selain itu, Ahli Sunnah juga memiliki hadits-hadits yang menyatakan adanya dua belas orang imam seperti yang ada di kitab-kitab manaqib dan lainnya. Di samping itu terdapat pula riwayat-riwayat yang disepakati keotentikannya, yang menunjukkan bahwa selagi ada mata rantai kehidupan  di muka bumi, Al Mahdi juga masih hidup. Hal ini tidak mudah untuk diterima kecuali bila kita katakan bahwa  Al Mahdi adalah keturunan kesembilan dari Imam Husein as. Dalam kajian ini kami hanya akan menyebutkan hadits-hadits yang dipakai sebagai dalil dari kitab-kitab standar Syi’ah dan Ahli Sunnah.

Hadits Tsaqalain

Kenyataan sejarah mengatakan bahwa ketika Nabi saw wafat, hadits-hadits beliau belum tertulis dan tersusun rapi. padahal dalam menyampaikan amanat dan risalah Tuhan yang kekal hingga hari kiamat, beliau tidak pernah lalai. Disamping itu, beliau yang memiliki sifat penyayang, tidak meninggalkan umatnya hanya dengan Al Qur’an Al Karim saja. Sebab Al Qur’an di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mufashshal serta nasikh dan mansukh. Selain itu, banyak ayat Al Qur’an yang dapat ditafsirkan dengan beberapa tafsiran yang berbeda guna menguatkan pendapat-pendapat masing-masing, seperti yang kita saksikan sekarang.
Lebih dari itu, semasa hidupnya Rasulullah saw telah menyaksikan adanya oknum-oknum yang suka berbohong dengan menisbatkan kata-kata mereka kepada Rasulullah saw. Lalu bagaimana jika beliau wafat ? Bukti nyata dari hal tersebut adalah sabda beliau yang oleh para ulama hadits dijadikan contoh hadits mutawatir secara lafal.
 
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
"Barang siapa yang berbohong atas namaku, maka bersiap-siaplah untuk tinggal di neraka”
Karenanya mustahil beliau akan membiarkan agamanya sebagai ajang ijtihad tanpa menunjuk seseorang yang benar-benar memahami Al Qur’an dan sunnahnya untuk dijadikan rujukan umat dalam menyelesaikan segala problem yang mereka hadapi.
Teori inilah yang sangat sesuai dengan usaha Rasulullah saw dalam menjaga dan melindungi keaslian agama demi kelanggengan dan keabadian Islam sebgai tuntunan dan pegangan umat dalam menyeberangi samudera kehidupan.
Dari itu, jelaslah betapa pentingnya hadits Tsaqalain (Al Qur’an dan Itrah Nabi saw) dan nilai perintah Nabi saw kepada umatnya untuk mengambil agama mereka dari dua hal tersebut. Juga mengapa Nabi saw menekankan masalah ini dalam banyak kesempatan seperti pada  hari Ghadir Khum dan detik-detik akhir kehidupan beliau saw.
Diriwayatkan dari Zaid Bin Aslam dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
كأني قد  دعيت فأجبت ، إني تارك فيكم الثقلين احدهما اكبر من الأخر ،كتاب الله وعترتي اهل بيتي فانظروا كيف تخلفوني فيهما, فإنهما   لن يفترقا حتى يردا علي الحوض ان الله مولاي وأنا ولي كل مؤمن ، من  كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه.
"Aku merasa bahwa ajalku sudah dekat. Kutinggalkan kepada kalian dua pusaka, salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah dan keluargaku. Bagaimanakah kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku. Kedua pusaka tersebut tidak akan berpisah satu dari yang lain sampai kelak mereka menemuiku di telaga surga. Allah adalah pemimpinku dan aku pemimpin setiap mu’min. Barang siapa menjadikanku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga. Ya Allah pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya.”[65]
Dari Abu Sa’id Khudri dari Nabi saw, beliau bersabda:                                    
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعدي أحدهما أعظم من الآخر كتاب الله حبل ممدود من السماء الى الأرض وعترتي أهل بيتي ولن تفترقا حتى يردا علي الحوض فانظروا كيف تخلفوني فيهما.
"Aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian pegangi benar-benar, niscaya kalian tidak akan tersesat. Dua buah pusaka dimana yang satu lebih besar dari yang lainnya. Kitabullah, tali yang memanjang dari langit hingga bumi dan Ithrahku keluargaku. Keduanya tidak akan berpisah sampai bersama-sama menemuiku di telaga surga kelak. Lihatlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku.”[66]
Di samping dua hadits di atas, beliau selalu menekankan kepada umatnya untuk senantiasa mengikuti dan mentaati keluarganya, serta memperingatkan untuk tidak melanggar dan melawan keluarganya yang beliau sifati sebagai bahtera keselamatan, pegangan umat dan pintu yang kokoh.
Sebenarnya para sahabat tidak perlu menanyakan maksud dari kata Ahli Bait atau keluarga Nabi tersebut, karena mereka telah menyaksikan sendiri kepergian Nabi saw untuk melakukan mubahalah dengan Nasrani Najran hanya dengan membawa serta Ahlul Kisa’ (Ali, Fatimah, Hasan dan Husein), seraya  bersabda
اللهم هؤلاء اهلي
"Ya Allah mereka adalah keluargaku”
Para sahabat adalah orang-orang yang paham benar maksud Nabi saw tersebut. Jika tidak, bagaimana mungkin selama sembilan bulan -menurut riwayat Ibnu Abbas- Nabi saw setiap pagi berdiri di depan pintu rumah putri beliau Fatimah as sambil membaca ayat
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهيرا.
"Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahli Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya”[67] cukup untuk memperkenalkan kepada semua orang, akan siapakah yang dimaksud dengan Ahli Bait Nabi saw.
Karenanya pertanyaan mereka kepada Nabi saw tentang siapakah yang akan menyelamatkan umat dari kesesatan sampai hari kimat, tidak ada artinya lagi, jika mereka benar-benar berpegangan dengan Al Qur’an dan Ahli Bait.
Jadi, yang diperlukan oleh umat -juga para sahabat- tidak lebih dari sekedar petunjuk tentang siapakah orang pertama dari Ahli Bait yang menjadi pemimpin dan pengemban tugas tugas berat Nabi saw sepeninggal beliau dalam membimBing umat dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Dialah yang kemudian bertanggung jawab untuk menunjuk pengganti dalam mengemban amanat ini. Demikian seterusnya sampai giliran orang yang terakhir dari mata rantai pemimpin dan penyelamat umat dari kesesatan ini bersama dengan Al Qur’an menemui Nabi saw di haudl.
Jika telah anda ketahui bahwa Ali as adalah pemimpin langsung setelah wafatnya Nabi saw, sesuai dengan nash yang tak terhingga jumlahnya, antara lain hadits Tsaqalain sendiri, tidak pelu lagi bagi Nabi saw untuk menyebutkan sendiri nama para Imam berikutnya sepanjang masa, jika tidak kita katakan bahwa itu tidak sesuai dengan kebiasaan bila tidak melihat faktor-faktor lainnya.
Karena itu tolak ukur untuk mengetahui Imam sepanjang masa dan setiap generasi adalah penunjukan seluruh imam sekaligus atau penunjukan yang dilakukan oleh imam pendahulu terhadap imam selanjutnya. Cara kedua ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh para nabi dan washinya dan telah dikenal oleh umat manusia sejak dahulu hingga sekarang.
Jika kita kembali menengok keadaan Ahli Bait as, kita akan melihat bahwa nash telah membuktikan imamah dan kepemimpinan mereka dengan dua cara di atas. Bagi yang menelusuri sejarah kehidupan mereka akan mengetahui dengan pasti bahwa mereka telah mengumumkan imamah yang mereka emban yang berarti juga kepemimpinan mereka dalam urusan pemerintahan. Mereka adalah imam bagi diri mereka, sebagaimana imam bagi jutaan pengikut mereka dan pemimpin perjuangan melawan penguasa zamannya. Sebelum wafat para imam tersebut, menunjuk penggantinya dan mengumumkan kepada para pengikut mereka. Inilah yang biasa mereka lakukan. Karena itu, mereka selalu diawasi dengan ketat. Dari mereka ada yang menghabiskan kehidupan di balik terali besi, ada pula yang gugur diracun, ada pula yang syahid di medan perang. Semua itu dilakukan oleh para penguasa dizaman mereka.
Kemudian jika salah seorang dari para Imam tersebut tidak menunjukkan seorang pengganti yang akan menggantikannya sebagai Imam, itu berarti Imam tersebut masih hidup bersama dengan Al Qur’an. Karena hadits “Mereka berdua (Al Qur’an dan Ithrah) tidak akan berpisah sampai menemuiku di haudl” mengandung pengertian akan kesinambungan keberadaan imam dari Ahli Bait sepanjang masa sebagaimana Al Qur’an ada sepanjang masa, sebagai dalil yang tak dapat dipungkiri.
Oleh sebab itulah Ibnu Hajar mengatakan “Hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk perpegangan dengan Ahli Bait mengandung pengertian akan adanya seorang dari mereka yang layak untuk diikuti sampai hari kiamat. Karena Al Qur’an juga demikian halnya. Oleh sebab itu, tepatlah jika dikatakan bahwa Ahli Bait adalah pemberi keamanan bagi penduduk bumi. Selain itu hadits: 
في كل خلف من امتي عدول من أهل بيتي.
"Disetiap masa yang dilalui oleh umatku pastilah terdapat orang-orang yang adil dari keluargaku” menyatakan hal yang sama.[68]
Hadits “Siapa yang mati tanpa mengetahui imam zamannya”
من مات ولم يعرف امام زمانه مات ميتة جا هلية.
"Barang siapa mati tanpa mengetahui Imam zamannya, maka matinya terhitung mati dalam keadaan jahiliyyah”.
Hadits ini diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, tapi memiliki makna yang sama, dalam kitab-kitab hadits Ahli Sunnah dan Syi’ah. Dimuatnya hadits ini oleh Bukhari dan Muslim -dari kalangan Ahli Sunnah-[69], Kulaini, Shaduq dan ayahnya, Himyari dan Shaffar -dari Syi’ah- cukup menjadi bukti akan banyaknya perawi hadits ini.[70] Selain itu banyak pula ulama lain yang menukilnya dari jalur yang berbeda-beda yang tidak dapat kami uraikan di sini.[71]
Karenanya tidak ada alasan lagi untuk mempersoalkan sanadnya, walaupun Abu Zahrah hanya menyebut kitab Al Kafi  sebagai perawi hadits tersebut.[72] Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mutawatir dan tidak dapat dita’wil maupun diartikan selain dari pada kewajiban seorang muslim dan muslimah untuk mengenal imam zamannya. Bila tidak, harga yang harus dibayar sangatlah mahal.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imam yang harus dikenal oleh setiap orang agar tidak mati secara jahiliyyah adalah penguasa, sultan atau raja walaupun zalim, orang tersebut haruslah mengajukan dalil untuk menjadi bukti bahwa mengenal seorang penguasa zalim termasuk masalah agama yang penting. Kedua, dia harus menjelaskan kepada mereka yang berakal sehat manfaat dan faedah dari kewajiban mengenal seorang yang zalim dan fasik, sehingga orang yang tidak mengenalnya jika mati, mati dalam keadaan jahiliyyah.
Bagaimanapun juga, hadits di atas mengandung pengertian adanya seorang Imam yang haq disetiap zaman dan generasi, yang tidak dapat dijelaskan kecuali dengan mengatakan adanya Imam Mahdi, Imam yang haq dari keturunan Fatimah as. Hal yang menguatkan pendapat ini adalah:
Hadits:
 إن الأرض لا تخلو من قائم لله بحجة.
 "Bumi tidak akan kosong dari hujjah Allah.”
Hadits ini termasuk hadits yang dijadikan sandaran oleh Ahli Sunnah dan Syi’ah yang mereka keluarkan dalam kitab-kitab mereka dari beberapa jalur riwayat.[73]
Kumail Bin Ziyad Nakha’i, orang besar dan terpercaya ini, meriwayatkannya dari Amirul Mu’minin Ali as, seperti yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah. Setelah menjelaskan bayak hal dengan panjang lebar, beliau berkata, “Demi Allah, Bumi ini tidak akan kosong dari hujjah Allah.”
Tidak mungkin kosongnya bumi ini dari hujjah Allah tidak dapat diartikan kecuali bila dikatakan bahwa Imam  Mahdi as telah dilahirkan. Poin penting ini telah dengan cermat ditangkap oleh Ibnu Abil Hadid, sehingga dalam menerangkan riwayat di atas, beliau mengatakan: “Supaya tidak satu masapun  berlalu tanpa seorang yang diperintah Allah untuk mengawasi dan menjaga hamba-hambaNya serta mengatur urusan mereka. Hal ini hampir bisa dikatakan sangat cocok dengan apa yang diyakini oleh madzhab Sy’iah Imamiyyah, hanya saja para ulama kita menafsirkannya dengan tafsiran yang lain.[74]
Ibnu Hajar Asqalani memahaminya sebagai isyarat akan adanya Al Mahdi dari Ahli Bait as beliau mengatakan “Shalatnya Nabi Isa as di belakang seorang dari umat Muhammad diakhir zaman menjelang hari kiamat, mengandung pengertian akan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa bumi tidak akan kosong dari hujjah Allah.”[75]
Yang mendekatkan makna dari perkataan Amirul Mu’minin as di atas, bahwa yang dimaksudkan adalah Imam Mahdi, yaitu teks lengkap hadits tersebut. Beliau berkata:
يا كميل ، إن هذه القلوب أوعية فخيرها اوعاها فاحفظ عني ما أقول لك: الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل النجاة وهمج رعاع أتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح ، لم يستضيؤوا بنور العلم ولم يلجأوا إلى  ركن وثيق -إلى أن قال- اللهم بلى لا تخلو الأرض من قائم لله بحجة إما ظاهراً مشهوراً  وإما خائفاً مغموراً لئلا تبطل حجج الله وبيناته.
“Wahai Kumail ! Hati ini ibarat wadah. Sebaik-baik hati adalah yang lebih dapat mengerti dan memahami. Karena itu, simpanlah di hatimu apa yang akan kukatakan padamu. Manusia terbagi menjadi tiga golongan: Orang alim yang mencari ridho Allah, penuntut ilmu demi keselamatan dan golongan ketiga adalah golongan rendah yang tak berprinsip. Kemanapun angin bertiup kesana pula bergerak. Mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu dan tak memiliki benteng yang kokoh -sampai beliau berkata- Demi Allah ! Bumi ini tak akan sepi dari Hujjah Allah, baik yang dzahir dan dikenal oleh semua orang maupun tersembunyi menghindar dari bahaya yang mengancam keselamatannya. Hal itu dimaksudkan agar hujjah-hujjah Allah dan bukti-buktinya tidak lenyap dan hilang.”[76]
Dari sinilah terdapat hadits sahih, riwayat Husein Bin Abu Al ‘Ala’ Al-Khaffaf. Beliau berkata, “Saya bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as “Apakah mungkin pada satu masa bumi tak memiliki seorang Imam ?” Beliau menjawab “Tidak ..”[77]
Jika hadits ini kita gabungkan dengan hadits Tsaqalain, hadits “Siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya” serta hadits “Khalifah sepeninggalku ada dua belas orang “ -yang akan kita sebutkan nanti-, dapat disimpulkan bahwa jika Imam Mahdi belum lahir, maka Imam sebelumnya haruslah masih hidup sampai menjelang hari kiamat. Akan tetapi tidak seorang muslimpun mengatakan bahwa ada Imam yang sekarang ini masih hidup selain dari Imam Mahdi as, Imam kedua belas Ahli Bait, yang telah disebutkan dalam kitab-kitab hadits dan dicatat dalam kita-kitab Manaqib.
Hadits, “Khalifah Sepeninggalku Dua Belas Orang”
Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan sanadnya dari Jabir Bin Samurah. Jabir berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda.”
يكون اثنا عشر أميرا ، فقال كلمة لم أسمعها ، فقال أبي إنه قال كلهم من قريش
“Akan ada dua belas orang pemimpin.” Lalu beliau mengatakan sesuatu yang tidak kudengar. Ayahku berkata: Beliau mengatakan “Semuanya dari Quraisy.”[78]
Dalam Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasululah saw bersabda:
لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة أو يكون عليكم إثنا عشر   خليفة كلهم من قريش.
“Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat  atau datangnya dua belas orang khalifah yang akan memimpin kalian semua yang semuanya dari golongan suku Quraisy.”[79]
Dalam Musnad Ahmad dengan sanadnya dari Masruq, beliau berkata “Suatu hari kami berada di dekat Abdullah Bin Mas’ud sedangkan beliau tengah membaca Al Qur’an. Tiba-tiba seseorang berkata” Wahai Abu Abdurrahman, Apakah kalian, sahabat Nabi saw, pernah menanyakan kepada Rasulullah berapa jumlah khalifah yang akan memimpin umat ini?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Semenjak aku menginjakkan kaki di Iraq, belum pernah ada orang menanyakan sesuatu seperti yang anda tanyakan.” Lalu beliau melanjutkan “Ya, kami pernah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw dan beliau menjawab,
إثنا عشر كعدة نقباء بني إسرائيل.
“Mereka berjumlah dua belas orang sejumlah para pemimpin Bani Israil.”[80]
Dari hadits-hadits di atas, beberapa poin masalah dapat kita simpulkan:
1. Jumlah para pemimpin dan khalifah tidak lebih dari 12 orang dan kesemuanya dari suku Quraisy, tanpa adanya selisih pendapat di sini. Jumlah ini sama dengan jumlah imam yang diyakini oleh Syi’ah dan mereka semua dari suku Quraisy.
Ada yang mengatakan sebutan amir dan khalifah (seperti yang ada di dalam teks hadits) tidak sesuai dengan realita yang ada pada para imam Syi’ah.  Jawabnya jelas sekali bahwa Nabi saw memaksudkan dari kata Amir dan khalifah adalah pemimpin dan khalifah yang benar dan berhak atas kedudukan itu. Sangat tidak mungkin beliau saw memaksudkan orang-orang semisal Mu’awiyah, Yazid, Marwan dan lain-lain yang mempermainkan agama dan hak milik kaum muslimin. Akan tetapi yang dimaksud beliau adalah khalifah yang kekuasaannya adalah hak yang dia dapatkan dari Allah dan hal ini tidak bertentangan dengan hilangnya hak mereka dalam kehidupan nyata karena dieksploitasi oleh orang lain.
Oleh karena itu, dalam kitab ‘Aun Al Ma’bud Fi Syarh Sunan Abi Daud disebutkan: Turbasyti mengatakan “Satu-satunya jalan yang dapat kita ambil dalam memahami hadits ini dan hadits-hadits lain yang memiliki makna yang sama adalah bahwa pemimpin yang dimaksudkan yaitu mereka yang menegakkan keadilan. Sebab merekalah yang berhak menyandang predikat khalifah yang sebenarnya. Dan tidak disyaratkan mereka harus benar-benar memegang pemerintahan, walaupun sebenarnya mereka berhak menduduki tempat itu, karena dengan demikian mereka dapat dikatakan khalifah, seperti yang disebutkan dalam Al-Mirqah.”[81]
2. Keduabelas orang yang disebut dalam nash hadits di atas diumpamakan semisal para pemimpin Bani Israel. Allah swt berfirman:
ولقد اخذ الله ميثاق بني اسرائيل وبعثنا منهم اثنى عشر نقيباً .
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin.”[82]
3. Hadits-hadits ini mengharuskan bahwa zaman tidak boleh  kosong dari 12 orang pemimpin tersebut, dan selama ajaran ini masih ada sampai hari kiamat salah seorang dari mereka juga akan tetap hidup.
Muslim menukil dalam bab yang sama satu riwayat yang sangat jelas memberikan pengertian di atas, Rasulullah saw bersabda:
لا يزال هذا الأمر في قريش ما بقي من الناس اثنان .
“Kepemimpinan senantiasa ada di tangan Quraisy selagi masih ada dua orang manusia yang hidup.”
Seperti yang anda lihat, pernyataan di atas sangat sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan Syi’ah bahwa Imam kedua belas (Al Mahdi as) sampai saat ini masih hidup seperti layaknya orang lain, dan beliau kelak bangkit memperkenalkan diri di akhir zaman untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman, sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh kakek beliau Rasulullah saw.
Semua orang tahu bahwa ulama Ahli Sunnah tidak memiliki kata sepakat dalam menafsirkan ungkapan 12 orang pemimpin, hingga sebagian terpaksa memasukkan Yazid Bin Mu’awiyah, Marwan, Abdul Malik dan semisalnya sampai pada Umar Bin Abdul Aziz agar jumlah 12 orang dapat tercapai.[83]
Penafsiran semacam ini, tanpa ragu lagi, adalah penafsiran yang jelas sekali salah dan tidak cocok dengan teks hadits. Sebab hal itu berarti, setelah masa Umar Bin Abdul Aziz, zaman menjadi kosong dari pemimpin padahal agama ini akan tegak bersama dengan keberadaan mereka sampai hari kiamat.
Hadits tentang 12 orang khalifah akan menjadi satu teka-teki tak terpecahkan jika tidak kita artikan dengan apa yang diyakini oleh Syi’ah, karena kekuasaan dan kepemimpinan  secara zahir telah dipegang oleh jumlah yang beberapa lipat lebih banyak dari jumlah yang disebutkan dalam hadits, ditambah lagi, semua penguasa tersebut sudah habis masanya dan tidak ada satu nashpun yang menunjuk kepada mereka -Bani Umayyah dan Bani Abbas- sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin.
Dalam kesempatan ini Qunduzi Hanafi mengatakan, “Sebagian dari para peneliti berkata bahwa hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang  khalifah setelah Rasulullah sangat banyak dengan berbagai jalur. Karenanya, dengan bergantinya masa dan jelasnya kejadian dan tempatnya, dapat kita ketahui bahwa maksud dari hadits Nabi tersebut adalah 12 orang Imam dari keluarga dan Ithrah beliau. Sebab, hadits ini tidak dapat dikatakan menunjuk kepada Khulafaur Rasyidin dari sahabat-sahabat beliau karena jumlah mereka yang sedikit dan kurang dari 12 orang. Tidak pula menunjuk kepada para penguasa Bani Umayyah karena jumlah mereka melebihi jumlah tersebut. Di samping itu mereka adalah penguasa yang zalim, kecuali Umar Bin Abul Aziz dan mereka bukan  dari Bani Hasyim, karena Nabi bersabda, “Mereka semua dari Bani Hasyim” dalam riwayat Abdul Malik dari Jabir, dan apa yang dilakukan oleh Nabi dengan mengecilkan suara beliau menguatkan riwayat ini karena Quraisy pada umumnya tidak menghendaki khilafah (kepemimpinan) Bani Hasyim. Riwayat di atas juga tidak dapat ditunjukkan kepada para penguasa Bani Abbas. Sebab jumlah mereka yang banyak dan ketidakpedulian mereka terhadap agama. 
Selain itu, yang menguatkan dan mendukung pendapat ini (bahwa yang dimaksud oleh Nabi saw adalah 12 orang Imam dari keluarga beliau) adalah hadits Tsaqalain.[84]
Seperti telah diketahui, bahwa hadits “khalifahku ada 12 orang”, telah ada sebelum terwujudnya mata rantai kehidupan para Imam dan teks ditulis di kitab-kitab hadits sebelum sempurnanya jumlah dari Imam 12 tersebut. Hal itu bukan karena reaksi dari realita yang telah terjadi, tapi merupakan kenyataan rabbani yang disampaikan oleh sosok pribadi yang tidak pernah mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya sendiri. Beliau bersabda:
الخلفاء بعدي اثنا عشر .
“Khalifah setelahku berjumlah dua belas orang”.
Sebagai saksi dan bukti kebenaran dari suatu fenomena imamah yang dimulai dengan Amirul Mukminin Ali as dan di akhiri oleh Imam Mahdi as. Inilah satu-satunya teori yang masuk akal dalam menjelaskan hadits ini.[85]
Oleh karena itu, yang tepat adalah bahwa hadits ini termasuk salah satu tanda kenabian beliau saw, karena mengandung berita yang terjadi di kemudian hari. Adapun usaha yang dilakukan untuk menerapkan hadits ini kepada orang-orang yang terkenal kemunafikan, kedurjanaan dan tindak pidana mereka dari kalangan para penguasa Bani Umayyah, Bani Abbas dan yang lain-lain, sangat bertentangan dengan makna dan teks hadits tersebut, serta melecehkan kedudukan Nabi saw karena beliau, dengan teori ini, digambarkan telah memberi kabar akan tegaknya agama Islam sampai zaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz, bukan sampai hari kiamat.

Penjelasan tentang 12 orang khalifah

Agar dalam kajian kita tentang dalil-dalil lain yang menjelaskan makna hadits “Khalifah setelahku ada dua belas orang”, dan sosok pribadi Imam Mahdi, kami merasa perlu untuk mengingatkan satu hal penting, di mana seorang yang berpikir obyektif jika melihat dan memikirkannya tidak akan pernah ragu lagi dan akan merasa cukup atas apa yang telah diajarkan oleh Nabi saw dalam mengenal imam di setiap zaman dan generasi tanpa memerlukan dalil dan lainnya.
Yang kami maksudkan adalah sejarah Islam yang sarat dengan pengisolasian  keluarga Nabi saw dari urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para penguasa zaman mereka sejak periode awal Islam. Lebih dari itu, para penguasa tersebut -Bani Umayyah dan Bani Abbas- telah melakukan penganiayaan dan penindasan  yang melebihi batas kemanusiaan terhadap keturunan suci Nabi saw.
Karenanya, jelas nash yang menyebutkan 12 orang imam setelah Nabi saw akan sangat sedikit didapatkan dari kitab-kitab yang ditulis berdasarkan selera para penguasa yang menindas keluarga Rasul saw dan memberantas keturunan Fatimah as.
Sungguh sangat tidak masuk akal seorang penguasa zalim akan meyakini dan mengijinkan seseorang meriwayatkan hadits, bahwa Al Mahdi adalah keturunan kesembilan dari Imam Husein as atau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua belas khalifah adalah dua belas imam  sebagaimana yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah, kecuali beberapa riwayat yang lolos dari pengawasan dan jauh dari pendengaran mereka. Apapun yang mereka lakukan, tetap ada beberapa hadits yang lolos dan tersebar dan bersinar laksana mentari di siang hari.                                   
Tiada sesuatu dipikirkan lagi
jika siang memerlukan bukti
Hal inilah yang tak dapat kita abaikan begitu saja. Di bawah ini kami akan membawakan beberapa hadits yang menjelaskan makna dari 12 orang khalifah.
1. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah karya Qunduzi Hanafi, dinukil dari Manaqib Khawarizmi Hanafi dengan sanadnya dari Imam Ridha as dari ayah dan kakek beliau dari Nabi saw, beliau menukil hadits yang menyebutkan dengan jelas nama 12 orang Imam as satu persatu dari Amirul Mukminin Ali as sampai Imam Muhammad Bin Hasan Al Mahdi as
Qunduzi setelah membawakan riwayat tersebut mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Juwaini Himwaini Syafi’i”, yaitu pengarang kitab Faraidh Al Simthain.[86]
2. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah di bawah judul Fi Bayan Al Aimmati Al Itsna ‘Asyar Biasma’ihim” (penjelasan tentang para Imam dua belas dengan nama mereka), beliau menyebutkan 2 buah hadits dari kitab “Faraidhus Simthain” dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra, tentang para Imam lengkap dengan nama mereka, dimulai dengan Ali dan diakhiri dengan Al Mahdi as.[87] Riwayat tersebut juga terdapat di dalam bab Fi Dzikri Khalifah Al Nabi saw Ma’a Aushiaihi as.[88]
3.  Juga dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah, hadits dari Jabir Bin Abdillah Anshari dari Nabi saw, beliau bersabda:
يا جابر ان أوصيائي وأئمة المسلمين من بعدي أولهم علي ثم الحسن    ثم الحسين ...
“Wahai Jabir, para Washiku dan imam-imam muslimin setelahku adalah Ali, kemudian Hasan lalu Husein ...”, demikianlah beliau menyebutkan sembilan orang Imam dari keturunan Husein, dari Imam Ali Bin Husein Zainal Abidin as sampai Imam Mahdi Bin Hasan ‘Askari as.[89]
4. Dalam kitab Kamal Al Din disebutkan: “Husein Bin Ahmad Bin Idris memberitahukan kami akan sebuah hadits, beliau berkata, “Ayahku membawakan hadits dari Hasan Bin Mahbub dari Abul Jarud dari Abu Ja’far Al-Baqir as dari Jabir Bin Abdillah Anshari, beliau berkata “Suatu hari saya mengunjungi Fatimah as dan beliau sedang memegang sesuatu yang di dalamnya tertulis nama-nama para Washi. Dan setelah saya hitung mereka semua berjumlah 12 dengan nama washi terakhir Al-Qaim. Tiga orang di antara mereka bernama Muhammad dan empat orang bernama Ali, salawat Allah atas mereka semua.”[90]
Riwayat di atas juga memiliki jalur lain, dari Ahmad Bin Muhammad Bin Yahya Aththar dari ayahnya dari Muhammad Bin Hasan Bin Abul Kaththab dari Hasan bain Mahbub sampai akhir sanad seperti di atas
Dikatakan bahwa sanad tersebut tidak dapat menjadi dalil karena dua perkara. Pertama, Husein Bin Ahmad Bin Idris dalam sanad pertama dan Ahmad Bin Muhammad Bin Aththar dalam sanad kedua adalah dua orang belum ditetapkan ke-tsiqahannya
Kami menjawab bahwa kedua perawi tersebut termasuk masyayikhul ijazah (guru-guru hadits). Shaduq tidak pernah mengomentari satupun dari mereka dalam kitab-kitabnya kecuali dengan menyebutkan kata-kata “Radhiallahu ‘anhu” (semoga Allah meridhainya), jelas bahwa orang fasik tidak layak untuk dido’akan dengan kata tersebut tapi doa tersebut diberikan kepada seorang yang mulia dan baik. Jika kita terima bahwa hal itu tidak membuktikan ketsiqahan orang tersebut, tapi sangat jauh kemungkinan bahwa keduanya bersepakat untuk menyandarkan dan menisbatkan suatu kebohongan atas nama ayah mereka, karena keduanya meriwayatkannya dari ayah masing-masing.
Satu hal yang menunjukkan akan kejujuran mereka adalah bahwa Syekh Kulaini meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abul Jarud. Sanad tersebut dimulai dengan ayah Syekh Shaduq dari Muhammad Bin Yahya Aththar dari Muhammad Bin Husein, dari Hasan Bin Mahbub dari Abul Jarud dari Imam Abu Ja’far Al-Baqir as dari Jabir Bin Abdullah Anshari.[91] Tiga nama pertama dalam sanad ini menurut kesepatakan ulama adalah muhaddits terkemuka dan perawi yang terpercaya.
Kedua, Abul Jarud adalah orang yang tidak terpercaya yang menjadikan sanad ini tidak dapat dijadikan dalil. Kami katakan, “Abul Jarud adalah seorang tabi’in. Dari mana seorang tabi’in mengetahui bahwa nama para washi as 3 orang bernama Muhammad dan 4 orang bernama Ali? Dan hal tersebut sesuai dengan realita yang ada, sedang Abul Jarud meninggal dunia berpuluh-puluh tahun sebelum hadits ini menjadi suatu kenyataan. Di samping itu Syekh Mufid dalam risalah Adudiyahnya menggolongkannya sebagai orang tsiqah.[92]
Selain itu, Syekh Shaduq juga mengeluarkan hadits tersebut dengan sanad yang lain. Beliau berkata, “Saya diberi kabar oleh ayahku dan Muhammad Bin Hasan ra, keduanya dari Sa’ad Bin Abdillah dan Abdullah Bin Ja’far Himyari, keduanya dari Abul Hasan Sholeh dari Hammad dan Hasan Bin Tharif dari Bakr Bin Shaleh.
Ayahku, Muhammad Bin Musa Mutawakkil, Muhammad Bin Aji Majilwaih, Ahmad Bin Ali Bin Ibrahim Bin Natanah dan Ahmad Bin Ziyad Hamdani ra. mereka merawikan dari Ali Bin Ibrahim dari ayahnya Ibrahim Bin Hasyim dari Bakr Bin Shaleh dan Abdurahman Bin Salim dari Abu Bashir dari Imam Abu Abdillah Shadiq as .... hadits
Kedua sanad di atas sahih, kecuali Bakr Bin Shaleh yang dhaif dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi kedhaifannya di sini tidak berpengaruh, sebab tidak masuk akal orang yang dhaif akan membawa suatu kabar tentang masa depan yang kemudian menjadi kenyataan, lalu -setelah itu- dikatakan bahwa yang membawa kabar tersebut bohong. Orang tersebut meriwayatkan hadits ini dari Imam Musa Bin Ja’far Al-Kadzim as sedangkan dia, dengan melihat masa hidupnya, tidak mengalami zaman Imam Hadi, Imam ‘Askari dan Imam Mahdi as. Dan yang membuktikan kebenaran hal tersebut adalah bahwa guru hadits Hasan Bin Tharif yang meriwayatkan hadits ini dalam sanad pertama dari Bakr Bin Shaleh  bernama Ibnu Abi Umair (wafat 217 H) adalah orang yang sebaya dengannya.
5. Kitab Kifayat Al Atsar Fi Al Nashshi ‘Ala Al Aimmah Al Itsna ‘Asyar karya Khazzar -ulama abad keempat hijriyah-. Kitab tersebut ditulis khusus untuk menukil hadits-hadits yang berkenaan dengan nash akan Imam dua belas lengkap dengan nama mereka. Karenanya riwayat-riwayat tersebut tidak dapat kami nukil di sini. Hanya saja kami merasa perlu menukil sesuatu dari mukaddimah kitab tersebut. Beliau mengatakan, “Kitab ini dimulai dengan menyebutkan riwayat yang mengandung nash akan Imamah mereka as, yang diriwayatkan dari sahabat-sahabat terkenal, semisal, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Mas’ud, Abu Sa’id Khudri, Abu Dzarr Ghiffari, Umar Bin Khattab, Zaid Bin Tsabit, Zaid Bin Arqam, Abu Umamah, Wasilah Bin Asqa’, Abu Ayyub Anshari, Ammar Bin Yasir, Hudzaifah Bin Usaid, Imran Bin Hushain, Saad Bin Malik, Hudzaifah Bin Al Yaman, Abu Qatadah Anshari, Ali Bin Abi Thalib dan dua putra beliau Hasan dan Husein as.
Dari kalangan wanita: Ummu Salamah, Aisyah dan Fatimah putri Rasulullah saw. Diikuti dengan riwayat-riwayat yang berasal dari para Imam as sendiri yang sesuai dengan hadits para sahabat tentang nash imamah mereka, demikian juga dengan nash masing-masing Imam yang menunjuk Imam setelahnya. Hal itu dimaksudkan agar semua orang tahu -jika mereka mau berlaku jujur dan obyektif- dan mengalaminya, bukan yang seperti Allah swt firmankan:[93]
فما اختلفوا الا من بعد ما جاء هم العلم بغياً بينهم .
“Mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” (QS45: 17)
6. Diriwayatkan dalam Kamal Al Din dari Muhammad Bin Ali Bin Majilwaih dan Muhammad Bin Musa Bin Mutawakkil dari Muhammad Bin Yahya Attar dari Muhammad Bin Hasan Shaffar.
Begitu juga dari Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid dari Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Abu Thalib Abdullah Bin Shalt Qummi dari Utsman Bin Isa dari Sumaah Bin Mihram, beliau berkata, “Suatu ketika aku bersama  Abu Bashir dan Muhammad Bin Imran  pelayan Imam Musa, berkata Muhammad Bin Imran, “Saya mendengarkan Imam Abu Ja’far  mengatakan, “Kami adalah dua belas orang Mahdi (orang yang mendapat hidayah)”. Abu Bashir berkata, “Demi Allah saya mendengar hadits ini dari Imam Abu Abdillah Shadiq as. Dia berkata demikian sambil bersumpah sekali atau dua kali bahwa dia mendengarnya dari Imam Shadiq as, ketika itu dia berkata “Tapi saya mendengarnya dari Imam Abu Ja’far.”[94]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Syekh Kulaini dari Muhammad Bin Husein dari Abu Thalib dari Utsman Bin Isa dari Sumaah Bin Mihram dengan teks yang sama.[95]
Seperti yang anda saksikan, sanad hadits di atas adalah shahih, walaupun di silsilah sanad Syekh Shaduq terdapat orang yang hanya dipuji saja dan bukan tsiqah, tetapi para perawi yang lain kesemuanya tsiqah dan dapat dipercaya. Hal tersebut cukup menjadi petunjuk makna hadits “khalifah berjumlah 12 orang”.
7. Disebutkan dalam kitab Al-Kafi dengan sanad yang sahih, dari beberapa orang ulama kita (Syi’ah Imamiyah), dari Ahmad Bin Muhammad Barqi dari Abu Hasyim Daud Bin Qasim Ja’fari dari Abu Ja’far kedua Imam Muhammad Jawad as beliau berkata, “Amirul mukminin Ali as datang bersama Hasan Bin Ali as seraya memegang tangan Salman ...” dalam riwayat ini disebutkan keseluruhan nama-nama para Imam 12 di mulai dengan Ali dan di akhiri dengan Al Mahdi Bin Hasan as.[96]
Kulaini berkata, “Saya mendapatkan hadits dari Muhammad Bin Yahya dari Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Ahmad Bin Abi Abdillah dari Abu Hasyim seperti di atas Muhammad Bin Yahya menyatakan “Saya berkata kepada Muhammad Bin Hasan, “Wahai Abu Ja’far, seandainya hadits ini bukan dari jalur Ahmad Bin Abi Abdullah! Muhammad Bin Hasan menjawab “Dia telah memberitahu saya akan hadits ini sepuluh tahun sebelum masa hairah (keBingungan).”[97]
Yang dimaksud dengan masa keBingungan di sini adalah ghaibnya Imam Mahdi pada tahun 260 H tahun wafatnya Imam Hasan Askari. Apa yang dikatakan oleh Muhammad Bin Yahya bukan merupakan sesuatu yang menjatuhkan kepribadian Ahmad Bin Abu Abdillah Barqi, karena sesuai dengan kesepakatan ulama beliau adalah tsiqah. Seakan-seakan Muhammad Bin Yahya mengkhayalkan seandainya yang menyampaikan hadits ini kepada gurunya (Shaffar) adalah orang yang wafat pada masa hidup Imam Askari as atau Imam Hadi as dan bukannya Barqi yang hidup sampai tahun 274 H atau 280 H menurut pendapat yang lain. Karena membawa kabar sesuatu sebelum terjadi  dan terjadi di kemudian hari merupakan suatu mukjizat yang kebenarannya tidak memerlukan kemasyhuran hadits dengan banyaknya perawi. Sebab bagaimanapun juga hadits tersebut tidak dapat didustakan lagi walaupun hanya diriwayatkan dengan satu sanad saja.
Ketika itulah Shaffar menjawab bahwa Barqi perawi yang tsiqah dan mulia ini telah mengabarinya sepuluh tahun sebelum masa keghaiban pertama dimulai.
Seperti yang sudah diketahui, bahwa seorang perawi -yang belum dinyatakan sebagai orang tsiqah- jika meriwayatkan sebuah hadits yang berkenaan dengan sesuatu yang belum terjadi, haditsnya tersebut dapat diterima bila memenuhi hal-hal yang disyaratkan bagi hadits dhaif, atau bila haditsnya tersebut sesuai dengan  kenyataan. Sebab hal itu akan membuktikan akan kebenarannya, walaupun sang perawi tidak tsiqah.[98]
Semisal dengan  hadits di atas, diriwayatkan oleh Kulaini dan Shaduq dengan sanad yang sahih dari Abban Bin ‘Iyasy dari Sulaim Bin Qais Hilali, dari Abdullah Bin Ja’far Thayyar dari Nabi saw, dalam sebuah hadits yang mengandung nash imamah Imam Ali as kemudian putranya  Hasan lalu Husein setelah itu Ali Bin Husein, Muhammad Baqir as kemudian beliau bersabda “Setelah itu sembilan orang dari keturunan Husein, akan menyempurnakan jumlah 12 orang imam.”[99]
Dhaifnya Abban Bin ‘Iyasy tidak berpengaruh apa-apa di sini, karena riwayat tersebut menjadi kenyataan bertahun-tahun setelah dia meninggal dunia. Dan dalam kitab Kamal Al Din karya Syekh Shaduq terdapat banyak riwayat semacam ini.
Orang yang tidak berpengalaman dalam masalah hadits akan langsung menafikan kekuatan argumentasi riwayat-riwayat semacam itu, karena menurut anggapannya, sanad hadits tersebut adalah sanad yang dhaif, walaupun yang dinyatakan dhaif dalam sanad tersebut adalah perawi-perawi yang telah meninggal dunia jauh sebelum sejarah menyaksikan kehidupan keduabelas imam as.
Mukjizat semacam ini terdapat dalam kebanyakan hadits-hadits mengenai keghaiban Imam kedua belas as seperti yang dinyatakan oleh Shaduq. Beliau menyatakan, “Para imam telah mengabarkan keghaiban beliau dan sifat-sifatnya kepada Syi’ah Ahli Bait dalam hadits-hadits mereka yang ditulis lebih kurang 200 tahun sebelum terjadi kegaiban tersebut, sehingga tidak ada seorang pengikut para imam Ahli baitpun, kecuali menyebutkannya dalam kitab-kitab dan karyanya.
Kitab-kitab yang dikenal dengan sebutan Ushul tersebut disusun dan dipelihara oleh Syi’ah Ahli Bait seperti yang akan kami katakan, bertahun-tahun sebelum masa kegaiban. Dalam buku ini, saya menukil sebagian hadits-hadits itu yang saya dapatkan mengenai masalah ini dengan sanad yang bersambung.
Mereka, yang menulis masalah kegaiban Al Mahdi as tidak keluar dari tiga alternatif. Pertama, mereka memiliki ilmu gaib sehingga mengetahui kegaiban Al Mahdi sebelum masanya, seperti yang sekarang ini terjadi lalu menulisnya dalam kitab mereka. Orang yang mau sedikit berpikir, akan menilai bahwa alternatif ini tidak masuk akal.
Kedua, mereka memasukkan suatu dusta dan kebohongan dalam kitab-kitab mereka, dan membangun mazhab mereka atas dasar kebohongan ini, yang dikemudian hari menjadi kenyataan, padahal tempat tinggal mereka saling berjauhan, pemikiran merekapun berbeda. Alternatif inipun tidak berbeda dengan sebelumnya.
Tinggal alternatif terakhir, yaitu mereka mendapatkannya dari imam-imam mereka yang menjaga dan memelihara wasiat Rasulullah saw, akan adanya masa ghaibah bagi Imam, juga bagaimana terjadinya hal tersebut. Mereka menyimpan wasiat ini mulai dari Imam pertama sampai Imam terakhir dan mereka tulis dalam buku-buku dan kitab-kitab yang mereka namakan ushul.”[100]
Ushul yang dikatakan oleh Shaduq di atas, menurut beliau penisbatannya kepada para penulisnya telah disepakati, seperti disepakatinya kitab Kamal Al Din kepada Syekh Shaduq. Hal ini berarti bahwa, penyampaian kabar keghaiban Al Mahdi, walaupun sanadnya dhaif, tidak mempengaruhi kebenarannya karena diriwayatkan dari sumber Syi’ah Imamiyah. Dan yang akan kami sebutkan hanyalah hadits-hadits yang secara sanad sahih sampai ke imam atau hadits-hadits yang menyebutkan mata rantai imamah sebelum menjadi kenyataan, walaupun tidak ada penegasan akan ketsiqahan sang perawi.

Al Mahdi keturunan kesembilan dari Al Husein as

Kesimpulan ini, walaupun sudah dapat diambil melalui pembahasan-pembahasan yang lalu, tapi untuk lebih menguatkannya lagi, dalam pembahasan ini kami nukilkan beberapa nash yang dijadikan pegangan oleh ulama Ahli Sunnah dan beberapa buah hadits dari sumber Syi’ah, agar kajian ini lebih ringkas.
Riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai beikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Salman Farisi, Abu Said Khudri, Abu Ayyub Anshari, Ibnu Abbas dan Ali Al-Hilali -dengan teks yang berbeda-beda- dari Rasulullah saw beliau bersabda:
يا فاطمة انا اهل بيت اعطينا ست خصال لم يعطها احد من العالمين   ولا يدركها احد من الاخرين غيرنا اهل البيت -الى ان قال- ومنا مهدي هذه الامة الذي يصلى عيسى خلفه ثم ضرب على منكب الحسين (ع) فقال: من هذا مهدي الامة .
“Wahai Fatimah, kita Ahli Bait telah dikaruniai enam perkara yang tidak didapatkan oleh seorangpun baik mereka yang telah berlalu maupun yang akan datang, selain dari kita Ahli Bait -sampai beliau bersabda- dari kitalah Mahdi umini di mana Nabi Isa as akan menunaikan shalat di belakangn. Lalu beliau saw menepuk pundak Husein as dan bersabda “Mahdi umat ini dari keturunannya”.[101]
2. Dalam ‘Iqd Al Durar Muqaddasi Syafi’i meriwayatkan dari Ali as yang di dalamnya terdapat:
إن المهدي من ولد الحسين ألا من تولى غيره لعنه الله .
“Al Mahdi dari keturunan Husein. Ingatlah, barang siapa yang mengikuti orang selain dia, Allah swt akan melaknatnya.”[102]
Muqaddasi mengatakan “Pasal ini kami akhiri dengan kata-kata Imam Ali as, sang penakluk para pahlawan, yang mengandung pengertian akan datangnya kejadian-kejadian yang menakutkan, perkara-perkara yang sulit dan keluarnya Imam Mahdi yang akan menyelesaikan semua dilema dan memporak-porandakan tentara gabungan musuh Islam.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
3. Juga dari ‘Iqd Al Durar dari Jabir Bin Yazid dari Imam Baqir as dalam sebuah hadits yang panjang, beliau mengatakan “Dan Al Mahdi, wahai Jabir, seorang dari keturunan Al-Husein.”[103]
4. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili dalam Syarh ?Nahjul Balaghah mengenai perkatan Imam Ali as: و بنا تختم لا بكم  mengatakan, “Kalimat ini menunjuk kepada Imam Al Mahdi yang kelak akan muncul di akhir zaman. Sebagian besar muhadditsin mengatakan bahwa beliau dari keturunan Fatimah as. Ulama kita, Mu’tazilah tidak mengingkari hal ini seperti yang mereka tegaskan dalam kitab-kitab mereka. Qadhil Qudhat rahmatullah ‘alaih meriwayatkan dari Kafil Kufah Abul Qasim Bin Abbad rahimahullah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Imam Ali as bahwa beliau menyebutkan  Al Mahdi dan berkata, “Dia adalah seorang dari keturunan Al-Husein”.
Ketika menyebut ketampanannya, beliau mengatakan “Al Mahdi memiliki dahi yang lebar, hidung yang mancung, perut yang besar, paha yang kekar, gigi seri yang tampak menawan dan di paha sebelah kanannya terdapat tanda.”
Hadits ini dengan teks yang sama juga dirawikan oleh Abdullah Bin Quthaibah dalam kitab Gharib Al Hadits.[104]
5. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah, menukil dari kitab Manaqibnya Khawarizmi, dengan sanadnya dari Imam Husein as beliau berkata:
دخلت على جدي رسول الله فاجلسني على فخذه وقال لي: ان الله اختار من صلبك يا حسين تسعة ائمة تاسعهم قائمهم وكلهم في الفضل والمنزلة عند الله سواء .
"Suatu hari, ketika saya masuk ke tempat kakekku Rasulullah saw, beliau mendudukkanku di atas pangkuannya seraya bersabda: “Wahai Husein, sesungguhnya Allah telah memilih sembilan orang Imam dari keturunanmu. Orang kesembilan dari mereka ada yang kelak akan bangkit menegakkan kebenaran. Mereka semua di sisi Allah memiliki keutamaan dan derajat yang sama.”[105]
6. Di dalam Yanabi’ Al Mawaddah menukil dari Manaqibnya Khawarizmi dengan sanad dari Salman, beliau berkata, “Suatu hari saya datang kepada Rasulullah saw yang ketika itu sedang memangku Husein Bin Ali seraya mencium kedua mata dan mengecup mulutnya beliau bersabda:
أنت سيد ابن سيد أخو سيد أنت إمام ابن إمام أخو إمام أنت حجة  أبو حجة وأنت أبو حجج تسعة تاسعهم قائمهم .
“Engkau adalah pemimpin, putra pemimpin, saudara pemimpin. Engkau adalah putra Imam, saudara Imam. Engkau adalah hujjah, ayah hujjah dan ayah dari sembilan orang hujjah. Orang kesembilan dari mereka adalah yang akan bangkit menegakkan kebenaran.”[106]
Hadits dari Salman ini diriwayatkan  oleh Shaduq dalam kitab Al Khishal dengan sanad yang sahih sekali. Shaduq berkata, “Saya mendapatkan dari ayah saya yang mendapatkannya dari Saad Bin Abdullah dari Ya’qub Bin Yazid dari Hammad Bin Isa dari Abdullah Bin Miskan dari Aban Bin Taghlib dari Sulaim Bin Qais Hilali `ari Salman Farisi beliau berkata:
دخلت على النبي واذا الحسين على فخذيه و هو يقبل عينيه ويثلم فاه وهو يقول: انت سيد ابن سيد اخو سيد انت امام ابن امام ابو الائمة   انت حجة ابن حجة ابو حجج من صلبك تاسعهم قائمهم .
Suatu hari aku masuk ke tempat Rasulullah saw yang ketika itu sedang memangku Husein sembari menciumi kedua mata dan mulutnya, dan bersabda “Engkau adalah pemimpin putra seorang pemimpin, saudara seorang pemimpin. Engkau adalah Imam putra Imam dan ayah dari para mam. Engkau adalah Hujjah putra seorang Hujjah dan ayah dari para Hujjah. Dari sulbimu akan lahir Imam kesembilan Qaim dari para Imam.”[107]
7. Diriwayatkan dalam Ushul Al Kafi dari Ali Bin Ibrahim dari ayahnya Ibrahim Bin Hasyim dari Muhammad Bin Abi Umair dari Said Bin Ghazwan dari Abu Bashir dari Abu Ja’far Imam Baqir as beliau berkata:
يكون تسعة ائمة بعد الحسين بن علي تاسعهم قائمهم .
"Setelah Husein Bin Ali terdapat sembilan orang imam. Yang kesembilan dari mereka adalah yang kelak bangkit menegakkan kebenaran.”[108]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Shaduq dari ayahnya dari Ali Bin Ibrahim yang kelanjutan sanadnya sama dengan sanad Al-Kafi dengan teks yang sama seperti di atas.[109] Di dalam silsilah sanad tersebut tidak ada satupun perawi yang layak untuk diragukan kebesaran dan kemuliaannya dalam penukilan riwayat.
8. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah dinukil dari Faraidh Al Simthain karya Hamwaini Juwaini Syafi’i, dengan sanad dari Ashbagh Bin Nabatah dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda:
انا وعلي والحسن والحسين وتسعة من ولد الحسين مطهرون معصومون
“Aku, Ali, Hasan, Husein dan sembilan orang dari keturunan Husein adalah orang-orang suci dan maksum”.[110]

 

Al Mahdi, Muhammad Bin Hasan Askari as

Di bawah judul ini akan kami sebutkan beberapa riwayat yang tidak dapat dita’wilkan lagi, karena telah dengan jelas menunjuk kepada pribadi Imam Mahdi as dan kabar gaibah sebelum terjadinya. Riwayat-riwayat tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh Shaduq dengan sanadnya yang sahih dari Muhammad Bin Hasan Bin Walid dari Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Ya’qub Bin Yazid dari Ayyub Bin Nuh, dia berkata, “Saya mengatakan kepada Imam Ridha as, “ Kami berharap bahwa Imam Mahdi yang akan memegang kekuasaan dunia adalah anda dan semoga Allah menganugerahkannya kepada anda dengan tanpa mengangkat pedang. Sebab anda telah dibai’at dan uangpun dicetak dengan nama anda.” Beliau menjawab, “Tidak seorangpun dari kami baik yang menerima banyak surat dari pengikutnya, yang menjawab banyak persoalan, yang ditunjuk oleh banyak juri maupun yang mendapatkan banyak harta, kecuali terbunuh atau mati di atas pembaringan. Sampai Allah mengutus seorang yang lahir dengan rahasia dengan silsilah nasab yang jelas, untuk memegang kekuasaan ini.”[111]
Di dalam hadits ini terdapat singgungan akan kelahiran Imam Mahdi yang hanya diketahui oleh orang-orang kepercayaan Imam Abu Muhammad Hasan Bin Ali  Askari as karena itu dalam hadits sahih yang lain dikatakan:
ان المهدي هو من يقول الناس لم يولد بعد .
"Al Mahdi yaitu yang dikatakan oleh orang-orang bahwa dia belum lahir.”
Shaduq meriwayatkan dengan sanad sahih sekali dari ayahnya dari Saad Bin Abdillah dari Hasan Bin Musa Khasysyab dari Abbas Bin Amir Qashbani, dia berkata, “Saya mendengar Abul Hasan Imam Musa Bin Ja’far as mengatakan “Imam Mahdi adalah yang orang-orang mengatakan dia belum lahir ke dunia.”[112]
2. Muqaddasi Syafi’i dalam kitab ‘Iqd Al Durar, meriwayatkan dari Imam Baqir as, beliau berkata, “Imam Mahdi adalah seorang yang paling muda di antara kami yang menyandang imamah.”[113] Dalam hadits, terdapat isyarat, bahwa yang dimaksud sebagai Imam Mahdi adalah Muhammad Bin Hasan Askari as
3. Syekh Kulaini meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ali Bin Ibrahim dari Muhammad Bin Husein dari Ibnu Abi Najran dari Fadhlah Bin Ayyub dari Sudair Shairafi, dia berkata: Saya mendengar Imam Baqir berkata: “Imam Mahdi memiliki kesamaan dengan Nabi Yusuf as -sampai beliau berkata-umat tidak menyadari apa yang Allah perbuat terhadap hujjahNya sebagaimana yang Dia lakukan terhadap Yusuf as di mana beliau berjalan di tengah-tengah pasar, dan hidup seperti layaknya orang biasa sampai Allah memberi izin kepadanya seperti memberi izin kepada Yusuf. Mereka berkata “Apakah engkau ini Yusuf? Dia menjawab “Ya, saya Yusuf.”[114]
4. Dalam Yanabi’ Al Mawaddah dari Imam Ridha as beliau berkata:
الخلف الصالح من ولد الحسين بن علي العسكري هو صاحب الزمان  وهو المهدي - سلام الله عليه -.
“Imam terakhir yang shaleh adalah putra Hasan Bin Ali askari. Dialah Shahibuz Zaman, Al Mahdi as.”
Qunduzi dalam Yanabi’ Al Mawaddah menegaskan bahwa Abu Nu’aim Isfahani menyebutnya dalam kitab Arba’in.[115]
5. Dalam kitab yang sama, Imam Ridha as berkata:
ان الامام من بعد ابني محمد وبعد محمد ابنه علي وبعد علي ابنه   الحسن وبعد الحسن ابنه الحجة القائم وهو المنتظر في غيبته المطاع في  ظهوره فيملأ الارض قسطا وعدلا كما ملئت جورا و ظلما و اما متى  يقوم فاخبار عن الوقت لقد حدثني ابي من ابائه عن رسول الله (ص)   قال: مثله كمثل الساعة لا تأتيكم إلا بغتة.
“Sesungguhnya Imam sepeninggalku adalah putraku Muhammad setelah Muhammad putranya,Ali kemudian Hasan Bin Ali lalu Hujjah Al-Qaim. Dialah yang dinanti-nanti kemunculannya, untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman. Adapun pertanyaan, kapan waktunya, ayahku memberitahuku, dari ayah dan kakeknya dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “kedatangannya (Al Mahdi) ibarat hari kiamat, yang datang dengan tiba-tiba.”[116]
6. Dalam Ushul Al Kafi diriwayatkan dengan sanad yang   sahih,  dari Ali Bin Ibrahim dari Hasan Bin Musa Khasysyab dari Abdullah Bin Musa dari Abdullah Bin Bakr dari Zurarah, dia berkata, saya mendengar Imam Ja’far Shadiq as mengatakan,”
ان للغلام غيبة قبل ان يقوم .
Al Mahdi akan mengalami masa gaibah”, Zurarah berkata, “Saya bertanya mengapa hal itu mesti terjadi? Beliau menjawab: “karena takut”. seraya menunjuk ke perut beliau. Kemudian beliau berkata
يا زرارة، وهو المنتظر الذي يشك في دلالته منهم من يقول مات أبوه بلا خلف ومنهم من يقول حمل (أي مات ابوه وهو حمل في بطن امه)  ومنهم من يقول انه ولد قبل موت ابيه بسنتين. وهذا المنتظر غير أن الله عزوجل يحب ان يمتحن الشيعة فعند ذلك يرتاب المبطلون يا زرارة ...
 “Wahai Zurarah, dialah Al-Muntazhar diragukan. Sehingga  ada yang mengatakan, Ayahnya wafat tanpa meninggalkan keturunan. Ada juga yang mengatakan, dia ada di dalam kandungan kala  ayahnya  wafat.  Ada pula   yang berkata, dia  telah dilahirkan  dua tahun  sebelum  sang ayah meninggal  dunia. Dialah yang dinanti-nantikan kedatangannya.   Hanya saja Allah swt suka menguji Syi’ah,  dengan itu orang-orang yang sesat akan jatuh ke dalam keragu-raguan.”[117]
7. Riwayat dalam Ushul Al Kafi, dari Muhammad Bin Yahya, dari Muhammad Bin Husein dari   Ibnu Mahbub   dari Ishaq Bin Ammar,  Imam Abu Abdillah Ja’far Shadiq sa. berkata:
للقائم غيبتان  احداهما قصيرة والاخرى طويلة والغيبة الاولى لا يعلم بمكانه فيها إلا خاصة شيعته والاخرى لا يعلم بمكانه فيها إلا خاصة مواليه
“Al-Qaim (salah satu gelar Al Mahdi) mempunyai dua masa gaibah, yang satu sebentar dan yang lain lama sekali. Dalam gaibah pertama, tak ada yang mengetahui tempatnya kecuali orang-orang khusus dari Syi’ah dan pengikutnya. Dan dalam ghaibah kedua tak ada yang tahu tempatnya kecuali orang-orang khusus dari mereka yang dekat dengannya.”[118]
Tidak diragukan bahwa hadits ini benar-benar berasal dari Imam Shadiq, sebab keseluruhan perawinya adalah orang-orang tsiqah. Dan hadits ini jelas menunjuk kepada Imam Mahdi Bin Hasan Askari as lebih jelas dari sinar matahari di siang bolong.
8. Dalam kitab Kamal Al Din dengan sanad yang sahih, Shaduq berkata, “Saya meriwayatkan dari ayah ... dari Abdullah Bin Ja’far Himyari dari Ayyub Bin Nuh dari Muhammad Bin Abi Umair dari Jamil Bin Daraj dari Zurarah. Berkata Zurarah, “Abu Abdillah Imam Shadiq mengatakan
يأتي على الناس زمان يغيب عنهم امامهم
“Kelak akan datang satu hari, di mana Imam dan pemimpin umat manusia berada dalam kegaiban”. Saya bertanya, Apa gerangan yang harus dilakukan ketika itu?  Imam menjawab:
يتمسكون بالامر الذي هم عليه حتى يتبين لهم
“Hendaknya mereka memegang teguh keyakinan mereka sampai kedatangan sang Imam menjadi jelas.”[119]
9. Dalam kitab Ushul Al Kafi dari Ali Bin Ibrahim dari ayahnya dari Ibnu Abi Umair dari Abu Ayyub Khazzaz dari Muhammad Bin Muslim. Dia berkata, “Saya mendengar Imam Ja’far Shadiq mengatakan:
ان بلغكم عن صاحب هذا الامر غيبة فلا تنكروها
“Jika kalian mendengar ghaibah Imam Mahdi, janganlah kalian ingkari.”[120]
Tidak ada seorang imampun yang memiliki masa ghaibah kecuali Imam Mahdi as. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, padahal beliau, ketika Imam Shadiq mengatakan hadits di atas, belum lahir ke dunia. Oleh karena itu, Imam Shadiq menekankan dalam hadits di atas akan ghaibahnya setelah beliau dilahirkan.
Hadits ini dikeluarkan oleh Kulaini dengan dua sanad yang bersih dan  tidak mengandung keraguan sama sekali, menurut kesepakatan seluruh ulama Syi’ah.
10. Dalam kitab Kamal Al Din, Syekh Shaduq berkata “Saya mendengar hadits dari ayah dari Muhammad  Bin Hasan  ra. keduanya dari Saad Bin Abdullah, Abdullah Bin Ja’fa, Himyari dan Ahmad Idris kesemuanya dari Ahmad Bin Muhammad Bin Isa, Muhammad Bin Husein Bin Abul Khattab, Muhammad  Bin Abu Najran dari Muhammad Bin Musawir dari Mufadhdhal Bin Umar Ja’fi, Dia berkata, “Saya mendengar Imam Shadiq as berkata:
اياكم و التنويه اما والله ليغيبن امامكم سنينا من دهركم ولتمحصن حتى يقال: مات أو هلك باى واد سلك ولتدمعن عليه عيون المؤمنين ولتكفأن كما تكفأ السفن في امواج البحر ولا ينجو إلا من اخذ الله   ميثاقه وكتب في قلبه الإيمان وأيده بروح منه ...
“Hendaknya kalian tidak membongkar rahasia. Sungguh demi Allah! Suatu saat Imam kalian akan ghaib dari tengah-tengah kalian bertahun-tahun lamanya. Kala itu kalian akan diuji dan sebagian orang akan mengatakan Oh, Imam sudah meninggal dunia di lembah yang ditelusurinya. Ketika itulah kaum mu’minin akan menangis. Waktu itu keadaan kalian laksana kapal yang dipermainkan oleh gelombang ombak lautan. Tak akan ada yang selamat kecuali mereka yang telah mengikat perjanjian dengan Allah dan yang telah memantapkan imannya dan menguatkannya dengan ruhNya...”[121]
Para perawi sebelum Muhammad Bin Musawir dalam sanad ini, kesemuanya adalah orang-orang mulia dan perawi terpercaya, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Adapun Muhammad Bin Musawir telah meninggal dunia tahun 183 H sedangkan keadaannya tidak jelas. Ketsiqahan Mufadhdhal diragukan, tapi hadits ini dapat menjadi bukti kejujuran mereka dalam membawa amanat riwayat ini, karena hadits ini menyandang mukjizat yang menjadi kenyataan 77 tahun setelah wafatnya Ibnu Musawir dengan terjadinya ghaibah tahun 260 hijriyah.
Syekh Kulaini juga meriwayatkannya dengan sanad yang sahih yang sampai kepada Muhammad Bin Musawir dari Mufadhdhal.[122] Hal yang menjadikan kita yakin akan kebenaran hadits ini, adanya hadits-hadits lain dari Ahli bait yang mengandung makna yang sama, seperti:
Riwayat yang sahih Abdullah Bin Sinan yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq dari ayahnya dan Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid dari Shaffar dari Abbas Bin Ma’ruf, dari Ali Bin Mahziyar dari Hasan Bin Mahbub dari Hammad Bin Isa dari Ishaq Bin Jarir dari Abdullah Bin Sinan. Dia berkata, “Saat aku bersama ayahku menemani Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata:
فكيف انتم اذا صرتم في حال لا ترون فيها إماما هدى ولا علما يرى
"Bagaimanakah keadaan kalian jika mengalami satu masa, di mana kalian tidak dapat menemukan Imam yang menuntun kalian?”[123]
11. Dalam Ushul Al Kafi diriwayatkan dari beberapa orang perawi Syi’ah, dari Ahmad Bin Muhammad Bin Isa dari ayahnya, Muhammad Bin Isa dari Ibnu Bukair dari Zurarah. Dia berkata, “Saya mendengar Imam Shadiq as berkata:
إن للقائم غيبة قبل ان يقوم انه يخاف
"Imam Mahdi akan mengalami masa ghaibah sebelum bangkit, karena dia kuatir -sambil menunjuk perut beliau-. Yakni kuatir akan dibunuh sebelum bangkit menegakkan keadilan.[124] Sanad hadits ini termasuk sanad-sanad yang sahih sekali, tanpa ada perselisihan akan hal ini.
12. Dalam ‘Iqd Al Durar Muqaddasi Syafi’i meriwayatkan dari Imam Husein, syahid, beliau berkata:
لصاحب هذا الامر - يعني الإمام المهدي (عج) - غيبتان احداهما تطول حتى يقول بعضهم مات وبعضهم قتل وبعضهم ذهب ....
"Imam Mahdi mempunyai dua masa ghaibah. Salah satunya waktu yang panjang, sehingga ada yang mengatakan dia telah mati, sebagian beranggapan bahwa dia terbunuh dan yang lain berkata, dia pergi...”[125]
Riwayat sejenis -dengan sanad yang sahih telah lebih dahulu kami sebutkan dalam hadits nomor 6 dan 7, silahkan merujuk.
13. Dalam kitab Kamal Al Din, Shaduq meriwayatkan dari ayahnya dan Muhammad Bin Hasan ra, dari Saad Bin Abdullah dan Abdullah Bin Ja’far Himyari keduanya dari Ahmad Bin Husein Bin Umar  Bin Yazid dari Husein Bin Rabi’ Mada’in[126] dari Muhammad Bin Ishaq dari Usaid Bin Tsi’labah  dari Ummu Hani’, dia berkata,” saya mendengar Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as dan menunjuk maksud ayat
فلا اقسم بالخنس الجوار الكنس
"Sungguh Aku bersumpah dengan Bintang-Bintang yang beredar dan terbenam”, beliau menjawab dan berkata, “Dialah Imam yang mengalami masa ghaibah pada tahun 260, kemudian dia akan muncul kembali bagaikan Bintang yang terang benderang pada malam yang gelap gulita. Sungguh beruntung sekali jika engkau mengalami masa itu.”[127]
Ahmad Bin Husein Bin Umar Bin Yazid menurut kesepakatan ulama adalah tsiqah, begitu juga dengan perawi di dalam sanad ini. Ahmad Bin Husein banyak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far Shadiq dan Imam Musa Kadzim, sebagaimana yang ditegaskan oleh Najasyi dalam biografinya. Adapun perawi setelahnya, yang dapat menjadi bukti kejujuran mereka adalah wafatnya mereka sebelum kabar dalam hadits yang mereka sampaikan menjadi kenyataan. Di samping itu, orang-orang yang tsiqah, banyak yang meriwayatkan hadits dari mereka. Karenanya, dapat kita simpulkan bahwa hadits ini dapat menjadi bukti kejujuran mereka.
14. Dalam kitab Kamal Al Din, Syekh Shaduq meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Muhammad Bin Hasan ra. dari Saad Bin Abdillah dari Abu Ja’far Muhammad Bin Ahmad Alawy dari Abu Hasyim Daud Bin Qasim Ja’fari, “Saya mendengar Abul Hasan Imam Ali Hadi as berkata:
الخلف من بعدي ابني الحسن فكيف لكم بالخلف من بعد الخلف
"Sepeninggalku, putraku Hasan yang akan menempati tempatku. Apa yang kalian perbuat dengan Imam setelahnya?” Saya bertanya,Ada apa gerangan dengannya ? Imam berkata:
لأنكم لا ترون شخصه ولا يحل لكم ذكر باسمه
"Kalian tidak akan melihatnya, dan kalian tidak boleh menyebut namanya.” Saya bertanya lagi lalu bagaimana kami menyebutnya ?” Imam mengatakan:
قولوا الحجة من آل محمد صلى الله عليه واله
“Sebutlah ia dengan Hujjah dari keluarga Muhammad saw”[128]
Sanad hadits ini dapat dijadikan argumen, karena keseluruhan perawinya adalah orang-orang tsiqah. Alawy adalah seorang ulama besar Syi’ah sebagaimana disebutkan oleh Najasyi dalam kitab rijalnya, ketika menulis biografi Al-Umraki Al-Bufaki.[129]
Riwayat-riwayat ini kami cukupkan sampai di sini dengan mengingatkan pembaca akan  tiga hal, yaitu:
Pertama: Hadits terakhir tidak mengandung arti bahwa Imam Mahdi tidak dapat dilihat sama sekali. Sebab kata-kata Imam Hadi as (Kalian tidak dapat melihatnya) jika dihubungkan dengan larangan menyebutkan nama beliau karena khawatir akan keselamatannya dari kejaran para musuh Allah yang ingin menghabisinya, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits, mengandung indikasi bahwa yang dimaksudkan adalah ghaibah beliau. Dengan demikian makna hadits terakhir adalah sebagai berikut:
"Kalian tidak dapat melihat Al Mahdi setiap waktu kalian menghendakinya. Kalian tidak dapat menemuinya sesuka kalian menemui diriku kapanpun kalian menginginkannya. Karena beliau mengalami masa ghaibah. Dan janganlah sekali-kali kalian menyebut namanya supaya musuh Allah tidak mengenalnya sebab mereka akan menangkap dan membunuhnya.”
Kesimpulan: Penafian kemungkinan melihat beliau, maksudnya adalah ghaibah, dan larangan menyebutkan nama beliau dikarenakan kekhawatiran akan keselamatannya. Khususnya penafian dan larangan tersebut berkenaan dengan masa ghaibah dan tertuju kepada mereka yang mendengar hadits tersebut, bukan kepada selain mereka. Jika tidak demikian, bagaimana kita akan dapat memahami hadits ini padahal ratusan orang dari sahabat-sahabat setia ayah beliau, Imam Askari di masa hidupnya telah melihat Al Mahdi , dengan izin sang ayah. Juga banyak pula yang melihat beliau setelah Imam Askari wafat, sebagaimana yang akan kita bicarakan nanti.
Kedua: Seluruh hadits yang kami sebutkan di atas hanya merupakan sebagian kecil dari hadits-hadits yang ada dalam masalah ini. Pemilihan riwayat-riwayat tersebut tidak berdasarkan seleksi ilmiah. Artinya ketika kami membahas sanad-sanad hadits sahih seperti di atas, tidak ada maksud untuk menanamkan kepercayaan akan masalah ini, sebab kepercayaan tersebut harus terlebih dahulu tertanam kuat di hati sebelum masuk ke dalam pembahasan. Akan tetapi hal itu kami lakukan untuk menguatkan apa yang kami klaim. jika tidak demikian, kita tidak perlu sama sekali membahas sanad-sanadnya, karena dua hal.
Pertama, banyak hadits yang menyatakan dengan tegas akan keberadaan Imam yang membimBing umat manusia ke jalan hidayah sampai akhir zaman, seperti yang telah kami jelaskan. Maka dari itu, masihkah kita perlu untuk membahas sanad hadits yang lain ?
Kedua, banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dan berkenaan dengan Imam Mahdi as dinukil secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis berpuluh-puluh tahun sebelum kelahiran beliau, seperti yang disaksikan oleh Syekh Shaduq. Karena itu, dhaifnya sebagian perawi dalam sanad hadits-hadits tersebut tidak mengurangi nilai kesahihannya, sebab kabar yang dibawanya mengandung mu’jizat yang terjadi di kemudian hari, dan hal itu bukti akan kebenaranya.
Ketiga: Hadits-hadits tentang Al Mahdi yang berasal dari Nabi saw dan Ahli Bait as, mengungkapkan akan satu hal, yang disepakati oleh puluhan orang tsiqah dan jujur untuk meriwayatkannya. Tidak ada perbedaan dalam membuktikan kebenaran hal ini antara hadits yang memiliki sanad sahih dengan yang dhaif. Sebab jika ada seorang yang jujur mengatakan bahwa Zaid meninggal dunia, lalu orang datang dengan berita yang sama. Kita tidak layak untuk mengatakan kepadanya “Anda berdusta”. Demikian pula jika datang orang  ketiga, keempat, kelima...kesepuluh dengan berita yang sama, kita tidak pantas untuk mengatakan “Kalian bohong”, walaupun kita tidak mengetahui sejauh mana kejujuran mereka. Akan tetapi masing-masing berita tersebut berubah menjadi satu keyakinan yang dengan banyaknya bukti dan hal-hal yang mendukung kebenarannya, alternatif ketidakbenaran berita tersebut mengecil sedikit demi sedikit sampai pada angka nol.
Logika penghitungan dengan teori alternatif seperti di atas, yang didasari oleh teori matematis untuk sampai pada suatu keyakinan yang obyektif dengan banyaknya jumlah berita tentang satu hal yang sama, mustahil meleset dan tidak sesuai dengan realita.
Dari sini dapat diketahui bahwa usaha untuk menebarkan keragu-raguan akan kebenaran hadits-hadits Al Mahdi atau pemutarbalikan fakta tentang pribadi mulia beliau kepada orang lain, seperti yang dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu hadits yang dangkal tanpa mengindahkan asas-asas ilmiah, khususnya setelah dipastikan bahwa hadits-hadits tersebut sangat cocok dengan pribadi Imam Muhammad Bin Hasan Askari as.
Usaha ini merupakan cara mereka untuk memanifestasikan kekalahan fatal yang mereka pendam di dalam hati dan kepicikan dalam berpikir untuk memberantas suatu keyakinan, walaupun dengan segala kedustaan dan kebohongan.
Maka dari itu mereka katakan bahwa, tidak ada satu haditspun yang sahih dari hadits-hadits tersebut, dan menutup-nutupi hadits-hadits yang sahih. Sebagaimana anda ketahui, usaha-usaha yang dilakukan dengan memutar-balikkan aqidah melalui seni jurnalistik yang bernapaskan Barat, bernaung di bawah atapnya, bergerak dengan tangannya dan dibiayai oleh antek-anteknya.  Mereka lupa bahwa aqidah bukanlah debu yang dapat terbang dengan tiupan angin. Mereka juga telah meninggalkan apa yang digariskan oleh Nabi saw dan keluarganya as bagi umat agar dapat mengenal dengan benar siapa Imam Mahdi, lengkap dengan nama dan nasabnya.

 
 

KELAHIRAN IMAM MAHDI (A.S.)

 
Sebenarnya kita tidak perlu menjelaskan kelahiran Imam Mahdi dan membuktikannya lewat sejarah, setelah kita mengetahui kesepakatan kaum muslimin bahwa beliau adalah seorang dari Ahli Bait yang akan datang dan bangkit di akhir zaman. Juga telah kita ketahui hasil study kita tentang hadits-hadits yang menjelaskan akan nasab Imam Mahdi, dimana kesimpulan yang kita ambil tanpa keraguan sedikitpun adalah bahwa Al Mahdi Imam kedua belas dari Imam-Imam Ahli Bait as.
Beliau adalah Muhammad Bin Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Bin Musa Bin Ja’far Bin Muhammad Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as. Dari jalur ayah keturunan Imam Husein sedangkan dari pihak ibu keturunan Imam Hasan as, dari Fatimah Binti Hasan cucu pertama Nabi saw, ibu Imam Muhammad Baqir Bin Ali Bin Husein as.
Ini berarti bahwa membahas kelahiran Imam Mahdi dan membuktikannya adalah suatu pembahasan yang tidak perlu dilakukan lagi, jika bukan karena adanya usaha pengkaburan fakta sejarah tentang beliau, seperti yang dilakukan oleh paman beliau, Ja’far Kadzdzab yang mengaku bahwa saudaranya, Imam Askari, tidak memiliki keturunan, yang kemudian didukung oleh penguasa saat itu dengan memberikan harta peninggalan Imam Askari kepadanya, sebagaimana yang diriwayat oleh ulama Syi’ah Imamiyyah. Selain mereka tidak ada orang lain yang meriwayatkan kejadian tersebut kecuali menukilnya dari mereka. Tapi bagaimanapun juga, hal itu cukup menjadi dalil bagi orang yang obyektif dan mau sedikit merenung. Sebab bagaimana mungkin orang Syi’ah akan meriwayatkan satu hal yang tidak mereka yakini, kecuali bila mereka telah meyakini kebohongannya.
Sama seperti yang mereka riwayatkan berkenaan dengan pengingkaran Muawiyah akan kedudukan Ali di sisi Rasulullah saw. Pengingkaran Muawiyah tersebut pasti dan dan kedudukan Ali di sisi Rasulullah saw juga jelas Kepastian kedua hal itu menurut Syi’ah adalah hal yang tidak diragukan lagi, karena sudah menjadi keyakinan mereka. Demikian pula pengingkaran Ja’far Kadzdzab sudah jelas juga dukungan rezim penguasa kala itu atas klaim batilnya tersebut. Dilain pihak, kelahiran Imam Mahdi telah dibuktikan dengan kesaksian banyak orang. Dalil apa lagi yang harus diajukan setelah adanya kesaksian ini?
Akan tetapi orang yang menyantap hidangan pemikiran Barat dan menyimpang dari jalan yang semestinya, tidak akan pernah ragu untuk mengeksploitasi dan memutarbalikkan fakta yang ada lalu membungkusnya dengan baju baru yag diberi nama “pembaharuan”.
Karena itu kita katakan, bahwa kelahiran seseorang di alam ini cukup dibuktikan dengan adanya pengakuan dari sang ayah dan kesaksian wanita yang membidani kelahirannya, walaupun tidak ada orang lain yang melihat si jabang bayi. Lalu bagaimana dengan orang yang ratusan orang menyatakan telah melihatnya, para ahli sejarahpun membenarkan dan mengakui kelahirannya, bahkan para ahli nasab (silsilah keturunan)pun menunjukkan nasab keturunannya, mereka yang dekat dengannya banyak menyaksikan keajaibannya, adanya pesan-pesan penting, petuah-petuah, nasehat-nasehat, bimBingan-bimBingan, surat-surat, petunjuk-petunjuk, do’a-do’a, shalat-shalat, ucapan-ucapan yang masyhur dan kata-kata yang semuanya berasal dari dia, selain itu beliau juga memiliki wakil-wakil terkenal, duta-duta yang masyhur dan para pengikut yang berjumlah jutaan orang di setiap masa dan generasi ?
Saya tidak tahu, apa yang dimaukan oleh mereka dengan memutarbalikkan fakta ini dan mengingkari kelahiran Imam Mahdi as, selain dalil yang kami sebutkan di atas. Bukankah keadaan mereka seakan-akan mengatakan seperti yang dikatakan kaum musyrikin kepada kakek beliau Nabi saw dengan lisan mereka:
وقالوا لن نؤمن لك حتى تفجر لنا من الأرض ينبوعا أو تكون لك  جنة من نخيل وعنب فتفجر الأنهار خلالها تفجيرا أو تسقط السماء كما زعمت علينا كسفا أو تأتي بالله والملائكة قبيلا أو يكون لك بيت من زخرف أو ترقى فى السماء ولن نؤمن لرقيك حتى تنزل علينا كتابا نقرؤه قل سبحان ربي هل كنت الا بشرا رسولا .                                             
“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, laluu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan. Atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai rumah dari emas Atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan kitab atas kami yang kami baca. Katakanlah “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS 17: 90-94)
Ya Allah kami tidak mengharapkan hidayah bagi mereka yang mengetahui kebenaran tetapi tetap mempertahankan kebathilan. Karena orang yang tidak dapat memanfaatkan sinar matahari, lebih tidak bisa mengambil manfaat dari cahaya bulan. Hanya saja kami memohon bagi mereka yang tidak mengetahui kebenaran untuk Engkau sampaikan kepadanya dan kuatkanlah iman mereka yang lemah imannya. Karena itulah kita katakan:

Kelahiran Imam Mahdi

Hal ini disebutkan dalam satu hadits sahih dari Muhammad Bin Yahya ‘Aththar dari Muhammad Bin Ishaq dari Abu Hasyim Ja’fari, dia mengatakan: Suatu saat saya berkata kepada Imam Abu Muhammad (Askari) as “Kebesaran anda mencegahku untuk menanyakan satu masalah kepada anda. Apakah anda mengizinkanku untuk menanyakannya?” “Ya, silahkan bertanya” kata Imam. Saya bertanya: “Wahai junjunganku, Apakah anda mempunyai putra?” Beliau menjawab “Ya”. “Jika suatu hal datang menimpa anda, dimanakah saya dapat bertanya tentang dia?” tanyaku lagi. Imam menjawab “Di Medinah.”[130]
Satu lagi hadits sahih yang diriwayatkan dari Ali Bin Muhammad dari Muhammad Bin Ali Bin Bilal, dia berkata “Saya mendapat kabar dari Imam Askari dua tahun sebelum beliau wafat. Kemudian tiga hari sebelum wafatnya beliau memberitahukan perihal imam sepeninggalnya.[131]
Ali Bin Muhammad dalam riwayat ini adalah yang dikenal dengan Ibnu Bindar, seorang tsiqah yang mulia. Adapun Muhammad Bin Ali Bin Bilal, beliau adalah seorang yang sangat masyhur keagungan dan kemuliannya, sampai-sampai orang seperti Abul Qasim Husein Bin Ruh ra banyak merujuk kepadanya, seperti yang disebutkan oleh para ulama rijal.

Kesaksian Bidan Kelahiran Imam Mahdi as

Beliau adalah wanita suci dari Ahli Bait, bernama Hakimah Binti Imam Jawad, saudara perempuan Imam Hadi as dan bibi Imam Askari aas. Beliaulah yang mengurus Narjis, ibunda Imam Mahdi dalam persalinannya.[132] Beliau menegaskan telah melihat Imam Mahdi sesaat setelah lahir.[133] Dalam pekerjaannya tersebut beliau dibantu oleh beberapa orang wanita. Diantaranya: Budak perempuan Abu Ali Khaizarani yang dihadiahkan kepada Imam Askari (Seperti yang disebutkan oleh Muhammad Bin Yahya),[134]  Mariah dan Nasim, pembantu di rumah Imam Askari as. Jelas bahwa kelahiran kaum muslimin hanya disaksikan oleh para wanita yang membidani kelahirannya. Siapa saja yang mengingkari hal ini silahkan membuktikan bahwa selain para wanita tersebut ada orang lain yang telah yang menyaksikan ibunya ketika melahirkan dia.Selain dari pada itu, Imam Askari juga telah melakukan sunah Nabi yang mulia saw dengan menyembelih kamBing akikah,[135] seperti yang dilakukan juga oleh mereka memegang erat sunah Nabi, ketika Allah mengarunia anak kepadanya.[136]

Mereka yang Telah Melihat Imam Mahdi (a.s.)

Pada masa Imam Askari as masih hidup, sejumlah orang dari sahabat dekat beliau dan shababat ayahnya Imam Hadi as, dengan izin beliau telah melihat Imam Mahdi as, sebagaimana sejumlah orang lainnya telah melihat beliau setelah meninggalnya Imam Askari as,  pada zaman Ghaibah Shughra yang dimulai tahun 260 H sampai tahun 329 H, baik dari kalangan Syi’ah maupun yang lainnya. Mengingat banyaknya orang yang telah menyaksikan wajah mulia beliau, kami hanya akan menyebutkan apa yang dinukil oleh para ulama terdahulu. Antara lain oleh Syekh Kulaini (wafat 329 H) yang hidup dan mengalami kurang lebih seluruh masa Ghaibah Shughra tersebut, Syekh Shaduq (wafat 381 H) yang mengalami lebih dari dua puluh tahun dari masa ghaibah tersebut, Syekh Mufid (wafat 413 H) dan Syekh Thusi ( wafat 460 H). Tidak ada salahnya, bila kita juga menukilkan sedikit riwayat yang khusus menjelaskan nama mereka yang telah melihat beliau as, setelah itu kami hanya akan menyebutkan nama orang-orang dengan sumber riwayat yang memuat cerita mereka dari kitab keempat ulama tadi, dengan maksud untuk mempersingkat pembicaraan kita.
Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang disebutkan oleh Syekh Kulaini di dalam kitab Ushul Al Kafi dengan sanadnya yang sahih dari Muhammad Bin Abdillah dan Muhammad Bin Yahya keduanya dari Abdullah Bin Ja’far Himyari. Beliau berkata “Suatu hari saya bersama dengan Abu Amr ra (Duta khusus Imam Mahdi as) berada di tempat Ahmad Bin Ishaq. Tiba-tiba Ahmad Bin Ishaq memberi isyarat kepadaku untuk bertanya kepada Abu Amr tentang Imam Mahdi as “ Wahai Abu Amr ! Aku ingin menanyakan kepadamu sesuatu yang tidak aku ragukan -setelah memuji Abu Amr karena menjadi orang dipercaya oleh para Imam as-, sekonyong-konyong Abu Amr Amri bersujud dan melalu berkata “Tanyakanlah apa yang hendak kau tanyakan.” Kukatakakepadanya “Apakah anda pernah melihat Imam Mahdi, Imam setelah Abu Muhammad Askari as?” Beliau menjawab “Ya, Demi Allah saya telah melihatnya. Dan leher beliau seperti ini -sambil menunjuk dengan tangannya-” “Tinggal satu pertanyaan lagi” ujarku. Beliau berkata “Silahkan bertanya”. “Bagaimana dengan menyebutkan namanya?” Jawabnya “Kalian tidak diperkenankan untuk menanyakan hal itu. Kukatakan ini bukan sekehendak hatiku, karena aku tidak mempunyai hak untuk menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya. Akan tetapi beliaulah yang mengatakan hal ini kepadaku, sebab penguasa zalim telah mengumumkan bahwa Imam Askari as wafat tanpa meninggalkan anak, sehingga warisannya telah dibagikan dan diambil oleh mereka yang tidak berhak. Keluarga beliau masih ada dan berjalan kemanapun juga tanpa adanya seorangpun yang mengenal atau mengganggu mereka. Jika kalian menyebutkan namanya, maka dia akan dikejar dan ditangkap. Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah dan jagalah lisan kalian dari menyebutkan nama beliau.”[137]
Riwayat yang dibawakan oleh Kulaini dalam Al Kafi  dengan sanadnya yang sahih dari Ali Bin Muhammad (Ibnu Bindar yang tsiqah), dari Mihran Qalansi, beliau berkata “Saya mengatakan kepada Amri “Apakah Imam  Abu Muhammad Askari AS telah wafat?” Beliau menjawab “Ya, beliau telah wafat. Akan tetapi beliau telah meninggalkan pengganti yang lehernya seperti ini (dengan mengisyaratkan tangannya) .”[138]
Riwayat yang dinukil oleh Syekh Shaduq dengan sanad yang sahih dari guru-guru hadits. Beliau berkata “Saya mendapatkan riwayat ini dari Muhammad Bin Hasan dari Abdullah Bin Ja’far Himyari. Dia berkata “Aku mengatakan kepada Muhammad Bin Utsman Amri ra bahwa aku selalu berdoa dengan doa Nabi Ibrahim as ketika memohon kepada Tuhannya dengan mengatakan
رب أرني كيف تحيي الموتى قال أولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئن قلبي
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata “Ya, Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman “ Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab “Aku telah meyakini. Akan tetapi agar hati bertambah mantap.”[139]
Beritahukan kepadaku tentang Imam kita, apakah engkau telah melihatnya?” Amri menjawab “Ya dan beliau memiliki leher seperti ini -seraya menunjuk dengan tanganya.”[140]
Riwayat Shaduq dalam Kamal Al Din, berkata  “Saya mendengar dari Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Aswad, beliau berkata “Ali Bin Husein Bin Musa Bin Babuwaih setelah wafatnya Muhammad Bin Utsman ( Duta kedua Imam Mahdi as) memintaku untuk menyampaikan kepada Abul Qasim Husein Bin Ruh supaya dia memohon kepada Imam Mahdi untuk berdoa kepada Allah agar diberi anak laki-laki. Karena itulah aku memintakan hal tersebut. Selang tiga hari setelah itu, aku mendapat kabar bahwa Imam Mahdi telah berkenan mendo’akan Ali Bin Husein, seraya mengatakan bahwa dia akan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi barokah dan akan bermanfaat bagi agama, yang setelah kelahirannya akan lahir beberapa anak lagi. Lalu Shaduq mengatakan, penulis kitab ini berkata  “Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Aswad sering mengatakan kepadaku -jika melihatku keluar masuk mengikuti pelajaran guru kami Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid ra dan semangatku yang tinggi dalam menuntut ilmu dan menghafalnya- “Tidak heran melihat semangatmu yang tinggi dalam belajar karena engkau lahir berkat do’a Imam Mahdi as.”[141]
Riwayat Syekh Thusi -beliau termasuk pemuka dan guru besar Syi’ah- dalam kitab Ghaibah dari Muhammad Bin Muhammad Bin Nu’man dan Husein Bin ‘Ubaidillah dari Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Shafwani, beliau berkata “Menjelang wafatnya, Abul Qasim (duta ketiga Imam Mahdi) menyerahkan amanat sebagai duta Al Mahdi kepada Abul Hasan Ali Bin Muhammad Samuri untuk mengemban apa yang telah dia emban sebelumnya sebagai duta Al Mahdi as Ketika Samuri mendekati ajalnya para pemuka Syi’ah berkumpul mengelilinginya dan menanyakan kepadanya perihal siapakah yang akan menggantikan posisinya sebagai duta Imam. Tetapi dia tidak menunjuk siapapun dan mengatakan bahwa dia diperintahkan untuk tidak mewasiatkan hal ini kepada siapapun juga.”[142]
Jelas bahwa kedudukan Samuri sama dengan kedudukan Abul Qasim Husein Bin Ruh sebagai wakil Imam yang menuntut untuk bertemu muka dengan beliau dalam setiap masalah yang memerlukan bimBingan dari beliau. Dari sinilah dikatakan bahwa apa yang disampaikan oleh keempat duta beliau as seperti  yang telah kita sebutkan di atas  baik wasiat, petuah maupun perintah dari Imam Mahdi as melalui mereka diriwayatkan secara mutawatir.[143]
Selain riwayat-riwayat di atas ada pula banyak riwayat yang dengan jelas menyebutkan bahwa keempat duta di atas telah melihat Imam Mahdi di masa mereka menjadi duta. Dan banyak juga riwayat yang mengatakan bahwa mereka menemui Imam Mahdi di hadapan sejumlah orang Syi’ah, seperti yang akan kita singgung di bawah ini, ketika menyebutkan nama mereka yang telah berkesempatan melihat beliau as. Mereka adalah:
Abu Ahmad Ibrahim Bin Idris,[144] Ibrahim Bin Ubdah Naisaburi,[145] Ibrahim Bin Muhammad Tabrizi,[146] Ibrahim Bin Mahziyar Abu Ishaq Ahwazi,[147] Ahmad Bin Ishaq Bin Sa’ad Asy’ari[148] yang melihat beliau pada kesempatan lain bersama Sa’ad Bin Abdillah Bin Abi Khalaf Asy’ari (salah seorang guru ayah Shaduq dan Kulaini),[149] Ahmad Bin Husein Bin Abdul Malik Abu Ja’far Azdi atau Audi (menurut riwayat yang lain),[150] Ahmad Bin Abdillah Hasyimi dari keturunan Abbas bersama dengan tiga puluh sembilan orang lainnya,[151] Abu Ali Ahmad Bin Muhammad Bin Muthahhar[152] salah seorang sahabat Imam Hadi dan Imam Askari as, Ahmad Bin Hilal Abu Ja’far ‘Abarta’i seorang ghulat yang mal’un yang bersama dengan sejumlah orang diantaranya Ali Bin Bilal, Muhammad Bin Mu’awiyah Bin Hakim, Hasan Bin Ayyub Bin Nuh, dan Utsman Bin Said Amri ra beserta yang lainnya yang jumlah seluruhnya empat puluh orang,[153] Abu Sahl Ismail Bin Ali Nubakhti,[154] Abu Abdillah Bin Shaleh,[155] Abu Muhammad Hasan Bin Wajna’ Nashibi,[156] Abu Harun salah seorang guru Muhammad Bin Hasan Karakhi,[157] Ja’far Kadzdzab[158] paman Imam Mahdi yang melihat beliau dua kali, Sayyidah Alawiyyah Hakimah Binti Imam Jawad as,[159] Zuhri atau Zahrani yang bersama dengan Amri,[160] Rasyiq dari Mardai,[161] Abul Qasim Ruhi,[162]Abdullah Suri,[163] Amr Ahwazi,[164] Ali Bin Ibrahim Bin Mahziyar Ahwazi,[165] Ali Bin Muhammad Syamsyathi utusan Ja’far Bin Ibrahim Yamani,[166] Ghanim Abu Said Hindi,[167] Kamil Bin Ibrahin Madani,[168] Abu Amr Utsman Bin Said amri,[169] Muhammad Bin Ahmad Anshari Abu Nuaim Zaidi yang melihat Imam bersama dengan Abu Ali Mahmudi, Allan Kulaini, Abu Haitsam Dinari, Abu Ja’far Al Ahwal Hamdani yang jumlah kesemuanya mendekati tiga puluh orang, termasuk Sayyid Muhammad Bin Qasim Alawi Aqiqi,[170] Sayyid Muhammad Bin Ismail Bin Imam Musa Bin Ja’far Musawi seorang keturunan Rasulullah yang paling tua di zamannya,[171] Muhammad Bin Ja’far Himyari yang mengepalai utusan Syi’ah dari kota Qom,[172] Muhammad Bin Hasan Ubaidillah Tamimi Zaidi yang dikenal dengan Abu Surah,[173] Muhammad Bin Shaleh Bin Ali Bin Muhammad Bin Qanbar Al Kabir budak Imam Ridha as.[174]
Muhammad Bin Utsman Amri[175] yang melihat beliau dengan izin Imam Askari as bersama empat puluh orang yang lain diantaranya: Muawiyah Bin Hakim, Muhammad Bin Ayyub Bin Nuh,[176] Ya’qub Bin Manqusy,[177] Ya’qub Bin Dlarrab Ghassani[178] dan Yusuf Bin Ja’fari.[179]

Kesaksian para wakil Imam Mahdi

Syekh Shaduq menyebutkan nama mereka yang menyaksikan mu’jizat Al Mahdi dan melihatnya, baik dari kalangan para wakil beliau maupun dari selain mereka, lengkap dengan daerah asal mereka. Sebagian dari mereka sudah kami sebutkan. Jumlah mereka ini sedemikian banyaknya sehingga mustahil untuk melakukan satu kebohongan bersama-sama, apalagi mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka adalah sebagai berikut:
Wakil-wakil Imam:
Dari Baghdad: Al-Amri dan anaknya, Hajiz, Bilali, dan Al-Aththar
Dari Kufah: ‘Ashimi
Dari penduduk Ahwaz: Muhammad Bin Ibrahim Bin Mahziyar
Dari penduduk Qom: Ahmad Bin Ishaq
Dari penduduk Hamadan: Muhammad Bin Shaleh
Dari penduduk Rey: Basami, Asadi (Muhammad Bin Abi Abdillah Kufi)
Dari penduduk Azerbaijan: Qasim Bin ‘Ala’
Dari penduduk Naisabur: Muhammad Bin Syadzan
Kalangan umum:
Dari penduduk Baghdad: Abul Qasim Bin Abi Hulais, Abu Abdillah Kindi, Abu Abdillah Junaidi, Qazzaz, Naili, Abul Qasim Bin Dubais, Abu Abdillah BinFurukh, Masrur Thabekas budak Imam Hadi as, Ahmad Bin Hasan dan saudaranya Muhammad, Ishaq penulis dari Bani Nubakht, dan yang lainnya.
Dari Hamadan: Muhammad Bin Kisymard, Ja’far Bin Hamdan, dan Muhammad Bin Harun Bin Imran
Dari Dainur: Hasan Bin Harun, Ahmad Bin Ukhayyah, dan Abul Hasan
Dari Isfahan: Ibnu Basya dzalah
Dari Shaimarah: Zaidan
Dari Qom: Hasan Bin Nadhr, Muhammad Bin Muhammad, Ali Bin Muhammad Bin Ishaq dan ayahnya, serta Hasan Bin Ya’qub
Dari penduduk Rey: Qasim Bin Musa, dan anaknya, Abu Muhammad Bin Harun, Ali Bin Muhammad, Muhammad Bin Muhammad kulaini, dan Abu Ja’far Raffa’
Dari Qazwin: Mardas, dan Ali Bin Ahmad
Dari Naisabur: Muhammad Bin Syu’aib Bin Shaleh
Dari Yaman: Fadl Bin Yazid, Hasan Bin Fadl Bin Yazid, Ja’fari, Ibnu A’jami, dan Ali Bin Muhammad Syamsyathi
Dari Mesir: Abu Raja’ dan yang lainnya
Dari Nashibain: Abu Muhammad Hasan Bin Wajna’ Nashibi
Sebagaimana juga disebutkan orang-orang yang telah melihat beliau dari penduduk asal Syahrzur, Shaimarah, Fars, Qabis, dan Marw.[180]

Kesaksian para pelayan dan hamba sahaya

Selain yang disebutkan di atas, para pelayan dan hamba sahaya yang berada di rumah Imam Hasan Askari as juga telah menyaksikan beliau. Mereka antara lain adalah:
Tharif pembantu Abu Nasr,[181] seorang pelayan Ibrahim Bin Abdah Naisaburi yang telah melihat Imam bersama dengan tuannya,[182] Abul Adyan.[183] Abu Ghanim mengatakan “Imam Askari telah dikaruniai seorang anak-laki-laki yang diberi nama Muhammad. Anak itulah yang diperlihatkan kepada para sahabat beliau tiga hari setelah kelahirannya, seraya berkata” Dialah yang akan menjadi pemimpin kalian sepeninggalku nanti. Dialah yang mengemban tugas ini setelahku. Dialah Al Qaim yang kedatangannya dinanti-nantikan, tatkala bumi telah dipenuhi oleh kezaliman untuk memenuhinya dengan keadilan.”[184]
Selain itu, Aqid[185] dan seorang wanita tua pembantu di rumah Imam Askari[186] serta budak wanita Abu Ali Khaizarani yang dihadiahkan kepada Imam as[187] juga menyaksikannya. Dari hamba-hamba sahaya yang melihat beliau disebutkan dua wanita bernama, Nasim[188] dan Mariah.[189] Masrur si juru masak, bekas budak Imam Hadi as juga menyaksikan hal yang sama.[190]
Mereka yang namanya disebut diatas memberikan kesaksian sama dengan yang diberikan oleh Abu Ghanim pembantu rumah tangga Imam Askari as.

Penggeledahan Rumah Imam Askari

Imam Hasan Askari as lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 232 H, dan hidup dimasa pemerintahan tiga penguasa bani Abbas Mereka adalah: Mu’tazz (meninggal pada tahun 255 H), Muhtadi (meninggal tahun 256 H), dan Mu’tamid (meninggal tahun 279 H).
Khalifah Mu’tamid terkenal sebagai seorang khalifah yang sangat membenci Ahli Bait as. Bagi mereka yang akrab dengan kitab-kitab sejarah seperti Tarikh Thabari dan menelaah semua kejadian ynag terjadi pada tahun 257, 258 259 dan 260 H, akan mengetahui dengan jelas sejauh mana bencinya khalifah ini kepada Ahli Bait as dan para Imamnya.
Allah swt telah mengazabnya di dunia, sampai-sampai dimasa pemerintahnnya, dia tidak memiliki uang. Dia mati dengan keadaan yang sangat mengenaskan, dengan dilemparkan ke dalam timah cair oleh orang-orang Turki karena mereka tidak menyukainya, seperti yang disepakati oleh para ahli sejarah.
Di antara contoh perbuatannya yang hina adalah, bahwa setelah Imam Askari wafat dia memerintahkan prajuritnya untuk menggeledah  rumah Imam Askari dengan teliti dan mencari Imam Mahdi. Dia memerintahkan untuk menahan para hamba sahaya Imam Askari dan memenjarakan para istri beliau dengan dibantu oleh Ja’far Kadzdzab yang berharap dapat menduduki tempat kakaknya, Imam Askari, di hati para kaum Syi’ah.
Hal itulah yang menyebabkan segala penderitaan -seperti yang di sebutkan oleh Syekh Mufid- yang dialami oleh keluarga Imam Askari sepeninggal beliau, seperti, penangkapan, penjara, ancaman, ejekan, cemoohan, dan hinaan.[191]
Semua ini terjadi disaat Imam Mahdi berusia lima tahun. Khalifah tidak perduli akan usia setelah tahu bahwa anak ini adalah Imam yang mengancam kelanggengan singgasana thaghut, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan secara mutawatir, bahwa Imam keduabelas dari silsilah para imam Ahli Bait akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.
Oleh karena itulah sikap dia terhadap Imam Mahdi dari umat ini sama dengan sikap Fir’aun terhadap Nabi Musa as yang dilemparkan oleh ibunya -karena takut akan makarnya- ke dalam sungai ketika masih bayi.
Bukan hanya Mu’tamid yang mengetahui kenyataan ini. Khalifah-khalifah sebelumnya, seperti Mu’taz dan Mahdi Abbasi juga telah mengetahui hal ini. Karenanya Imam Askari berusaha agar kelahiran putranya, Al Mahdi tidak tersebar dan diketahui oleh khalayak ramai kecuali oleh para pengikut setianya. Hal itu dilakukan dengan cara dan taktik-taktik yang rapi untuk menjaga para pemuka madzhab Syi’ah dari perselisihan sepeninggal beliau as.
Diantara cara yang beliau lakukan adalah memberitahu mereka dalam banyak kesempatan akan keberadaan Mahdi yang dijanjikan seraya memerintahkan mereka untuk merahasiakan hal tersebut. Sebab penguasa yang zalim telah mengetahui bahwa beliau adalah Imam keduabelas yang disebutkan dalam hadits Jabir Bin Samurah yang diriwayatkan Ahli Sunnah dengan penegasan akan kemutawatirannya.
Jika tidak demikian, apa yang dapat dilakukan oleh seorang anak usia lima tahun yang dapat mengancam kekuasaan Mu’tamid ? Jika dia tidak meyakini bahwa anak itu adalah Mahdi yang dinantikan, yang dalam banyak hadits mutawatir disebutkan dengan jelas akan melakukan suatu pekerjaan yang besar juga apa yang kelak akan dilakukannya terhadap para penguasa zalim setelah kemunculannya.
Jika masalahnya bukan seperti yang kita utarakan di atas, mengapa penguasa kala itu tidak puas dengan kesaksian Ja’far Kadzdzab yang mengklaim bahwa saudaranya, Imam Askari as wafat tanpa meninggalkan seorang anakpun ?
Bukankah khalifah bisa langsung memberikan harta warisan Imam Askari kepada Ja’far tanpa harus melakukan tindakan bodoh yang menunjukkan akan kecemasan dan ketakutannya terhadap putra Imam Askari (semoga Allah mempercepat kedatangannya) ?
Mungkin ada yang mengatakan bahwa rasa tanggung jawab untuk memberikan sesuatu kepada yang berhak telah mendorong khalifah untuk melakukan pencarian putra Imam Askari as, sehingga Ja’far Kadzdzab tidak dapat menguasai harta warisan itu sendiri hanya dengan kesaksiannya.
Kita katakan: Jika memang demikian, khalifah tidak layak untuk melakukan sendiri pencarian putra Imam Askari dengan tindakan yang ceroboh. Dia bahkan dapat menyerahkan penyelesain masalah kesaksian Ja’far Kadzdzab kepada salah seorang hakim. Karena kasus ini termasuk kasus yang menyangkut warisan yang terjadi beberapa kali dalam sehari. Ketika itu hakim dapat  melakukan penelitian dengan memanggil ibunda Imam Askari, istri,  para hamba sahaya ataupun kerabat dekat beliau dari kalangan Bani Hasyim untuk dimintai kesaksiannya. Setelah mendengar kesaksian mereka dan membuktikan kebenaran kesaksian yang mereka berikan itu, dia lantas memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Adapun turun tangannya khalifah secara langsung dalam tempo yang relatif singkat, bahkan sebelum Imam Askari as sempat dimakamkan,  keluarnya kasus ini dari ruang kerja hakim padahal kasus ini adalah pekerjaan seorang hakim, juga tindakan buas yang dilakukan oleh tentara khalifah dengan menyerang kediaman Imam Askari as sepeninggal beliau, kesemua itu menunjukkan bahwa khalifah meyakini kelahiran Imam Mahdi walapun belum pernah melihatnya secara langsung. Sebab dia tahu bahwa anak inilah Imam kedua belas dari Ahli Bait as, seperti yang telah kami singgung di atas.
Karenanya, khalifah datang mencari putra Imam Askari bukan untuk memberikan harta warisan sang ayah kepadanya, akan tetapi untuk menangkap dan menghabisinya setelah tidak menemukannya di masa hidup ayah beliau Imam Askari as.
Dari sinilah dikatakan bahwa salah satu rahasia keghaiban beliau adalah kecemasan akan keselamatannya, seperti yang telah anda saksikan dalam pembahasan-pembahasan yang lalu dari hadits-hadits yang disampaikan oleh kakek-kakek beliau berpuluh-puluh tahun sebelum terjadi.

Kesaksian para ahli nasab

Tidak diragukan lagi, bahwa untuk mengetahui suatu masalah, kita harus merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidang tersebut. Tentang masalah yang sedang kita hadapi ini, para ahli nasab lebih berhak untuk berkomentar. Marilah kita dengar pendapat mereka dalam masalah ini:
1. Ahli nasab terkenal Abu Nasr Sahl Bin Abdullah Bin Daud Bin Sulaiman Bukhari, yang hidup di abad keempat hijriyah, tepatnya beliau hidup sampai tahun 341 H. Beliau termasuk salah satu ahli nasab terkenal yang hidup dizaman Ghaibah Shughra yang berakhir pada tahun 329 H.
Dalam kitab Sirr Al Sisilat Al ‘Alawiyyah, beliau mengatakan “Putra Ali Bin Muhammad Taqi as yang bernama Hasan Bin Ali Askari as dari seorang hamba sahaya suku Naubiyyah yang lebih dikenal dengan sebutan Rayhanah. Beliau dilahirkan pada tahun 231 H, dan wafat 260 H di kota Samarra’ dalam usia 29 tahun. Putra Ali Bin Muhammad Taqi as yang lainnya adalah Ja’far yang disebut oleh Syi’ah Imamiyyah dengan sebutan Kadzdzab (Pembohong). Mereka menyebutnya demikian karena dia mengklaim bahwa dialah yang berhak melanjutkan imamah saudaranya, Hasan Bin Ali as bukan putra beliau Al Qaim Al Hujjah as.”[192]
2. Sayyid Amri, ahli nasab terkenal dan seorang ulama abad kelima hijriyah, mengatakan demikian, “Abu Muhammad Askari wafat, dalam keadaan para shahabat dan keluarganya yang setia telah mengetahui putra beliau yang lahir dari rahim Narjis. Dalam kesempatan mendatang kami akan jelaskan cerita tentang kelahirannya dan hadits-hadits mengenainya. Kaum mu’minin bahkan semua manusia diuji oleh Allah dengan ghaibnya. Ja’far Bin Ali yang rakus akan harta warisan dan kedudukan saudaranya menafikan keberadaan putra saudaranya. Dia bersama dengan Fir’aun zamannya bahu-membahu melakukan penahanan terhadap para sahaya Abu Muhammad.[193]
3. Fakhrur Razi Syafi’i (wafat 606 H) dalam kitabnya Al Syajarat Al Mubarakah Fi Ansabi Al Thalibiyyah di bawah judul  Anak-anak Imam Hasan Askari as, mengatakan sebagai berikut “Adapun Imam Hasan Askari as, beliau memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Salah satu dari kedua putra beliau tersebut adalah Mahdi Shahibuz Zaman (semoga Allah mempercepat kehadirannya) dan yang lain adalah Musa yang telah meninggal dimasa ayahnya masih hidup.Kedua putri beliau adalah Fatimah dan Ummu Musa yang kedua meninggal dunia mendahului sang ayah.”[194]
4. Muruzi Azwarqani (wafat 614 H atau setelahnya) di dalam kitab Al Fakhr  telah menyifati Ja’far Bin Imam Hadi as yang mengingkari kelahiran putra saudaranya dengan Kadzdzab[195] yang menunjukkan bahwa beliau meyakini kelahiran Imam Mahdi as.
5. Ahli nasab bernama Sayyid Jamaluddin Ahmad Bin Ali Huseini yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Inabah (wafat 828 H), beliau dalam Umdatuh Al  Thalib Fi Ansabi Aali Abi Thalib mengatakan: “Adapun Ali Hadi, beliau tinggal di Samarra’, yang dikenal sebagai kamp militer. Ibu beliau adalah sahaya. Beliau adalah seorang yang sangat mulia dan terhormat. Khalifah Mutawakkil Abbasi menahannya di sana sampai wafat dan dimakamkan di situ. Beliau memiliki dua orang putra: Imam Abu Muhammad Hasan Askari as yang dikenal kezuhudan dan kepandaiannya. Beliau inilah ayah dari Imam Muhammad Mahdi as, imam kedua belas menurut kepercayaan Syi’ah Imamiyyah dan dikenal sebagai Qaim yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh mereka. Lahir dari ibu bernama Narjis. Saudara Imam Askari bernama Abu Abdillah Ja’far yang dikenal Kadzdzab karena mengaku sebagai imam setelah kakaknya, Hasan.”[196]
Dalam kitab Al Fushul Al Fakhriyyah, beliau mengatakan “Abu Muhammad Hasan Askari -Askar adalah kota Samarra’- dan ayahnya dipindahkan ke kota tersebut dari Medinah oleh Mutawakkil. Dialah Imam kesebelas dari dua belas Imam. Beliau adalah ayah dari Muhammad Mahdi as, Imam kedua belas.”[197]
6. Sayyid Abul Hasan Muhammad Huseini Yamani Shan’ani yang bermadzhab Zaidiyyah dari ulama abad kesebelas hijriyyah. Dalam silsilah yang digambarnya untuk menjelaskan nasab anak-cucu Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as, di bawah nama Imam Ali Naqi yang juga dikenal dengan Hadi, dia mencantumkan nama lima orang anak beliau. Mereka adalah: Imam Hasan Askari, Husein, Musa, Muhammad dan Ali. Dan di bawah nama Imam Askari tercantum langsung nama Muhammad Bin Hasan, seraya menambahkan, bahwa inilah yang dinanti-nantikan oleh Syi’ah Imamiyyah.[198]
7. Muhammad Amin Suwaidi (wafat 1246 H). Dalam kitab “Sabaiku Al Dzahab Fi Ma’rifat Qabail Al Arab, beliau mengatakan “Muhammad Mahdi, ketika ayah beliau wafat, berumur lima tahun. Tingginya sedang, wajah dan rambutnya indah, hidungnya mancung dan dahinya lebar.”[199]
8. Muhammad Wais Haidari Suri dalam kitabnya Al Durar Al Bahiyyah Fi Al Ansab Al Haidariyyah wa Al Uwaisiyyah, ketika menjelaskan anak-anak Imam Hadi as mengatakan “Beliau memiliki lima orang anak: Muhammad, Ja’far, Husein, Imam Hasan Askari dan ‘Aisyah. Hasan Askari dilahirkan di Medinah pada tahun 231 H dan wafar di Samarra’ pada tahun 260 H. Imam Muhammad Mahdi disebutkan tidak memiliki keturunan sama sekali.”[200]
Kemudian beliau memberikan komentarnya “Beliau (Imam Muhammad Mahdi) lahir para pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H. Ibunda beliau bernama Narjis. Beliau memiliki sifat antara lain: berkulit bersih, berdahi lebar, alisnya panjang, pipinya indah, hidung mancung, tampan dan gagah. Wajahnya seakan Bintang yang benderang. Di pipi sebelah kanannya terdapat tanda seperti serpihan kesturi perak. Rambutnya melebihi daun telinganya. Tak ada satu matapun yang telah menyaksikan orang lebih sempurna darinya. tak seorang yang menandingi keindahan, ketenangan dan rasa malunya.”[201]
Inilah pernyataan yang di berikan oleh para ahli nasab tentang kelahiran Imam Mahdi as, dari mereka terdapat orang Sunni, Zaidi juga Syi’i. Dalam pepatah dikatakan “Penduduk Mekah lebih mengetahui lembah-lembahnya dari pada selain mereka.”

 

Pengakuan Ulama Ahli Sunnah Akan Kelahiran Imam Mahdi AS

Terdapat banyak pengakuan yang dibukukan oleh para ulama Ahli Sunnah dengan pena mereka seputar masalah kelahiran Imam Mahdi as. Sebagian orang telah melakukan penelitian dan mengumpulkan pernyataan-pernyataan tersebut secara khusus. Sebagian mereka hidup sezaman. Di mulai dari zaman Ghaibah Shughra (antara tahun 260 H sampai tahun 329 H) sampai dengan masa kita sekarang.
Kita hanya akan menyebutkan sebagian saja. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak lagi silahkan merujuk kumpulan-kumpulan dari pernyataan-pernyataan tersebut.[202] Mereka adalah:
1. Ibnul Atsir ‘Izzuddin Jazari (wafat 630 H). Dalam kitab Al Kamil Fi  Al Tarikh ketika menyebutkan peristiwa yang terjadi pada tahun 260 H, beliau mengatakan “Pada tahun tersebut wafat Imam Abu Muhammad Alawi Askari, salah seorang Imam madzhab Syi’ah Imamiyyah. Beliau adalah ayah Muhammad yang mereka yakini sebagai Mahdi yang dinanti-nantikan.”[203]
2. Ibnu Khalikan (wafat 681H), dalam Wafayat Al A’yan mengatakan “Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Askari Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad yang telah kami sebutkan di atas, adalah Imam kedua belas menurut kepercayaan Syi’ah Imamiyyah, yang dikenal dengan Hujjah, beliau lahir pada hari Jum’at pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H.” Kemudian beliau menukil kata-kata ahli sejarah lainnya Ibnul Azraq Fariqi (wafat 577 H), yang dalam Tarikh Mayyafariqin mengatakan “Hujjah yang namanya telah disebutkan ini lahir pada tanggal 9 Rabiul Awwal tahun 258 H, dan menurut riwayat yang lain lahir pada tanggal 8 Sya’ban tahun 256 H, pendapat inilah yang lebih tepat.”[204]
Pendapat yang benar adalah yang disebutkan oleh Ibnu Khalikan pertama kali, yaitu pertengahan Sya’ban tahun 255 H. Pendapat inilah yang disepakati oleh jumhur ulama Syi’ah Imamiyyah. Dalam hal ini mereka mengeluarkan banyak riwayat yang sahih dan didukung dengan kesaksian para ulama terdahulu.  Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Kulaini yang hidup dimasa Ghaibah Shughra sebagai pendapat yang diakui oleh semua orang dan beliau mengutamakannya daripada pendapat-pendapat lain yang bertentangan dengannya. Dalam bab tentang kelahiran Imam Mahdi as, beliau berkata “Imam Mahdi lahir pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H.”[205]
Syekh Shaduq (wafat 381 H) menukil dari gurunya Muhammad Bin Muhammad Bin ‘Isham Kulaini dari Muhammad Bin Ya’qub Kulaini dari Ali Bin Muhammad Bin Bindar,dia berkata “Imam Shahibuz Zaman lahir pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 255H.”[206]
Di dalam kitabnya Kulaini tidak menyandarkan pendapatnya kepada Ali Bin Muhammad Bin Bindar karena menilai bahwa hal ini sudah masyhur dan merupakan satu hal yang telah disepakati.
3. Dzahabi (wafat 748 H) mengakui kelahiran Imam Mahdi dalam tiga kitabnya. Adapun kitab-kitabnya yang lain kita tidak melacaknya.
Dalam kitab Al ’Ibar, beliau mengatakan: “Pada tahun 256 H lahir Muhammad Bin Hasan Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad Bin Ali Ridha Bin Musa Kadzim Bin Ja’far Shadiq Al-Alawi Al-Huseini. Dialah Abul Qasim yang diberi gelar oleh Syi’ah dengan sebutan Khalaf, Hujjah, Mahdi, Muntadzar juga Shahibuz Zaman. Dialah penutup silsilah dua belas orang Imam.”[207]
Dalam kitab Tarikh Duwal Al Islam, ketika menyebutkan biografi Imam Hasan Askari mengatakan “Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Ridha Bin Musa Bin Ja’far Shadiq, Abu Muhammad Al-Hasyimi Al-Huseini, salah seorang Imam Syi’ah yang diyakini kemaksumannya. Beliau juga disebut Hasan Askari karena tinggal di Samarra’, yang dikenal dengan Askar. Beliau adalah ayah Imam yang dinanti-nantikan oleh Syi’ah. Beliau  wafat di Samarra’ pada tanggal 8 Rabiul Awal tahun 260 dalam usia 29 tahun dan dimakamkan di samping ayahandanya.
Adapun putra beliau, Muhammad Bin Hasan yang disebut oleh Syi’ah dengan Qaim, Khalaf, dan Hujjah, lahir pada tahun 258 H dan menurut riwayat lainnya tahun 256 H.[208]
Di dalam kitab Siyar A’lam Al Nubala’, beliau berkata “Muntadzar yang mulia, Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad Bin Ali Radhi Bin Musa Kadzim Bin Ja’far Shadiq Bin Muhammad Baqir Bin Zainul Abidin Ali Bin Husein Syahid Bin Imam Ali Bin Abi Thalib Al-Alawi Al-Huseini penutup silsilah dua belas imam.”[209]
Pernyataan Dzahabi di atas telah kita terangkan sebelumnya. Adapun mengenai keyakinannya tentang Imam Mahdi sebenarnya, dapat kita lihat dari seluruh perkataannya yang lain. Dia -juga orang selainnya- tengah menunggu fatamorgana seperti yang telah kita singgung mengenai mereka yang meyakini bahwa Al-Mahdi adalah Muhammad Bin Abdillah.
4. Ibnul Wardi (wafat 749 H) di bagian akhir Tatimmat Al Mukhtashar atau yang dikenal dengan Tarikhu Ibn Al Wardi mengatakan, “Muhammad Bin Hasan yang suci lahir pada tahun 255 H.”[210]
5. Ahmad Bin Hajar Haitami Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitab Al Shawaiq Al Muhriqah, di akhir pasal ketiga, bab kesebelas mengatakan, “Abu Muhammad Hasan yang suci, yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan sebagai Askari, lahir pada tahun 231 H... wafat di Samarra’ serta dimakamkan disamping ayah dan pamannya. Beliau berusia 28 tahun. Menurut riwayat beliau wafat karena diracun. Tidak disebutkan adanya anak beliau selain Abul Qasim Muhammad Hujjah yang berusia lima tahun tatkala ayahnya meninggal, akan tetapi Allah telah menganugerahinya hikmah. Beliau juga dikenal dengan Qaim, Muntadzar. Menurut sebagian orang beliau disembunyikan di kota Medinah lalu ghaib dan tak diketahui ke mana perginya.”[211]
6. Syabrawi Syafi’i (wafat 1171 H) dalam kitabnya Al Ithaf, menegaskan kelahiran Imam Mahdi Muhammad Bin Hasan Askari as dimalam pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H.[212]
7.  Mu’min Bin Hasan Syablanji (wafat 1308 H) dalam kitabnya Nur Al Abshar menyebutkan nama dan nasab suci Imam Mahdi dengan gelar kehormatan, sebutan akrab beliau dalam satu perkataan yang panjang, di antaranya beliau mengatakan “Dia adalah Imam terakhir dari dua belas orang Imam yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah.” Setelah itu dia menukil satu masalah dari Tarikh Ibn Al Wardi yang telah kami sebutkan di nomer 4.[213]
8. Khairuddin Zarkali (wafat 1396 H) dalam kitab Al A’lam ketika menyebutkan biografi tentang Imam Mahdi mengatakan “Muhammad Bin Hasan Askari Khalis Bin Ali Hadi, dikenal dengan Abul Qasim, adalah imam terakhir dari dua belas Imam yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah. beliau lahir di Samarra’, berumur lima tahun  ketika ayahandanya wafat. Menurut riwayat beliau dilahirkan pada  pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H dan ghaib pada tahun 265 H.”[214]
Ghaibah Sughra beliau dimulai pada tahun 260 H, sesuai dengan kesepakatan para ulama Syi’ah dan mereka mempunyai tulisan dalam masalah ghaibah beliau sejauh yang kami ketahui. Mungkin yang kita dapatkan dari pernyataan dari kitab Al A’lam  di atas karena kesalahan cetak. Karena Zarkali dalam kitabnya tersebut tidak menyebut tahun tersebut dengan huruf melainkan dengan angka. Sangat mungkin sekali terjadi kesalahan dalam mencetak angka.
Dan pengakuan-pengakuan ulama lainnya yang jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin kami sebutkan semua dalam buku kecil ini.

Penegasan ulama Ahli Sunnah

Terdapat banyak pernyataan ulama Ahli Sunnah yang khusus menyebutkan bahwa Mahdi yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman ini adalah Muhammad Bin Hasan Askari as, Imam kedua belas dari silsilah para Imam Ahli Bait as, yang mana mereka semua adalah Imam bagi seluruh kaum muslimin dan tidak hanya bagi Syi’ah, seperti yang di sayangkan telah dikatakan oleh sebagian orang. Seakan-akan Nabi saw hanya mewasiatkan kepada Syi’ah untuk memegang teguh dua pusaka peninggalan beliau, Al-Qur’an dan Ithrah beliau, Ahli Bait AS.
Bagaimanapun juga kami hanya akan menukil sebagian dari mereka yang obyektif dalam mengutarakan suatu kenyataan. Mereka antara lain adalah:
1. Muhyiddin Ibnul ‘Arabi (wafat 638 H). Beliau dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyyah bab ke-366 dari pembahasan kelima, seperti yang dinukil dari beliau oleh Abdul Wahhab Bin Ahmad Sya’rani Syafi’i (wafat 973 H) di dalam kitabnya Al -Yawaqitu wa Al Jawahir. Seperti yang dinukil juga oleh Hamzawi dalam Masyariq Al Anwar dan Shabban dalam Is’afur RaghiBin. Hanya saja mereka yang mengaku sebagai penjaga khazanah pustaka Islam menghapus pengakuan beliau ini dalam cetakan-cetakan  berikutnya. Sebab setelah kami merujuk ke kitab tersebut dalam cetakan yang berbeda-beda tidak kami dapatkan bab seperti bab di atas, seperti yang dinukil oleh Sya’rani.
Beliau mengatakan “Bunyi teks dari bab ke-366 dari kitab Al Futuhat karya Syekh Muhyiddin adalah sebagai berikut: Ketahuilah bahwa kelak pasti akan muncul Al Mahdi as. Tapi kemunculannya akan didahului oleh penuhnya dunia ini dengan kezaliman yang kemudian akan beliau penuhi dengan keadilan. Jika umur dunia tingal satu hari saja, Allah swt akan memanjangkan hari itu sampai beliau memerintah dunia dengan keadilan. Beliau dari kelurga Rasulullah saw dari keturunan Fatimah. Kakeknya adalah Husein Bin Ali Bin Abi Thalib dan  ayahnya adalah Hasan Askari Bin Imam Ali Naqi”[215]
2. Kamaluddin Muhammad Bin Thalhah Syafi’i (wafat 652 H) dalam kitabnya Mathalib Al Saul mengatakan “Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Khalis Bin Ali Mutawakkil Bin Muhammad Qani’ Bin Ali Ridha Bin Musa Kadzim Bin Ja’far Shadiq Bin Muhammad Baqir Bin Ali Zainul Abidin Bin Husein Zaki Bin Ali Murtadha Amirul Mu’minin Bin Abi Thalib, bergelar Mahdi, Hujjah, Khalafush Shalih dan Muntadzar, rahmat dan barakat Allah semoga tercurahkan kepadanya.”
Lalu beliau membawakan satu bait syair:
Inilah Khalaf Hujjah yang Allah bekali
Inilah jalan kebenaran dan budi pekerti yang tinggi[216]
3. Sibth Ibnul Jauzi Hanbali (wafat 654 H) di dalam kitab Tadzkirat Al Khawash mengatakan tentang Imam Mahdi “Beliau adalah Muhammad Bin Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Bin Musa Ridha Bin Ja’far Bin Muhammad Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Gelar beliau adalah Abu Abdillah dan Abul Qasim Sebutan beliau Khalaf, Hujjah, Shahibuz Zaman, Qaim, Muntadzar, dan Tali. Beliaulah penutup para Imam.”[217]
4. Muhammad Bin Yusuf Abu Abdillah Kunji Syafi’i (terbunuh pada tahun 658 H), pada bagian akhir kitabnya Kifayah Al Thalib ketika membicarakan Imam Hasan Askari as mengatakan “Beliau lahir di Medinah pada bulan Rabiul Awwal tahun 232 H dan wafat pada hari Jum’at  8 Rabiul Awwal tahun 260 H dalam usia 28 tahun dan dimakamkan di rumahnya di kota Samarra’ di samping ayahandanya. Beliau wafat dengan meninggalkan seorang anak yaitu Imam Muntadzar as. Kami akhiri kitab ini dengan menceritakan hal ihwal beliau.”
Kemudian beliau menyebutkan, masalah yang menyangkut Imam Mahdi Muhammad Bin Hasan Askari as dalam sebuah kitab secara khusus yang diberi nama Al Bayan Fi Akhbar Shahib Al Zaman  yang dicetak dalam sjilid sebagai lampiran kitabnya yang pertama Kifayah Al Thalib. Di dalam kitab itu beliau menyebutkan banyak hal yang di akhiri dengan pernyataan bahwa Imam Mahdi sekarang ini hidup, dari ghaibah beliau sampai kelak akan muncul untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.[218]
5. Nuruddin Ali Bin Muhammad Bin Shabbagh Maliki (wafat 855 H) dalam kitabnya Al Fushul Al Muhimmah beliau menulis satu bab dengan judul “Bab Mengenai Abul Qasim Hujjah, Khalafush Shaleh Ibnu Abi Muhammad Hasan Khalis, imam kedua belas.”
Dalam bab ini beliau membuktikan kebenaran kata-kata Kunji Syafi’i, dengan mengatakan “Al Qur’an dan sunnah membuktikan bahwa Al Mahdi hidup di tengah-tengah kita semenjak ghaibnya beliau dan bahwa tidak ada halangan untuk berumur panjang seperti Isa Bin Maryam, Khidhr, dan Ilyas dari kalangan para waliyullah, juga si mata satu Dajjal atau Iblis yang mal’un dari kalangan musuh-musuh Allah.”
Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan sunnah, dengan membawakan bukti-bukti sejarah kelahiran beliau, dalil-dalil imamah, sekelumit kehidupan dan ghaibahnya. Juga mengenai pemerintahannya yang mulia, gelar kehormatan, nasab dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan Imam Mahdi Muhammad Bin Hasan Askari as.[219]
6. Fadl Bin Ruzbehan (wafat 909 H). Dalam kitabnya Ibthal Al Bathil, beliau mengutarakan syair yang indah berkenaan dengan Ahli Bait, seraya mengatakan “Sebaik-baik yang dapat kukatakan tentang mereka adalah bait-bait di bawah ini:
 
Salam sejahtera atas Musthafa, Mujtaba
Salam atas sang pemimpin (Ali) Murtadha
Salam atas junjungan kami Fatimah Zahra
Yang telah Allah jadikan sebaik-baik wanita
Salam atas dia yang bernapaskan kesturi
Hasan yang pintar dan diredhai
Salam atas Husein yang mulia
Sang syahid yang jasadnya disaksikan tanah Karbela
Salam atas penghulu para ahli ibadah
Ali putra Husein yang terpilih
Salam atas Baqir yang mendapat petunjuk
Salam atas Shadiq tempat orang merujuk
Salam atas Kadzim yang telah teruji
Imam bagi yang bertaqwa dengan perangai terpuji
Salam atas Imam kedelapan penyimpan amanat
Ali Ridha pemimpin orang-orang yang taat
Salam atas Muttaqi yang bertaqwa
Muhammad yang bersih tempat merajut asa
Salam atas Naqi yang cekatan dalam kebajikan
Ali yang mulia, penunjuk jalan bagi semua insan
Salam atas Askari sang pemimpin
Imam yang membentuk pasukan kebenaran
Salam atas Qaim yang dinantikan kedatangannya
Abul Qasim penunjuk jalan dengan cahayanya
Akan muncul bak mentari mengoyak kegelapan
Diiringi oleh para jawara dengan pedang pilihan
Sosok perkasa yang mengisi dunia dengan keadilan
Setelah para durjana berpesta kezaliman
Salam sejahtera atasnya dan atas nenek moyangnya
dan para pembelanya, selama langit masih ada[220]
 
7. Syamsuddin Muhammad Bin Thulun Hanafi sejarawan dari Damaskus (wafat 953 H), dalam kitabnya Al Aimmah Al Itsna ‘Asyar, mengenai Imam Mahdi beliau mengatakan “Al Mahdi lahir pada hari Jum’at pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H. Ketika ayahnya, yang telah kami sebutkan di atas, wafat beliau masih berusia lima tahun.”[221]
Lalu beliau menyebutkan kedua belas orang Imam as, dengan mengatakan, “Saya telah menyusun beberapa bait syair tentang mereka:
Ikutilah para Imam, dua belas orang jumlahnya

Dari keluarga Musthafa, sebaik-baik manusia

Abu Turab (Ali), Hasan, Husein
Membenci Zainul Abidin, suatu keburukan
Muhammad Baqir, sedalam apakah ilmunya ?
Shadiq, panggillah ia dengan nama Ja’far dihadapan manusia
Musa, dengan gelarKadzim dan putranya Ali
Bergelar Ridha, berderajat tinggi
Muhammad Taqi dengan hati yang penuh
Ali Naqi, dengan mutiaranya yang bertebaran jatuh
Askari Hasan orang yang suci
Muhammad Mahdi yang akan muncul nanti[222]
8. Ahmad Bin Yusuf Abul Abbas Qirmani Hanafi (wafat 1019 H) dalam kitabnya Akhbar Al Duwal Wa Atsar Al Uwal pada pasal kesebelas tentang Abul Qasim Muhammad Hujjah Khalafush Shaleh, mengatakan “Ketika ayahnya wafat, beliau masih berusia lima tahun. Akan tetapi Allah telah menganugerahinya hikmah seeperti yang telah Dia lakukan terhadap Yahya as dalam usia belia. Beliau memiliki tinggi badan sedang, dengan paras dan rambut yang menawan, hidung yang mancung, dahi yang lebar. Para ulama bersepakat[223] bahwa Al-Mahdi adalah sang Qaim yang akan muncul di akhir zaman nanti, seperti yang disebutkan dalam banyak riwayat tentang kemunculannya. Banyak hadits yang menyebutkan akan terbit nur Al Mahdi yang menyingkirkan kekelaman zaman. Segala macam kegelapan akan sirna dengan kemunculannya, laksana kegelapan malam yang sirna dengan datangnya pagi. Keadilan akan merata memenuhi segala penjuru  dan akan lebih terang dari bulan purnama.”[224]
9. Sulaiman Bin Ibrahim yang lebih dikenal dengan Qunduzi Hanafi (wafat 1270 H). Beliau termasuk salah satu ulama madzhab Hanafi yang menyatakan dengan tegas kelahiran Imam Mahdi AS, dan bahwa dialah sang Qaim yang dinanti-nantikan. Dalam pembahasan-pembahasan yang lalu telah kami sebutkan banyak dari perkataan beliau dalam masalah ini. Tapi tidak salah jika menyebutkan perkataan beliau yang satu ini, “Riwayat yang telah maklum dan diterima oleh para tsiqah adalah bahwa Qaim lahir pada malam lima belas bulan Sya’ban tahun 255 H di Samarra’.”[225]
Sampai di sini saja kami cukupkan dengan sedikit catatan bahwa para ulama yang dengan tegas menyatakan kelahiran Imam Mahdi atau yang menegaskan bahwa beliau as adalah Mahdi yang dijanjikan yang ditunggu-tunggu kedatangannya di akhir zaman, yang tidak kami sebutkan di dalam buku ini berlipat kali lebih banyak dari yang kami sebutkan. Sebelumnya sudah kami singgung adanya kajian-kajian yang mengumpulkan pernyataan-pernyataan para ulama tersebut dalam bentuk buku.

 

[1] Iqdud Dura hal: 42-44 bab pertama, rujuk pula Mustadrak Hakim 4 hal: 553, Majmauz Zawaid 7 hal: 115.
[2]Sunan Ibnu Majah 2 Hal: 1368 bab “Khurujul Mahdi”, Mustadrak Hakim 3 hal 211, Syekh Thusi, Kitab Al-Ghaibah hal: 113, Suyuthi, Jam’ul Jawami’1 hal: 851.
[3]Iqdud Durar hal: 195 bab ketujuh
[4]Yang kami dengan mengkhususkan di sisni adalah nasab Al-Mahdi lebih khusus dari yang telah dikatakan sebelumnya bahwa beliau dari keturunan Qureisy secara umum..
[5] Mufid, Al-Irsyad 2 hal: 370-371, Iqdud Durar hal: 149 bab keempat.
[6] Sunan Ahmad 5 hal: 277.
[7] Sunan Ibnu Majah 2 hal 1336/4082.
[8] (105) Sunan Tirmidzi 4 hal: 531/2269.
[9] Al-Manarul Munif hal: 137-138/ di akhir hadis ke338 dan 339.
[10] Tarikh Thabari 3 hal: 466.
[11] Ibnu Katsir, An-Nihayah fil Fitani wal Malahim 1 hal: 55.
[12] Mustadrak Hakim 4 hal: 502
[13] Jamiush Shaghir 2 hal: 672/9242.
[14] Faidlul Qadir syarhul Jamiish Shaghir 6 hal: 278/9242.
[15] Rujuk Al-Hawi lil Fatawi 2 hal: 85, Shawaiqul Muhriqah hal: 166, Is’afur RaghuBin hal: 151, Ibrazul Wahmil Maknun hal: 563.
[16] Ibnul Wardi, Kharidatul ‘Aja’ib hal: 199
[17] Tarikh Baghdad 3 hal: 323 dan 4 hal: 117.
[18] Mizanul I’tidal 1 hal: 89/328
[19] Tarikh Baghdad 1 hal: 63, Tarikh Dimasyq 4 hal: 178
[20] Mizanul I’tidal 1 hal: 97
[21] Al-Lailil Mashnu’ah 1 hal: 434-435
[22] Al-bidayah wan Nihayah 6 hal: 246
[23] Mustadrak Hakim 4 hal: 514
[24] Ibrazul Wahmil Maknun hal: 543
[25] Nu’aim Bin Hammad, Al-Fitan 1 hal: 369/1084, Sayyid Ibnu Thawus, At-Tasyrif bil Minan hal: 176/238 bab 19
[26] Musnad Ahmad 1 hal 376,  377, 330 dan 448, Sunan Abi Daud 4 hal: 107/4283, Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir 10 hal: 164-165/10218, Sunan Tirmidzi 4 hal: 505/2230, Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman hal 481 bab 1, Mashabihus Sunnah 3  hal: 392/ 4210
[27] Musnad Ahmad 1 hal: 99, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15 hal: 198/19494,Sunan Abi Daud 4 hal: 107/4283, Baihaqi, Al-I’tiqad hal: 173, Majmaul Bayan 7 hal: 67.
[28] Ibrazul Wahmil Maknun hal: 495
[29] Musnad Ahmad 1 hal: 376, Sunan Tirmidzi 4 hal: 505/3231, Al-Mu’jamul Kabir10 hal: 165/10220, 10221 dan 10 hal: 167/10227, Al-Bayan hal: 481, Al-Ghaibah syekh Thusi hal: 113, Musnad Abi Ya’la Maushili 12: 19/6665.
[30] Ad-Durrul Mantsur 6 hal: 58
[31] Abdur Razzaq, Al-Mushannaf 11 hal: 372/20773, Mustadrak Hakim 4 hal: 557, Kasyful Ghummah 3 hal: 259.
[32] Musnad Ahmad 3 hal: 36, Shahih Ibnu Shabban 8 hal: 290/6284, Mustadrak Hakim 4 hal: 557, Muntakhabul Atsar hal: 148/19.
[33] Ibrazul Wahmil Maknun hal: 515.
[34] Mustadrak Hakim 4 hal: 557, Al-Bayan hal: 500, Al-Jamiush Shagghir 2 hal: 672/9244, At-Tajul Jami’ lil Ushul 5 hal: 343, Ibrazul Wahm hal: 508.
[35] Mashabbihus Sunnah 3 hal: 392/4212, Al-Manarul Munif hal: 144/330.
[36] Sunan Abi Daud 4 hal: 107/4385, Mushannaf Abdur Razzaq 11 hal: 372/20773, Ma’alimus Sunan 4 hal: 344, At-Tasyrif bil Minan hal: 153/189 dan 190 bab 159 menukil dari Hammad di kitab Al-Fitan 1 hal: 364/1063 dan 1064, Ibnu Bithriq Hilli, Al-Umdah hal: 433/910.
[37] Kamaluddin 1 hal: 287/5 bab 25, Faraidus Sinthain 2: 335/587, Yanabiul Mawaddah 3 bab 94.
[38] Sunan Abi Daud 4: 107/4284, Sunan Ibnu Majah 2: 1368/4086, Al-Mu’jamul Kabir 23: 267/566, Mustadrak 4: 557. Beberapa ulama yang menukil dari Sahih Muslim hadis tersebut, mereka adala: Ibnu Hajar Haitami dalam Shawaiq: 163 bab  11 dari pasal pertama, Muttaqi Hindi dalam Kanzull Ummal 14: 264/38662, Syekh Muhammad Bin Ali Shabban dalam Is’afur RaghiBin: 145, Syekh Hasan Adawi Hamzawi Maliki dalam Masyariqul Anwar: 112, kesemanya bersepakat bahwa Imam Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan hadis ini, hanyasaja dalam naskah Sahih Muslim yang ada sekarang ini riwayat tersebut tidak kita jumpai ?!
[39] Kunji Syafi’i dalam Al-Bayan menyatakan kesahihan hadis ini, juga Suyuthi dalam Al-Jamiush Shaghir, seperti yang dinyatakan pula dalam cacatan kaki At-Tajul Jami’ lil Ushul 5: 343. Baghawi menggolongkan dalan hadis-hadis hasan di kitab Mashabihus Sunnah 3: 492/4211. Abul Faidl setelah melkukan penelitian terhadap sanad hadis ini samapi pada kesimpulan bahwa hadis ini adalah hadis yang sahih didukung oleh para perawi yang tsiqah. Albani mengakui kebenaran sanadnya sesuai dengan yang dianut oleh Ahlussunnah, juga Al-Atsar fil Mahdiyyil Muntadzar karya Syekh Abdul Muhsin Bin Hamd Abbad: 18. Telah lewat dalam pembahasan yang laluperkataan Qurthubi akan kemutawatirannya, rujuklah !
[40] Al-Fitan 1: 375/1117, dinukil oleh Kanzul Ummal 14: 591/39675.
[41] Al-Fitan 1: 375/1114 dinukil dalam At-Tasyrif bil Minan: 176/237 bab 189
[42] Al-Fitan 1: 374/1112 dinukil oleh At-Tasyrif bil Minan 157: 202 bab 163.
[43]Iqdud Durar: 44 dari bab pertama, Al-Fitan 1: 368-369/1082 yang dinukil oleh Sayyid Ibnu Thawus dalam At-Tasyrif: 157/201 bab 163. 
[44] Sunan Abi Daud 4: 108/4290, dinukil oleh Jamiul Ushul 11: 49-50/7814, Kanzul Ummal 13: 647/37636, sesuai dengan apa yang ada di Al-Fitan 1: 374-375/1113.
[45] Jazri Dimasyqi Syafi’i, Asmal Manaqib fi Tahdzibi Asnal Mathalib:165-168/61.
[46] Sayyid Shadruddin Sadr, Al-Mahdi: 68.
[47] Mundziri, Mukhtashar Sunan Abi Daud 6: 162/4121.
[48] Tahdzib At Tahdzib 8:56-100.
[49] At-Tasyrif: 285/412 bab 76 menukil dari Fitan karangan Salili dengan sedikit perbedaan
[50] Ibnul Qayyim, Al-Manarul Munif hal: 148 / pasal 329 / 50, dari Thabarani dalam Al-Ausath, ‘Iqdud Durar hal: 45 dari bab pertama, disebutkan di dalamnya ( Hafidz Abu Nu’aim mengeluarkannya dalam Sifatul Mahdi ), Muhib Thabari, Dzakhairul ‘Uqba hal: 136 disebutkan di dalamnya ( Semua hadis yang telah lalu diperjelas dengan hadis ini ), Faraidus Simthain 2 hal: 325/ bab 575/ 61, Ibnu Hajar, Al-Qaulul Mukhtashar: 7 /bab 37/ 1, Faraidu Fawaidil Fikr: bab 2/ 1, Sirah Halabiyyah 1: 193, Yanabiul Mawaddah 3: bab 63/ 94. Selain terdapat hadis-hadis lain yang khusus berkenaan dengan masalah ini seperti didalam kitab Maqtalul Husain AS tulisan Khawarizmi Hanafi 1: 196, Faraidus Simthain 2: 310-315 hadis ke 561 - 569, Yanabiul Mawaddah 3: 170/ 212 bab 93 dan 94.
Dari sumber Syiah dapat anda rujuk kitab Kasyful Ghummah 3: 259, Kasyful Yaqin: 117, Itsbatul Hudah 3:  617/ 174 bab 32, Hilyatul Abrar 2: 701/ bab 54/ 41, Ghayatul Maram: 694/ bab 17/ 141. Kitab Muntakhabul Atsar menukil banyak hadis yang diriwayatkan baik oleh Syiah maupun oleh Ahlussunnah, silahkan merujuk..
[51] Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf 15: 198/ 19493, Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir 10: 163/ 10213 dan 10: 166/ 10222, Mustadrak Hakim 4: 442. Dari kalangan ulama Syiah Allamah Majlisi menukilnya dalam Biharul Anwar 51: 82/ 21 dari Kasyful Ghummah karangan Arbili 3: 261 yang menukil dari kitab Al-Arbain karya Abu Nu’aim.
[52] Sunan Abi Amr Dani: 94 -95, Takhiru Baghdad 1: 370 dan tidak seorangpun dari kalangan Syiah yang meriwayatkannya.
[53] Tarikhu Baghdad 5: 391, Kitabul Fitan karangan Nu’aim Bin Hammad 1: 367/ 1076 dan 1077 di dalamnya disebutkan. Nu’aim berkata “Saya mendengar riwayat ini tanpa menyebutkan nama ayahnya, lebih dari satu kali.” Diriwayatkan juga dalam kitabKanzul ‘Ummal 14: 268/ 38678 dari Ibnu Asakir. Sayyyid Ibnu Thawus menukilnya dalam At-Tasyrif bil Minan 156/ bab 196 dan 197/ 163 dari Al-Fitan karangan Ibnu Hammad, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Qaulul Mukhtashar 40/ 4 secara mursal.
[54] Nu’aim Bin Hammad 1: 368/ 1080 yang dinukil Sayyid Ibnu Thawus dalam At-Tasyrif bil Minan: 257/ 200.
[55] Rujuk: Taahdzibul Kamal 9: 191/1911, Tahdzibut Tahdzib 3: 240 di dalam kedua kitab tersebut dinukil riwayat yang benar dari Risydin Bin Abi Risydin.
[56] Musnad Ahmad 1: 376, 377, 430, dan 448.
[57] Sunan Tirmidzi 4: 505/ 2230.
[58] Mustadrak Hakim 4: 442.
[59] Mishbahus Sunnah 492/ 4210.
[60]Iqdud Durar 51 bab ke-2
[61] Ibid: 51- 56/ bab ke-2.
[62] Hadis maudlu’ dan palsu ini dinukil di dalam Mu’jam Ahaditsil Imamil Mahdi dari Maqatilut ThaliBin: 163 -164.
[63] Kunji Syafi’i, Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 482.
[64] Ustadz Saad Muhammad Hasan, Al-Mahdiyyah fil Islam: 69.
[65] Mustadrak Hakim 3: 109.
[66] Sunan Tirmidzi 5: 662/ 3786, Hadis Tsaqalain diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang shahabat, sedangkan perawinya di setiap masa berjumlah ratusan orang. Rujuk: Haditsuts Tsaqalain Tawaturuhu Fiqhuhu karya Sayyid Ali Husaini Milani: 47 - 51. Didalam kitab tersebut beliau menyebutkan sebagian dari perawi hadis ini yang cukup menjadi dalil akan kebenarannya.
[67] Q. Surah Ahzab: 33. Rujuk pula riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW selalu berdiri di depan rumah Fatimah seraya membaca ayat ini di dalam tafsir Thabari 22: 6.
[68] Ash-Shawaiqul Muhriqah: 149.
[69] Sahih Bukhari 5: 13 bab Al-Fitan, Sahih Muslim 6: 21-22/ 1849.
[70] Ushulul Kafi 1: 303/5, 1: 308/1,2,3 dan 1: 378/ 2, Raudhatul Kafi 8: 129/ 123, Kamaluddin 2: 412-413/ 10, 11, 12, 15 bab 39, Al-Imamatu wat Tabshirah: 219/69,70 dan 71, Qurbul Isnad: 351/ 1260, Bashairud Darajat: 259, 509 dan 510.
[71] Rujuk: Musnad Ahmad 2: 83, 3: 446, 4: 96, Musnad Abi Daud Thayalisi: 259, Al-Mu’jamul Kabir 10: 350/ 10687, Mustadrak Hakim 1: 77, Hilyatul Auliya’ 3: 224, AL-Kuna wal Asma’ 2: 3, Sunan Baihaqi 8: 156, 157, Jamiul Ushul 4: 70, Nawawi, Syarhu Sahihi Muslim 12: 440, Dzahavi, Talkhishul Mustadrak 1: 77 dan 177, Haitsami, Majmauz Zawaid 5: 218,219,223, 225, 312, Tafsir Ibnu Katsir 1: 517. Seperti juga yang dikeluarkan oleh Kasyi dalam Rijal: 235/ 428 dalam biografi Salim Bin Abi Hafshah.
[72] Abu Zahrah. Al-Imamush Shadiq: 194.
[73] Hadis ini dikeluarkan oleh Iskafi Mu’tazili dalam Al-Mi’yar wal Muwazanah: 81, Ibnu Qutaibah dalam Uyunul Akhbar: 7, Ya’qubi dalam Tarikhnya 2: 400, Ibnu Abdi Rabbih dalam Al-’Iqdul Farid 1: 265, Abu Thalib Makki dalam Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub 1: 227, Baihaqi dalam Al-Mahasin wal Masawi’: 40, Khatib dalam Tarikhnya 6: 479 dalam bigrafi Ishaq Nakha’i, Khawarizmi Hanafi dalam Al-Manaqib: 13, Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib 2: 192, Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah yang akan kami jelaskan nanti, Ibnu Abdil Barr dalam Al-Mukhtashar: 12, Taftazani dalam Syarhul Maqashid 5: 241, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari 6: 385, Kulaini meriwayatkannya dari Amirul Mu’minin AS dalam Ushulul Kafi 1: 136/ 7, 1: 270/3, 1: 274/ 3, Shaduq dalam Kamaluddin 1: 287/ 4 bab 25, 1: 289 -294/ 2 bab 26 dari banyak jalur dan 1: 302/1 bab 26
[74] Ibnu Abil Hadid, Syarhu Nahjil Balaghah 18: 351.
[75] Fathul Bari Syarhu Sahih Bukhari 6: 385.
[76] Syekh Muhammad Abduh, Syarhu Nahjil Balaghah 4: 691/ 85, Syarhu Ibnu Abil Hadid 18: 351.
[77] Ushul Kafi 1: 136/1 bab Innal Ardla la Takhlu min Hujjah denga sanad hadis dari sebagian ulama kita dari Ahmad Bin Muhammad Bin Isa dari Muhammad Bin Abi Umair dari Husain Bin Abil ‘Ala’ dari Imam Shadiq AS.
[78] Sahih Bukhari 4: 164 Kitab Al-Ahkam bab Al-Istikhlaf, Shaduq juga mengeluarkannya dri Jabir Bin Samurah dalam Kamaluddin 1: 272/ 19 dan Al-Khishal 2: 469 dan 475.
[79] Sahih Muslim 2: 119 kitab Al-Imarah, bab Annas Tbba’un li Quresy, beliau mengeluarkannya dari sembilan jalur.
[80] Musnad Ahmad 5: 90, 93, 97, 100, 106, 107, Shaduq juga mengeluarkannya dari Ibnu Mas’ud dalam Kamaluddin 1: 270/ 16.
[81]Aunul Ma’bud 11: 262 Syarh hadis ke-4259.
[82] Q. Surah Maidah: 12.
[83] Lihat pernyataan mereka dalam kitab As-Suluk fi Ma’rifati Duwalil Muluk karya Muqrizi 1: 13-15 dari bagian pertama, Tafsir Ibnu Katsir 2: 34 ketika menafsirkan ayat ke-12 dari surah Maidah, Syarhul ‘Aqidahit Thahawiyyah 2: 736, Syarah Sunan Abi Daud karya Al-Hafidz Ibnul Qayyim 11: 263 syarh hadis ke-4259, Al-Hawi lil Fatawi 2: 85.
[84] Yanabiul Mawaddah 3: 105 bab 77 dalam menjelaskan hadis “Sepeninggalku ada dua belas orang khalifah”.
[85] Syahid Muhammad Baqir Sadr, Bahts Haulal Mahdi: 54-55.
[86] Yanabiul Mawaddah 3: 161 bab 93.
[87] Ibid 3: 99.
[88] Ibid 3: 212 bab 93.
[89] Ibid 3: 170 bab 94.
[90] Kamaluddin 1: 313/ 4 bab 28.
[91] Ushulul Kafi 1: 532/ hadis ke-9 bab 126.
[92] Silsilatu Muallafatisy Syekh Mufid/ Jawabatu Ahlil Maushil fil ‘Adad war Ru’yah -cetakan Beirut- 9: 25. Beliau mengolongkannya di dalam tulisan tersebut termsuk dari shahabat-shahabat Imam Muhammad Baqir dan termasuk ulama besar yang menjadi tempat merujuk untuk mengetahui halal dan haram juga tempat meminta fatwa dan penjelasan hukum, yang tidak ada jalan untuk menghujat maupun mencela mereka. Demikianlah komentar beliau RA.
[93] Khazzaz, Kifayatul Atsar: 8-9 dari Muqaddimah.
[94] Kamaluddin 2: 335/ 6, dan di akhirnya beliau menyebutkan hadis tersebut.
[95] Ushulul Kafi 1: 534-535/ 20 bab 126. Majlisi dalam Mir`atul ‘uqul  6: 235 memasukkannya dalam kategori hadis majhul. Dan hal ini salah, karena adanya pernyataan ulama seperti Syhekh Tusi, Najasyi dan mereka yang hidup seteelah kedua ulama tersebut bahwa seluruh perawi yang ada dalam sanad Al-Kafi seluruhnya tsiqah. Mungkin kesalahan ini berasal dari kesalahan beliau dalam menilai Muhammad Bin Imran bekas budak Imam Baqir AS yang tidak ada pernyataan tentang ketsiqahannya dari para ulama. Akan tetapi hal tidak berpengaruh apa-apa, sebab selain dia ada pula perawi tsiqah yang meriwayatkannya dan adanya pernyataan Abu Bashir bahwa beliau telah mendengarnya dari Imam Baqir AS. Lalu apa yang mencegah untuk mendengar hadis tersebut dari Imam Ja’far Shadiq AS ?
[96] Ushulul Kafi 1: 525/ 1 bab 126.
[97] Ibid 1: 525/ 2 bab 126.
[98] Adapun jika sang perawi adalah orang yang tsiqah, ulama bersepakat bahaw hal tersebut tidak disyaratkan lagi, sebab hadis yang dibawa oleh perawi tsiqah kebenarannya telah terjamin. Setelah keberannya terjamin pastilah hadis tersebut akan sesuai dengan kenyataan, seperti masalah turunnya Isa AS, kemunculan Mahdi, fitnah Dajjal dan lain-lain, walaupun belum terjadi.
[99] Ushulul Kafi 1: 529/ 4 bab 126, Kamaluddin 1: 270/ 15 bab 24, AL-Khishal 2: 477/ 41 dari abwab Itsnai ‘Asyar.
[100] Kamaluddin 1: 19 dari Muqaddimah penulis.
[101] Hadis ini dikeluarkan oleh Daruquthni, seperti yang disebutkan oleh Kunji Syafi’i dalam Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 501-502 bab 9, Ibnu Shabbagh Al-Maliki, Al-Fushulul Muhimmah: 295-296 pasal 120, Sham’ani dalam Fadhailsh Shahabah seperti yang dinukil dalam Yanabiul Mawaddah: 49 bab 94, dan didalam Mu’jamu Ahaditsil Mahdi 1: 145/ 77 ditegaskan bahwa perawi hadis sangat banyak yang disebutkan semuanya akan sampai menjadi satu jilid kitab.
[102]Iqdud Durar: 132 bab 4 pasal 2
[103] Ibid.
[104] Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah 1: 281-282 Syarh Khotbah ke-16.
[105] Yanabiul Mawaddah 3: 168 bab 94.
[106] Ibid.
[107] Al-Khishal 2: 475/ 38 dari Abwab Itsnai ‘Asyar. Kamaluddin 1: 262/ 9 bab 24.
[108] Ushulul Kafi 1: 533/ 15 bab 126.
[109] Al-Khishal 2: 480/ 50 Abwab Istnai ‘Asyar.
[110] Yanabiul Mawaddah 3: 162 bab 94, juga di 2: 83 dalam Mawaddah kesepuluh dengan judul fi ‘Adadil Aimmah wa Annal Mahdiyya Minhum.
[111] Kamaluddin 2: 370/ 1 bab 35.
[112] Ibid 2: 360/ 2 bab 34, dalam bab yang sama beliau juga menyebutkan hadis tersebut dari beberapa jalur.
[113]Iqdud Durar: 188 bab 6.
[114] Ushulul Kafi 1: 336/ 4 bab 80.
[115] Yanabiul Mawaddah 3: 166 bab 94.
[116] Ibid 3: 115-116 bab 80 seraya menegaskan bahwa beliau menukilnya dari Faraidus Simthain karya Himwaini Syafi’i.
[117] Ushulul Kafi 1: 337/ 5 bab 80, lihat pula Kamaluddin 2: 342/ 24 bab 33 dan 2: 346/ 32 bab 33 dengan sanad yang lain, tetapi sanad yang pertama lebih bagus.
[118] Ushulul Kafi 1: 340/ 19 bab 80.
[119] Kamaluddin 2: 350/ 44 bab 33.
[120] Ushulul Kafi 1: 338/ 10 bab 80, dalam bab yang sama  beliau mengeluarkannya dengan jalur yang sahih dari sebagian ulama kita dari Ahmad Bin Muhammad dari Ali Bin Hakam dari Muhammad Bin Muslim 1: 340/ 15
[121] Kamaluddin 2: 347/ 35 bab 33.
[122] Ushulul Kafi 1: 336/ 3 bab 80.
[123] Kamaluddin 2: 347/ 40 bab 33.
[124] Ushulul Kafi 1: 340/ 18 bab 80. Shaduq juga mengeluarkannya dengan sanad yang sahih sesuai dengan pendapat yang lebbih bahwa Muhammad Bin Ali Majilwaih adalah orang tsiqah, Kamaluddin 2: 418/ 10 bab 44.
[125]Iqdud Durar: 178 bab 5.
[126] Kafi 1: 341/ 33 bab 80 mengeluarkannya dari Ahmad Bin Hasan dari Umar Bin Yazid dari Hasan Bin Rabi’ Himdani, yang secara zahir adalah sanad yang sahih. Sebab  Saad dan Himyari tidak hanya meriwaytkannya dari Ahmad Bin Husain Bin Umar Bin Yazid, akan tetapi dia juga meriwayatkannya dari banyak jalur dari Ahmad Bin Hasan, yaitu Ibnu Ali Bin Fadhdhal Fathahi yang dikenal tsiqah. Adapun riwayatnya dari Umar Bin Yazid, memiliki nnnilai yang sama baik dikatakan bahwa Umar tersebut adalah Shaiqal maupun Bayya’ Sabiri, kerena keduanya meninggal berpuluh-puluh tahun sebelum terjadinya ghaibah.
[127] Kamaluddin 1: 324/ 1 bab 32. Dalam bab yang sama Shaduq juga mengeluarkannya dari Ummu Hani’ dari Imam Muhammad Baqir AS 1: 330/ 15 bab 32 dengan sedikit perbedaan.
[128] Ibid 2: 381/ 5 bab 37, Kafi 1: 328/ 3  bab 75.
[129] Rijal Najasyi: 303/ 828.
[130] Ushulul Kafi 1: 328/ 2 bab 76.
[131] Ibid 1: 328/ 1 bab 76.
[132] Kamaluddin 2: 424/ 1 dan 2 bab 42, Kitab Al-Ghaibah karya Syekh Thusi: 234/ 204.
[133] Ushulul Kafi 1; 330/ 3 bab 77, Kamaluddin 2: 433/ 14 bab 42.
[134] Kamaluddin 2: 431/ 7 bab 42.
[135] Kamaluddin 2: 431/ 6 bab 42 dan 2: 432/ 10 bab 42.
[136] Ibid 2: 430/ 5 bab 42, Kitab Al-Ghaibah 244/ 211.
[137] Ushulul Kafi 1: 329-330/ 1 bab 77. Shaduq juga meriwayatkannya dengan sanad yang sahih dari ayahnya dan Muhammad Bin Hasan dari Abdullah Bin Ja’far Himyari, Kamaluddin 2: 441/ 14 bab 42.
[138] Ushulul Kafi 1: 329/ 4 bab 76 dan 1: 331/ 4 bab 77.
[139] Q. Surah Baqarah: 260.
[140] Kamaluddin 2: 435/ 3 bab 43.
[141] Ibid 2: 502/ 31 bab 45.
[142] Syekh Thusi, Al-Ghaibah: 394/ 363.
[143] Masalah-masalah tesebut telah dikumpulkan secara tersendiri dalam tiga jilid buku oleh Syekh Muhammad Gharawi dengan nama Al-Mukhtar fi Kalimatil Imamil Mahdi AS.
[144] Al-Kafi 1: 331/ 8 bab 77, Syekh Mufid, Al-Irsyad 2: 253, Syekh Thusi, Al-Ghaibah: 268/ 232 dan: 357/ 319.
[145] Al-Kafi 1: 331/ 6 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 268/231.
[146] Al-Ghaibah: 259/ 226.
[147]Kamaluddin 2: 445/ 19 bab 43.
[148] Ibid 2: 384/ 1 bab 38.
[149] Ibid 2: 456/ 21 bab 43.
[150] Ibid 2: 444/ 18 bab 43, Al-Ghaibah: 253/ 223.
[151] Ibid 2: 444/ 18 bab 43, Al-Ghaibah: 253/ 223.
[152] Al-Ghaibah: 258/226.
[153] Al-Kafi 1: 331/ 5 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 269/ 233.
[154] Al-Ghaibah: 357/ 319.
[155] Ibid: 272/ 237.
[156] Al-Kafi 1: 331/ 7 bab 77, Al-Irsyad 2: 352
[157] Kamaluddin 2: 443/ 17 bab 43.
[158] Ibid 2: 432/ 9 bab 43 dan 2: 434/ 1 bab 43.
[159] Al-Kafi 1: 331/ 9 bab 77, Kamaluddin 2: 442/ 15 bab 43, Al-Irsyad 2: 353, Al-Ghaibah: 248/ 217.
[160] Al-Kafi 1: 331/ 3 bab 77, Kamaluddin 2: 424/1 bab 42 dan 2: 426/2 bab 42, Al-Irsyad 2: 351, Al-ghaibah: 234/ 204, 237/ 205 dan 239/ 207.
[161] Al-Ghaibah: 271/ 236.
[162] Ibid: 248/ 218.
[163] Kamaluddin 2: 502/ 61 bab 45, Al-Ghaibah: 320/ 266 dan: 322/ 269.
[164] Kamaluddin 2: 441/ 13 bab 43.
[165] Al-Kafi 1: 328/ 3 bab 76 dan 1: 332/ 12 bab 77, Al-Irsyad 2: 353, Al-Ghaibah: 234/ 203.
[166] Al-Ghaibah: 263/ 228.
[167] Kamaluddin 2: 491/ 14 bab 45.
[168] Al-Kafi 1: 515/ 3 bab 125, Kamaluddin 2: 437 setelah hadis 6 bab 43.
[169] Al-Ghaibah: 247/ 216.
[170] Al-Kafi 1: 329/ 1 bab 76, 1: 329/ 4 bab 76 dan 1: 331/ 4 bab 77, Al-Irsyad 2: 351, Al-Ghaibah: 355/ 316.
[171] Kamaluddin 2: 470/ 24 bab 73, Al-Ghaibah: 259/ 227.
[172] Al-Kafi 1: 330/ 2 bab 77, Al-Irsyad 2: 351, Al-Ghaibah: 268/ 230.
[173] Kamaluddin 2: 477 setelah hadis 6 bab 43.
[174] Al-Ghaibah: 269/ 234 dan: 270/ 235.
[175] Kamaluddin 2: 442/ 15 bab 43, beliau membawakan riwayat bahwa Ja’far Kadzdzab telah melihat Imam Mahdi.Dilihat dari dzahir riwayat,  sepertinya dia juga telah melihat Imam Mahdi. Akan tetapi dalam Al-Kafi dinyatakan dengan tegas bahwa dia idak pernah melihat beliau tetapi hanya bertemu dengan orang yang telah melihat Al-Mahdi, yaitu Ja’far Kadzdzab. Al-Kafi 1: 331/ 9 bab 77.
[176] Kamaluddin 2: 433/ 13 bab 42, 2: 435/ 3 bab 43, 2: 440/ 9 bab 43, 2: 440/ 10 bab 43 dan 2: 441/ 14 bab 43.
[177] Ibid 2: 435/ 2 bab 43.
[178]Al-Ghaibah: 273/ 238.
[179] Ibid 257/ 225.
[180]Kamaluddin 2: 442-443/ 16 bab 43.
[181] Al-Kafi 1: 332/ 13 bab  77, Kamaluddin 2: 441/ 12 bab 43, Al-Irsyad 2: 354, Al-Ghaibah: 246/ 215 disebutkan di dalamnya Dharif bukan Tharif.
[182] Al-Kafi 1: 331/ 6 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 268/ 231.
[183] Kamaluddin 2: 475 setelah hadis 25 bab 43.
[184] Ibid 2: 431/ 8 bab 42.
[185] Ibid 2: 474 setelah hadis 25 bab 43, Al-Ghaibah: 272/ 237.
[186] Al-Ghaibah: 273-276/ 238.
[187] Kamaluddin 2: 431/ 7 42.
[188] Ibid 2: 441/ 11 bab 43.
[189] Ibid 2: 430/ 5 bab 42 dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nasim bersama Mariah telah melihat beliau AS.
[190] Ibid 2: 442/ 16 bab 43.
[191] Al-Irsyad 2: 336.
[192] Abu Nasr Bukhari, Sirrus Silsilatil ‘Alawiyyah: 39.
[193] Al-Mujdi fi Ansabit Thalibiyyin: 130.
[194] Fakhrur Razi, Asy-Syajaratul Mubarakatu fi Ansabit Thalibiyyin: 78-79.
[195] Al-Fakhri fi Ansabit Thalibiyyin: 7.
[196]Umdatut Tahlib fi Ansabi Aali Abi Thalib: 199.
[197] Jamaluddin Ahmad Bin ‘Inabah, Al-Fushulul Fakhriyyah (tentang nasab): 134-135.
[198] Ahli nasab bermadzhab Zaidiyyah Sayyid Abul Hasan Muhammad Husaini Yamani Shan’ani, Raudhatul Albab li Ma’rifatil Ansab: 105.
[199] Suwaidi, Sabaikudz Dzahab: 346.
[200] Ad-Durarul Bahiyyah fil Ansabil Haidariyyah wal Uwaisiyyah, cetakan Halab Suriah tahun 1405 H: 73.
[201] Catatan kaki Ad-Durarul Bahiyyah: 73-74.
[202] Rujuk kitab Al-Imanush Shahih karya Sayyid Qazwaini, kitab Al-Imamul Mahdi fi Nahjil Balaghah karya Syekh Mahdi Faqih Imani, kitab Man Huwa Al-Imamul Mahdi karangan Tabrizi, Ilzamun Nashib karangan Syekh Ali Yazdi Hairi, Al-Imamul Mahdi karangan Ustadz Ali Muhammad Dakhil, kitab Ad-Difa’ ‘Anil Kafi karangan Sayyid Tsamir ‘Amidi. Nama terakhir ini menyebutkan nama seratus dua puluh delapan orang dari ulama Ahlussunnah yang mengakui kelahiran Imam Mahdi AS sesuai dengan urutan abad kehidupan mereka. Diawali dengan Abu Bakar Muhammad Bin Harun Ruyani wafat tahun 307 H di dalam kitabnya Al-Musnad (tulisan tangan) dan di akhiri dengan ulama di zaman sekarang Ustadz Yunus Ahmad Samara’i di dalam kitabnya Samarra’ fi Adabil Qarnits Tsalitsil Hijri. Buku ini dicetak dengan bantuan Universitas Baghdad pada tahun 1968 M. Lihat kitab Difa’ ‘Anil Kafi 1: 568-592 di bawah judul Dalil ke-6: ‘I’tirafatu Ahlissunnah (pengakuan Ahlussunnah).
[203] Al-Kamil fit Tarikh 7: 274 di akhir kejadian tahun 260 H.
[204] Wafayatul A’yan 4: 176/ 562.
[205] Ushulul Kafi 1: 514 bab 125.
[206] Kamaluddin 2: 430/ 4 bab 42.
[207] Al-’Ibar fi Khabari Man Ghabar 3: 31.
[208] Tarikhu Duwalil Islam, dalam juz yang khusus menyebutkan peristiwa-peristiwa dan kematian antara tahun 251-260 H: 113/ 159.
[209] Siyaru A’lamin Nubala’ 13: 119/ terjemahan nomer 60.
[210] Mu’min Bin Hasan Syablanji Syafi’i menukilnya dari beliau dalam Nurul Abshar: 186.
[211] Ibnu Hajar Haitami, Ash-Shawaiqul Muhriqah, cetakan pertama hal: 207, cetakan kedua hal: 124, dan cetakan ketiga hal: 313-314.
[212] Al-Ithaf bi Hubil Asyraf: 68.
[213] Nurul Abshar: 186.
[214] Al-A’lam 6: 80.
[215] Sya’rani, Al-Yawaqit wal Jawahir 2: 143, percetakan Mushthafa Al-Babi Al-Halabi Mesir tahun 1378 H - 1959 M.
[216] Mathalibus Saul 2: 79 bab 12.
[217] Tadzkiratul Khawash: 363.
[218] Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 521 bab 25.
[219] Ibnu Shabbagh Maliki, Al-Fushulul Muhimmah: 287-200.
[220] Mudhaffar, Dalailush Shidq 2: 574-575 dari pembahasan kelima. Perlu diketahui bahwa Syekh Muhammad Hasan Mudhaffar di dalam kitab Dalailush Shidq menukil kitab Ibthalul Bathil secara lengkap.
[221] Ibnu Thulun Hanafi, Al-Aimmatul Itsna ‘Asyar: 117.
[222] Ibid: 118.
[223] Perhatikan kalimat yang beliau bawakan “Ulama bersepakat...” Lalu bandingkan dengan apa yang klaim oleh segelintir mereka yang terpelajar dan yang mengikuti jejak mereka dengan slogan-slogan palsu berkedok pembaharuan.
[224] Qirmani, Akhbarud Duwal wa Aatsarul Uwal: 353-354, pasal ke-11.
[225] Yanabi’ Al Mawaddah 3:114 di akhir bab 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar