Siapa Imam Mahdi Yang Dimaksud?
Pada bagian yang lalu, telah kami jelaskan bagaimana kaum
muslimin sepakat dalam kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi di akhir zaman
melalui hadits-hadits mutawatir yang membawa kabar gembira dari Nabi saw ini.
Dari sinilah, seorang insan muslim akan bertanya-tanya dalam dirinya dan
mengatakan:
“Jika hadits-hadits yang menerangkan Imam Mahdi dan
kedatangannya di akhir zaman memiliki tingkat kejelasan dan keotentikan yang
sedemikian rupa, sehingga para ulama Islam menegaskan akan kesahihan dan
kemutawatirannya, mengapa terdapat juga sebagian riwayat yang berlainan dalam
menyebut nasab Al Mahdi yang saling berlawanan dan bertentangan? Jadi, siapakah
Imam Mahdi tersebut? Melalui riwayat-riwayat yang bertentangan tersebut,
dapatkah kita mengenalinya sehingga tidak ragu lagi dalam memberikan gelar Al
Mahdi kepada pemilik aslinya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus kami jelaskan poin-poin
yang menjadi perintang jalan bagi sebagian orang dalam mengidentifikasikan nasab
dan silsilah keturunan Imam Mahdi, walaupun mereka meyakini akan kedatangannya
di akhir zaman. Di sini perlu kita tekankan -sebelum menjelaskan poin-poin
tersebut- bahwa mereka yang meyakini dengan kuat kemunculan Imam Mahdi,
sedangkan sosok Mahdi tersebut tidak atau belum jelas baginya, ibarat orang yang
yakin akan kewajiban shalat, tapi tidak mengetahui rukun-rukunnya. Dia tidak
bisa dikatakan sebagai orang yang menunaikan shalat. Demikian juga keadaan orang
yang menanti sosak Al Mahdi yang tidak diketahuinya, hal ini akan kami jelaskan
nanti.
Bagaimanapun juga, jawaban dari semua persoalan yang ada
berkenaan dengan nasab Imam Mahdi terdapat di bagian ini, karenanya jika pembaca
yang budiman mau bersama-sama kami sampai di akhir, akan mendapatkan sebagian
besar jawaban dari pertanyaan siapakah Mahdi yang dijanjikan, yang
ditunggu-tunggu itu? Kami berjanji untuk tidak mengikutkan keyakinan pribadi
dalam kajian ini, sehingga tidak menghakimi sendiri dalil-dalil yang ada, selama
kebenaran adalah tujuan kita, baik kebenaran itu ada pada kita atau ada pada
orang lain. Karena orang yang berakal adalah orang yang tidak memusuhi kebenaran.
Bila pembaca memperhatikan dengan cermat apa yang kami katakan, akan dapat
menyaksikan kejujuran dan ketulusan kami dalam mengkaji poin-poin identifikasi
nasab Imam Mahdi dalam bahasan-bahasan mendatang.
Yang kami maksud dengan poin-poin identifikasi hadits-hadits Al
Mahdi adalah hadits-hadits yang seakan-akan bertentangan satu sama lain, yang
bagi kebanyakan orang-khususnya mereka yang tidak secara langsung terjun dalam
bidang ilmu hadits - sulit untuk dipecahkan. Hal ini mempermudah jatuhnya
mereka yang beriman lemah ke dalam jurang pengingkaran akan Al Mahdi, baik
mereka itu orang Islam maupun yang memang secara terang-terangan memusuhi Islam.
HADITS-HADITS TENTANG NASAB BELIAU
Hadits-hadits sahih yang menerangkan nasab Imam Mahdi as dapat
dibagi menjadi beberapa kategori, yang mempunyai satu makna dan tidak saling
bertentangan, juga bukan hambatan untuk mengidentifikasi nasab beliau seperti
yang akan kita kaji, sebagai berikut:
Al Mahdi dari Kinanah, Suku Quraisy, Bani Hasyim
Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar dan Hakim dalam Mustadrak
meriwayatkan hadits yang menyebutkan nasab Imam Mahdi sampai ke Kinanah, lalu
Quraisy dan Bani Hasyim.
Hadits riwayat Qatadah dari Sa’id Bin Musayyib. Qatadah berkata,
“Saya bertanya kepada Sa’id Bin Musayyib “Apakah Janji tentang Al Mahdi itu haq
?”. Dia menjawab “Ya, haq.” Lalu saya bertanya, “Dari keturunan siapakah dia?”
Jawabnya: “Dari Kinanah.” Tanyaku lagi, “Lalu dari keturunan siapa?” “Dari
Quraisy dari Bani Hasyim,” jawabnya.
Lalu Muqaddasi mengatakan, “Hadits ini juga dinukil oleh Imam
Abu Umar Usman Bin Said Muqri dalam Sunannya. Diapun meriwayatkan hadits yang
seperti ini dengan redaksi yang berlainan, juga dari Qatadah dari Said Bin
Musayyib.”
Lalu katanya, “Imam Abul Husein Ahmad Bin Jafar Manawi dan Imam
Abu Abdillah Nuaim Bin Hammad juga mengeluarkan hadits ini.”[1]
Sekilas hadits ini terasa bertentangan isinya, karena
menyebutkan nasab Imam Mahdi pertama dari Kinanah, lalu Quraisy dan terakhir
bani Hasyim. Jawabnya adalah tidak ada pertentangan sama sekali dalam hadits ini.
Karena setiap orang bani Hasyim juga orang Quraisy. Dan setiap orang Quraisy
pasti orang dari Kinanah, karena menurut para pakar nasab, Quraisy adalah nama
lain dari Nadhr Bin Kinanah.
Al Mahdi dari keturunan Abdul Mutthalib
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang
lainnya dengan sanad yang sampai kepada Anas Bin Malik, dia berkata bahwa Nabi
Muhammad saw bersabda,:
نحن ولد عبد المطلب سادة اهل الجنة انا وحمزة وعلي وجعفر والحسن والحسين والمهدي
“Kami putra keluarga Abdul Mutthalib, penghulu ahli surga.
Aku, Hamzah, Ali, Ja’far, Hasan, Husein, dan Mahdi.”[2]
Dalam kitab ‘Iqd Al Durar diriwayatkan dengan redaksi seperti
berikut:
نحن سبعة بنو عبد المطلب سادات اهل الجنة انا واخي علي وعمي حمزة وجعفر والحسن
الحسين المهدي
“Kami tujuh orang dari keturunan Abdul Mutthalib penghulu
ahli surga. Aku, saudaraku Ali, pamanku Hamzah, Ja’far, Hasan, Husein dan Mahdi.”
Kemudian berkata bahwa hadits ini dikeluarkan juga oleh
sekelompok ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka diantaranya : Imam Abu
Abdillah Muhammad Bin Yazid Bin Majah Qazwini dalam sunannya, Abul Qasim
Thabarani dalam Mu’jamnya, Al-Hafidz Abu Nu’aim Al Isfahani dan lainnya.[3]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya bahkan
mengkhususkannya,[4]
karena semua menyatakan bahwa kakek Nabi, Abdul Mutthalib adalah putera Hasyim
juga. Kesimpulannya, Imam Mahdi adalah dari keturunan Abdul Mutthalib Bin Hasyim
dari Quraisy dan Kinanah.
Al Mahdi Dari Keturunan Abu Thalib
Hadits ini dinukil oleh Syekh Mufid dalam kitab Al Irsyad dan
Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar, beliau mengatakan bahwa Nu’aim Bin Hammad
meriwayatkan di kitab Al Fitan. Hadits ini adalah riwayat Saif Bin Umairah, dia
berkata, “Ketika saya sedang berada di tempat khalifah Abu Ja’far Al Mansur,
tiba-tiba dia mengatakan , “Wahai Saif Bin Umairah ! Akan terjadi pada suatu
hari nanti, panggilan dari langit yang memanggil nama seorang dari keturunan Abu
Thalib”. Saya bertanya, “Jiwaku untukmu wahai Amirul Mukminin, apakah benar Anda
meriwayatkannya?” Dia menjawab, “Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, saya
mendengar sendiri hadits ini dengan kedua telingaku.” Saya berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, saya belum pernah mendengarnya sebelum ini.” Beliau berkata,
“Wahai Saif, ini adalah suatu kebenaran.”
“Bila mana itu terjadi, kami orang yang pertama-tama yang akan
menjawabnya. Sungguh panggilan langit itu ditujukan kepada seorang dari
keturunan paman kami Abu Thalib”. “Apakah dia cucu dari Fatimah,” tanyaku.
Jawabnya, “Ya, wahai Saif. Jika hadits ini tidak aku dengar sendiri dari Abu
Ja’far Muhammad Bin Ali tidak mungkin aku akan menerima dan mengiyakannya
walaupun seluruh penghuni bumi ini menyatakannya kepadaku. Tapi hadits ini aku
dengar sendiri dari Muhammad Bin Ali (Imam Baqir as).”[5]
Hadits ini mengkhususkan lagi hadits sebelumnya. Karena setiap
keturunan Abu Thalib pastilah ia juga keturunan ayahnya, Abdul Mutthalib.
Tanpa melihat kalimat di dalam hadits ini yang secara tegas dan
jelas menyatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Fatimah as -hal yang akan kita
bahas nanti-, sampai di sini kita telah dapat mengambil kesimpulan bahwa Al
Mahdi yang kedatangannya di akhir zaman dan menjadi kabar gembira adalah seorang
dari keturunan Abu Thalib Bin Abdul Mutthalib Bin Hasyim Quraisyi Kinaniy.
Al Mahdi Dari Keturunan Abbas
Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits semacam inilah yang
menjadi problem dalam pengidentifikasian nasab Imam Mahdi, sebab anak cucu dari
Abbas bukan keturunan Abu Thalib. Karenanya, hadits-hadits ini perlu untuk kita
kaji. Kita katakan bahwa hadits-hadits yang memiliki makna di atas dapat di bagi
menjadi dua kategori.
Pertama, hadits-hadits umum.
Bagian pertama dari dua kategori ini adalah hadits-hadits yang
menyebutkan istilah bendera. Di antaranya, yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam
Musnadnya dari Tsauban dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda:
اذا رأيتم الرايات السود قد اقبلت من خراسان فأتوها ولو حبوا على الثلج فان فيها
خليفة الله المهدي
"Jika kalian melihat bendera-bendera hitam berkibar dari arah
Khurasan, sambutlah ia walaupun harus merangkak di atas salju, karena di sanalah
Al Mahdi, Khalifah Allah.”[6]
Ibnu Majah meriwayatkan juga hadits yang demikian dengan sanad
yang tidak jauh berbeda.[7]
Sebagaimana juga Tirmidzi dengan sanadnya dari Abu Hurairah dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda,
تخرج من خراسان الرايات السود فلا يردها شيء حتى تنصب بإيلياء
“Dari arah Khurasan kelak akan berkibar panji-panji hitam.
Tak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi lajunya sehingga sampai di Iliya’.”[8]
Hadits-hadits ini, walaupun tidak dengan jelas mengatakan bahwa
Al Mahdi dari keturunan Abbas, akan tetapi dapat dipahami bahwa hadits ini
memiliki makna yang demikian. Dengan penjelasan sebagai berikut: Maksud dari
panji-panji hitam di atas adalah panji-panji yang dikibarkan oleh Abu Muslim
Khurasani dari Khurasan yang menjadi batu pertama Kekhalifahan bani Abbas.
Dhaifnya Hadits di Atas
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dan
Ibnu Majah dalam Sunannya di atas, menurut sebagian ulama adalah hadits dhaif.
Di antara mereka yang memiliki keyakinan tersebut adalah Ibnul Qayyim. Dalam
kitabnya Al Manarul Munif mengatakan’ “Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
ini dan hadits sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa Khalifah Mahdi
Abbasi adalah Imam Mahdi yang akan datang di akhir zaman.”[9]
Salah satu buktinya adalah bahwa khalifah Mahdi Abbasi meninggal
dunia pada tahun 169 H, di mana dalam masa khilafahnya banyak wanita yang ikut
campur tangan dalam urusan pemerintahan. Thabari mengatakan bahwa Khaizaran
istri khalifah Mahdi Abbasi memiliki campur tangan dalam pemerintahan. Bahkan di
masa khilafah anaknya Hadi Abbasi,[10]
puncak pemerintahan ada di tangannya. Figur dengan keadaan yang demikian,
layakkah disebut sebagai khalifah Allah di muka bumi?”
Selain itu, Mahdi Abbasi, maupun seluruh khalifah bani Abbas,
semuanya hidup bukan di akhir zaman. Tidak seorangpun dari mereka yang
memberikan harta tanpa menghitung jumlahnya. Tak seorangpun dibai’at di antara
Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Tak ada pula yang membunuh Dajjal. Nabi Isapun tidak
turun dan melaksanakan shalat di belakang Mahdi Abbasi. Tanah Baida’ juga tidak
menelan tentara Sufyani di zaman mereka, dan tidak ada satupun tanda dari
tanda-tanda kedatangan Al Mahdi yang terjadi di zaman mereka.
Adapun tentang hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu
Katsir telah mencapnya sebagai hadits gharib, beliau mengatakan
“Panji-panji yang dimaksud oleh hadits ini bukanlah bendera yang dikibarkan oleh
Abu Muslim Khurasani untuk menumpas habis kekuasaan bani Umayyah pada tahun 132
H. Akan tetapi yang dimaksud adalah panji-panji lain yang dibawa oleh Al Mahdi...yaitu
Imam Mahdi yang terpuji dan dijanjikan kedatangannya di akhir zaman, di mana
kemunculan dan kebangkitannya dimulai dari arah timur.”[11]
Tidak mustahil jika dikatakan bahwa para juru dakwah dan
muballigh bayaran Bani Abbas telah memanipulasi hadits-hadits semacam ini untuk
menguatkan posisi tuan-tuan mereka, sebagaimana mereka juga telah membuat
hadits-hadits palsu yang dengan jelas menunjuk ke makna ini, seperti yang akan
kita bahas sebentar lagi. Kemungkinan inilah yang dapat kita simpulkan. Karena
jika tidak sangatlah sulit bagi kita untuk mengingkari hadits tentang bendera
hitam yang menunjukkan keluarnya tentara Imam Mahdi dari arah timur. Sebab
hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur dan Hakim sendiri mengatakan bahwa
sebagiannya adalah hadits yang sahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.[12]
Kedua, Hadits-Hadits rinci.
1. Hadits
المهدي من ولد العباس عمي
“Imam Mahdi dari keturunan pamanku, Abbas.”
Suyuthi menukil hadits ini dalam kitab Jami’ Al Shaghir, seraya
mengatakan bahwa hadits ini dhaif.[13]
Munawi Syafi’i dalam Faidh Al Ghadir mengatakan bahwa Daruquthni meriwayatkannya
dalam Al Ifrad. Ibnul Jauzi berkata “Di dalam sanadnya terdapat Muhammad Bin
Walid Muqhri yang menurut Ibnu ‘Addy adalah orang yang gemar membuat hadits
palsu dan dusta serta suka mengubah-ubah dan mengganti sanad dan teks hadits
sekehendaknya.” Ibnu Abi Ma’syar menyifatinya sebagai pembohong. Samhudi
mengatakan bahwa hadits-hadits sebelum dan sesudah hadits ini adalah hadits
shahih, hanya saja di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad Bin Walid yang
suka membuat hadits palsu.”[14]
Suyuthi juga mendhaifkannya dalam Al-Hawi. Demikian juga Ibnu
Hajar dalam kitab Al Shawaiqnya, Shabban dalam Is’af dan Abul Faidl dalam Ibraz
Al Wahm Al Maknun. Mereka semuanya dengan tegas menyatakan bahwa hadits ini
palsu.[15]
2. Hadits riwayat Ibnu Umar:
رجل يخرج من ولد العباس
“ Seseorang dari keturunan Abbas.”
Hadits ini diriwayatakan dalam kitab Kharidat Al ‘Ajaib secara
mursal dari Ibnu Umar yang berarti ucapan Ibnu Umar sendiri.[16]
Hadits ini selain mursal, yang menjatuhkannya dari posisi argumentasi, juga
tidak secara jelas menyebutkan bahwa dia adalah Mahdi. Karena itu hadits ini
lebih layak jika dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu hadits -hadits yang
hanya secara global menunjuk arti ini, walaupun hadits ini menyebutkan nama
Abbas
3. Hadits riwayat Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw pernah bersabda
kepada paman beliau, Abbas:
إن الله ابتدأ بي الإسلام وسيختمه بغلام من ولدك وهو الذي يتقدم عيسى بن مريم
“Allah swt telah membuka Islam denganku. Dialah yang akan
mengakhirinya dengan seorang dari keturunanmu. Dialah yang akan menjadi imam
sedangkan Isa putera Maryam menjadi makmumnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Khatib Baghdadi dalam Tarikhnya. Di
dalam sanadnya terdapat Muhammad Bin Mukhalid[17]
yang didhaifkan oleh Dzahabi, yang keheranan ketika melihat Khatib tidak
menyatakannya sebagai hadits yang dhaif. Beliau berkata “Khatib meriwayatkannya
dari Muhammad Bin Mukhalid Al ’Aththar, yang menjadikan riwayat ini cacat.
Sungguh aneh Khatib menyebutkan hadits ini dalam Tarikhnya tanpa mendhaifkannya.
Sepertinya dia tidak berkomentar karena keadaan orang tersebut sudah maklum bagi
semua orang.”[18]
4. Hadits riwayat Ummul Fadl, dari Nabi saw, beliau bersabda:
يا
عباس إذا كانت سنة خمس وثلاثين ومائة فهي لك ولولدك منهم السفاح ومنهم المنصور
ومنهم المهدي
“Wahai Abbas, Jika tahun 135 H tiba,kekuasaan ada di tangan
anak cucumu. Dari mereka ada yang dikenal dengan Saffah, Mansur dan Mahdi.”
Hadits ini juga dinukil oleh Khatib dan Ibnu Asakir dari Ummul
Fadl.[19]
Dzahabi berkata tentang hadits ini, “ Di dalam sanadnya terdapat
Ahmad Bin Rasyid Hilali dari Said Bin Khaitsam. Riwayat yang tidak benar dalam
menyebutkan bani Abbas dari riwayat Khaitsam dari Handzalah -sampai pada
pernyataannya ketika menyebut Ahmad Bin Rasyid Hilali- dialah yang memalsukan
hadits ini dengan kebodohannya.”[20]
Dzahabi menyinggung soal kebodohan Ahmad Bin Rasyid dalam
memalsukan hadits ini, sebab kekuasaan bani Abbas dimulai pada tahun 132 H,
bukan tahun 135 H, seperti yang disepakati oleh seluruh ahli sejarah. Dan ini
menunjukkan kebodohan si pemalsu hadits ini akan permulaan kekuasaan Bani Abbas
5. Persis hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Suyuthi dari Ibnu Abbas dalam kitab Al la’al Al Mashnu’ah fi Al Ahadits Al
Maudlu’ah, tokoh yang menjadikannya cacat adalah Al Qilabi.[21]
Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wa Al Nihayah menukilnya dari riwayat Dhahhak
dari Ibnu Abbas dan mengatakan “Sanad hadits ini dhaif, karena Dhahhak, menurut
pendapat yang benar, tidak pernah mendengar satu haditspun dari Ibnu Abbas Jadi
sanad ini terputus.”[22]
Hakim juga meriwayatkannya dari jalur lain yang di dalamnya
terdapat nama Ismail Bin Ibrahim Muhajir.[23]
Abul Faidl Ghimari Syafi’imenyebutkan dari Dzahabi bahwa Ismail Bin Ibrahim
adalah sosok yang disepakati sebagai orang yang dhaif dalam hadits, walaupun
ayahnya tidak demikian.[24]
Hadits-hadits inilah yang menyulitkan dan memBingungkan sebagian
orang untuk mengetahui identitas Imam Mahdi yang sebenarnya.
Melalui pembahasan yang lalu kita telah sampai pada kesimpulan
bahwa Imam Mahdi adalah dari keturunan Abu Thalib. Inilah silsilah beliau yang
sesungguhnya. Karena hadits-hadits yang menyatakan bahwa beliau keturunan Abbas
adalah hadits-hadits palsu. Di samping itu hadits tentang bendera hitam dari
Khurasan sama sekali tidak mempengaruhi hasil yang telah kita capai. Pada
pembahasan mendatang, ketika membicarakan tentang kelompok hadits-hadits Al
Mahdi lainnya, masalah akan menjadi bertambah jelas, bahwa beliau bukan dari
keturunan Abbas
Al Mahdi Dari Keturunan Ali as
Abu Thalib mempunyai lebih dari seorang putera. Karenanya
terdapat beberapa hadits yang mengkhususkan keturunan Amirul Mu’minin Ali as
dari anak-anak beliau yang lain, bahwa Al Mahdi dari keturunan Ali as Di antara
riwayat-riwayat tersebut adalah perkataan Ali as sendiri,. Beliau berkata:
هو
رجل مني
“Al Mahdi adalah keturunanku.”[25]
Semua orang tahu bahwa Amirul Mukminin memiliki anak lebih dari
satu, dan untuk mengetahui dari anak beliau yang manakah Al Mahdi, merupakan
pekerjaan sulit. Tapi karena banyaknya hadits-hadits yang yang menyebutkan nasab
Al Mahdi dan dinyatakan sebagai hadits yang sahih bahkan mutawatir oleh para
ulama adalah hadits yang menyebutkan bahwa Al Mahdi dari Ahli Bait, dari Ithrah
dan dari keturunan Nabi saw, maka pekerjaan kita ini lebih mudah. Sebab, tidak
diragukan lagi bahwa gelar Ahli Bait, ithrah maupun cucu Nabi saw hanya tepat
untuk disandang keturunan Amirul Mukminin dari istri beliau Fatimah Zahra’ as.
Contoh hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Al Mahdi Dari Ahli Bait as
1
. تنقضي الأيام ولا يذهب الدهر حتى يملك العرب رجل من اهل بيتي اسمه يواطئ اسمي
“Hari tidak akan habis dan masa tidak akan selesai, sampai
seluruh Arab dikuasai oleh seorang dari Ahli Baitku, yang namanya sama dengan
namaku.”
Hadits ini dinukil oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Ibnu Mas’ud
dengan beberapa jalur. Juga dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, Thabrani
dalam Mu’jam Al Kabir. Tirmidzi dan Kunji Syafi’i mensahihkannya, sedangkan
Baghawi menganggapnya sebagai hadits hasan.[26]
2.
لو
لم يبق من الدهر إلا يوم لبعث الله رجلا من اهل البيت يملأها عدلا كما ملئت جورا
"Jika hari kiamat sudah dekat, niscaya Allah akan mengutus
seorang dari Ahli Bait yang memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh
kezaliman.”
Hadits riwayat Imam Ali as dari Rasulullah ini dikeluarkan oleh
Ahmad dalam Musnadnya, juga Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud dan Baihaqi. Thabarsi
dalam Majma’ Al Bayan menyebutkan bahwa seluruh kaum muslimin baik dari Syi’ah
maupun Ahli Sunnah mengakui kebenaran riwayat ini.[27]
Abul Faidl Ghimari ketika menyifati hadits ini mengatakan, “Hadits ini tanpa
diragukan lagi adalah hadits yang sahih.”[28]
3.
لا تقوم الساعة حتى يلي رجل من اهل بيتي يواطئ اسمه اسمي
“Hari kiamat tidak akan datang sampai seorang dari Ahli
baitku yang memiliki nama seperti namaku, memerintah dunia ini.”
Hadits ini dinukil oleh Ahmad, Tirmidzi dan Thabrani dari
beberapa jalur. Juga Kunji Syafi’i yang telah mensahihkannya dan Syekh Thusi
dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah saw. Sedangkan Abu Ya’la mengeluarkannya dalam
Musnad beliau dari riwayat Abu Hurairah.[29]
Dalam kitab Al Durr Al Mantsur disebutkan bahwa Tirmidzi menukil hadits ini dari
Abu Hurairah dan menyatakanya sebagai hadits sahih.[30]
4
.المهدي
منا اهل البيت اشم الأنف اجلى الحبهة يملأ الأرض قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا
“Al Mahdi adalah seorang dari kami Ahli Bait. Seorang yang
mulia dan berparas tampan. Dialah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan
setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id Khudri dari Nabi saw dan
dikeluarkan oleh Abdurrazzaq. Hakim mensahihkannya sesuai dengan syarat Muslim
dan Arbili menukilnya dalam Kasyf Al Ghummah.[31]
Al Mahdi dari keturunan Rasulullah
Banyak hadits yang diriwayatkan dengan makna demikian, tapi kita
hanya menyebutkan satu saja, yaitu riwayat Abu Said Khudri dari Nabi saw,
beliau bersabda:
لا
تقوم الساعة حتى تملأ الارض ظلما وعدوانا ثم يخرج رجل من عترتي ومن اهل بيتي
-الترديد في الراوي- يملؤها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا
"Hari kiamat tidak akan datang sampai dunia dipenuhi oleh
kezaliman dan permusuhan. Setelah itu seorang dari ‘itrah atau Ahli Baitku -perawi
ragu akan kepastian satu dari dua kata tersebut- yang akan memenuhinya dengan
keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim seraya
menegaskan kesahihannya dan Shafi dalam Muntakhabul Atsar.[32]
Abul Faidh Ghimari Syafi’i -setelah mempelajari dengan cukup cermat jalur-jalur
riwayat dan perawi-perawi hadits ini- mengatakan, “Hadits ini sahih, sesuai
dengan syarat Bukhari dan Muslim seperti yang dinyatakan oleh Hakim.”[33]
Al Mahdi adalah cucu Nabi saw
1. Hadits riwayat Abu Said Khudri dari Nabi saw, beliau bersabda:
المهدي مني اجلى الجبهة افتى الانف يملا الارض قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا يملك
سبع سنين.
"Al Mahdi adalah cucuku, berdahi lebar dan berhidung mancung.
Dialah yag akan memenuhi dunia ini dengan keadilan setelah penuh dengan
kezaliman.”
Hadits ini diriwayatkan sahih oleh Hakim sesuai dengan
syarat-syarat Muslim, begitu juga Kunji Syafi’i, Suyuthi, Syekh Mansur Ali Nasif
dalam Al Taj Al Jami’ Li Al Ushul dan Abul Faidl.[34]
Sedangkan Baghawi menganggapnya hasan. Menurut Ibnul Qayyim sanad hadits ini
bagus.[35]
Riwayat Abu Said ini dikeluarkan oleh Abu Daud, Abdur Razzaq, Khattabi dalam
Ma’alim Al Sunan, dari kalangan Syi’ah oleh Sayid Bin Thawus dan Ibnu Bithriq.[36]
2. Hadits riwayat Amirul mukminin as dari Rasulullah saw, Beliau
bersabda:
المهدي من ولدي تكون له غيبة وحيدة تضل فيها الامم ياتي بذخيرة الانبياء (ع) يملؤها
عدلا وقسطا كما ملئت جورا وظلما
"Al Mahdi adalah seorang dari keturunanku, kehidupannya akan
diwarnai dengan kegaiban yang menyebabkan kebimbangan sehingga banyak umat yang
sesat karenanya. Dia akan datang dengan membawa peninggalan para Nabi as untuk
memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.”
Hadits ini dinukil oleh Syekh Shaduq dalam Kamal Al Din. Juwaini
berhujjah dengan hadits ini dalam Faraid Al Simthain, juga Qunduzi Hanafi dalam
Yanabi’Al Mawaddah.[37]
Dengan demikian jelaslah bahwa Al Mahdi adalah keturunan Imam
Ali as dari isteri beliau Fatimah as. Di samping itu, terdapat pula
hadits-hadits yang menerangkan hal ini dengan jelas, seperti berikut ini.
Al Mahdi Dari Keturunan Fatimah as
المهدي حق وهومن ولد فاطمة
“Berita tentang Al Mahdi merupakan suatu kebenaran yang pasti.
Dia dari keturunan Fatimah as”
Hadits ini diriwayatkan dari Ummu Salamah oleh Abu Daud, Ibnu
Majah , Thabrani, Hakim dari dua jalur. Empat orang ulama Ahli Sunnah menukil
hadits tersebut dari Sahih Muslim.[38]
Sedangkan beberapa ulama lain meyakini akan keshahihan sanadnya bahkan sebagian
menegaskan akan kemutawatirannya.[39]
Nu’aim Bin Hammad mengeluarkan riwayat dari Imam Ali as beliau
berkata:
المهدي رجل منا من ولد فاطمة
“Al Mahdi seorang dari kami, dari keturunan Fatimah as.”[40]
المهدي من ولد فاطمة
“Al Mahdi dari keturunan Fatimah.”
Di samping riwayat di atas, ada sebuah riwayat yang mengumpulkan
sebagian besar hadits-hadits yang telah kita pelajari. Hadits yang diriwayatkan
oleh Qatadah tersebut telah kita nukil -permulaannya- ketika menyebutkan bahwa
Imam Mahdi as adalah dari Bani Hasyim dan dari Quraisy.
Qatadah bertanya kepada Said Bin Musayyib, “Apakah Imam Mahdi
benar-benar ada ?” “Ya, itu merupakan kebenaran yang tidak dapat dipungkiri.”
Dari keluarga manakah dia? Tanyaku.” “Dari Quraisy,” jawabnya. Aku bertanya lagi,
“Dari keturunan siapakah dia?” Dia menjawab, “Dari Bani Hasyim”. Tanyaku lagi,
“Dari Bani Hasyim yang mana ?” Dia menjawab, “Dari keturunan Abdul Mutthalib.”
“Dari anak Abdul Mutthalib yang manakah ? tanyaku. “Dari keturunan Fatimah”
jawabnya.”[43]
Walaupun kita telah mendekati hasil dalam mencari jawaban dari
pertanyaan “siapakah Mahdi yang dijanjikan dan dinanti itu?, akan tetapi
perjalanan studi kita tidak terlalu mulus. Sebab untuk mengetahui dengan jelas
dan pasti, nasab keturunan Imam Mahdi, kita harus tahu dari putra Fatimah yang
manakah silsilah beliau tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Fatimah as memiliki
dua orang putra Imam Hasan as dan Imam Husein as
Karena itu ada tiga alternatif yag dapat kita ambil di sini:
Pertama, bahwa Imam Mahdi dari keturunan Imam Hasan as.
Kedua, bahwa Imam Mahdi dari keturunan Imam Husein as.
Ketiga, bahwa Imam Mahdi dari keturunan keduanya..
Untuk mengetahui apakah alternatif ketiga dapat diterima atau
tidak, kita cukup melihat hasil dari kajian terhadap dua alternatif lainnya,
melalui hadits-hadits yang ada.
Adapun, kemungkinan adanya alternatif keempat yaitu, Al Mahdi
dari selain Imam Hasan dan Imam Husein as adalah kemungkinan yang batil dan
tidak masuk akal. Karena hadits-hadits sahih dan mutawatir menyatakan bahwa Al
Mahdi dari Ahli Bait dan dari keturunan Fatimah as.
Oleh sebab itu, kajian ini hanya akan kita fokuskan pada dua
alternatif pertama. Tapi sebelumnya, perlu kita ingatkan bahwa, jika alternatif
pertama tidak benar dan tidak dapat diterima, kita tidak lagi membutuhkan dalil
pembenaran alternatif kedua karena sudah pasti benar. Dan itulah yang kita
yakini kebenarannya dan sesuai dengan realita. Sebab tidak mungkin kedua
alternatif di atas sama-sama tidak benar. Dan itulah, kita berusaha mendapatkan
dalil-dalil yang dapat menguatkan dan mendukung kebenaran alternatif pertama.
Al Mahdi Dari Keturunan Imam Hasan as
Dalam kitab-kitab Ahli sunnah, saya tidak menemukan hadits yang
mengatakan bahwa Imam Mahdi Muntadzar as dari keturunan Imam Hasan as kecuali
hanya satu hadits saja. Mungkin yang ada dalam khazanah Islam, tidak terdapat
hadits lain dalam masalah ini. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud
Sajistani di dalam Sunannya. Telaah hadits ini sebagai berikut:
Abu Daud berkata, “Saya diberitakan tentang sebuah hadits dari
Harun Bin Mughirah, dia berkata, Umar Bin Abi Qais memberitahuku akan sebuah
hadits dari Syu’aib Bin Khalid dari Abu Ishaq, dia berkata, Imam Ali as
mengatakan seraya menunjuk kepada anaknya, Hasan as:
ان
ابني هذا سيد كما سماه النبي (ص) و سيخرج من صلبه رجل يسمى باسم نبيكم يشبهه في
الخلق ولا يشبهه في الخلق
“Putraku ini adalah seorang pemimpin seperti yang dikatakan
tentangnya oleh Nabi saw Kelak dari sulbi aku keluar seorang yang bernama sama
dengan nama Nabi kalian. Dia sangat mirip dengan Nabi dalam tingkah laku dan
kesopanannya tapi tidak menyamai wajahnya.” Lalu
beliau menyebutkan berita bahwa dia akan memenuhi dunia dengan keadilan.[44]
Hadits berakhir sampai di sini dengan teks yang demikian.
Kelemahan Hadits Tersebut
Dengan mengkaji sanad dan matan (teks) hadits di atas, lalu
membandingkannya dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa Al Mahdi dari
keturunan Imam Husein as maka kita akan yakin bahwa hadits ini adalah palsu.
Kepalsuan hadits ini dapat dibuktikan dari tujuh poin di bawah ini.
Pertama, perbedaan yang ada dalam
menukil riwayat Abu Daud tersebut. Jazri Syafi’i (wafat 833 H) menukil hadits
ini dengan sanadnya dari Abu Daud, dengan nama "Husein” sebagai ganti nama Hasan,
seraya berkata, “Yang benar adalah bahwa Al Mahdi dari keturunan Husein Bin Ali
sesuai dengan yang dikatakan sendiri oleh Amirul Mukminin Ali as.
Dalam sebuah riwayat yang dibacakan oleh guru besar kami Umar
Bin Hasan Ruqqi kepada kami. Beliau berkata bahwa saya mendengar riwayat ini
dari Abul Hasan Bin Bukhari, saya mendapatkannya dari Umar Bin Muhammad
Daruquthni, dari Abul Badr Karakhi dari Abu Bakar Khatib dari Abu Umar Hasyimi,
dari Abu Ali Lu’lu’ dari Abu Daud Al-Hafidz, dia berkata, “Saya diberitakan akan
satu riwayat dari Harun Bin Mughirah, dia berkata, Umar Bin Abi Qais
memberitahuku sebuah hadits dari Syu’aib Bin Khalid dari Abu Ishaq, dia berkata
bahwa Imam Ali as berkata seraya menunjuk kepada Husein as:
ان
ابني هذا سيد كما سماه النبي(ص) وسيخرج من صلبه رجل يسمى بإسم نبيكم يشبهه في الخلق
ولا يشبهه في الخلق.
Lalu menyebut kisah tentang bahwa dia akan memenuhi dunia dengan
keadilan.”
Demikianlah teks akhir dari riwayat tersebut yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dalam Sunannya tanpa komentar apapun.[45]
Muqaddasi Syafi’i dalam ‘Iqd Al Durar menjelaskan hadits ini di
halaman 45 bab pertama, dengan menyebut nama Hasan. Akan tetapi komentator
kitab tersebut pada catatan kaki menulis bahwa dalam naskah lain kitab ini
tertulis nama Husein. Dari naskah tersebut, Sayyid Sadruddin Shadr menukil
riwayat di atas dengan menyebut nama Husein.[46]
Perbedaan teks dari naskah-naskah tersebut di atas memberikan
kesimpulan, bahwa kedua nama tersebut sama kedudukannya, tanpa ada yang lebih
unggul satu dari yang lain. Maka dari itu, diperlukan dalil lain dari luar
hadits ini untuk mengetahui nama siapakah yang lebih cocok dan tepat dalam
riwayat tersebut. Dalil-dalil yang ada menguatkan bahwa nama Huseinlah yang
tepat untuk hadits ini, bukan Hasan.
Kedua, sanad hadits ini terputus,
karena perawi yang mendengar langsung riwayat ini dari Imam Ali as adalah Abu
Ishaq yang tidak lain adalah Sabi’i. Padahal dia termasuk orang yang diragukan
bahwa secara langsung mendengar walaupun satu riwayat dari Imam Ali as seperti
yang ditegaskan oleh Mundziri ketika menerangkan hadits ini.[47]
menurut pendapat Ibnu Hajar Sabi’i pada hari ketika Imam Ali as syahid baru
berumur tujuh tahun, karena ia dilahirkan dua tahun sebelum masa kekhalifahan
Utsman berakhir.[48]
Ketiga, sanad hadits ini juga
tidak diketahui dengan jelas (majhul). Karena Abu Daud mengatakan, “Saya
diberitahu akan satu hadits dari riwayat Harun Bin Mughirah” tidak jelas siapa
yang memberitahu riwayat ini, dan hadits majhul sesuai dengan kesepakatan ulama
serta tidak memiliki nilai apapun.
Keempat, Hadits di atas juga
diriwayatkan oleh Abu Saleh Salili -seorang ulama besar Ahli Sunnah- dengan
sanadnya dari Imam Musa Bin Ja’far dari ayahnya Ja’far Bin Muhammad Shadiq, dari
kakeknya Ali Bin Husein dari kakeknya Ali Bin Abi Thalib as dengan menyebut nama
Husein bukan nama Hasan.[49]
Kelima, hadits ini bertentangan
dengan hadits lainnya dari jalur Ahli Sunnah yang dengan jelas menyebutkan bahwa
Al Mahdi dari keturunan Imam Husein as. Di antara hadits-hadits tersebut adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Bin Al Yaman, beliau berkata, “Suatu
hari Rasulullah saw berkhubah di hadapan kita dengan menyebutkan apa yang kelak
akan terjadi. Kemudian beliau bersabda:
لولم يبق الدنيا الا يوم واحد لطول الله عزوجل ذلك اليوم حتى يبعث فيه رجلا من ولدي
اسمه اسمي. فقام سلمان الفارسي ، يا رسول الله من أي ولدك؟ قال:
من ولدي هذا وحذب بيده على الحسين.
"Jika umur dunia ini tinggal satu hari, Allah akan
memanjangkan hari itu sampai mengutus seorang dari keturunanku yang namanya sama
dengan namaku”. Tiba-tiba Salman berdiri dan bertanya,
“Ya Rasulullah, dari cucumu yang manakah dia? Beliau menjawab, “Dari anakku
ini", sambil menepuk Husein dengan tangannya.”[50]
Keenam, kemungkinan adanya
penggantian dari Husein ke Hasan dalam riwayat Abu Daud, tidak jauh, dengan
bukti adanya perbedaan dan ikhtilaf dalam menukil riwayat tersebut. Jika
kemungkinan ini tidak diterima, maka kita katakan bahwa hadits ini adalah
riwayat ahad dan tidak berarti apa-apa di depan hadits mutawatir, seperti yang
akan kami jelaskan nanti.
Ketujuh, dengan melihat poin-poin
di atas, sangat mungkin sekali bahwa hadits ini palsu. Kemungkinan ini didukung
oleh realita sejarah yang mengatakan bahwa sebagian keturunan Imam Hasan as dan
para pengikut mereka menganggap bahwa Muhammad Bin Abdillah Bin Hasan Mutsanna
Bin Imam Hasan Mujtaba as, yang terbunuh pada tahun 145 H di masa pemerintahan
khalifah Mansur Abbasi, adalah Imam Mahdi. Hal itu persis dengan apa yang
didakwakan oleh penguasa Abbasiah dan para pengikut mereka, bahwa Muhammad Bin
Abdillah Al Mansur, khalifah Bani Abbas yang bergelar Al Mahdi, adalah Imam
Mahdi yang sesungguhnya. Itu dilakukan agar mereka dapat sampai tujuan dan
kepentingan politik yang tidak mungkin mereka dapatkan dengan leluasa tanpa
melalui jalur pintas ini.
Mempertemukan dua hadits
Jika kita menutup mata dari poin-poin yang lalu dan
mengumpamakan bahwa hadits ini sahih, kita masih dapat mengatakan bahwa Al Mahdi
dari keturunan Imam Husein, dengan mencari jalan keluar mempertemukan antara
keduanya. Sebab nasab Imam Mahdi as melalui ayah beliau sampai ke Imam Husein,
sedangkan dari pihak ibu nasab beliau sampai ke Imam Hasan. Karena isteri Imam
Ali Zainal Abidin Bin Husein Bin Ali as ibu Imam Muhammad Baqir Bin Ali Bin
Husein as adalah Fatimah Binti Imam Hasan Mujtaba as. Dengan demikian Imam Baqir
adalah cucu Imam Husein melalui ayahnya dan cucu Imam Hasan dari jalur ibu dan
keturunan beliau adalah keturunan asli dari dua cucu Nabi saw.
Ada satu ayat suci Al Qur’an yang mendukung teori di atas Allah
swt berfirman:
ووهبنا له اسحاق ويعقوب كلا هدينا و نوحا هدينا من قبل ومن ذريته داود وسليمان ...
وعيسى وإلياس كل من الصالحين
"Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub.
Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk, juga kepada sebagian
dari keturunannya, yaitu Daud, Sulaiman, ... Isa dan Ilyas Semuanya termasuk
orang-orang yang saleh.”
Dalam ayat tersebut Nabi Isa as digolongkan sebagai keturunan
para nabi dari jalur ibunda beliau, Maryam as Karenanya tidak ada yang
menghalangi untuk mengatakan bahwa Imam Baqir adalah keturunan Imam Hasan dari
pihak ibu, seperti Nabi Isa as.
Teori mempertemukan dua hadits di atas tidak ragu lagi dapat
diterima jika riwayat Abu Daud tersebut sahih, walaupun sebenarnya melihat tujuh
poin di atas sangat sulit menyatakannya sebagai hadits sahih.
Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa alternatif kedua -bahwa
Imam Mahdi keturunan Imam Husein as- bukan sekedar alternatif unggul, tapi
inilah yang sesuai dengan realita yang ada, baik kita mengatakan hadits yang
menyebut Al Mahdi keturunan Imam Hasan tersebut sahih atau tidak.
Apabila kita menyatakan kesahihan hadits itu, hal tersebut tidak
bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Al Mahdi keturunan
Imam Husein as, bahkan bisa dikatakan menguatkan riwayat-riwayat tersebut.
Tapi jika kita katakan bahwa hadits itu tidak sahih -sesuai
dengan tujuh poin di atas- keadaan sudah jelas tanpa memerlukan keterangan lebih
lanjut. Karena sebelumnya telah kita tegaskan bahwa jika satu alternatif salah
maka alternatif yang lain pastilah benar dan sesuai dengan realita yang ada.
Sebab tidak mungkin kedua alternatif tersebut sama-sama salah, padahal kita
meyakini dengan benar bahwa Al Mahdi dari keturunan Fatimah as.
Riwayat-riwayat yang bertentangan
Dari kajian tentang nasab Imam Mahdi melalui hadits-hadits di
atas, telah kita simpulkan bahwa, beliau adalah dari keturunan Imam Husein as.
Sebelum membahas hal-hal yang menguatkan dan mendukung hasil telaah kita -dan
berikutnya membenarkan aqidah Syi’ah Imamiyah, bahwa Al Mahdi adalah keturunan
kesembilan dari Imam Husein as, yang telah lahir di dunia dan beliau adalah
Muhammad Bin Hasan Al Mahdi-, terlebih dahulu kita bahas beberapa riwayat dari
Ahli Sunnah yang bertentangan dengan aqidah Syi’ah, karena menyebutkan ayah Imam
Mahdi dengan nama Abdullah, sehingga menjadikan sebagian orang berkeyakinan
bahwa Imam Mahdi adalah Muhammad Bin Abdillah yang belum lahir dan kelahiran
akan terjadi kelak diakhir zaman.
Ketika kita lihat hadits-hadits mutawatir menceritakan tentang
seorang Al Mahdi, mau tidak salah satu dari dua keyakinan di atas tak berasas
sama sekali. Oleh karena itu, masing-masing kelompok haruslah merujuk lagi ke
dalil-dalil yang menjadi sandaran aqidah mereka sendiri dengan kaca mata bahwa
dalil mereka adalah salah dengan kemungkinan benar dan dalil kelompok lain
adalah dalil benar dengan kemungkinan salah. Sikap demikian ini walaupun sulit,
tapi tidak mustahil dimiliki oleh mereka yang berusaha untuk sampai pada
kebenaran -sebelum terlambat- bagaimanapun juga hasilnya.
Untuk mengetahui dengan benar nama ayahanda Imam Mahdi apakah
beliau bernama Abdullah ataukah Hasan, kita katakan:
Hadits, "Nama ayahnya sama
dengan dengan ayahku (Abdullah).”
Sebelum masuk ke dalam pembahasan inti, saya ingin mengingatkan
bahwa sebagian ulama Syi’ah Imamiyah menukil sebagian dari hadits-hadits
tersebut, bukan karena meyakininya karena jelas bertentangan dengan asas mazhab
mereka, tapi karena ke-fair-an mereka dalam menukil hadits-hadits itu dari
kitab-kitab Ahli Sunnah tanpa mengubah atau mengurangi. Hal tersebut mereka
lakukan karena hadits-hadits tersebut bisa dita’wilkan dengan sesuatu yang tidak
bertentangan dengan asas kidah mereka atau mungkin karena amanat penukilan untuk
membuktikan kebenaran mazhab mereka dan mengajak kaum muslimin untuk
mendiskusikannya.
Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah, Thabrani dan
Hakim. Mereka semua meriwayatkan dari jalur ‘Ashim Bin Abu Nujud, dari Zurr Bin
Hubaisyi, dari Abdulllah Bin Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda:
لا
تذهب الدنيا حتى يبعث الله رجلا يواطئ اسمه اسمي واسم ابيه اسم ابي
"Umur dunia tidak akan berakhir sampai Allah mengutus
seseorang dengan nama yang sama dengan namaku dan nama ayahnya sama sengan nama
ayahmu.”[51]
2. Hadits yang dinukil oleh Abu Amr Dani, dari Khatib Baghdadi,
keduanya dari jalur 'Ashim Bin Abu Nujud, dari Zurr Bi Hubaisyi, dari Abdullah
Bin Mas’ud dari Nabi saw, beliau bersabda:
لا
تقوم الساعة حتى يملك الناس رجل من اهل بيتي يواطئ اسمه اسمي واسم أبيه اسم أبي.
"Kiamat tidak akan terjadi sampai seorang dari Ahli Baitku
memerintah umat manusia. Namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan
nama ayahku.”[52]
3. Hadits yang dikeluarkan oleh Nu’aim Bin Hammad, Khatib dan
Ibnu Hajar. Kesemuanya dari ‘Ashim dari Zurr dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saw,
beliau bersabda:
المهدي يواطئ اسمه اسمي و اسم أبيه اسم أبي
"Mahdi namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama
dengan nama ayahku.”[53]
4. Hadits yang dikeluarkan oleh Nu’aim Bin Hammad dari Abu
Thufail, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
المهدي اسمه اسمي واسم أبيه اسم أبي
"Al Mahdi namanya sama sengan namaku dan nama ayahnya sama
dengan nama ayahku.”[54]
Hakikat perbedaan Ini dan nilai ilmiahnya
Hadits-hadits Inilah yang dijadikan sandaran oleh sebagian orang
dalam menentukan seorang yang bernama Muhammad Bin Abdullah sebagai Mahdi akhir
zaman. Padahal semuanya tidak layak untuk dijadikan dalil dan pegangan. Seperti
yang anda ketahui bahwa tiga hadits pertama sanadnya berakhir pada Abnu Mas’ud
dari jalur yang sama yaitu ‘Ashim Bin Abu Nujud. Jalur riwayat ini akan kita
bahas secara terperinci.
Adapun hadits keempat, menurut kesepakatan ulama sanadnya adalah
lemah, karena di dalamnya terdapat nama Risydin Bin Saad Mihr. Dia adalah
Risydin Bin Abi Risydin yang didhaifkan oleh ulama ilmu rijal dari kelompok Ahli
Sunnah.
Ahmad Bin Hanbal menyatakan bahwa dia (Risydin) tidak pernah
peduli dari siapa dia meriwayatkan hadits. Harb Bin Ismail berkata “Saya
bertanya kepada Ahmad Bin Hanbal tentang Risydin dan beliau mendhaifkannya. Dari
Yahya Bin Mu’in, “haditsnya tidak boleh ditulis”. Abu Zar’ah, “Dia orang dhaif
haditsnya”. Abu Hatim, ’Haditsnya munkar.” Jauzjani, “Dia banyak memiliki hadits
yang cacat dan munkar.” Nasa’i, “Haditsnya harus ditinggalkan dan tidak boleh
ditulis.”
Secara umum saya tidak menemukan
seorang ulama pun yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya
kecuali Haitsam Bin Najah. Beliau menyatakan bahwa Risydin bisa dipercaya,
padahal Ahmad Bin Hanbal hadir di majlis tersebut dan beliau hanya tersenyum.
Hal ini menunjukkan betapa para ulama mempunyai kata sepakat dalam
mendhaifkannya.[55]
Tidak diragukan lagi, masalah agama yang besar dan penting ini
tidak mungkin diambil dari orang yang keadaannya telah kita ketahui bersama.
Adapun tiga hadits pertama, dilihat dari semua sudut, tidak
dapat dijadikan dalil dan argumen. Hal yang melemahkan hadits-hadits ini adalah
kata-kata “Nama ayahnya sama dengan nama ayahku” tidak ada dalam riwayat
para ulama besar ahli hadits akan tetapi yang mereka riwayatkan hanyalah
ungkapan “Namanya sama dengan namaku”, tanpa tambahan lagi, seperti yang
akan kita buktikan nanti. Selain itu, sebagian ulama Ahli Sunnah yang meneliti
jalur riwayat ‘Ashim Bin Abu Nujud menegaskan bahwa tambahan ini pada asalnya
tidak ada. Dalam pembahasan nanti, hal ini akan kita uraikan.
Seperti yang kita ketahui, sanad ketiga hadits tersebut berakhir
pada Ibnu Mas’ud. Padahal Ahmad dalam musnadnya meriwayatkan hadits ini juga
dari Ibnu Mas’ud -dalam beberapa tempat dari musnad- dengan hanya menyebutkan “
Namanya sama dengan namaku”.[56]
Demikian pula dengan Tirmidzi yang merawikannya tanpa tambahan di atas sekaligus
beliau menunjuk riwayat Ali as, Abu Sa’id Khudri, Ummu Salamah dan Abu Hurairah
yang menyebutkan “Namanya seperti namaku .” Setelah meriwayatkan hadits
Ibnu Mas’ud tersebut, beliau mengatakan, “ Dalam masalah ini juga ada
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ali, Abu Sa’is Khudri, Ummu Salamah dan Abu
Hurairah. Hadits ini adalah hadits hasan sahih.”[57]
Hadits juga diriwayatkan oleh para ulama hadits besar lainnya.
Thabrani, misalnya, mengeluarkan hadits ini dari Ibnu Mas’ud melalui beberapa
jalur yang lain dengan teks hadits “Namanya sama dengan namaku.” seperti
yang disebutkan dalam kitab Mu’jam Kabir nya dengan nomer hadits: 10214, 10215,
10217, 10218, 10219, 10220, 10221, 10223, 10225, 10226, 10227, 10229, dan 10230.
Hal yang sama juga dilakukan Hakim dalam “ Al-Mustadrak”nya.
Dimana beliau merawikan hadits tersebut dari Ibu Mas’ud dengan teks hadits “
Namanya seperti namaku” saja, lalu berkata,”Hadits ini sahih sesuai dengan
syarat Bukhari dan Muslim, tapi mereka berdua tidak meriwayatkannya.”[58]
Dzahabi dalam hal ini mengikuti jejak Hakim tersebut. Demikian juga dengan
Baghawi dalam kitabnya Mashabih Al Sunnah. Beliau meriwayatkan hadits ini dari
Ibnu Mas’ud tanpa tambahan di atas, padahal beliau menegaskan bahwa hadits ini
hasan.[59]
Muqaddasi Syafi’i menyatakan bahwa tambahan tersebut, tidak
pernah diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Beliau berkata, “Riwayat yang
demikian ini dikeluarkan oleh sejumlah imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka,
antara lain, Imam Abu Isa Tirmidzi dalam Jami’, Imam Abu Daud di kitab Sunannya,
Al Hafidz Abu Bakar Baihaqi dan Syekh Abu Amr Dani, yang kesemuanya
meriwayatkan dengan demikian”,[60]
yakni tanpa tambahan kata “Nama ayahnya sama dengan nama ayahku”. Kemudian
beliau membawakan sejumlah hadits yang menguatkan hal ini dengan menyebutkan
para perawinya dari kalangan ahli hadits seperti, Thabrani, Ahmad Bin Hanbal,
Tirmidzi, Abu Daud, Al Hafidz Abu Daud dan Baihaqi dari Abdulah Bin Mas’ud,
Abdullah Bin Umar dan Hudzaifah.[61]
Ini kami sebutkan sebagai tambahan dari apa yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa Tirmidzi meriwayatkannya juga dari jalur Ali as, Abu
Sa’id Khudri, Ummu Salamah dan Abu Hurairah yang kesemuanya hanya menyebut
kalimat “Namanya seperti namaku.”
Melihat itu semua, sangatlah tidak mungkin bila dikatakan bahwa
seluruh imam ahli hadits di atas sepakat untuk bersama-sama membuang tambahan
“Nama ayahnya sama dengan nama ayahku” dari teks aslinya, jika memang riwayat
ini benar-benar memiliki tambahan tersebut. Disamping itu mereka juga
meriwayatkanya dari Ashim Bin Abi Nujud. Bahkan mustahil untuk membayangkan
bahwa mereka membuang kalimat tersebut, sedangkan kalimat itu sangatlah penting
untuk membuktikan kelemahan aqidah dan kepercayaan pihak lain.
Karenanya, jelas sudah bahwa riwayat Ibnu Mas’ud dari jalur
Ashim sengaja diubah oleh para pengikut keturunan Imam Hasan untuk menguatkan
klaim mereka bahwa Muhammad Bin Abdillah Bin Hasan Mutsanna adalah Mahdi akhir
zaman, atau oleh pihak penguasa Bani Abbas dan para pengikut mereka guna
mengukuhkan klaim mereka bahwa Al Mahdi adalah Muhammad Bin Abdullah -Abu Ja’far
khalifah Mansur Abbasi.
Penambahan di atas diperjelas lagi oleh kenyataan sejarah yang
menguatkan bahwa kata-kata Muhammad Bin Abdullah Bin Hasan Mutsanna sulit
dipahami. Hal inilah yang mendorong para pengikutnya untuk berbuat kebohongan
atas Abu Hurairah dengan mengatakan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan hadits:
ان
المهدي اسمه محمد بن عبدالله في لسانه رتة.
"Al Mahdi bernama Muhammad Bin Abdullah, ciri-cirinya adalah
bahwa kata-katanya sulit dimengerti.”[62]
Melihat kenyataan bahwa ketiga hadits pertama yang diriwayatkan
dari Ashim Bin Abu Nujud dari Zurr Bin Hubaisyi dari Abdullah Bin Mas’ud
bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh para ahli hadits terkemuka dari
Ashim tentang Al Mahdi, terdoronglah Al Hafidz Abu Nu’aim Isfahani (wafat 430 H)
dalam kitabnya Manaqib Al Mahdi untuk mengkaji dan meneliti hadits ini dari
seluruh jalur Ashim. Dalam kajiannya ini, beliau berhasil mendapatkan 31 jalur
yang tidak satupun dari mereka meriwayatkan hadits ini dengan tambahan “Nama
ayahnya seperti nama ayahku". Tetapi mereka justru sepakat dengan hanya
menyebutkan kalimat “Namanya seperti namaku.”
Kunji Syafi’i (wafat 638 H) setelah menukil hasil kajian
tersebut mengatakan, “Perawi selain Ashim yang meriwayatkan hadits ini dari Zurr
adalah Amr Bin Murrah. Mereka semua meriwayatkan, “Namanya seperti namaku”.
Hanya jalur riwayat Ubaidullah Bin Musa dari Zaid dari Ashimlah yang menyebutkan
“Nama ayahnya seperti nama ayahku”.
Orang yang berpikiran sehat tidak akan ragu untuk mengatakan
bahwa riwayat tersebut tidak memiliki nilai apapun setelah tahu bahwa riwayat
para ahli hadits berseberangan dengannya. -sampai pada perkataan beliau-
Pendapat yang netral dan benar dalam masalah ini adalah bahwa Imam Ahmad Bin
Hanbal -dengan segala kepandaian dan ketelitiannya- meriwayatkan hadits tersebut
dibeberapa tempat dalam Musnadnya hanya dengan menyebutkan “Namanya seperti
namaku”.
[63]
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa riwayat (..nama ayahnya
sama dengan nama ayahku) sangat lemah dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk
mengetahui nama ayah kandung Imam Mahdi as.
Karenanya mereka yang menanti-nantikan kedatangan Imam Mahdi
dengan nama Muhammad Bin Abdillah berarti dia -sesuai dengan apa yang disebutkan
oleh banyak riwayat yang ada dalam khazanah agama Islam- bagaikan seorang yang
menunggu fatamorgana.
Dari situlah, guru besar Al-Azhar Sa’ad Muhammad Hasan
menegaskan bahwa hadits yang menyebutkan “Nama ayah Al Mahdi sama dengan nama
ayahku” adalah hadits palsu dan maudlu’. Lucunya, beliau menuduh Syi’ah
memalsukan hadits ini dengan tujuan untuk menguatkan aqidah dan kepercayaan
mereka[64]
!?
Kesimpulannya adalah bahwa beliau dari keturunan Imam Husein as
sebab hadits-hadits yang bertentangan dengan kesimpulan ini adalah hadits dhaif
dan tidak ada faktor yang dapat menguatkan dan mensahihkannya. Bahkan tidak
sedikit yang palsu.
Jika kita menengok hasil kesimpulan yang telah kita buat melalui
studi di atas, akan kita dapati bahwa hal itulah yang didukung oleh banyak
hadits mutawatir yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.
Beberapa penguat
Dalam khazanah hadits Syi’ah Imamiyyah terdapat banyak hadits
yang menyebutkan dua belas orang imam lengkap dengan nama mereka, dimulai dari
Imam Ali dan diakhiri dengan Imam Mahdi as. Ditambah lagi adanya hadits-hadits
yang menyebutkan bahwa seorang imam ditunjuk secara langsung oleh imam
sebelumnya. Selain itu, Ahli Sunnah juga memiliki hadits-hadits yang menyatakan
adanya dua belas orang imam seperti yang ada di kitab-kitab manaqib dan lainnya.
Di samping itu terdapat pula riwayat-riwayat yang disepakati keotentikannya,
yang menunjukkan bahwa selagi ada mata rantai kehidupan di muka bumi, Al Mahdi
juga masih hidup. Hal ini tidak mudah untuk diterima kecuali bila kita katakan
bahwa Al Mahdi adalah keturunan kesembilan dari Imam Husein as. Dalam kajian
ini kami hanya akan menyebutkan hadits-hadits yang dipakai sebagai dalil dari
kitab-kitab standar Syi’ah dan Ahli Sunnah.
Hadits Tsaqalain
Kenyataan sejarah mengatakan bahwa ketika Nabi saw wafat,
hadits-hadits beliau belum tertulis dan tersusun rapi. padahal dalam
menyampaikan amanat dan risalah Tuhan yang kekal hingga hari kiamat, beliau
tidak pernah lalai. Disamping itu, beliau yang memiliki sifat penyayang, tidak
meninggalkan umatnya hanya dengan Al Qur’an Al Karim saja. Sebab Al Qur’an di
dalamnya terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, mujmal
dan mufashshal serta nasikh dan mansukh. Selain itu, banyak
ayat Al Qur’an yang dapat ditafsirkan dengan beberapa tafsiran yang berbeda guna
menguatkan pendapat-pendapat masing-masing, seperti yang kita saksikan sekarang.
Lebih dari itu, semasa hidupnya Rasulullah saw telah menyaksikan
adanya oknum-oknum yang suka berbohong dengan menisbatkan kata-kata mereka
kepada Rasulullah saw. Lalu bagaimana jika beliau wafat ? Bukti nyata dari hal
tersebut adalah sabda beliau yang oleh para ulama hadits dijadikan contoh hadits
mutawatir secara lafal.
من
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
"Barang siapa yang berbohong atas namaku, maka
bersiap-siaplah untuk tinggal di neraka”
Karenanya mustahil beliau akan membiarkan agamanya sebagai ajang
ijtihad tanpa menunjuk seseorang yang benar-benar memahami Al Qur’an dan
sunnahnya untuk dijadikan rujukan umat dalam menyelesaikan segala problem yang
mereka hadapi.
Teori inilah yang sangat sesuai dengan usaha Rasulullah saw
dalam menjaga dan melindungi keaslian agama demi kelanggengan dan keabadian
Islam sebgai tuntunan dan pegangan umat dalam menyeberangi samudera kehidupan.
Dari itu, jelaslah betapa pentingnya hadits Tsaqalain (Al Qur’an
dan Itrah Nabi saw) dan nilai perintah Nabi saw kepada umatnya untuk mengambil
agama mereka dari dua hal tersebut. Juga mengapa Nabi saw menekankan masalah ini
dalam banyak kesempatan seperti pada hari Ghadir Khum dan detik-detik akhir
kehidupan beliau saw.
Diriwayatkan dari Zaid Bin Aslam dari Rasulullah saw, beliau
bersabda:
كأني قد دعيت فأجبت ، إني تارك فيكم الثقلين احدهما اكبر من الأخر ،كتاب الله
وعترتي اهل بيتي فانظروا كيف تخلفوني فيهما, فإنهما لن يفترقا حتى يردا علي الحوض
ان الله مولاي وأنا ولي كل مؤمن ، من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه
وعاد من عاداه.
"Aku merasa bahwa ajalku sudah dekat. Kutinggalkan kepada
kalian dua pusaka, salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah dan
keluargaku. Bagaimanakah kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku. Kedua
pusaka tersebut tidak akan berpisah satu dari yang lain sampai kelak mereka
menemuiku di telaga surga. Allah adalah pemimpinku dan aku pemimpin setiap
mu’min. Barang siapa menjadikanku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga.
Ya Allah pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin dan musuhilah orang yang
memusuhinya.”[65]
Dari Abu Sa’id Khudri dari Nabi saw, beliau bersabda:
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعدي أحدهما أعظم من الآخر كتاب الله حبل
ممدود من السماء الى الأرض وعترتي أهل بيتي ولن تفترقا حتى يردا علي الحوض فانظروا
كيف تخلفوني فيهما.
"Aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian
pegangi benar-benar, niscaya kalian tidak akan tersesat. Dua buah pusaka dimana
yang satu lebih besar dari yang lainnya. Kitabullah, tali yang memanjang dari
langit hingga bumi dan Ithrahku keluargaku. Keduanya tidak akan berpisah sampai
bersama-sama menemuiku di telaga surga kelak. Lihatlah bagaimana kalian
memperlakukan keduanya sepeninggalku.”[66]
Di samping dua hadits di atas, beliau selalu menekankan kepada
umatnya untuk senantiasa mengikuti dan mentaati keluarganya, serta
memperingatkan untuk tidak melanggar dan melawan keluarganya yang beliau sifati
sebagai bahtera keselamatan, pegangan umat dan pintu yang kokoh.
Sebenarnya para sahabat tidak perlu menanyakan maksud dari kata
Ahli Bait atau keluarga Nabi tersebut, karena mereka telah menyaksikan sendiri
kepergian Nabi saw untuk melakukan mubahalah dengan Nasrani Najran hanya
dengan membawa serta Ahlul Kisa’ (Ali, Fatimah, Hasan dan Husein), seraya
bersabda
اللهم هؤلاء اهلي
"Ya Allah mereka adalah keluargaku”
Para sahabat adalah orang-orang yang paham benar maksud Nabi saw
tersebut. Jika tidak, bagaimana mungkin selama sembilan bulan -menurut riwayat
Ibnu Abbas- Nabi saw setiap pagi berdiri di depan pintu rumah putri beliau
Fatimah as sambil membaca ayat
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهيرا.
"Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari
kalian, wahai Ahli Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya”[67]
cukup untuk memperkenalkan kepada semua orang, akan siapakah yang dimaksud
dengan Ahli Bait Nabi saw.
Karenanya pertanyaan mereka kepada Nabi saw tentang siapakah
yang akan menyelamatkan umat dari kesesatan sampai hari kimat, tidak ada artinya
lagi, jika mereka benar-benar berpegangan dengan Al Qur’an dan Ahli Bait.
Jadi, yang diperlukan oleh umat -juga para sahabat- tidak lebih
dari sekedar petunjuk tentang siapakah orang pertama dari Ahli Bait yang menjadi
pemimpin dan pengemban tugas tugas berat Nabi saw sepeninggal beliau dalam
membimBing umat dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Dialah yang kemudian
bertanggung jawab untuk menunjuk pengganti dalam mengemban amanat ini. Demikian
seterusnya sampai giliran orang yang terakhir dari mata rantai pemimpin dan
penyelamat umat dari kesesatan ini bersama dengan Al Qur’an menemui Nabi saw di
haudl.
Jika telah anda ketahui bahwa Ali as adalah pemimpin langsung
setelah wafatnya Nabi saw, sesuai dengan nash yang tak terhingga jumlahnya,
antara lain hadits Tsaqalain sendiri, tidak pelu lagi bagi Nabi saw untuk
menyebutkan sendiri nama para Imam berikutnya sepanjang masa, jika tidak kita
katakan bahwa itu tidak sesuai dengan kebiasaan bila tidak melihat faktor-faktor
lainnya.
Karena itu tolak ukur untuk mengetahui Imam sepanjang masa dan
setiap generasi adalah penunjukan seluruh imam sekaligus atau penunjukan yang
dilakukan oleh imam pendahulu terhadap imam selanjutnya. Cara kedua ini
merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh para nabi dan washinya dan telah dikenal
oleh umat manusia sejak dahulu hingga sekarang.
Jika kita kembali menengok keadaan Ahli Bait as, kita akan
melihat bahwa nash telah membuktikan imamah dan kepemimpinan mereka dengan dua
cara di atas. Bagi yang menelusuri sejarah kehidupan mereka akan mengetahui
dengan pasti bahwa mereka telah mengumumkan imamah yang mereka emban yang
berarti juga kepemimpinan mereka dalam urusan pemerintahan. Mereka adalah imam
bagi diri mereka, sebagaimana imam bagi jutaan pengikut mereka dan pemimpin
perjuangan melawan penguasa zamannya. Sebelum wafat para imam tersebut, menunjuk
penggantinya dan mengumumkan kepada para pengikut mereka. Inilah yang biasa
mereka lakukan. Karena itu, mereka selalu diawasi dengan ketat. Dari mereka ada
yang menghabiskan kehidupan di balik terali besi, ada pula yang gugur diracun,
ada pula yang syahid di medan perang. Semua itu dilakukan oleh para penguasa
dizaman mereka.
Kemudian jika salah seorang dari para Imam tersebut tidak
menunjukkan seorang pengganti yang akan menggantikannya sebagai Imam, itu
berarti Imam tersebut masih hidup bersama dengan Al Qur’an. Karena hadits
“Mereka berdua (Al Qur’an dan Ithrah) tidak akan berpisah sampai menemuiku di
haudl” mengandung pengertian akan kesinambungan keberadaan imam dari Ahli
Bait sepanjang masa sebagaimana Al Qur’an ada sepanjang masa, sebagai dalil yang
tak dapat dipungkiri.
Oleh sebab itulah Ibnu Hajar mengatakan “Hadits-hadits yang
memerintahkan kita untuk perpegangan dengan Ahli Bait mengandung pengertian akan
adanya seorang dari mereka yang layak untuk diikuti sampai hari kiamat. Karena
Al Qur’an juga demikian halnya. Oleh sebab itu, tepatlah jika dikatakan bahwa
Ahli Bait adalah pemberi keamanan bagi penduduk bumi. Selain itu hadits:
في
كل خلف من امتي عدول من أهل بيتي.
"Disetiap masa yang dilalui oleh umatku pastilah terdapat
orang-orang yang adil dari keluargaku” menyatakan hal
yang sama.[68]
Hadits “Siapa yang mati tanpa
mengetahui imam zamannya”
من
مات ولم يعرف امام زمانه مات ميتة جا هلية.
"Barang siapa mati tanpa mengetahui Imam zamannya, maka
matinya terhitung mati dalam keadaan jahiliyyah”.
Hadits ini diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, tapi
memiliki makna yang sama, dalam kitab-kitab hadits Ahli Sunnah dan Syi’ah.
Dimuatnya hadits ini oleh Bukhari dan Muslim -dari kalangan Ahli Sunnah-[69],
Kulaini, Shaduq dan ayahnya, Himyari dan Shaffar -dari Syi’ah- cukup menjadi
bukti akan banyaknya perawi hadits ini.[70]
Selain itu banyak pula ulama lain yang menukilnya dari jalur yang berbeda-beda
yang tidak dapat kami uraikan di sini.[71]
Karenanya tidak ada alasan lagi untuk mempersoalkan sanadnya,
walaupun Abu Zahrah hanya menyebut kitab Al Kafi sebagai perawi hadits tersebut.[72]
Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hadits ini termasuk hadits
mutawatir dan tidak dapat dita’wil maupun diartikan selain dari pada kewajiban
seorang muslim dan muslimah untuk mengenal imam zamannya. Bila tidak, harga yang
harus dibayar sangatlah mahal.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imam
yang harus dikenal oleh setiap orang agar tidak mati secara jahiliyyah adalah
penguasa, sultan atau raja walaupun zalim, orang tersebut haruslah mengajukan
dalil untuk menjadi bukti bahwa mengenal seorang penguasa zalim termasuk masalah
agama yang penting. Kedua, dia harus menjelaskan kepada mereka yang berakal
sehat manfaat dan faedah dari kewajiban mengenal seorang yang zalim dan fasik,
sehingga orang yang tidak mengenalnya jika mati, mati dalam keadaan jahiliyyah.
Bagaimanapun juga, hadits di atas mengandung pengertian adanya
seorang Imam yang haq disetiap zaman dan generasi, yang tidak dapat dijelaskan
kecuali dengan mengatakan adanya Imam Mahdi, Imam yang haq dari keturunan
Fatimah as. Hal yang menguatkan pendapat ini adalah:
Hadits:
إن الأرض لا تخلو من قائم لله بحجة.
"Bumi tidak akan kosong dari hujjah Allah.”
Hadits ini termasuk hadits yang dijadikan sandaran oleh Ahli
Sunnah dan Syi’ah yang mereka keluarkan dalam kitab-kitab mereka dari beberapa
jalur riwayat.[73]
Kumail Bin Ziyad Nakha’i, orang besar dan terpercaya ini,
meriwayatkannya dari Amirul Mu’minin Ali as, seperti yang disebutkan dalam kitab
Nahjul Balaghah. Setelah menjelaskan bayak hal dengan panjang lebar, beliau
berkata, “Demi Allah, Bumi ini tidak akan kosong dari hujjah Allah.”
Tidak mungkin kosongnya bumi ini dari hujjah Allah tidak dapat
diartikan kecuali bila dikatakan bahwa Imam Mahdi as telah dilahirkan. Poin
penting ini telah dengan cermat ditangkap oleh Ibnu Abil Hadid, sehingga dalam
menerangkan riwayat di atas, beliau mengatakan: “Supaya tidak satu masapun
berlalu tanpa seorang yang diperintah Allah untuk mengawasi dan menjaga
hamba-hambaNya serta mengatur urusan mereka. Hal ini hampir bisa dikatakan
sangat cocok dengan apa yang diyakini oleh madzhab Sy’iah Imamiyyah, hanya saja
para ulama kita menafsirkannya dengan tafsiran yang lain.[74]
Ibnu Hajar Asqalani memahaminya sebagai isyarat akan adanya Al
Mahdi dari Ahli Bait as beliau mengatakan “Shalatnya Nabi Isa as di belakang
seorang dari umat Muhammad diakhir zaman menjelang hari kiamat, mengandung
pengertian akan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa bumi tidak akan kosong
dari hujjah Allah.”[75]
Yang mendekatkan makna dari perkataan Amirul Mu’minin as di atas,
bahwa yang dimaksudkan adalah Imam Mahdi, yaitu teks lengkap hadits tersebut.
Beliau berkata:
يا
كميل ، إن هذه القلوب أوعية فخيرها اوعاها فاحفظ عني ما أقول لك:
الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل النجاة وهمج رعاع أتباع كل ناعق يميلون مع
كل ريح ، لم يستضيؤوا بنور العلم ولم يلجأوا إلى ركن وثيق -إلى أن قال- اللهم بلى
لا تخلو الأرض من قائم لله بحجة إما ظاهراً مشهوراً وإما خائفاً مغموراً لئلا تبطل
حجج الله وبيناته.
“Wahai Kumail ! Hati ini ibarat wadah. Sebaik-baik hati
adalah yang lebih dapat mengerti dan memahami. Karena itu, simpanlah di hatimu
apa yang akan kukatakan padamu. Manusia terbagi menjadi tiga golongan: Orang
alim yang mencari ridho Allah, penuntut ilmu demi keselamatan dan golongan
ketiga adalah golongan rendah yang tak berprinsip. Kemanapun angin bertiup
kesana pula bergerak. Mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu dan tak memiliki
benteng yang kokoh -sampai beliau berkata- Demi
Allah ! Bumi ini tak akan sepi dari Hujjah Allah, baik yang dzahir dan dikenal
oleh semua orang maupun tersembunyi menghindar dari bahaya yang mengancam
keselamatannya. Hal itu dimaksudkan agar hujjah-hujjah Allah dan bukti-buktinya
tidak lenyap dan hilang.”[76]
Dari sinilah terdapat hadits sahih, riwayat Husein Bin Abu Al
‘Ala’ Al-Khaffaf. Beliau berkata, “Saya bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as
“Apakah mungkin pada satu masa bumi tak memiliki seorang Imam ?” Beliau menjawab
“Tidak ..”[77]
Jika hadits ini kita gabungkan dengan hadits Tsaqalain, hadits
“Siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya” serta hadits “Khalifah
sepeninggalku ada dua belas orang “ -yang akan kita sebutkan nanti-, dapat
disimpulkan bahwa jika Imam Mahdi belum lahir, maka Imam sebelumnya haruslah
masih hidup sampai menjelang hari kiamat. Akan tetapi tidak seorang muslimpun
mengatakan bahwa ada Imam yang sekarang ini masih hidup selain dari Imam Mahdi
as, Imam kedua belas Ahli Bait, yang telah disebutkan dalam kitab-kitab hadits
dan dicatat dalam kita-kitab Manaqib.
Hadits, “Khalifah Sepeninggalku
Dua Belas Orang”
Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan sanadnya dari Jabir Bin
Samurah. Jabir berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda.”
يكون اثنا عشر أميرا ، فقال كلمة لم أسمعها ، فقال أبي إنه قال كلهم من قريش
“Akan ada dua belas orang pemimpin.”
Lalu beliau mengatakan sesuatu yang tidak kudengar. Ayahku
berkata: Beliau mengatakan “Semuanya dari Quraisy.”[78]
Dalam Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasululah saw bersabda:
لا
يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة أو يكون عليكم إثنا عشر خليفة كلهم من قريش.
“Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau
datangnya dua belas orang khalifah yang akan memimpin kalian semua yang semuanya
dari golongan suku Quraisy.”[79]
Dalam Musnad Ahmad dengan sanadnya dari Masruq, beliau berkata
“Suatu hari kami berada di dekat Abdullah Bin Mas’ud sedangkan beliau tengah
membaca Al Qur’an. Tiba-tiba seseorang berkata” Wahai Abu Abdurrahman, Apakah
kalian, sahabat Nabi saw, pernah menanyakan kepada Rasulullah berapa jumlah
khalifah yang akan memimpin umat ini?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Semenjak aku
menginjakkan kaki di Iraq, belum pernah ada orang menanyakan sesuatu seperti
yang anda tanyakan.” Lalu beliau melanjutkan “Ya, kami pernah menanyakan hal
tersebut kepada Rasulullah saw dan beliau menjawab,
إثنا عشر كعدة نقباء بني إسرائيل.
“Mereka berjumlah dua belas orang sejumlah para pemimpin Bani
Israil.”[80]
Dari hadits-hadits di atas, beberapa poin masalah dapat kita
simpulkan:
1. Jumlah para pemimpin dan khalifah tidak lebih dari 12 orang
dan kesemuanya dari suku Quraisy, tanpa adanya selisih pendapat di sini. Jumlah
ini sama dengan jumlah imam yang diyakini oleh Syi’ah dan mereka semua dari suku
Quraisy.
Ada yang mengatakan sebutan amir dan khalifah (seperti yang ada
di dalam teks hadits) tidak sesuai dengan realita yang ada pada para imam Syi’ah.
Jawabnya jelas sekali bahwa Nabi saw memaksudkan dari kata Amir dan khalifah
adalah pemimpin dan khalifah yang benar dan berhak atas kedudukan itu. Sangat
tidak mungkin beliau saw memaksudkan orang-orang semisal Mu’awiyah, Yazid,
Marwan dan lain-lain yang mempermainkan agama dan hak milik kaum muslimin. Akan
tetapi yang dimaksud beliau adalah khalifah yang kekuasaannya adalah hak yang
dia dapatkan dari Allah dan hal ini tidak bertentangan dengan hilangnya hak
mereka dalam kehidupan nyata karena dieksploitasi oleh orang lain.
Oleh karena itu, dalam kitab ‘Aun Al Ma’bud Fi Syarh Sunan Abi
Daud disebutkan: Turbasyti mengatakan “Satu-satunya jalan yang dapat kita ambil
dalam memahami hadits ini dan hadits-hadits lain yang memiliki makna yang sama
adalah bahwa pemimpin yang dimaksudkan yaitu mereka yang menegakkan keadilan.
Sebab merekalah yang berhak menyandang predikat khalifah yang sebenarnya. Dan
tidak disyaratkan mereka harus benar-benar memegang pemerintahan, walaupun
sebenarnya mereka berhak menduduki tempat itu, karena dengan demikian mereka
dapat dikatakan khalifah, seperti yang disebutkan dalam Al-Mirqah.”[81]
2. Keduabelas orang yang disebut dalam nash hadits di atas
diumpamakan semisal para pemimpin Bani Israel. Allah swt berfirman:
ولقد اخذ الله ميثاق بني اسرائيل وبعثنا منهم اثنى عشر نقيباً .
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari)
Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin.”[82]
3. Hadits-hadits ini mengharuskan bahwa zaman tidak boleh
kosong dari 12 orang pemimpin tersebut, dan selama ajaran ini masih ada sampai
hari kiamat salah seorang dari mereka juga akan tetap hidup.
Muslim menukil dalam bab yang sama satu riwayat yang sangat
jelas memberikan pengertian di atas, Rasulullah saw bersabda:
لا
يزال هذا الأمر في قريش ما بقي من الناس اثنان .
“Kepemimpinan senantiasa ada di tangan Quraisy selagi masih
ada dua orang manusia yang hidup.”
Seperti yang anda lihat, pernyataan di atas sangat sesuai dengan
apa yang menjadi keyakinan Syi’ah bahwa Imam kedua belas (Al Mahdi as) sampai
saat ini masih hidup seperti layaknya orang lain, dan beliau kelak bangkit
memperkenalkan diri di akhir zaman untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah
dipenuhi oleh kezaliman, sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh kakek beliau
Rasulullah saw.
Semua orang tahu bahwa ulama Ahli Sunnah tidak memiliki kata
sepakat dalam menafsirkan ungkapan 12 orang pemimpin, hingga sebagian terpaksa
memasukkan Yazid Bin Mu’awiyah, Marwan, Abdul Malik dan semisalnya sampai pada
Umar Bin Abdul Aziz agar jumlah 12 orang dapat tercapai.[83]
Penafsiran semacam ini, tanpa ragu lagi, adalah penafsiran yang
jelas sekali salah dan tidak cocok dengan teks hadits. Sebab hal itu berarti,
setelah masa Umar Bin Abdul Aziz, zaman menjadi kosong dari pemimpin padahal
agama ini akan tegak bersama dengan keberadaan mereka sampai hari kiamat.
Hadits tentang 12 orang khalifah akan menjadi satu teka-teki tak
terpecahkan jika tidak kita artikan dengan apa yang diyakini oleh Syi’ah, karena
kekuasaan dan kepemimpinan secara zahir telah dipegang oleh jumlah yang
beberapa lipat lebih banyak dari jumlah yang disebutkan dalam hadits, ditambah
lagi, semua penguasa tersebut sudah habis masanya dan tidak ada satu nashpun
yang menunjuk kepada mereka -Bani Umayyah dan Bani Abbas- sesuai dengan
kesepakatan kaum muslimin.
Dalam kesempatan ini Qunduzi Hanafi mengatakan, “Sebagian dari
para peneliti berkata bahwa hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang
khalifah setelah Rasulullah sangat banyak dengan berbagai jalur. Karenanya,
dengan bergantinya masa dan jelasnya kejadian dan tempatnya, dapat kita ketahui
bahwa maksud dari hadits Nabi tersebut adalah 12 orang Imam dari keluarga dan
Ithrah beliau. Sebab, hadits ini tidak dapat dikatakan menunjuk kepada Khulafaur
Rasyidin dari sahabat-sahabat beliau karena jumlah mereka yang sedikit dan
kurang dari 12 orang. Tidak pula menunjuk kepada para penguasa Bani Umayyah
karena jumlah mereka melebihi jumlah tersebut. Di samping itu mereka adalah
penguasa yang zalim, kecuali Umar Bin Abul Aziz dan mereka bukan dari Bani
Hasyim, karena Nabi bersabda, “Mereka semua dari Bani Hasyim” dalam
riwayat Abdul Malik dari Jabir, dan apa yang dilakukan oleh Nabi dengan
mengecilkan suara beliau menguatkan riwayat ini karena Quraisy pada umumnya
tidak menghendaki khilafah (kepemimpinan) Bani Hasyim. Riwayat di atas juga
tidak dapat ditunjukkan kepada para penguasa Bani Abbas. Sebab jumlah mereka
yang banyak dan ketidakpedulian mereka terhadap agama.
Selain itu, yang menguatkan dan mendukung pendapat ini (bahwa
yang dimaksud oleh Nabi saw adalah 12 orang Imam dari keluarga beliau) adalah
hadits Tsaqalain.[84]
Seperti telah diketahui, bahwa hadits “khalifahku ada 12
orang”, telah ada sebelum terwujudnya mata rantai kehidupan para Imam dan
teks ditulis di kitab-kitab hadits sebelum sempurnanya jumlah dari Imam 12
tersebut. Hal itu bukan karena reaksi dari realita yang telah terjadi, tapi
merupakan kenyataan rabbani yang disampaikan oleh sosok pribadi yang tidak
pernah mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya sendiri. Beliau bersabda:
الخلفاء بعدي اثنا عشر .
“Khalifah setelahku berjumlah dua belas orang”.
Sebagai saksi dan bukti kebenaran dari suatu fenomena imamah
yang dimulai dengan Amirul Mukminin Ali as dan di akhiri oleh Imam Mahdi as.
Inilah satu-satunya teori yang masuk akal dalam menjelaskan hadits ini.[85]
Oleh karena itu, yang tepat adalah bahwa hadits ini termasuk
salah satu tanda kenabian beliau saw, karena mengandung berita yang terjadi di
kemudian hari. Adapun usaha yang dilakukan untuk menerapkan hadits ini kepada
orang-orang yang terkenal kemunafikan, kedurjanaan dan tindak pidana mereka dari
kalangan para penguasa Bani Umayyah, Bani Abbas dan yang lain-lain, sangat
bertentangan dengan makna dan teks hadits tersebut, serta melecehkan kedudukan
Nabi saw karena beliau, dengan teori ini, digambarkan telah memberi kabar akan
tegaknya agama Islam sampai zaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz, bukan sampai
hari kiamat.
Penjelasan tentang 12 orang khalifah
Agar dalam kajian kita tentang dalil-dalil lain yang menjelaskan
makna hadits “Khalifah setelahku ada dua belas orang”, dan sosok pribadi
Imam Mahdi, kami merasa perlu untuk mengingatkan satu hal penting, di mana
seorang yang berpikir obyektif jika melihat dan memikirkannya tidak akan pernah
ragu lagi dan akan merasa cukup atas apa yang telah diajarkan oleh Nabi saw
dalam mengenal imam di setiap zaman dan generasi tanpa memerlukan dalil dan
lainnya.
Yang kami maksudkan adalah sejarah Islam yang sarat dengan
pengisolasian keluarga Nabi saw dari urusan pemerintahan yang dilakukan oleh
para penguasa zaman mereka sejak periode awal Islam. Lebih dari itu, para
penguasa tersebut -Bani Umayyah dan Bani Abbas- telah melakukan penganiayaan dan
penindasan yang melebihi batas kemanusiaan terhadap keturunan suci Nabi saw.
Karenanya, jelas nash yang menyebutkan 12 orang imam setelah
Nabi saw akan sangat sedikit didapatkan dari kitab-kitab yang ditulis
berdasarkan selera para penguasa yang menindas keluarga Rasul saw dan
memberantas keturunan Fatimah as.
Sungguh sangat tidak masuk akal seorang penguasa zalim akan
meyakini dan mengijinkan seseorang meriwayatkan hadits, bahwa Al Mahdi adalah
keturunan kesembilan dari Imam Husein as atau mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan dua belas khalifah adalah dua belas imam sebagaimana yang diyakini oleh
Syi’ah Imamiyah, kecuali beberapa riwayat yang lolos dari pengawasan dan jauh
dari pendengaran mereka. Apapun yang mereka lakukan, tetap ada beberapa hadits
yang lolos dan tersebar dan bersinar laksana mentari di siang hari.
Tiada sesuatu dipikirkan lagi
jika siang memerlukan bukti
Hal inilah yang tak dapat kita abaikan begitu saja. Di bawah ini
kami akan membawakan beberapa hadits yang menjelaskan makna dari 12 orang
khalifah.
1. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah karya Qunduzi Hanafi, dinukil
dari Manaqib Khawarizmi Hanafi dengan sanadnya dari Imam Ridha as dari ayah dan
kakek beliau dari Nabi saw, beliau menukil hadits yang menyebutkan dengan jelas
nama 12 orang Imam as satu persatu dari Amirul Mukminin Ali as sampai Imam
Muhammad Bin Hasan Al Mahdi as
Qunduzi setelah membawakan riwayat tersebut mengatakan, “Hadits
ini dikeluarkan oleh Juwaini Himwaini Syafi’i”, yaitu pengarang kitab Faraidh Al
Simthain.[86]
2. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah di bawah judul Fi Bayan Al
Aimmati Al Itsna ‘Asyar Biasma’ihim” (penjelasan tentang para Imam dua belas
dengan nama mereka), beliau menyebutkan 2 buah hadits dari kitab “Faraidhus
Simthain” dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra, tentang para Imam lengkap dengan
nama mereka, dimulai dengan Ali dan diakhiri dengan Al Mahdi as.[87]
Riwayat tersebut juga terdapat di dalam bab Fi Dzikri Khalifah Al Nabi saw Ma’a
Aushiaihi as.[88]
3. Juga dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah, hadits dari Jabir Bin
Abdillah Anshari dari Nabi saw, beliau bersabda:
يا
جابر ان أوصيائي وأئمة المسلمين من بعدي أولهم علي ثم الحسن ثم الحسين ...
“Wahai Jabir, para Washiku dan imam-imam muslimin setelahku
adalah Ali, kemudian Hasan lalu Husein ...”,
demikianlah beliau menyebutkan sembilan orang Imam dari keturunan Husein, dari
Imam Ali Bin Husein Zainal Abidin as sampai Imam Mahdi Bin Hasan ‘Askari as.[89]
4. Dalam kitab Kamal Al Din disebutkan: “Husein Bin Ahmad Bin
Idris memberitahukan kami akan sebuah hadits, beliau berkata, “Ayahku membawakan
hadits dari Hasan Bin Mahbub dari Abul Jarud dari Abu Ja’far Al-Baqir as dari
Jabir Bin Abdillah Anshari, beliau berkata “Suatu hari saya mengunjungi Fatimah
as dan beliau sedang memegang sesuatu yang di dalamnya tertulis nama-nama para
Washi. Dan setelah saya hitung mereka semua berjumlah 12 dengan nama washi
terakhir Al-Qaim. Tiga orang di antara mereka bernama Muhammad dan empat orang
bernama Ali, salawat Allah atas mereka semua.”[90]
Riwayat di atas juga memiliki jalur lain, dari Ahmad Bin
Muhammad Bin Yahya Aththar dari ayahnya dari Muhammad Bin Hasan Bin Abul
Kaththab dari Hasan bain Mahbub sampai akhir sanad seperti di atas
Dikatakan bahwa sanad tersebut tidak dapat menjadi dalil karena
dua perkara. Pertama, Husein Bin Ahmad Bin Idris dalam sanad pertama dan Ahmad
Bin Muhammad Bin Aththar dalam sanad kedua adalah dua orang belum ditetapkan
ke-tsiqahannya
Kami menjawab bahwa kedua perawi tersebut termasuk
masyayikhul ijazah (guru-guru hadits). Shaduq tidak pernah mengomentari
satupun dari mereka dalam kitab-kitabnya kecuali dengan menyebutkan kata-kata
“Radhiallahu ‘anhu” (semoga Allah meridhainya), jelas bahwa orang fasik tidak
layak untuk dido’akan dengan kata tersebut tapi doa tersebut diberikan kepada
seorang yang mulia dan baik. Jika kita terima bahwa hal itu tidak membuktikan
ketsiqahan orang tersebut, tapi sangat jauh kemungkinan bahwa keduanya
bersepakat untuk menyandarkan dan menisbatkan suatu kebohongan atas nama ayah
mereka, karena keduanya meriwayatkannya dari ayah masing-masing.
Satu hal yang menunjukkan akan kejujuran mereka adalah bahwa
Syekh Kulaini meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abul Jarud. Sanad
tersebut dimulai dengan ayah Syekh Shaduq dari Muhammad Bin Yahya Aththar dari
Muhammad Bin Husein, dari Hasan Bin Mahbub dari Abul Jarud dari Imam Abu Ja’far
Al-Baqir as dari Jabir Bin Abdullah Anshari.[91]
Tiga nama pertama dalam sanad ini menurut kesepatakan ulama adalah muhaddits
terkemuka dan perawi yang terpercaya.
Kedua, Abul Jarud adalah orang yang tidak terpercaya yang
menjadikan sanad ini tidak dapat dijadikan dalil. Kami katakan, “Abul Jarud
adalah seorang tabi’in. Dari mana seorang tabi’in mengetahui bahwa nama para
washi as 3 orang bernama Muhammad dan 4 orang bernama Ali? Dan hal tersebut
sesuai dengan realita yang ada, sedang Abul Jarud meninggal dunia berpuluh-puluh
tahun sebelum hadits ini menjadi suatu kenyataan. Di samping itu Syekh Mufid
dalam risalah Adudiyahnya menggolongkannya sebagai orang tsiqah.[92]
Selain itu, Syekh Shaduq juga mengeluarkan hadits tersebut
dengan sanad yang lain. Beliau berkata, “Saya diberi kabar oleh ayahku dan
Muhammad Bin Hasan ra, keduanya dari Sa’ad Bin Abdillah dan Abdullah Bin Ja’far
Himyari, keduanya dari Abul Hasan Sholeh dari Hammad dan Hasan Bin Tharif dari
Bakr Bin Shaleh.
Ayahku, Muhammad Bin Musa Mutawakkil, Muhammad Bin Aji Majilwaih,
Ahmad Bin Ali Bin Ibrahim Bin Natanah dan Ahmad Bin Ziyad Hamdani ra. mereka
merawikan dari Ali Bin Ibrahim dari ayahnya Ibrahim Bin Hasyim dari Bakr Bin
Shaleh dan Abdurahman Bin Salim dari Abu Bashir dari Imam Abu Abdillah Shadiq as
.... hadits
Kedua sanad di atas sahih, kecuali Bakr Bin Shaleh yang dhaif
dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi kedhaifannya di sini tidak berpengaruh,
sebab tidak masuk akal orang yang dhaif akan membawa suatu kabar tentang masa
depan yang kemudian menjadi kenyataan, lalu -setelah itu- dikatakan bahwa yang
membawa kabar tersebut bohong. Orang tersebut meriwayatkan hadits ini dari Imam
Musa Bin Ja’far Al-Kadzim as sedangkan dia, dengan melihat masa hidupnya, tidak
mengalami zaman Imam Hadi, Imam ‘Askari dan Imam Mahdi as. Dan yang membuktikan
kebenaran hal tersebut adalah bahwa guru hadits Hasan Bin Tharif yang
meriwayatkan hadits ini dalam sanad pertama dari Bakr Bin Shaleh bernama Ibnu
Abi Umair (wafat 217 H) adalah orang yang sebaya dengannya.
5. Kitab Kifayat Al Atsar Fi Al Nashshi ‘Ala Al Aimmah Al Itsna
‘Asyar karya Khazzar -ulama abad keempat hijriyah-. Kitab tersebut ditulis
khusus untuk menukil hadits-hadits yang berkenaan dengan nash akan Imam dua
belas lengkap dengan nama mereka. Karenanya riwayat-riwayat tersebut tidak dapat
kami nukil di sini. Hanya saja kami merasa perlu menukil sesuatu dari mukaddimah
kitab tersebut. Beliau mengatakan, “Kitab ini dimulai dengan menyebutkan riwayat
yang mengandung nash akan Imamah mereka as, yang diriwayatkan dari
sahabat-sahabat terkenal, semisal, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Mas’ud, Abu
Sa’id Khudri, Abu Dzarr Ghiffari, Umar Bin Khattab, Zaid Bin Tsabit, Zaid Bin
Arqam, Abu Umamah, Wasilah Bin Asqa’, Abu Ayyub Anshari, Ammar Bin Yasir,
Hudzaifah Bin Usaid, Imran Bin Hushain, Saad Bin Malik, Hudzaifah Bin Al Yaman,
Abu Qatadah Anshari, Ali Bin Abi Thalib dan dua putra beliau Hasan dan Husein
as.
Dari kalangan wanita: Ummu Salamah, Aisyah dan Fatimah putri
Rasulullah saw. Diikuti dengan riwayat-riwayat yang berasal dari para Imam as
sendiri yang sesuai dengan hadits para sahabat tentang nash imamah mereka,
demikian juga dengan nash masing-masing Imam yang menunjuk Imam setelahnya. Hal
itu dimaksudkan agar semua orang tahu -jika mereka mau berlaku jujur dan
obyektif- dan mengalaminya, bukan yang seperti Allah swt firmankan:[93]
فما اختلفوا الا من بعد ما جاء هم العلم بغياً بينهم .
“Mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada
mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”
(QS45: 17)
6. Diriwayatkan dalam Kamal Al Din dari Muhammad Bin Ali Bin
Majilwaih dan Muhammad Bin Musa Bin Mutawakkil dari Muhammad Bin Yahya Attar
dari Muhammad Bin Hasan Shaffar.
Begitu juga dari Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid dari
Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Abu Thalib Abdullah Bin Shalt Qummi dari Utsman
Bin Isa dari Sumaah Bin Mihram, beliau berkata, “Suatu ketika aku bersama Abu
Bashir dan Muhammad Bin Imran pelayan Imam Musa, berkata Muhammad Bin Imran,
“Saya mendengarkan Imam Abu Ja’far mengatakan, “Kami adalah dua belas orang
Mahdi (orang yang mendapat hidayah)”. Abu Bashir berkata, “Demi Allah saya
mendengar hadits ini dari Imam Abu Abdillah Shadiq as. Dia berkata demikian
sambil bersumpah sekali atau dua kali bahwa dia mendengarnya dari Imam Shadiq
as, ketika itu dia berkata “Tapi saya mendengarnya dari Imam Abu Ja’far.”[94]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Syekh Kulaini dari Muhammad
Bin Husein dari Abu Thalib dari Utsman Bin Isa dari Sumaah Bin Mihram dengan
teks yang sama.[95]
Seperti yang anda saksikan, sanad hadits di atas adalah shahih,
walaupun di silsilah sanad Syekh Shaduq terdapat orang yang hanya dipuji saja
dan bukan tsiqah, tetapi para perawi yang lain kesemuanya tsiqah dan dapat
dipercaya. Hal tersebut cukup menjadi petunjuk makna hadits “khalifah berjumlah
12 orang”.
7. Disebutkan dalam kitab Al-Kafi dengan sanad yang sahih, dari
beberapa orang ulama kita (Syi’ah Imamiyah), dari Ahmad Bin Muhammad Barqi dari
Abu Hasyim Daud Bin Qasim Ja’fari dari Abu Ja’far kedua Imam Muhammad Jawad as
beliau berkata, “Amirul mukminin Ali as datang bersama Hasan Bin Ali as seraya
memegang tangan Salman ...” dalam riwayat ini disebutkan keseluruhan nama-nama
para Imam 12 di mulai dengan Ali dan di akhiri dengan Al Mahdi Bin Hasan as.[96]
Kulaini berkata, “Saya mendapatkan hadits dari Muhammad Bin
Yahya dari Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Ahmad Bin Abi Abdillah dari Abu
Hasyim seperti di atas Muhammad Bin Yahya menyatakan “Saya berkata kepada
Muhammad Bin Hasan, “Wahai Abu Ja’far, seandainya hadits ini bukan dari jalur
Ahmad Bin Abi Abdullah! Muhammad Bin Hasan menjawab “Dia telah memberitahu saya
akan hadits ini sepuluh tahun sebelum masa hairah (keBingungan).”[97]
Yang dimaksud dengan masa keBingungan di sini adalah ghaibnya
Imam Mahdi pada tahun 260 H tahun wafatnya Imam Hasan Askari. Apa yang dikatakan
oleh Muhammad Bin Yahya bukan merupakan sesuatu yang menjatuhkan kepribadian
Ahmad Bin Abu Abdillah Barqi, karena sesuai dengan kesepakatan ulama beliau
adalah tsiqah. Seakan-seakan Muhammad Bin Yahya mengkhayalkan seandainya yang
menyampaikan hadits ini kepada gurunya (Shaffar) adalah orang yang wafat pada
masa hidup Imam Askari as atau Imam Hadi as dan bukannya Barqi yang hidup sampai
tahun 274 H atau 280 H menurut pendapat yang lain. Karena membawa kabar sesuatu
sebelum terjadi dan terjadi di kemudian hari merupakan suatu mukjizat yang
kebenarannya tidak memerlukan kemasyhuran hadits dengan banyaknya perawi. Sebab
bagaimanapun juga hadits tersebut tidak dapat didustakan lagi walaupun hanya
diriwayatkan dengan satu sanad saja.
Ketika itulah Shaffar menjawab bahwa Barqi perawi yang tsiqah
dan mulia ini telah mengabarinya sepuluh tahun sebelum masa keghaiban pertama
dimulai.
Seperti yang sudah diketahui, bahwa seorang perawi -yang belum
dinyatakan sebagai orang tsiqah- jika meriwayatkan sebuah hadits yang berkenaan
dengan sesuatu yang belum terjadi, haditsnya tersebut dapat diterima bila
memenuhi hal-hal yang disyaratkan bagi hadits dhaif, atau bila haditsnya
tersebut sesuai dengan kenyataan. Sebab hal itu akan membuktikan akan
kebenarannya, walaupun sang perawi tidak tsiqah.[98]
Semisal dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Kulaini dan
Shaduq dengan sanad yang sahih dari Abban Bin ‘Iyasy dari Sulaim Bin Qais Hilali,
dari Abdullah Bin Ja’far Thayyar dari Nabi saw, dalam sebuah hadits yang
mengandung nash imamah Imam Ali as kemudian putranya Hasan lalu Husein setelah
itu Ali Bin Husein, Muhammad Baqir as kemudian beliau bersabda “Setelah itu
sembilan orang dari keturunan Husein, akan menyempurnakan jumlah 12 orang imam.”[99]
Dhaifnya Abban Bin ‘Iyasy tidak berpengaruh apa-apa di sini,
karena riwayat tersebut menjadi kenyataan bertahun-tahun setelah dia meninggal
dunia. Dan dalam kitab Kamal Al Din karya Syekh Shaduq terdapat banyak riwayat
semacam ini.
Orang yang tidak berpengalaman dalam masalah hadits akan
langsung menafikan kekuatan argumentasi riwayat-riwayat semacam itu, karena
menurut anggapannya, sanad hadits tersebut adalah sanad yang dhaif, walaupun
yang dinyatakan dhaif dalam sanad tersebut adalah perawi-perawi yang telah
meninggal dunia jauh sebelum sejarah menyaksikan kehidupan keduabelas imam as.
Mukjizat semacam ini terdapat dalam kebanyakan hadits-hadits
mengenai keghaiban Imam kedua belas as seperti yang dinyatakan oleh Shaduq.
Beliau menyatakan, “Para imam telah mengabarkan keghaiban beliau dan
sifat-sifatnya kepada Syi’ah Ahli Bait dalam hadits-hadits mereka yang ditulis
lebih kurang 200 tahun sebelum terjadi kegaiban tersebut, sehingga tidak ada
seorang pengikut para imam Ahli baitpun, kecuali menyebutkannya dalam
kitab-kitab dan karyanya.
Kitab-kitab yang dikenal dengan sebutan Ushul tersebut disusun
dan dipelihara oleh Syi’ah Ahli Bait seperti yang akan kami katakan,
bertahun-tahun sebelum masa kegaiban. Dalam buku ini, saya menukil sebagian
hadits-hadits itu yang saya dapatkan mengenai masalah ini dengan sanad yang
bersambung.
Mereka, yang menulis masalah kegaiban Al Mahdi as tidak keluar
dari tiga alternatif. Pertama, mereka memiliki ilmu gaib sehingga mengetahui
kegaiban Al Mahdi sebelum masanya, seperti yang sekarang ini terjadi lalu
menulisnya dalam kitab mereka. Orang yang mau sedikit berpikir, akan menilai
bahwa alternatif ini tidak masuk akal.
Kedua, mereka memasukkan suatu dusta dan kebohongan dalam
kitab-kitab mereka, dan membangun mazhab mereka atas dasar kebohongan ini, yang
dikemudian hari menjadi kenyataan, padahal tempat tinggal mereka saling
berjauhan, pemikiran merekapun berbeda. Alternatif inipun tidak berbeda dengan
sebelumnya.
Tinggal alternatif terakhir, yaitu mereka mendapatkannya dari
imam-imam mereka yang menjaga dan memelihara wasiat Rasulullah saw, akan adanya
masa ghaibah bagi Imam, juga bagaimana terjadinya hal tersebut. Mereka menyimpan
wasiat ini mulai dari Imam pertama sampai Imam terakhir dan mereka tulis dalam
buku-buku dan kitab-kitab yang mereka namakan ushul.”[100]
Ushul yang dikatakan oleh Shaduq di atas, menurut beliau
penisbatannya kepada para penulisnya telah disepakati, seperti disepakatinya
kitab Kamal Al Din kepada Syekh Shaduq. Hal ini berarti bahwa, penyampaian kabar
keghaiban Al Mahdi, walaupun sanadnya dhaif, tidak mempengaruhi kebenarannya
karena diriwayatkan dari sumber Syi’ah Imamiyah. Dan yang akan kami sebutkan
hanyalah hadits-hadits yang secara sanad sahih sampai ke imam atau hadits-hadits
yang menyebutkan mata rantai imamah sebelum menjadi kenyataan, walaupun tidak
ada penegasan akan ketsiqahan sang perawi.
Al Mahdi keturunan kesembilan dari Al Husein as
Kesimpulan ini, walaupun sudah dapat diambil melalui
pembahasan-pembahasan yang lalu, tapi untuk lebih menguatkannya lagi, dalam
pembahasan ini kami nukilkan beberapa nash yang dijadikan pegangan oleh ulama
Ahli Sunnah dan beberapa buah hadits dari sumber Syi’ah, agar kajian ini lebih
ringkas.
Riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai beikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Salman Farisi, Abu Said Khudri,
Abu Ayyub Anshari, Ibnu Abbas dan Ali Al-Hilali -dengan teks yang berbeda-beda-
dari Rasulullah saw beliau bersabda:
يا
فاطمة انا اهل بيت اعطينا ست خصال لم يعطها احد من العالمين ولا يدركها احد من
الاخرين غيرنا اهل البيت -الى ان قال- ومنا مهدي هذه الامة الذي يصلى عيسى خلفه ثم
ضرب على منكب الحسين (ع) فقال: من هذا مهدي الامة .
“Wahai Fatimah, kita Ahli Bait telah dikaruniai enam perkara
yang tidak didapatkan oleh seorangpun baik mereka yang telah berlalu maupun yang
akan datang, selain dari kita Ahli Bait -sampai beliau bersabda- dari kitalah
Mahdi umini di mana Nabi Isa as akan menunaikan shalat di belakangn. Lalu beliau
saw menepuk pundak Husein as dan bersabda “Mahdi umat ini dari keturunannya”.[101]
2. Dalam ‘Iqd Al Durar Muqaddasi Syafi’i meriwayatkan dari Ali
as yang di dalamnya terdapat:
إن
المهدي من ولد الحسين ألا من تولى غيره لعنه الله .
“Al Mahdi dari keturunan Husein. Ingatlah, barang siapa yang
mengikuti orang selain dia, Allah swt akan melaknatnya.”[102]
Muqaddasi mengatakan “Pasal ini kami akhiri dengan kata-kata
Imam Ali as, sang penakluk para pahlawan, yang mengandung pengertian akan
datangnya kejadian-kejadian yang menakutkan, perkara-perkara yang sulit dan
keluarnya Imam Mahdi yang akan menyelesaikan semua dilema dan
memporak-porandakan tentara gabungan musuh Islam.” Kemudian beliau menyebutkan
hadits di atas.
3. Juga dari ‘Iqd Al Durar dari Jabir Bin Yazid dari Imam Baqir
as dalam sebuah hadits yang panjang, beliau mengatakan “Dan Al Mahdi, wahai
Jabir, seorang dari keturunan Al-Husein.”[103]
4. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili dalam Syarh ?Nahjul Balaghah
mengenai perkatan Imam Ali as:
و بنا تختم لا بكم mengatakan, “Kalimat ini menunjuk
kepada Imam Al Mahdi yang kelak akan muncul di akhir zaman. Sebagian besar
muhadditsin mengatakan bahwa beliau dari keturunan Fatimah as. Ulama kita,
Mu’tazilah tidak mengingkari hal ini seperti yang mereka tegaskan dalam
kitab-kitab mereka. Qadhil Qudhat rahmatullah ‘alaih meriwayatkan dari Kafil
Kufah Abul Qasim Bin Abbad rahimahullah dengan sanad yang bersambung sampai
kepada Imam Ali as bahwa beliau menyebutkan Al Mahdi dan berkata, “Dia
adalah seorang dari keturunan Al-Husein”.
Ketika menyebut ketampanannya, beliau mengatakan “Al Mahdi
memiliki dahi yang lebar, hidung yang mancung, perut yang besar, paha yang kekar,
gigi seri yang tampak menawan dan di paha sebelah kanannya terdapat tanda.”
Hadits ini dengan teks yang sama juga dirawikan oleh Abdullah
Bin Quthaibah dalam kitab Gharib Al Hadits.[104]
5. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah, menukil dari kitab
Manaqibnya Khawarizmi, dengan sanadnya dari Imam Husein as beliau berkata:
دخلت على جدي رسول الله فاجلسني على فخذه وقال لي: ان الله اختار من صلبك يا حسين
تسعة ائمة تاسعهم قائمهم وكلهم في الفضل والمنزلة عند الله سواء .
"Suatu hari, ketika saya masuk ke tempat kakekku Rasulullah
saw, beliau mendudukkanku di atas pangkuannya seraya bersabda: “Wahai Husein,
sesungguhnya Allah telah memilih sembilan orang Imam dari keturunanmu. Orang
kesembilan dari mereka ada yang kelak akan bangkit menegakkan kebenaran. Mereka
semua di sisi Allah memiliki keutamaan dan derajat yang sama.”[105]
6. Di dalam Yanabi’ Al Mawaddah menukil dari Manaqibnya
Khawarizmi dengan sanad dari Salman, beliau berkata, “Suatu hari saya datang
kepada Rasulullah saw yang ketika itu sedang memangku Husein Bin Ali seraya
mencium kedua mata dan mengecup mulutnya beliau bersabda:
أنت سيد ابن سيد أخو سيد أنت إمام ابن إمام أخو إمام أنت حجة أبو حجة وأنت أبو حجج
تسعة تاسعهم قائمهم .
“Engkau adalah pemimpin, putra pemimpin, saudara pemimpin.
Engkau adalah putra Imam, saudara Imam. Engkau adalah hujjah, ayah hujjah dan
ayah dari sembilan orang hujjah. Orang kesembilan dari mereka adalah yang akan
bangkit menegakkan kebenaran.”[106]
Hadits dari Salman ini diriwayatkan oleh Shaduq dalam kitab Al
Khishal dengan sanad yang sahih sekali. Shaduq berkata, “Saya mendapatkan dari
ayah saya yang mendapatkannya dari Saad Bin Abdullah dari Ya’qub Bin Yazid dari
Hammad Bin Isa dari Abdullah Bin Miskan dari Aban Bin Taghlib dari Sulaim Bin
Qais Hilali `ari Salman Farisi beliau berkata:
دخلت على النبي واذا الحسين على فخذيه و هو يقبل عينيه ويثلم فاه وهو يقول:
انت سيد ابن سيد اخو سيد انت امام ابن امام ابو الائمة انت حجة ابن حجة ابو حجج
من صلبك تاسعهم قائمهم .
“Suatu hari aku masuk ke tempat
Rasulullah saw yang ketika itu sedang memangku Husein sembari menciumi kedua
mata dan mulutnya, dan bersabda “Engkau adalah pemimpin putra seorang
pemimpin, saudara seorang pemimpin. Engkau adalah Imam putra Imam dan ayah dari
para mam. Engkau adalah Hujjah putra seorang Hujjah dan ayah dari para Hujjah.
Dari sulbimu akan lahir Imam kesembilan Qaim dari para Imam.”[107]
7. Diriwayatkan dalam Ushul Al Kafi dari Ali Bin Ibrahim dari
ayahnya Ibrahim Bin Hasyim dari Muhammad Bin Abi Umair dari Said Bin Ghazwan
dari Abu Bashir dari Abu Ja’far Imam Baqir as beliau berkata:
يكون تسعة ائمة بعد الحسين بن علي تاسعهم قائمهم .
"Setelah Husein Bin Ali terdapat sembilan orang imam. Yang
kesembilan dari mereka adalah yang kelak bangkit menegakkan kebenaran.”[108]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Shaduq dari ayahnya dari Ali
Bin Ibrahim yang kelanjutan sanadnya sama dengan sanad Al-Kafi dengan teks yang
sama seperti di atas.[109]
Di dalam silsilah sanad tersebut tidak ada satupun perawi yang layak untuk
diragukan kebesaran dan kemuliaannya dalam penukilan riwayat.
8. Dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah dinukil dari Faraidh Al
Simthain karya Hamwaini Juwaini Syafi’i, dengan sanad dari Ashbagh Bin Nabatah
dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda:
انا وعلي والحسن والحسين وتسعة من ولد الحسين مطهرون معصومون
“Aku, Ali, Hasan, Husein dan sembilan orang dari keturunan
Husein adalah orang-orang suci dan maksum”.[110]
Al Mahdi, Muhammad Bin Hasan Askari as
Di bawah judul ini akan kami sebutkan beberapa riwayat yang
tidak dapat dita’wilkan lagi, karena telah dengan jelas menunjuk kepada pribadi
Imam Mahdi as dan kabar gaibah sebelum terjadinya. Riwayat-riwayat tersebut,
adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh Shaduq dengan sanadnya yang sahih dari
Muhammad Bin Hasan Bin Walid dari Muhammad Bin Hasan Shaffar dari Ya’qub Bin
Yazid dari Ayyub Bin Nuh, dia berkata, “Saya mengatakan kepada Imam Ridha as, “
Kami berharap bahwa Imam Mahdi yang akan memegang kekuasaan dunia adalah anda
dan semoga Allah menganugerahkannya kepada anda dengan tanpa mengangkat pedang.
Sebab anda telah dibai’at dan uangpun dicetak dengan nama anda.” Beliau menjawab,
“Tidak seorangpun dari kami baik yang menerima banyak surat dari pengikutnya,
yang menjawab banyak persoalan, yang ditunjuk oleh banyak juri maupun yang
mendapatkan banyak harta, kecuali terbunuh atau mati di atas pembaringan. Sampai
Allah mengutus seorang yang lahir dengan rahasia dengan silsilah nasab yang
jelas, untuk memegang kekuasaan ini.”[111]
Di dalam hadits ini terdapat singgungan akan kelahiran Imam
Mahdi yang hanya diketahui oleh orang-orang kepercayaan Imam Abu Muhammad Hasan
Bin Ali Askari as karena itu dalam hadits sahih yang lain dikatakan:
ان
المهدي هو من يقول الناس لم يولد بعد .
"Al Mahdi yaitu yang dikatakan oleh orang-orang bahwa dia
belum lahir.”
Shaduq meriwayatkan dengan sanad sahih sekali dari ayahnya dari
Saad Bin Abdillah dari Hasan Bin Musa Khasysyab dari Abbas Bin Amir Qashbani,
dia berkata, “Saya mendengar Abul Hasan Imam Musa Bin Ja’far as mengatakan
“Imam Mahdi adalah yang orang-orang mengatakan dia belum lahir ke dunia.”[112]
2. Muqaddasi Syafi’i dalam kitab ‘Iqd Al Durar, meriwayatkan
dari Imam Baqir as, beliau berkata, “Imam Mahdi adalah seorang yang paling
muda di antara kami yang menyandang imamah.”[113]
Dalam hadits, terdapat isyarat, bahwa yang dimaksud sebagai Imam Mahdi adalah
Muhammad Bin Hasan Askari as
3. Syekh Kulaini meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ali
Bin Ibrahim dari Muhammad Bin Husein dari Ibnu Abi Najran dari Fadhlah Bin Ayyub
dari Sudair Shairafi, dia berkata: Saya mendengar Imam Baqir berkata: “Imam
Mahdi memiliki kesamaan dengan Nabi Yusuf as -sampai beliau berkata-umat tidak
menyadari apa yang Allah perbuat terhadap hujjahNya sebagaimana yang Dia lakukan
terhadap Yusuf as di mana beliau berjalan di tengah-tengah pasar, dan hidup
seperti layaknya orang biasa sampai Allah memberi izin kepadanya seperti memberi
izin kepada Yusuf. Mereka berkata “Apakah engkau ini Yusuf? Dia menjawab “Ya,
saya Yusuf.”[114]
4. Dalam Yanabi’ Al Mawaddah dari Imam Ridha as beliau berkata:
الخلف الصالح من ولد الحسين بن علي العسكري هو صاحب الزمان وهو المهدي - سلام الله
عليه -.
“Imam terakhir yang shaleh adalah putra Hasan Bin Ali askari.
Dialah Shahibuz Zaman, Al Mahdi as.”
Qunduzi dalam Yanabi’ Al Mawaddah menegaskan bahwa Abu Nu’aim
Isfahani menyebutnya dalam kitab Arba’in.[115]
5. Dalam kitab yang sama, Imam Ridha as berkata:
ان
الامام من بعد ابني محمد وبعد محمد ابنه علي وبعد علي ابنه الحسن وبعد الحسن ابنه
الحجة القائم وهو المنتظر في غيبته المطاع في ظهوره فيملأ الارض قسطا وعدلا كما
ملئت جورا و ظلما و اما متى يقوم فاخبار عن الوقت لقد حدثني ابي من ابائه عن رسول
الله (ص) قال:
مثله كمثل الساعة لا تأتيكم إلا بغتة.
“Sesungguhnya Imam sepeninggalku adalah putraku Muhammad
setelah Muhammad putranya,Ali kemudian Hasan Bin Ali lalu Hujjah Al-Qaim. Dialah
yang dinanti-nanti kemunculannya, untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah
dipenuhi oleh kezaliman. Adapun pertanyaan, kapan waktunya, ayahku memberitahuku,
dari ayah dan kakeknya dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “kedatangannya (Al
Mahdi) ibarat hari kiamat, yang datang dengan tiba-tiba.”[116]
6. Dalam Ushul Al Kafi diriwayatkan dengan sanad yang sahih,
dari Ali Bin Ibrahim dari Hasan Bin Musa Khasysyab dari Abdullah Bin Musa dari
Abdullah Bin Bakr dari Zurarah, dia berkata, saya mendengar Imam Ja’far Shadiq
as mengatakan,”
ان
للغلام غيبة قبل ان يقوم .
“Al Mahdi akan mengalami masa gaibah”,
Zurarah berkata, “Saya bertanya mengapa hal itu mesti terjadi? Beliau menjawab:
“karena takut”. seraya menunjuk ke perut beliau. Kemudian beliau berkata
يا
زرارة، وهو المنتظر الذي يشك في دلالته منهم من يقول مات أبوه بلا خلف ومنهم من
يقول حمل (أي مات ابوه وهو حمل في بطن امه) ومنهم من يقول انه ولد قبل موت ابيه
بسنتين. وهذا المنتظر غير أن الله عزوجل يحب ان يمتحن الشيعة فعند ذلك يرتاب
المبطلون يا زرارة ...
“Wahai Zurarah, dialah Al-Muntazhar diragukan. Sehingga ada
yang mengatakan, Ayahnya wafat tanpa meninggalkan keturunan. Ada juga yang
mengatakan, dia ada di dalam kandungan kala ayahnya wafat. Ada pula yang
berkata, dia telah dilahirkan dua tahun sebelum sang ayah meninggal dunia.
Dialah yang dinanti-nantikan kedatangannya. Hanya saja Allah swt suka menguji
Syi’ah, dengan itu orang-orang yang sesat akan jatuh ke dalam keragu-raguan.”[117]
7. Riwayat dalam Ushul Al Kafi, dari Muhammad Bin Yahya, dari
Muhammad Bin Husein dari Ibnu Mahbub dari Ishaq Bin Ammar, Imam Abu
Abdillah Ja’far Shadiq sa. berkata:
للقائم غيبتان احداهما قصيرة والاخرى طويلة والغيبة الاولى لا يعلم بمكانه فيها
إلا خاصة شيعته والاخرى لا يعلم بمكانه فيها إلا خاصة مواليه
“Al-Qaim (salah satu gelar Al Mahdi) mempunyai dua masa
gaibah, yang satu sebentar dan yang lain lama sekali. Dalam gaibah pertama, tak
ada yang mengetahui tempatnya kecuali orang-orang khusus dari Syi’ah dan
pengikutnya. Dan dalam ghaibah kedua tak ada yang tahu tempatnya kecuali
orang-orang khusus dari mereka yang dekat dengannya.”[118]
Tidak diragukan bahwa hadits ini benar-benar berasal dari Imam
Shadiq, sebab keseluruhan perawinya adalah orang-orang tsiqah. Dan hadits ini
jelas menunjuk kepada Imam Mahdi Bin Hasan Askari as lebih jelas dari sinar
matahari di siang bolong.
8. Dalam kitab Kamal Al Din dengan sanad yang sahih, Shaduq
berkata, “Saya meriwayatkan dari ayah ... dari Abdullah Bin Ja’far Himyari dari
Ayyub Bin Nuh dari Muhammad Bin Abi Umair dari Jamil Bin Daraj dari Zurarah.
Berkata Zurarah, “Abu Abdillah Imam Shadiq mengatakan
يأتي على الناس زمان يغيب عنهم امامهم
“Kelak akan datang satu hari, di mana Imam dan pemimpin umat
manusia berada dalam kegaiban”. Saya bertanya, Apa
gerangan yang harus dilakukan ketika itu? Imam menjawab:
يتمسكون بالامر الذي هم عليه حتى يتبين لهم
“Hendaknya mereka memegang teguh keyakinan mereka sampai
kedatangan sang Imam menjadi jelas.”[119]
9. Dalam kitab Ushul Al Kafi dari Ali Bin Ibrahim dari ayahnya
dari Ibnu Abi Umair dari Abu Ayyub Khazzaz dari Muhammad Bin Muslim. Dia berkata,
“Saya mendengar Imam Ja’far Shadiq mengatakan:
ان
بلغكم عن صاحب هذا الامر غيبة فلا تنكروها
“Jika kalian mendengar ghaibah Imam Mahdi, janganlah kalian
ingkari.”[120]
Tidak ada seorang imampun yang memiliki masa ghaibah kecuali
Imam Mahdi as. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, padahal beliau,
ketika Imam Shadiq mengatakan hadits di atas, belum lahir ke dunia. Oleh karena
itu, Imam Shadiq menekankan dalam hadits di atas akan ghaibahnya setelah beliau
dilahirkan.
Hadits ini dikeluarkan oleh Kulaini dengan dua sanad yang bersih
dan tidak mengandung keraguan sama sekali, menurut kesepakatan seluruh ulama
Syi’ah.
10. Dalam kitab Kamal Al Din, Syekh Shaduq berkata “Saya
mendengar hadits dari ayah dari Muhammad Bin Hasan ra. keduanya dari Saad Bin
Abdullah, Abdullah Bin Ja’fa, Himyari dan Ahmad Idris kesemuanya dari Ahmad Bin
Muhammad Bin Isa, Muhammad Bin Husein Bin Abul Khattab, Muhammad Bin Abu Najran
dari Muhammad Bin Musawir dari Mufadhdhal Bin Umar Ja’fi, Dia berkata, “Saya
mendengar Imam Shadiq as berkata:
اياكم و التنويه اما والله ليغيبن امامكم سنينا من دهركم ولتمحصن حتى يقال:
مات أو هلك باى واد سلك ولتدمعن عليه عيون المؤمنين ولتكفأن كما تكفأ السفن في
امواج البحر ولا ينجو إلا من اخذ الله ميثاقه وكتب في قلبه الإيمان وأيده بروح
منه ...
“Hendaknya kalian tidak membongkar rahasia. Sungguh demi
Allah! Suatu saat Imam kalian akan ghaib dari tengah-tengah kalian
bertahun-tahun lamanya. Kala itu kalian akan diuji dan sebagian orang akan
mengatakan Oh, Imam sudah meninggal dunia di lembah yang ditelusurinya. Ketika
itulah kaum mu’minin akan menangis. Waktu itu keadaan kalian laksana kapal yang
dipermainkan oleh gelombang ombak lautan. Tak akan ada yang selamat kecuali
mereka yang telah mengikat perjanjian dengan Allah dan yang telah memantapkan
imannya dan menguatkannya dengan ruhNya...”[121]
Para perawi sebelum Muhammad Bin Musawir dalam sanad ini,
kesemuanya adalah orang-orang mulia dan perawi terpercaya, tidak ada
perselisihan dalam hal ini. Adapun Muhammad Bin Musawir telah meninggal dunia
tahun 183 H sedangkan keadaannya tidak jelas. Ketsiqahan Mufadhdhal diragukan,
tapi hadits ini dapat menjadi bukti kejujuran mereka dalam membawa amanat
riwayat ini, karena hadits ini menyandang mukjizat yang menjadi kenyataan 77
tahun setelah wafatnya Ibnu Musawir dengan terjadinya ghaibah tahun 260 hijriyah.
Syekh Kulaini juga meriwayatkannya dengan sanad yang sahih yang
sampai kepada Muhammad Bin Musawir dari Mufadhdhal.[122]
Hal yang menjadikan kita yakin akan kebenaran hadits ini, adanya hadits-hadits
lain dari Ahli bait yang mengandung makna yang sama, seperti:
Riwayat yang sahih Abdullah Bin Sinan yang diriwayatkan oleh
Syekh Shaduq dari ayahnya dan Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid dari
Shaffar dari Abbas Bin Ma’ruf, dari Ali Bin Mahziyar dari Hasan Bin Mahbub dari
Hammad Bin Isa dari Ishaq Bin Jarir dari Abdullah Bin Sinan. Dia berkata, “Saat
aku bersama ayahku menemani Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata:
فكيف انتم اذا صرتم في حال لا ترون فيها إماما هدى ولا علما يرى
"Bagaimanakah keadaan kalian jika mengalami satu masa, di
mana kalian tidak dapat menemukan Imam yang menuntun kalian?”[123]
11. Dalam Ushul Al Kafi diriwayatkan dari beberapa orang perawi
Syi’ah, dari Ahmad Bin Muhammad Bin Isa dari ayahnya, Muhammad Bin Isa dari Ibnu
Bukair dari Zurarah. Dia berkata, “Saya mendengar Imam Shadiq as berkata:
إن
للقائم غيبة قبل ان يقوم انه يخاف
"Imam Mahdi akan mengalami masa ghaibah sebelum bangkit,
karena dia kuatir -sambil menunjuk perut beliau-.
Yakni kuatir akan dibunuh sebelum bangkit menegakkan keadilan.[124]
Sanad hadits ini termasuk sanad-sanad yang sahih sekali, tanpa ada perselisihan
akan hal ini.
12. Dalam ‘Iqd Al Durar Muqaddasi Syafi’i meriwayatkan dari Imam
Husein, syahid, beliau berkata:
لصاحب هذا الامر - يعني الإمام المهدي (عج) - غيبتان احداهما تطول حتى يقول بعضهم
مات وبعضهم قتل وبعضهم ذهب ....
"Imam Mahdi mempunyai dua masa ghaibah. Salah satunya waktu
yang panjang, sehingga ada yang mengatakan dia telah mati, sebagian beranggapan
bahwa dia terbunuh dan yang lain berkata, dia pergi...”[125]
Riwayat sejenis -dengan sanad yang sahih telah lebih dahulu kami
sebutkan dalam hadits nomor 6 dan 7, silahkan merujuk.
13. Dalam kitab Kamal Al Din, Shaduq meriwayatkan dari ayahnya
dan Muhammad Bin Hasan ra, dari Saad Bin Abdullah dan Abdullah Bin Ja’far
Himyari keduanya dari Ahmad Bin Husein Bin Umar Bin Yazid dari Husein Bin Rabi’
Mada’in[126]
dari Muhammad Bin Ishaq dari Usaid Bin Tsi’labah dari Ummu Hani’, dia berkata,”
saya mendengar Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as
dan menunjuk maksud ayat
فلا اقسم بالخنس الجوار الكنس
"Sungguh Aku bersumpah dengan Bintang-Bintang yang beredar
dan terbenam”, beliau menjawab dan berkata,
“Dialah Imam yang mengalami masa ghaibah pada tahun 260, kemudian dia akan
muncul kembali bagaikan Bintang yang terang benderang pada malam yang gelap
gulita. Sungguh beruntung sekali jika engkau mengalami masa itu.”[127]
Ahmad Bin Husein Bin Umar Bin Yazid menurut kesepakatan ulama
adalah tsiqah, begitu juga dengan perawi di dalam sanad ini. Ahmad Bin Husein
banyak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far Shadiq dan Imam Musa Kadzim,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Najasyi dalam biografinya. Adapun perawi
setelahnya, yang dapat menjadi bukti kejujuran mereka adalah wafatnya mereka
sebelum kabar dalam hadits yang mereka sampaikan menjadi kenyataan. Di samping
itu, orang-orang yang tsiqah, banyak yang meriwayatkan hadits dari mereka.
Karenanya, dapat kita simpulkan bahwa hadits ini dapat menjadi bukti kejujuran
mereka.
14. Dalam kitab Kamal Al Din, Syekh Shaduq meriwayatkan dengan
sanad yang sahih dari Muhammad Bin Hasan ra. dari Saad Bin Abdillah dari Abu
Ja’far Muhammad Bin Ahmad Alawy dari Abu Hasyim Daud Bin Qasim Ja’fari, “Saya
mendengar Abul Hasan Imam Ali Hadi as berkata:
الخلف من بعدي ابني الحسن فكيف لكم بالخلف من بعد الخلف
"Sepeninggalku, putraku Hasan yang akan menempati tempatku.
Apa yang kalian perbuat dengan Imam setelahnya?” Saya
bertanya,Ada apa gerangan dengannya ? Imam berkata:
لأنكم لا ترون شخصه ولا يحل لكم ذكر باسمه
"Kalian tidak akan melihatnya, dan kalian tidak boleh
menyebut namanya.” Saya bertanya lagi lalu bagaimana
kami menyebutnya ?” Imam mengatakan:
قولوا الحجة من آل محمد صلى الله عليه واله
“Sebutlah ia dengan Hujjah dari keluarga Muhammad saw”[128]
Sanad hadits ini dapat dijadikan argumen, karena keseluruhan
perawinya adalah orang-orang tsiqah. Alawy adalah seorang ulama besar Syi’ah
sebagaimana disebutkan oleh Najasyi dalam kitab rijalnya, ketika menulis
biografi Al-Umraki Al-Bufaki.[129]
Riwayat-riwayat ini kami cukupkan sampai di sini dengan
mengingatkan pembaca akan tiga hal, yaitu:
Pertama: Hadits terakhir tidak mengandung arti bahwa Imam Mahdi
tidak dapat dilihat sama sekali. Sebab kata-kata Imam Hadi as (Kalian tidak
dapat melihatnya) jika dihubungkan dengan larangan menyebutkan nama beliau
karena khawatir akan keselamatannya dari kejaran para musuh Allah yang ingin
menghabisinya, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits, mengandung indikasi
bahwa yang dimaksudkan adalah ghaibah beliau. Dengan demikian makna hadits
terakhir adalah sebagai berikut:
"Kalian tidak dapat melihat Al Mahdi setiap waktu kalian
menghendakinya. Kalian tidak dapat menemuinya sesuka kalian menemui diriku
kapanpun kalian menginginkannya. Karena beliau mengalami masa ghaibah. Dan
janganlah sekali-kali kalian menyebut namanya supaya musuh Allah tidak
mengenalnya sebab mereka akan menangkap dan membunuhnya.”
Kesimpulan: Penafian kemungkinan melihat beliau, maksudnya
adalah ghaibah, dan larangan menyebutkan nama beliau dikarenakan kekhawatiran
akan keselamatannya. Khususnya penafian dan larangan tersebut berkenaan dengan
masa ghaibah dan tertuju kepada mereka yang mendengar hadits tersebut, bukan
kepada selain mereka. Jika tidak demikian, bagaimana kita akan dapat memahami
hadits ini padahal ratusan orang dari sahabat-sahabat setia ayah beliau, Imam
Askari di masa hidupnya telah melihat Al Mahdi , dengan izin sang ayah. Juga
banyak pula yang melihat beliau setelah Imam Askari wafat, sebagaimana yang akan
kita bicarakan nanti.
Kedua: Seluruh hadits yang kami sebutkan di atas hanya merupakan
sebagian kecil dari hadits-hadits yang ada dalam masalah ini. Pemilihan
riwayat-riwayat tersebut tidak berdasarkan seleksi ilmiah. Artinya ketika kami
membahas sanad-sanad hadits sahih seperti di atas, tidak ada maksud untuk
menanamkan kepercayaan akan masalah ini, sebab kepercayaan tersebut harus
terlebih dahulu tertanam kuat di hati sebelum masuk ke dalam pembahasan. Akan
tetapi hal itu kami lakukan untuk menguatkan apa yang kami klaim. jika tidak
demikian, kita tidak perlu sama sekali membahas sanad-sanadnya, karena dua hal.
Pertama, banyak hadits yang
menyatakan dengan tegas akan keberadaan Imam yang membimBing umat manusia ke
jalan hidayah sampai akhir zaman, seperti yang telah kami jelaskan. Maka dari
itu, masihkah kita perlu untuk membahas sanad hadits yang lain ?
Kedua, banyak sekali dalil yang
menunjukkan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dan berkenaan dengan Imam
Mahdi as dinukil secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis berpuluh-puluh
tahun sebelum kelahiran beliau, seperti yang disaksikan oleh Syekh Shaduq.
Karena itu, dhaifnya sebagian perawi dalam sanad hadits-hadits tersebut tidak
mengurangi nilai kesahihannya, sebab kabar yang dibawanya mengandung mu’jizat
yang terjadi di kemudian hari, dan hal itu bukti akan kebenaranya.
Ketiga: Hadits-hadits tentang Al
Mahdi yang berasal dari Nabi saw dan Ahli Bait as, mengungkapkan akan satu hal,
yang disepakati oleh puluhan orang tsiqah dan jujur untuk meriwayatkannya. Tidak
ada perbedaan dalam membuktikan kebenaran hal ini antara hadits yang memiliki
sanad sahih dengan yang dhaif. Sebab jika ada seorang yang jujur mengatakan
bahwa Zaid meninggal dunia, lalu orang datang dengan berita yang sama. Kita
tidak layak untuk mengatakan kepadanya “Anda berdusta”. Demikian pula jika
datang orang ketiga, keempat, kelima...kesepuluh dengan berita yang sama, kita
tidak pantas untuk mengatakan “Kalian bohong”, walaupun kita tidak mengetahui
sejauh mana kejujuran mereka. Akan tetapi masing-masing berita tersebut berubah
menjadi satu keyakinan yang dengan banyaknya bukti dan hal-hal yang mendukung
kebenarannya, alternatif ketidakbenaran berita tersebut mengecil sedikit demi
sedikit sampai pada angka nol.
Logika penghitungan dengan teori alternatif seperti di atas,
yang didasari oleh teori matematis untuk sampai pada suatu keyakinan yang
obyektif dengan banyaknya jumlah berita tentang satu hal yang sama, mustahil
meleset dan tidak sesuai dengan realita.
Dari sini dapat diketahui bahwa usaha untuk menebarkan
keragu-raguan akan kebenaran hadits-hadits Al Mahdi atau pemutarbalikan fakta
tentang pribadi mulia beliau kepada orang lain, seperti yang dilakukan oleh
mereka yang memiliki ilmu hadits yang dangkal tanpa mengindahkan asas-asas
ilmiah, khususnya setelah dipastikan bahwa hadits-hadits tersebut sangat cocok
dengan pribadi Imam Muhammad Bin Hasan Askari as.
Usaha ini merupakan cara mereka untuk memanifestasikan kekalahan
fatal yang mereka pendam di dalam hati dan kepicikan dalam berpikir untuk
memberantas suatu keyakinan, walaupun dengan segala kedustaan dan kebohongan.
Maka dari itu mereka katakan bahwa, tidak ada satu haditspun
yang sahih dari hadits-hadits tersebut, dan menutup-nutupi hadits-hadits yang
sahih. Sebagaimana anda ketahui, usaha-usaha yang dilakukan dengan
memutar-balikkan aqidah melalui seni jurnalistik yang bernapaskan Barat,
bernaung di bawah atapnya, bergerak dengan tangannya dan dibiayai oleh
antek-anteknya. Mereka lupa bahwa aqidah bukanlah debu yang dapat terbang
dengan tiupan angin. Mereka juga telah meninggalkan apa yang digariskan oleh
Nabi saw dan keluarganya as bagi umat agar dapat mengenal dengan benar siapa
Imam Mahdi, lengkap dengan nama dan nasabnya.
KELAHIRAN IMAM MAHDI (A.S.)
Sebenarnya kita tidak perlu menjelaskan kelahiran Imam Mahdi dan
membuktikannya lewat sejarah, setelah kita mengetahui kesepakatan kaum muslimin
bahwa beliau adalah seorang dari Ahli Bait yang akan datang dan bangkit di akhir
zaman. Juga telah kita ketahui hasil study kita tentang hadits-hadits yang
menjelaskan akan nasab Imam Mahdi, dimana kesimpulan yang kita ambil tanpa
keraguan sedikitpun adalah bahwa Al Mahdi Imam kedua belas dari Imam-Imam Ahli
Bait as.
Beliau adalah Muhammad Bin Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali
Bin Musa Bin Ja’far Bin Muhammad Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as.
Dari jalur ayah keturunan Imam Husein sedangkan dari pihak ibu keturunan Imam
Hasan as, dari Fatimah Binti Hasan cucu pertama Nabi saw, ibu Imam Muhammad
Baqir Bin Ali Bin Husein as.
Ini berarti bahwa membahas kelahiran Imam Mahdi dan
membuktikannya adalah suatu pembahasan yang tidak perlu dilakukan lagi, jika
bukan karena adanya usaha pengkaburan fakta sejarah tentang beliau, seperti yang
dilakukan oleh paman beliau, Ja’far Kadzdzab yang mengaku bahwa saudaranya, Imam
Askari, tidak memiliki keturunan, yang kemudian didukung oleh penguasa saat itu
dengan memberikan harta peninggalan Imam Askari kepadanya, sebagaimana yang
diriwayat oleh ulama Syi’ah Imamiyyah. Selain mereka tidak ada orang lain yang
meriwayatkan kejadian tersebut kecuali menukilnya dari mereka. Tapi bagaimanapun
juga, hal itu cukup menjadi dalil bagi orang yang obyektif dan mau sedikit
merenung. Sebab bagaimana mungkin orang Syi’ah akan meriwayatkan satu hal yang
tidak mereka yakini, kecuali bila mereka telah meyakini kebohongannya.
Sama seperti yang mereka riwayatkan berkenaan dengan
pengingkaran Muawiyah akan kedudukan Ali di sisi Rasulullah saw. Pengingkaran
Muawiyah tersebut pasti dan dan kedudukan Ali di sisi Rasulullah saw juga jelas
Kepastian kedua hal itu menurut Syi’ah adalah hal yang tidak diragukan lagi,
karena sudah menjadi keyakinan mereka. Demikian pula pengingkaran Ja’far
Kadzdzab sudah jelas juga dukungan rezim penguasa kala itu atas klaim batilnya
tersebut. Dilain pihak, kelahiran Imam Mahdi telah dibuktikan dengan kesaksian
banyak orang. Dalil apa lagi yang harus diajukan setelah adanya kesaksian ini?
Akan tetapi orang yang menyantap hidangan pemikiran Barat dan
menyimpang dari jalan yang semestinya, tidak akan pernah ragu untuk
mengeksploitasi dan memutarbalikkan fakta yang ada lalu membungkusnya dengan
baju baru yag diberi nama “pembaharuan”.
Karena itu kita katakan, bahwa kelahiran seseorang di alam ini
cukup dibuktikan dengan adanya pengakuan dari sang ayah dan kesaksian wanita
yang membidani kelahirannya, walaupun tidak ada orang lain yang melihat si
jabang bayi. Lalu bagaimana dengan orang yang ratusan orang menyatakan telah
melihatnya, para ahli sejarahpun membenarkan dan mengakui kelahirannya, bahkan
para ahli nasab (silsilah keturunan)pun menunjukkan nasab keturunannya, mereka
yang dekat dengannya banyak menyaksikan keajaibannya, adanya pesan-pesan penting,
petuah-petuah, nasehat-nasehat, bimBingan-bimBingan, surat-surat,
petunjuk-petunjuk, do’a-do’a, shalat-shalat, ucapan-ucapan yang masyhur dan
kata-kata yang semuanya berasal dari dia, selain itu beliau juga memiliki
wakil-wakil terkenal, duta-duta yang masyhur dan para pengikut yang berjumlah
jutaan orang di setiap masa dan generasi ?
Saya tidak tahu, apa yang dimaukan oleh mereka dengan
memutarbalikkan fakta ini dan mengingkari kelahiran Imam Mahdi as, selain dalil
yang kami sebutkan di atas. Bukankah keadaan mereka seakan-akan mengatakan
seperti yang dikatakan kaum musyrikin kepada kakek beliau Nabi saw dengan lisan
mereka:
وقالوا لن نؤمن لك حتى تفجر لنا من الأرض ينبوعا أو تكون لك جنة من نخيل وعنب
فتفجر الأنهار خلالها تفجيرا أو تسقط السماء كما زعمت علينا كسفا أو تأتي بالله
والملائكة قبيلا أو يكون لك بيت من زخرف أو ترقى فى السماء ولن نؤمن لرقيك حتى تنزل
علينا كتابا نقرؤه قل سبحان ربي هل كنت الا بشرا رسولا
.
“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu
hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau kamu mempunyai
sebuah kebun korma dan anggur, laluu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun
yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami,
sebagaimana kamu katakan. Atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat
berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai rumah dari emas Atau kamu naik
ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga
kamu turunkan kitab atas kami yang kami baca. Katakanlah “Maha Suci Tuhanku,
bukankah aku hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
(QS 17: 90-94)
Ya Allah kami tidak mengharapkan hidayah bagi mereka yang
mengetahui kebenaran tetapi tetap mempertahankan kebathilan. Karena orang yang
tidak dapat memanfaatkan sinar matahari, lebih tidak bisa mengambil manfaat dari
cahaya bulan. Hanya saja kami memohon bagi mereka yang tidak mengetahui
kebenaran untuk Engkau sampaikan kepadanya dan kuatkanlah iman mereka yang lemah
imannya. Karena itulah kita katakan:
Kelahiran Imam Mahdi
Hal ini disebutkan dalam satu hadits sahih dari Muhammad Bin
Yahya ‘Aththar dari Muhammad Bin Ishaq dari Abu Hasyim Ja’fari, dia mengatakan:
Suatu saat saya berkata kepada Imam Abu Muhammad (Askari) as “Kebesaran anda
mencegahku untuk menanyakan satu masalah kepada anda. Apakah anda mengizinkanku
untuk menanyakannya?” “Ya, silahkan bertanya” kata Imam. Saya bertanya: “Wahai
junjunganku, Apakah anda mempunyai putra?” Beliau menjawab “Ya”. “Jika suatu hal
datang menimpa anda, dimanakah saya dapat bertanya tentang dia?” tanyaku lagi.
Imam menjawab “Di Medinah.”[130]
Satu lagi hadits sahih yang diriwayatkan dari Ali Bin Muhammad
dari Muhammad Bin Ali Bin Bilal, dia berkata “Saya mendapat kabar dari Imam
Askari dua tahun sebelum beliau wafat. Kemudian tiga hari sebelum wafatnya
beliau memberitahukan perihal imam sepeninggalnya.[131]
Ali Bin Muhammad dalam riwayat ini adalah yang dikenal dengan
Ibnu Bindar, seorang tsiqah yang mulia. Adapun Muhammad Bin Ali Bin Bilal,
beliau adalah seorang yang sangat masyhur keagungan dan kemuliannya,
sampai-sampai orang seperti Abul Qasim Husein Bin Ruh ra banyak merujuk
kepadanya, seperti yang disebutkan oleh para ulama rijal.
Kesaksian Bidan Kelahiran Imam Mahdi as
Beliau adalah wanita suci dari Ahli Bait, bernama Hakimah Binti
Imam Jawad, saudara perempuan Imam Hadi as dan bibi Imam Askari aas. Beliaulah
yang mengurus Narjis, ibunda Imam Mahdi dalam persalinannya.[132]
Beliau menegaskan telah melihat Imam Mahdi sesaat setelah lahir.[133]
Dalam pekerjaannya tersebut beliau dibantu oleh beberapa orang wanita.
Diantaranya: Budak perempuan Abu Ali Khaizarani yang dihadiahkan kepada Imam
Askari (Seperti yang disebutkan oleh Muhammad Bin Yahya),[134]
Mariah dan Nasim, pembantu di rumah Imam Askari as. Jelas bahwa kelahiran kaum
muslimin hanya disaksikan oleh para wanita yang membidani kelahirannya. Siapa
saja yang mengingkari hal ini silahkan membuktikan bahwa selain para wanita
tersebut ada orang lain yang telah yang menyaksikan ibunya ketika melahirkan
dia.Selain dari pada itu, Imam Askari juga telah melakukan sunah Nabi yang mulia
saw dengan menyembelih kamBing akikah,[135]
seperti yang dilakukan juga oleh mereka memegang erat sunah Nabi, ketika Allah
mengarunia anak kepadanya.[136]
Mereka yang Telah Melihat Imam Mahdi (a.s.)
Pada masa Imam Askari as masih hidup, sejumlah orang dari
sahabat dekat beliau dan shababat ayahnya Imam Hadi as, dengan izin beliau telah
melihat Imam Mahdi as, sebagaimana sejumlah orang lainnya telah melihat beliau
setelah meninggalnya Imam Askari as, pada zaman Ghaibah Shughra yang dimulai
tahun 260 H sampai tahun 329 H, baik dari kalangan Syi’ah maupun yang lainnya.
Mengingat banyaknya orang yang telah menyaksikan wajah mulia beliau, kami hanya
akan menyebutkan apa yang dinukil oleh para ulama terdahulu. Antara lain oleh
Syekh Kulaini (wafat 329 H) yang hidup dan mengalami kurang lebih seluruh masa
Ghaibah Shughra tersebut, Syekh Shaduq (wafat 381 H) yang mengalami lebih dari
dua puluh tahun dari masa ghaibah tersebut, Syekh Mufid (wafat 413 H) dan Syekh
Thusi ( wafat 460 H). Tidak ada salahnya, bila kita juga menukilkan sedikit
riwayat yang khusus menjelaskan nama mereka yang telah melihat beliau as,
setelah itu kami hanya akan menyebutkan nama orang-orang dengan sumber riwayat
yang memuat cerita mereka dari kitab keempat ulama tadi, dengan maksud untuk
mempersingkat pembicaraan kita.
Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang
disebutkan oleh Syekh Kulaini di dalam kitab Ushul Al Kafi dengan sanadnya yang
sahih dari Muhammad Bin Abdillah dan Muhammad Bin Yahya keduanya dari Abdullah
Bin Ja’far Himyari. Beliau berkata “Suatu hari saya bersama dengan Abu Amr ra (Duta
khusus Imam Mahdi as) berada di tempat Ahmad Bin Ishaq. Tiba-tiba Ahmad Bin
Ishaq memberi isyarat kepadaku untuk bertanya kepada Abu Amr tentang Imam Mahdi
as “ Wahai Abu Amr ! Aku ingin menanyakan kepadamu sesuatu yang tidak aku
ragukan -setelah memuji Abu Amr karena menjadi orang dipercaya oleh para Imam
as-, sekonyong-konyong Abu Amr Amri bersujud dan melalu berkata “Tanyakanlah apa
yang hendak kau tanyakan.” Kukatakakepadanya “Apakah anda pernah melihat Imam
Mahdi, Imam setelah Abu Muhammad Askari as?” Beliau menjawab “Ya, Demi Allah
saya telah melihatnya. Dan leher beliau seperti ini -sambil menunjuk dengan
tangannya-” “Tinggal satu pertanyaan lagi” ujarku. Beliau berkata “Silahkan
bertanya”. “Bagaimana dengan menyebutkan namanya?” Jawabnya “Kalian tidak
diperkenankan untuk menanyakan hal itu. Kukatakan ini bukan sekehendak hatiku,
karena aku tidak mempunyai hak untuk menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.
Akan tetapi beliaulah yang mengatakan hal ini kepadaku, sebab penguasa zalim
telah mengumumkan bahwa Imam Askari as wafat tanpa meninggalkan anak, sehingga
warisannya telah dibagikan dan diambil oleh mereka yang tidak berhak. Keluarga
beliau masih ada dan berjalan kemanapun juga tanpa adanya seorangpun yang
mengenal atau mengganggu mereka. Jika kalian menyebutkan namanya, maka dia akan
dikejar dan ditangkap. Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah dan jagalah
lisan kalian dari menyebutkan nama beliau.”[137]
Riwayat yang dibawakan oleh Kulaini dalam Al Kafi dengan
sanadnya yang sahih dari Ali Bin Muhammad (Ibnu Bindar yang tsiqah), dari Mihran
Qalansi, beliau berkata “Saya mengatakan kepada Amri “Apakah Imam Abu Muhammad
Askari AS telah wafat?” Beliau menjawab “Ya, beliau telah wafat. Akan tetapi
beliau telah meninggalkan pengganti yang lehernya seperti ini (dengan
mengisyaratkan tangannya) .”[138]
Riwayat yang dinukil oleh Syekh Shaduq dengan sanad yang sahih
dari guru-guru hadits. Beliau berkata “Saya mendapatkan riwayat ini dari
Muhammad Bin Hasan dari Abdullah Bin Ja’far Himyari. Dia berkata “Aku mengatakan
kepada Muhammad Bin Utsman Amri ra bahwa aku selalu berdoa dengan doa Nabi
Ibrahim as ketika memohon kepada Tuhannya dengan mengatakan
رب
أرني كيف تحيي الموتى قال أولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئن قلبي
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata “Ya, Tuhanku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman
“ Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab “Aku telah meyakini. Akan tetapi agar
hati bertambah mantap.”[139]
Beritahukan kepadaku tentang Imam kita, apakah engkau telah
melihatnya?” Amri menjawab “Ya dan beliau memiliki leher seperti ini -seraya
menunjuk dengan tanganya.”[140]
Riwayat Shaduq dalam Kamal Al Din, berkata “Saya mendengar dari
Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Aswad, beliau berkata “Ali Bin Husein Bin Musa Bin
Babuwaih setelah wafatnya Muhammad Bin Utsman ( Duta kedua Imam Mahdi as)
memintaku untuk menyampaikan kepada Abul Qasim Husein Bin Ruh supaya dia memohon
kepada Imam Mahdi untuk berdoa kepada Allah agar diberi anak laki-laki. Karena
itulah aku memintakan hal tersebut. Selang tiga hari setelah itu, aku mendapat
kabar bahwa Imam Mahdi telah berkenan mendo’akan Ali Bin Husein, seraya
mengatakan bahwa dia akan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi barokah
dan akan bermanfaat bagi agama, yang setelah kelahirannya akan lahir beberapa
anak lagi. Lalu Shaduq mengatakan, penulis kitab ini berkata “Abu Ja’far
Muhammad Bin Ali Aswad sering mengatakan kepadaku -jika melihatku keluar masuk
mengikuti pelajaran guru kami Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Bin Walid ra dan
semangatku yang tinggi dalam menuntut ilmu dan menghafalnya- “Tidak heran
melihat semangatmu yang tinggi dalam belajar karena engkau lahir berkat do’a
Imam Mahdi as.”[141]
Riwayat Syekh Thusi -beliau termasuk pemuka dan guru besar
Syi’ah- dalam kitab Ghaibah dari Muhammad Bin Muhammad Bin Nu’man dan Husein Bin
‘Ubaidillah dari Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Shafwani, beliau berkata
“Menjelang wafatnya, Abul Qasim (duta ketiga Imam Mahdi) menyerahkan amanat
sebagai duta Al Mahdi kepada Abul Hasan Ali Bin Muhammad Samuri untuk mengemban
apa yang telah dia emban sebelumnya sebagai duta Al Mahdi as Ketika Samuri
mendekati ajalnya para pemuka Syi’ah berkumpul mengelilinginya dan menanyakan
kepadanya perihal siapakah yang akan menggantikan posisinya sebagai duta Imam.
Tetapi dia tidak menunjuk siapapun dan mengatakan bahwa dia diperintahkan untuk
tidak mewasiatkan hal ini kepada siapapun juga.”[142]
Jelas bahwa kedudukan Samuri sama dengan kedudukan Abul Qasim
Husein Bin Ruh sebagai wakil Imam yang menuntut untuk bertemu muka dengan beliau
dalam setiap masalah yang memerlukan bimBingan dari beliau. Dari sinilah
dikatakan bahwa apa yang disampaikan oleh keempat duta beliau as seperti yang
telah kita sebutkan di atas baik wasiat, petuah maupun perintah dari Imam Mahdi
as melalui mereka diriwayatkan secara mutawatir.[143]
Selain riwayat-riwayat di atas ada pula banyak riwayat yang
dengan jelas menyebutkan bahwa keempat duta di atas telah melihat Imam Mahdi di
masa mereka menjadi duta. Dan banyak juga riwayat yang mengatakan bahwa mereka
menemui Imam Mahdi di hadapan sejumlah orang Syi’ah, seperti yang akan kita
singgung di bawah ini, ketika menyebutkan nama mereka yang telah berkesempatan
melihat beliau as. Mereka adalah:
Abu Ahmad Ibrahim Bin Idris,[144]
Ibrahim Bin Ubdah Naisaburi,[145]
Ibrahim Bin Muhammad Tabrizi,[146]
Ibrahim Bin Mahziyar Abu Ishaq Ahwazi,[147]
Ahmad Bin Ishaq Bin Sa’ad Asy’ari[148]
yang melihat beliau pada kesempatan lain bersama Sa’ad Bin Abdillah Bin Abi
Khalaf Asy’ari (salah seorang guru ayah Shaduq dan Kulaini),[149]
Ahmad Bin Husein Bin Abdul Malik Abu Ja’far Azdi atau Audi (menurut riwayat yang
lain),[150]
Ahmad Bin Abdillah Hasyimi dari keturunan Abbas bersama dengan tiga puluh
sembilan orang lainnya,[151]
Abu Ali Ahmad Bin Muhammad Bin Muthahhar[152]
salah seorang sahabat Imam Hadi dan Imam Askari as, Ahmad Bin Hilal Abu Ja’far
‘Abarta’i seorang ghulat yang mal’un yang bersama dengan sejumlah orang
diantaranya Ali Bin Bilal, Muhammad Bin Mu’awiyah Bin Hakim, Hasan Bin Ayyub Bin
Nuh, dan Utsman Bin Said Amri ra beserta yang lainnya yang jumlah seluruhnya
empat puluh orang,[153]
Abu Sahl Ismail Bin Ali Nubakhti,[154]
Abu Abdillah Bin Shaleh,[155]
Abu Muhammad Hasan Bin Wajna’ Nashibi,[156]
Abu Harun salah seorang guru Muhammad Bin Hasan Karakhi,[157]
Ja’far Kadzdzab[158]
paman Imam Mahdi yang melihat beliau dua kali, Sayyidah Alawiyyah Hakimah Binti
Imam Jawad as,[159]
Zuhri atau Zahrani yang bersama dengan Amri,[160]
Rasyiq dari Mardai,[161]
Abul Qasim Ruhi,[162]Abdullah
Suri,[163]
Amr Ahwazi,[164]
Ali Bin Ibrahim Bin Mahziyar Ahwazi,[165]
Ali Bin Muhammad Syamsyathi utusan Ja’far Bin Ibrahim Yamani,[166]
Ghanim Abu Said Hindi,[167]
Kamil Bin Ibrahin Madani,[168]
Abu Amr Utsman Bin Said amri,[169]
Muhammad Bin Ahmad Anshari Abu Nuaim Zaidi yang melihat Imam bersama dengan Abu
Ali Mahmudi, Allan Kulaini, Abu Haitsam Dinari, Abu Ja’far Al Ahwal Hamdani yang
jumlah kesemuanya mendekati tiga puluh orang, termasuk Sayyid Muhammad Bin Qasim
Alawi Aqiqi,[170]
Sayyid Muhammad Bin Ismail Bin Imam Musa Bin Ja’far Musawi seorang keturunan
Rasulullah yang paling tua di zamannya,[171]
Muhammad Bin Ja’far Himyari yang mengepalai utusan Syi’ah dari kota Qom,[172]
Muhammad Bin Hasan Ubaidillah Tamimi Zaidi yang dikenal dengan Abu Surah,[173]
Muhammad Bin Shaleh Bin Ali Bin Muhammad Bin Qanbar Al Kabir budak Imam Ridha
as.[174]
Muhammad Bin Utsman Amri[175]
yang melihat beliau dengan izin Imam Askari as bersama empat puluh orang yang
lain diantaranya: Muawiyah Bin Hakim, Muhammad Bin Ayyub Bin Nuh,[176]
Ya’qub Bin Manqusy,[177]
Ya’qub Bin Dlarrab Ghassani[178]
dan Yusuf Bin Ja’fari.[179]
Kesaksian para wakil Imam Mahdi
Syekh Shaduq menyebutkan nama mereka yang menyaksikan mu’jizat
Al Mahdi dan melihatnya, baik dari kalangan para wakil beliau maupun dari selain
mereka, lengkap dengan daerah asal mereka. Sebagian dari mereka sudah kami
sebutkan. Jumlah mereka ini sedemikian banyaknya sehingga mustahil untuk
melakukan satu kebohongan bersama-sama, apalagi mereka berasal dari daerah yang
berbeda-beda. Sebagian dari mereka adalah sebagai berikut:
Wakil-wakil Imam:
Dari Baghdad: Al-Amri dan anaknya, Hajiz, Bilali, dan Al-Aththar
Dari Kufah: ‘Ashimi
Dari penduduk Ahwaz: Muhammad Bin Ibrahim Bin Mahziyar
Dari penduduk Qom: Ahmad Bin Ishaq
Dari penduduk Hamadan: Muhammad Bin Shaleh
Dari penduduk Rey: Basami, Asadi (Muhammad Bin Abi Abdillah Kufi)
Dari penduduk Azerbaijan: Qasim Bin ‘Ala’
Dari penduduk Naisabur: Muhammad Bin Syadzan
Kalangan umum:
Dari penduduk Baghdad: Abul Qasim Bin Abi Hulais, Abu Abdillah
Kindi, Abu Abdillah Junaidi, Qazzaz, Naili, Abul Qasim Bin Dubais, Abu Abdillah
BinFurukh, Masrur Thabekas budak Imam Hadi as, Ahmad Bin Hasan dan saudaranya
Muhammad, Ishaq penulis dari Bani Nubakht, dan yang lainnya.
Dari Hamadan: Muhammad Bin Kisymard, Ja’far Bin Hamdan, dan
Muhammad Bin Harun Bin Imran
Dari Dainur: Hasan Bin Harun, Ahmad Bin Ukhayyah, dan Abul Hasan
Dari Isfahan: Ibnu Basya dzalah
Dari Shaimarah: Zaidan
Dari Qom: Hasan Bin Nadhr, Muhammad Bin Muhammad, Ali Bin
Muhammad Bin Ishaq dan ayahnya, serta Hasan Bin Ya’qub
Dari penduduk Rey: Qasim Bin Musa, dan anaknya, Abu Muhammad Bin
Harun, Ali Bin Muhammad, Muhammad Bin Muhammad kulaini, dan Abu Ja’far Raffa’
Dari Qazwin: Mardas, dan Ali Bin Ahmad
Dari Naisabur: Muhammad Bin Syu’aib Bin Shaleh
Dari Yaman: Fadl Bin Yazid, Hasan Bin Fadl Bin Yazid, Ja’fari,
Ibnu A’jami, dan Ali Bin Muhammad Syamsyathi
Dari Mesir: Abu Raja’ dan yang lainnya
Dari Nashibain: Abu Muhammad Hasan Bin Wajna’ Nashibi
Sebagaimana juga disebutkan orang-orang yang telah melihat
beliau dari penduduk asal Syahrzur, Shaimarah, Fars, Qabis, dan Marw.[180]
Kesaksian para pelayan dan hamba sahaya
Selain yang disebutkan di atas, para pelayan dan hamba sahaya
yang berada di rumah Imam Hasan Askari as juga telah menyaksikan beliau. Mereka
antara lain adalah:
Tharif pembantu Abu Nasr,[181]
seorang pelayan Ibrahim Bin Abdah Naisaburi yang telah melihat Imam bersama
dengan tuannya,[182]
Abul Adyan.[183]
Abu Ghanim mengatakan “Imam Askari telah dikaruniai seorang anak-laki-laki yang
diberi nama Muhammad. Anak itulah yang diperlihatkan kepada para sahabat beliau
tiga hari setelah kelahirannya, seraya berkata” Dialah yang akan menjadi
pemimpin kalian sepeninggalku nanti. Dialah yang mengemban tugas ini setelahku.
Dialah Al Qaim yang kedatangannya dinanti-nantikan, tatkala bumi telah dipenuhi
oleh kezaliman untuk memenuhinya dengan keadilan.”[184]
Selain itu, Aqid[185]
dan seorang wanita tua pembantu di rumah Imam Askari[186]
serta budak wanita Abu Ali Khaizarani yang dihadiahkan kepada Imam as[187]
juga menyaksikannya. Dari hamba-hamba sahaya yang melihat beliau disebutkan dua
wanita bernama, Nasim[188]
dan Mariah.[189]
Masrur si juru masak, bekas budak Imam Hadi as juga menyaksikan hal yang sama.[190]
Mereka yang namanya disebut diatas memberikan kesaksian sama
dengan yang diberikan oleh Abu Ghanim pembantu rumah tangga Imam Askari as.
Penggeledahan Rumah Imam Askari
Imam Hasan Askari as lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 232 H,
dan hidup dimasa pemerintahan tiga penguasa bani Abbas Mereka adalah: Mu’tazz (meninggal
pada tahun 255 H), Muhtadi (meninggal tahun 256 H), dan Mu’tamid (meninggal
tahun 279 H).
Khalifah Mu’tamid terkenal sebagai seorang khalifah yang sangat
membenci Ahli Bait as. Bagi mereka yang akrab dengan kitab-kitab sejarah seperti
Tarikh Thabari dan menelaah semua kejadian ynag terjadi pada tahun 257, 258 259
dan 260 H, akan mengetahui dengan jelas sejauh mana bencinya khalifah ini kepada
Ahli Bait as dan para Imamnya.
Allah swt telah mengazabnya di dunia, sampai-sampai dimasa
pemerintahnnya, dia tidak memiliki uang. Dia mati dengan keadaan yang sangat
mengenaskan, dengan dilemparkan ke dalam timah cair oleh orang-orang Turki
karena mereka tidak menyukainya, seperti yang disepakati oleh para ahli sejarah.
Di antara contoh perbuatannya yang hina adalah, bahwa setelah
Imam Askari wafat dia memerintahkan prajuritnya untuk menggeledah rumah Imam
Askari dengan teliti dan mencari Imam Mahdi. Dia memerintahkan untuk menahan
para hamba sahaya Imam Askari dan memenjarakan para istri beliau dengan dibantu
oleh Ja’far Kadzdzab yang berharap dapat menduduki tempat kakaknya, Imam Askari,
di hati para kaum Syi’ah.
Hal itulah yang menyebabkan segala penderitaan -seperti yang di
sebutkan oleh Syekh Mufid- yang dialami oleh keluarga Imam Askari sepeninggal
beliau, seperti, penangkapan, penjara, ancaman, ejekan, cemoohan, dan hinaan.[191]
Semua ini terjadi disaat Imam Mahdi berusia lima tahun. Khalifah
tidak perduli akan usia setelah tahu bahwa anak ini adalah Imam yang mengancam
kelanggengan singgasana thaghut, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan
secara mutawatir, bahwa Imam keduabelas dari silsilah para imam Ahli Bait akan
memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.
Oleh karena itulah sikap dia terhadap Imam Mahdi dari umat ini
sama dengan sikap Fir’aun terhadap Nabi Musa as yang dilemparkan oleh ibunya -karena
takut akan makarnya- ke dalam sungai ketika masih bayi.
Bukan hanya Mu’tamid yang mengetahui kenyataan ini.
Khalifah-khalifah sebelumnya, seperti Mu’taz dan Mahdi Abbasi juga telah
mengetahui hal ini. Karenanya Imam Askari berusaha agar kelahiran putranya, Al
Mahdi tidak tersebar dan diketahui oleh khalayak ramai kecuali oleh para
pengikut setianya. Hal itu dilakukan dengan cara dan taktik-taktik yang rapi
untuk menjaga para pemuka madzhab Syi’ah dari perselisihan sepeninggal beliau
as.
Diantara cara yang beliau lakukan
adalah memberitahu mereka dalam banyak kesempatan akan keberadaan Mahdi yang
dijanjikan seraya memerintahkan mereka untuk merahasiakan hal tersebut. Sebab
penguasa yang zalim telah mengetahui bahwa beliau adalah Imam keduabelas yang
disebutkan dalam hadits Jabir Bin Samurah yang diriwayatkan Ahli Sunnah dengan
penegasan akan kemutawatirannya.
Jika tidak demikian, apa yang dapat dilakukan oleh seorang anak
usia lima tahun yang dapat mengancam kekuasaan Mu’tamid ? Jika dia tidak
meyakini bahwa anak itu adalah Mahdi yang dinantikan, yang dalam banyak hadits
mutawatir disebutkan dengan jelas akan melakukan suatu pekerjaan yang besar juga
apa yang kelak akan dilakukannya terhadap para penguasa zalim setelah
kemunculannya.
Jika masalahnya bukan seperti yang kita utarakan di atas,
mengapa penguasa kala itu tidak puas dengan kesaksian Ja’far Kadzdzab yang
mengklaim bahwa saudaranya, Imam Askari as wafat tanpa meninggalkan seorang
anakpun ?
Bukankah khalifah bisa langsung memberikan harta warisan Imam
Askari kepada Ja’far tanpa harus melakukan tindakan bodoh yang menunjukkan akan
kecemasan dan ketakutannya terhadap putra Imam Askari (semoga Allah mempercepat
kedatangannya) ?
Mungkin ada yang mengatakan bahwa rasa tanggung jawab untuk
memberikan sesuatu kepada yang berhak telah mendorong khalifah untuk melakukan
pencarian putra Imam Askari as, sehingga Ja’far Kadzdzab tidak dapat menguasai
harta warisan itu sendiri hanya dengan kesaksiannya.
Kita katakan: Jika memang demikian, khalifah tidak layak untuk
melakukan sendiri pencarian putra Imam Askari dengan tindakan yang ceroboh. Dia
bahkan dapat menyerahkan penyelesain masalah kesaksian Ja’far Kadzdzab kepada
salah seorang hakim. Karena kasus ini termasuk kasus yang menyangkut warisan
yang terjadi beberapa kali dalam sehari. Ketika itu hakim dapat melakukan
penelitian dengan memanggil ibunda Imam Askari, istri, para hamba sahaya
ataupun kerabat dekat beliau dari kalangan Bani Hasyim untuk dimintai
kesaksiannya. Setelah mendengar kesaksian mereka dan membuktikan kebenaran
kesaksian yang mereka berikan itu, dia lantas memutuskan berdasarkan bukti-bukti
yang ada.
Adapun turun tangannya khalifah secara langsung dalam tempo yang
relatif singkat, bahkan sebelum Imam Askari as sempat dimakamkan, keluarnya
kasus ini dari ruang kerja hakim padahal kasus ini adalah pekerjaan seorang
hakim, juga tindakan buas yang dilakukan oleh tentara khalifah dengan menyerang
kediaman Imam Askari as sepeninggal beliau, kesemua itu menunjukkan bahwa
khalifah meyakini kelahiran Imam Mahdi walapun belum pernah melihatnya secara
langsung. Sebab dia tahu bahwa anak inilah Imam kedua belas dari Ahli Bait as,
seperti yang telah kami singgung di atas.
Karenanya, khalifah datang mencari putra Imam Askari bukan untuk
memberikan harta warisan sang ayah kepadanya, akan tetapi untuk menangkap dan
menghabisinya setelah tidak menemukannya di masa hidup ayah beliau Imam Askari
as.
Dari sinilah dikatakan bahwa salah satu rahasia keghaiban beliau
adalah kecemasan akan keselamatannya, seperti yang telah anda saksikan dalam
pembahasan-pembahasan yang lalu dari hadits-hadits yang disampaikan oleh
kakek-kakek beliau berpuluh-puluh tahun sebelum terjadi.
Kesaksian para ahli nasab
Tidak diragukan lagi, bahwa untuk mengetahui suatu masalah, kita
harus merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidang tersebut.
Tentang masalah yang sedang kita hadapi ini, para ahli nasab lebih berhak untuk
berkomentar. Marilah kita dengar pendapat mereka dalam masalah ini:
1. Ahli nasab terkenal Abu Nasr Sahl Bin Abdullah Bin Daud Bin
Sulaiman Bukhari, yang hidup di abad keempat hijriyah, tepatnya beliau hidup
sampai tahun 341 H. Beliau termasuk salah satu ahli nasab terkenal yang hidup
dizaman Ghaibah Shughra yang berakhir pada tahun 329 H.
Dalam kitab Sirr Al Sisilat Al ‘Alawiyyah, beliau mengatakan
“Putra Ali Bin Muhammad Taqi as yang bernama Hasan Bin Ali Askari as dari
seorang hamba sahaya suku Naubiyyah yang lebih dikenal dengan sebutan Rayhanah.
Beliau dilahirkan pada tahun 231 H, dan wafat 260 H di kota Samarra’ dalam usia
29 tahun. Putra Ali Bin Muhammad Taqi as yang lainnya adalah Ja’far yang disebut
oleh Syi’ah Imamiyyah dengan sebutan Kadzdzab (Pembohong). Mereka
menyebutnya demikian karena dia mengklaim bahwa dialah yang berhak melanjutkan
imamah saudaranya, Hasan Bin Ali as bukan putra beliau Al Qaim Al Hujjah as.”[192]
2. Sayyid Amri, ahli nasab terkenal dan seorang ulama abad
kelima hijriyah, mengatakan demikian, “Abu Muhammad Askari wafat, dalam keadaan
para shahabat dan keluarganya yang setia telah mengetahui putra beliau yang
lahir dari rahim Narjis. Dalam kesempatan mendatang kami akan jelaskan cerita
tentang kelahirannya dan hadits-hadits mengenainya. Kaum mu’minin bahkan semua
manusia diuji oleh Allah dengan ghaibnya. Ja’far Bin Ali yang rakus akan harta
warisan dan kedudukan saudaranya menafikan keberadaan putra saudaranya. Dia
bersama dengan Fir’aun zamannya bahu-membahu melakukan penahanan terhadap para
sahaya Abu Muhammad.[193]
3. Fakhrur Razi Syafi’i (wafat 606 H) dalam kitabnya Al Syajarat
Al Mubarakah Fi Ansabi Al Thalibiyyah di bawah judul Anak-anak Imam Hasan
Askari as, mengatakan sebagai berikut “Adapun Imam Hasan Askari as, beliau
memiliki dua orang putra dan dua orang putri. Salah satu dari kedua putra beliau
tersebut adalah Mahdi Shahibuz Zaman (semoga Allah mempercepat kehadirannya) dan
yang lain adalah Musa yang telah meninggal dimasa ayahnya masih hidup.Kedua
putri beliau adalah Fatimah dan Ummu Musa yang kedua meninggal dunia mendahului
sang ayah.”[194]
4. Muruzi Azwarqani (wafat 614 H atau setelahnya) di dalam kitab
Al Fakhr telah menyifati Ja’far Bin Imam Hadi as yang mengingkari kelahiran
putra saudaranya dengan Kadzdzab[195]
yang menunjukkan bahwa beliau meyakini kelahiran Imam Mahdi as.
5. Ahli nasab bernama Sayyid Jamaluddin Ahmad Bin Ali Huseini
yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Inabah (wafat 828 H), beliau dalam Umdatuh Al
Thalib Fi Ansabi Aali Abi Thalib mengatakan: “Adapun Ali Hadi, beliau tinggal di
Samarra’, yang dikenal sebagai kamp militer. Ibu beliau adalah sahaya. Beliau
adalah seorang yang sangat mulia dan terhormat. Khalifah Mutawakkil Abbasi
menahannya di sana sampai wafat dan dimakamkan di situ. Beliau memiliki dua
orang putra: Imam Abu Muhammad Hasan Askari as yang dikenal kezuhudan dan
kepandaiannya. Beliau inilah ayah dari Imam Muhammad Mahdi as, imam kedua belas
menurut kepercayaan Syi’ah Imamiyyah dan dikenal sebagai Qaim yang
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh mereka. Lahir dari ibu bernama Narjis.
Saudara Imam Askari bernama Abu Abdillah Ja’far yang dikenal Kadzdzab karena
mengaku sebagai imam setelah kakaknya, Hasan.”[196]
Dalam kitab Al Fushul Al Fakhriyyah, beliau mengatakan “Abu
Muhammad Hasan Askari -Askar adalah kota Samarra’- dan ayahnya dipindahkan ke
kota tersebut dari Medinah oleh Mutawakkil. Dialah Imam kesebelas dari dua belas
Imam. Beliau adalah ayah dari Muhammad Mahdi as, Imam kedua belas.”[197]
6. Sayyid Abul Hasan Muhammad Huseini Yamani Shan’ani yang
bermadzhab Zaidiyyah dari ulama abad kesebelas hijriyyah. Dalam silsilah yang
digambarnya untuk menjelaskan nasab anak-cucu Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir Bin
Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib as, di bawah nama Imam Ali Naqi yang juga
dikenal dengan Hadi, dia mencantumkan nama lima orang anak beliau. Mereka adalah:
Imam Hasan Askari, Husein, Musa, Muhammad dan Ali. Dan di bawah nama Imam Askari
tercantum langsung nama Muhammad Bin Hasan, seraya menambahkan, bahwa inilah
yang dinanti-nantikan oleh Syi’ah Imamiyyah.[198]
7. Muhammad Amin Suwaidi (wafat 1246 H). Dalam kitab “Sabaiku Al
Dzahab Fi Ma’rifat Qabail Al Arab, beliau mengatakan “Muhammad Mahdi, ketika
ayah beliau wafat, berumur lima tahun. Tingginya sedang, wajah dan rambutnya
indah, hidungnya mancung dan dahinya lebar.”[199]
8. Muhammad Wais Haidari Suri dalam kitabnya Al Durar Al
Bahiyyah Fi Al Ansab Al Haidariyyah wa Al Uwaisiyyah, ketika menjelaskan
anak-anak Imam Hadi as mengatakan “Beliau memiliki lima orang anak: Muhammad,
Ja’far, Husein, Imam Hasan Askari dan ‘Aisyah. Hasan Askari dilahirkan di
Medinah pada tahun 231 H dan wafar di Samarra’ pada tahun 260 H. Imam Muhammad
Mahdi disebutkan tidak memiliki keturunan sama sekali.”[200]
Kemudian beliau memberikan komentarnya “Beliau (Imam Muhammad
Mahdi) lahir para pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H. Ibunda beliau bernama
Narjis. Beliau memiliki sifat antara lain: berkulit bersih, berdahi lebar,
alisnya panjang, pipinya indah, hidung mancung, tampan dan gagah. Wajahnya
seakan Bintang yang benderang. Di pipi sebelah kanannya terdapat tanda seperti
serpihan kesturi perak. Rambutnya melebihi daun telinganya. Tak ada satu matapun
yang telah menyaksikan orang lebih sempurna darinya. tak seorang yang menandingi
keindahan, ketenangan dan rasa malunya.”[201]
Inilah pernyataan yang di berikan oleh para ahli nasab tentang
kelahiran Imam Mahdi as, dari mereka terdapat orang Sunni, Zaidi juga Syi’i.
Dalam pepatah dikatakan “Penduduk Mekah lebih mengetahui lembah-lembahnya dari
pada selain mereka.”
Pengakuan Ulama Ahli Sunnah Akan Kelahiran Imam Mahdi AS
Terdapat banyak pengakuan yang dibukukan oleh para ulama Ahli
Sunnah dengan pena mereka seputar masalah kelahiran Imam Mahdi as. Sebagian
orang telah melakukan penelitian dan mengumpulkan pernyataan-pernyataan tersebut
secara khusus. Sebagian mereka hidup sezaman. Di mulai dari zaman Ghaibah
Shughra (antara tahun 260 H sampai tahun 329 H) sampai dengan masa kita sekarang.
Kita hanya akan menyebutkan sebagian saja. Bagi mereka yang
ingin mengetahui lebih banyak lagi silahkan merujuk kumpulan-kumpulan dari
pernyataan-pernyataan tersebut.[202]
Mereka adalah:
1. Ibnul Atsir ‘Izzuddin Jazari (wafat 630 H). Dalam kitab Al
Kamil Fi Al Tarikh ketika menyebutkan peristiwa yang terjadi pada tahun 260 H,
beliau mengatakan “Pada tahun tersebut wafat Imam Abu Muhammad Alawi Askari,
salah seorang Imam madzhab Syi’ah Imamiyyah. Beliau adalah ayah Muhammad yang
mereka yakini sebagai Mahdi yang dinanti-nantikan.”[203]
2. Ibnu Khalikan (wafat 681H), dalam Wafayat Al A’yan mengatakan
“Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Askari Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad yang telah
kami sebutkan di atas, adalah Imam kedua belas menurut kepercayaan Syi’ah
Imamiyyah, yang dikenal dengan Hujjah, beliau lahir pada hari Jum’at pertengahan
bulan Sya’ban tahun 255 H.” Kemudian beliau menukil kata-kata ahli sejarah
lainnya Ibnul Azraq Fariqi (wafat 577 H), yang dalam Tarikh Mayyafariqin
mengatakan “Hujjah yang namanya telah disebutkan ini lahir pada tanggal 9 Rabiul
Awwal tahun 258 H, dan menurut riwayat yang lain lahir pada tanggal 8 Sya’ban
tahun 256 H, pendapat inilah yang lebih tepat.”[204]
Pendapat yang benar adalah yang disebutkan oleh Ibnu Khalikan
pertama kali, yaitu pertengahan Sya’ban tahun 255 H. Pendapat inilah yang
disepakati oleh jumhur ulama Syi’ah Imamiyyah. Dalam hal ini mereka mengeluarkan
banyak riwayat yang sahih dan didukung dengan kesaksian para ulama terdahulu.
Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Kulaini yang hidup dimasa Ghaibah Shughra
sebagai pendapat yang diakui oleh semua orang dan beliau mengutamakannya
daripada pendapat-pendapat lain yang bertentangan dengannya. Dalam bab tentang
kelahiran Imam Mahdi as, beliau berkata “Imam Mahdi lahir pada pertengahan bulan
Sya’ban tahun 255 H.”[205]
Syekh Shaduq (wafat 381 H) menukil dari gurunya Muhammad Bin
Muhammad Bin ‘Isham Kulaini dari Muhammad Bin Ya’qub Kulaini dari Ali Bin
Muhammad Bin Bindar,dia berkata “Imam Shahibuz Zaman lahir pada pertengahan
bulan Sya’ban tahun 255H.”[206]
Di dalam kitabnya Kulaini tidak menyandarkan pendapatnya kepada
Ali Bin Muhammad Bin Bindar karena menilai bahwa hal ini sudah masyhur dan
merupakan satu hal yang telah disepakati.
3. Dzahabi (wafat 748 H) mengakui kelahiran Imam Mahdi dalam
tiga kitabnya. Adapun kitab-kitabnya yang lain kita tidak melacaknya.
Dalam kitab Al ’Ibar, beliau mengatakan: “Pada tahun 256 H lahir
Muhammad Bin Hasan Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad Bin Ali Ridha Bin Musa Kadzim
Bin Ja’far Shadiq Al-Alawi Al-Huseini. Dialah Abul Qasim yang diberi gelar oleh
Syi’ah dengan sebutan Khalaf, Hujjah, Mahdi, Muntadzar juga Shahibuz
Zaman. Dialah penutup silsilah dua belas orang Imam.”[207]
Dalam kitab Tarikh Duwal Al Islam, ketika menyebutkan biografi
Imam Hasan Askari mengatakan “Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Ridha Bin Musa
Bin Ja’far Shadiq, Abu Muhammad Al-Hasyimi Al-Huseini, salah seorang Imam Syi’ah
yang diyakini kemaksumannya. Beliau juga disebut Hasan Askari karena tinggal di
Samarra’, yang dikenal dengan Askar. Beliau adalah ayah Imam yang
dinanti-nantikan oleh Syi’ah. Beliau wafat di Samarra’ pada tanggal 8 Rabiul
Awal tahun 260 dalam usia 29 tahun dan dimakamkan di samping ayahandanya.
Adapun putra beliau, Muhammad Bin Hasan yang disebut oleh Syi’ah
dengan Qaim, Khalaf, dan Hujjah, lahir pada tahun 258 H dan menurut riwayat
lainnya tahun 256 H.[208]
Di dalam kitab Siyar A’lam Al Nubala’, beliau berkata “Muntadzar
yang mulia, Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Bin Ali Hadi Bin Muhammad Jawad Bin
Ali Radhi Bin Musa Kadzim Bin Ja’far Shadiq Bin Muhammad Baqir Bin Zainul Abidin
Ali Bin Husein Syahid Bin Imam Ali Bin Abi Thalib Al-Alawi Al-Huseini penutup
silsilah dua belas imam.”[209]
Pernyataan Dzahabi di atas telah kita terangkan sebelumnya.
Adapun mengenai keyakinannya tentang Imam Mahdi sebenarnya, dapat kita lihat
dari seluruh perkataannya yang lain. Dia -juga orang selainnya- tengah menunggu
fatamorgana seperti yang telah kita singgung mengenai mereka yang meyakini bahwa
Al-Mahdi adalah Muhammad Bin Abdillah.
4. Ibnul Wardi (wafat 749 H) di bagian akhir Tatimmat Al
Mukhtashar atau yang dikenal dengan Tarikhu Ibn Al Wardi mengatakan, “Muhammad
Bin Hasan yang suci lahir pada tahun 255 H.”[210]
5. Ahmad Bin Hajar Haitami Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitab Al
Shawaiq Al Muhriqah, di akhir pasal ketiga, bab kesebelas mengatakan, “Abu
Muhammad Hasan yang suci, yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan sebagai Askari,
lahir pada tahun 231 H... wafat di Samarra’ serta dimakamkan disamping ayah dan
pamannya. Beliau berusia 28 tahun. Menurut riwayat beliau wafat karena diracun.
Tidak disebutkan adanya anak beliau selain Abul Qasim Muhammad Hujjah yang
berusia lima tahun tatkala ayahnya meninggal, akan tetapi Allah telah
menganugerahinya hikmah. Beliau juga dikenal dengan Qaim, Muntadzar. Menurut
sebagian orang beliau disembunyikan di kota Medinah lalu ghaib dan tak diketahui
ke mana perginya.”[211]
6. Syabrawi Syafi’i (wafat 1171 H) dalam kitabnya Al Ithaf,
menegaskan kelahiran Imam Mahdi Muhammad Bin Hasan Askari as dimalam pertengahan
bulan Sya’ban tahun 255 H.[212]
7. Mu’min Bin Hasan Syablanji (wafat 1308 H) dalam kitabnya Nur
Al Abshar menyebutkan nama dan nasab suci Imam Mahdi dengan gelar kehormatan,
sebutan akrab beliau dalam satu perkataan yang panjang, di antaranya beliau
mengatakan “Dia adalah Imam terakhir dari dua belas orang Imam yang diyakini
oleh Syi’ah Imamiyyah.” Setelah itu dia menukil satu masalah dari Tarikh Ibn Al
Wardi yang telah kami sebutkan di nomer 4.[213]
8. Khairuddin Zarkali (wafat 1396 H) dalam kitab Al A’lam ketika
menyebutkan biografi tentang Imam Mahdi mengatakan “Muhammad Bin Hasan Askari
Khalis Bin Ali Hadi, dikenal dengan Abul Qasim, adalah imam terakhir dari dua
belas Imam yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah. beliau lahir di Samarra’,
berumur lima tahun ketika ayahandanya wafat. Menurut riwayat beliau dilahirkan
pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 255 H dan ghaib pada tahun 265 H.”[214]
Ghaibah Sughra beliau dimulai pada tahun 260 H, sesuai dengan
kesepakatan para ulama Syi’ah dan mereka mempunyai tulisan dalam masalah ghaibah
beliau sejauh yang kami ketahui. Mungkin yang kita dapatkan dari pernyataan dari
kitab Al A’lam di atas karena kesalahan cetak. Karena Zarkali dalam kitabnya
tersebut tidak menyebut tahun tersebut dengan huruf melainkan dengan angka.
Sangat mungkin sekali terjadi kesalahan dalam mencetak angka.
Dan pengakuan-pengakuan ulama lainnya yang jumlahnya sangat
banyak dan tidak mungkin kami sebutkan semua dalam buku kecil ini.
Penegasan ulama Ahli Sunnah
Terdapat banyak pernyataan ulama Ahli Sunnah yang khusus
menyebutkan bahwa Mahdi yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman ini adalah
Muhammad Bin Hasan Askari as, Imam kedua belas dari silsilah para Imam Ahli Bait
as, yang mana mereka semua adalah Imam bagi seluruh kaum muslimin dan tidak
hanya bagi Syi’ah, seperti yang di sayangkan telah dikatakan oleh sebagian orang.
Seakan-akan Nabi saw hanya mewasiatkan kepada Syi’ah untuk memegang teguh dua
pusaka peninggalan beliau, Al-Qur’an dan Ithrah beliau, Ahli Bait AS.
Bagaimanapun juga kami hanya akan menukil sebagian dari mereka
yang obyektif dalam mengutarakan suatu kenyataan. Mereka antara lain adalah:
1. Muhyiddin Ibnul ‘Arabi (wafat 638 H). Beliau dalam kitabnya
Al Futuhat Al Makkiyyah bab ke-366 dari pembahasan kelima, seperti yang dinukil
dari beliau oleh Abdul Wahhab Bin Ahmad Sya’rani Syafi’i (wafat 973 H) di dalam
kitabnya Al -Yawaqitu wa Al Jawahir. Seperti yang dinukil juga oleh Hamzawi
dalam Masyariq Al Anwar dan Shabban dalam Is’afur RaghiBin. Hanya saja mereka
yang mengaku sebagai penjaga khazanah pustaka Islam menghapus pengakuan beliau
ini dalam cetakan-cetakan berikutnya. Sebab setelah kami merujuk ke kitab
tersebut dalam cetakan yang berbeda-beda tidak kami dapatkan bab seperti bab di
atas, seperti yang dinukil oleh Sya’rani.
Beliau mengatakan “Bunyi teks dari bab ke-366 dari kitab Al
Futuhat karya Syekh Muhyiddin adalah sebagai berikut: Ketahuilah bahwa kelak
pasti akan muncul Al Mahdi as. Tapi kemunculannya akan didahului oleh penuhnya
dunia ini dengan kezaliman yang kemudian akan beliau penuhi dengan keadilan.
Jika umur dunia tingal satu hari saja, Allah swt akan memanjangkan hari itu
sampai beliau memerintah dunia dengan keadilan. Beliau dari kelurga Rasulullah
saw dari keturunan Fatimah. Kakeknya adalah Husein Bin Ali Bin Abi Thalib dan
ayahnya adalah Hasan Askari Bin Imam Ali Naqi”[215]
2. Kamaluddin Muhammad Bin Thalhah Syafi’i (wafat 652 H) dalam
kitabnya Mathalib Al Saul mengatakan “Abul Qasim Muhammad Bin Hasan Khalis Bin
Ali Mutawakkil Bin Muhammad Qani’ Bin Ali Ridha Bin Musa Kadzim Bin Ja’far
Shadiq Bin Muhammad Baqir Bin Ali Zainul Abidin Bin Husein Zaki Bin Ali Murtadha
Amirul Mu’minin Bin Abi Thalib, bergelar Mahdi, Hujjah, Khalafush Shalih dan
Muntadzar, rahmat dan barakat Allah semoga tercurahkan kepadanya.”
Lalu beliau membawakan satu bait syair:
Inilah Khalaf Hujjah yang Allah bekali
Inilah jalan kebenaran dan budi pekerti yang tinggi[216]
3. Sibth Ibnul Jauzi Hanbali (wafat 654 H) di dalam kitab
Tadzkirat Al Khawash mengatakan tentang Imam Mahdi “Beliau adalah Muhammad Bin
Hasan Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Bin Musa Ridha Bin Ja’far Bin Muhammad Bin
Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Gelar beliau adalah Abu Abdillah dan Abul
Qasim Sebutan beliau Khalaf, Hujjah, Shahibuz Zaman, Qaim, Muntadzar, dan Tali.
Beliaulah penutup para Imam.”[217]
4. Muhammad Bin Yusuf Abu Abdillah Kunji Syafi’i (terbunuh pada
tahun 658 H), pada bagian akhir kitabnya Kifayah Al Thalib ketika membicarakan
Imam Hasan Askari as mengatakan “Beliau lahir di Medinah pada bulan Rabiul Awwal
tahun 232 H dan wafat pada hari Jum’at 8 Rabiul Awwal tahun 260 H dalam usia 28
tahun dan dimakamkan di rumahnya di kota Samarra’ di samping ayahandanya. Beliau
wafat dengan meninggalkan seorang anak yaitu Imam Muntadzar as. Kami akhiri
kitab ini dengan menceritakan hal ihwal beliau.”
Kemudian beliau menyebutkan, masalah yang menyangkut Imam Mahdi
Muhammad Bin Hasan Askari as dalam sebuah kitab secara khusus yang diberi nama
Al Bayan Fi Akhbar Shahib Al Zaman yang dicetak dalam sjilid sebagai lampiran
kitabnya yang pertama Kifayah Al Thalib. Di dalam kitab itu beliau menyebutkan
banyak hal yang di akhiri dengan pernyataan bahwa Imam Mahdi sekarang ini hidup,
dari ghaibah beliau sampai kelak akan muncul untuk memenuhi dunia dengan
keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.[218]
5. Nuruddin Ali Bin Muhammad Bin Shabbagh Maliki (wafat 855 H)
dalam kitabnya Al Fushul Al Muhimmah beliau menulis satu bab dengan judul “Bab
Mengenai Abul Qasim Hujjah, Khalafush Shaleh Ibnu Abi Muhammad Hasan Khalis,
imam kedua belas.”
Dalam bab ini beliau membuktikan kebenaran kata-kata Kunji
Syafi’i, dengan mengatakan “Al Qur’an dan sunnah membuktikan bahwa Al Mahdi
hidup di tengah-tengah kita semenjak ghaibnya beliau dan bahwa tidak ada
halangan untuk berumur panjang seperti Isa Bin Maryam, Khidhr, dan Ilyas dari
kalangan para waliyullah, juga si mata satu Dajjal atau Iblis yang mal’un dari
kalangan musuh-musuh Allah.”
Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan
sunnah, dengan membawakan bukti-bukti sejarah kelahiran beliau, dalil-dalil
imamah, sekelumit kehidupan dan ghaibahnya. Juga mengenai pemerintahannya yang
mulia, gelar kehormatan, nasab dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan Imam
Mahdi Muhammad Bin Hasan Askari as.[219]
6. Fadl Bin Ruzbehan (wafat 909 H). Dalam kitabnya Ibthal Al
Bathil, beliau mengutarakan syair yang indah berkenaan dengan Ahli Bait, seraya
mengatakan “Sebaik-baik yang dapat kukatakan tentang mereka adalah bait-bait di
bawah ini:
Salam sejahtera atas Musthafa, Mujtaba
Salam atas sang pemimpin (Ali) Murtadha
Salam atas junjungan kami Fatimah Zahra
Yang telah Allah jadikan sebaik-baik wanita
Salam atas dia yang bernapaskan kesturi
Hasan yang pintar dan diredhai
Salam atas Husein yang mulia
Sang syahid yang jasadnya disaksikan tanah Karbela
Salam atas penghulu para ahli ibadah
Ali putra Husein yang terpilih
Salam atas Baqir yang mendapat petunjuk
Salam atas Shadiq tempat orang merujuk
Salam atas Kadzim yang telah teruji
Imam bagi yang bertaqwa dengan perangai terpuji
Salam atas Imam kedelapan penyimpan amanat
Ali Ridha pemimpin orang-orang yang taat
Salam atas Muttaqi yang bertaqwa
Muhammad yang bersih tempat merajut asa
Salam atas Naqi yang cekatan dalam kebajikan
Ali yang mulia, penunjuk jalan bagi semua insan
Salam atas Askari sang pemimpin
Imam yang membentuk pasukan kebenaran
Salam atas Qaim yang dinantikan kedatangannya
Abul Qasim penunjuk jalan dengan cahayanya
Akan muncul bak mentari mengoyak kegelapan
Diiringi oleh para jawara dengan pedang pilihan
Sosok perkasa yang mengisi dunia dengan keadilan
Setelah para durjana berpesta kezaliman
Salam sejahtera atasnya dan atas nenek moyangnya
dan para pembelanya, selama langit masih ada[220]
7. Syamsuddin Muhammad Bin Thulun Hanafi sejarawan dari Damaskus
(wafat 953 H), dalam kitabnya Al Aimmah Al Itsna ‘Asyar, mengenai Imam Mahdi
beliau mengatakan “Al Mahdi lahir pada hari Jum’at pertengahan bulan Sya’ban
tahun 255 H. Ketika ayahnya, yang telah kami sebutkan di atas, wafat beliau
masih berusia lima tahun.”[221]
Lalu beliau menyebutkan kedua belas orang Imam as, dengan
mengatakan, “Saya telah menyusun beberapa bait syair tentang mereka:
Ikutilah para Imam, dua belas orang jumlahnya
Dari keluarga Musthafa, sebaik-baik manusia
Abu Turab (Ali), Hasan, Husein
Membenci Zainul Abidin, suatu keburukan
Muhammad Baqir, sedalam apakah ilmunya ?
Shadiq, panggillah ia dengan nama Ja’far dihadapan manusia
Musa, dengan gelarKadzim dan putranya Ali
Bergelar Ridha, berderajat tinggi
Muhammad Taqi dengan hati yang penuh
Ali Naqi, dengan mutiaranya yang bertebaran jatuh
Askari Hasan orang yang suci
Muhammad Mahdi yang akan muncul nanti[222]
8. Ahmad Bin Yusuf Abul Abbas Qirmani Hanafi (wafat 1019 H)
dalam kitabnya Akhbar Al Duwal Wa Atsar Al Uwal pada pasal kesebelas tentang
Abul Qasim Muhammad Hujjah Khalafush Shaleh, mengatakan “Ketika ayahnya wafat,
beliau masih berusia lima tahun. Akan tetapi Allah telah menganugerahinya hikmah
seeperti yang telah Dia lakukan terhadap Yahya as dalam usia belia. Beliau
memiliki tinggi badan sedang, dengan paras dan rambut yang menawan, hidung yang
mancung, dahi yang lebar. Para ulama bersepakat[223]
bahwa Al-Mahdi adalah sang Qaim yang akan muncul di akhir zaman nanti, seperti
yang disebutkan dalam banyak riwayat tentang kemunculannya. Banyak hadits yang
menyebutkan akan terbit nur Al Mahdi yang menyingkirkan kekelaman zaman. Segala
macam kegelapan akan sirna dengan kemunculannya, laksana kegelapan malam yang
sirna dengan datangnya pagi. Keadilan akan merata memenuhi segala penjuru dan
akan lebih terang dari bulan purnama.”[224]
9. Sulaiman Bin Ibrahim yang lebih dikenal dengan Qunduzi Hanafi
(wafat 1270 H). Beliau termasuk salah satu ulama madzhab Hanafi yang menyatakan
dengan tegas kelahiran Imam Mahdi AS, dan bahwa dialah sang Qaim yang
dinanti-nantikan. Dalam pembahasan-pembahasan yang lalu telah kami sebutkan
banyak dari perkataan beliau dalam masalah ini. Tapi tidak salah jika
menyebutkan perkataan beliau yang satu ini, “Riwayat yang telah maklum dan
diterima oleh para tsiqah adalah bahwa Qaim lahir pada malam lima belas bulan
Sya’ban tahun 255 H di Samarra’.”[225]
Sampai di sini saja kami cukupkan dengan sedikit catatan bahwa
para ulama yang dengan tegas menyatakan kelahiran Imam Mahdi atau yang
menegaskan bahwa beliau as adalah Mahdi yang dijanjikan yang ditunggu-tunggu
kedatangannya di akhir zaman, yang tidak kami sebutkan di dalam buku ini
berlipat kali lebih banyak dari yang kami sebutkan. Sebelumnya sudah kami
singgung adanya kajian-kajian yang mengumpulkan pernyataan-pernyataan para ulama
tersebut dalam bentuk buku.
[1]
Iqdud Dura hal: 42-44 bab pertama, rujuk pula Mustadrak Hakim 4 hal:
553, Majmauz Zawaid 7 hal: 115.
[2]Sunan Ibnu
Majah 2 Hal: 1368 bab “Khurujul Mahdi”, Mustadrak Hakim 3 hal 211, Syekh
Thusi, Kitab Al-Ghaibah hal: 113, Suyuthi, Jam’ul Jawami’1 hal: 851.
[3]Iqdud
Durar hal: 195 bab ketujuh
[4]Yang
kami dengan mengkhususkan di sisni adalah nasab Al-Mahdi lebih khusus dari
yang telah dikatakan sebelumnya bahwa beliau dari keturunan Qureisy secara
umum..
[5]
Mufid, Al-Irsyad 2 hal: 370-371, Iqdud Durar hal: 149 bab keempat.
[6]
Sunan Ahmad 5 hal: 277.
[7]
Sunan Ibnu Majah 2 hal 1336/4082.
[8]
(105) Sunan Tirmidzi 4 hal: 531/2269.
[9]
Al-Manarul Munif hal: 137-138/ di akhir hadis ke338 dan 339.
[10]
Tarikh Thabari 3 hal: 466.
[11]
Ibnu Katsir, An-Nihayah fil Fitani wal Malahim 1 hal: 55.
[12]
Mustadrak Hakim 4 hal: 502
[13]
Jamiush Shaghir 2 hal: 672/9242.
[14]
Faidlul Qadir syarhul Jamiish Shaghir 6 hal: 278/9242.
[15]
Rujuk Al-Hawi lil Fatawi 2 hal: 85, Shawaiqul Muhriqah hal: 166,
Is’afur RaghuBin hal: 151, Ibrazul Wahmil Maknun hal: 563.
[16]
Ibnul Wardi, Kharidatul ‘Aja’ib hal: 199
[17]
Tarikh Baghdad 3 hal: 323 dan 4 hal: 117.
[18]
Mizanul I’tidal 1 hal: 89/328
[19]
Tarikh Baghdad 1 hal: 63, Tarikh Dimasyq 4 hal: 178
[20]
Mizanul I’tidal 1 hal: 97
[21]
Al-Lailil Mashnu’ah 1 hal: 434-435
[22]
Al-bidayah wan Nihayah 6 hal: 246
[23]
Mustadrak Hakim 4 hal: 514
[24]
Ibrazul Wahmil Maknun hal: 543
[25]
Nu’aim Bin Hammad, Al-Fitan 1 hal: 369/1084, Sayyid Ibnu Thawus,
At-Tasyrif bil Minan hal: 176/238 bab 19
[26]
Musnad Ahmad 1 hal 376, 377, 330 dan 448, Sunan Abi Daud 4 hal:
107/4283, Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir 10 hal: 164-165/10218, Sunan Tirmidzi
4 hal: 505/2230, Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman hal 481 bab 1,
Mashabihus Sunnah 3 hal: 392/ 4210
[27]
Musnad Ahmad 1 hal: 99, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15 hal:
198/19494,Sunan Abi Daud 4 hal: 107/4283, Baihaqi, Al-I’tiqad hal: 173,
Majmaul Bayan 7 hal: 67.
[28]
Ibrazul Wahmil Maknun hal: 495
[29]
Musnad Ahmad 1 hal: 376, Sunan Tirmidzi 4 hal: 505/3231, Al-Mu’jamul
Kabir10 hal: 165/10220, 10221 dan 10 hal: 167/10227, Al-Bayan hal: 481,
Al-Ghaibah syekh Thusi hal: 113, Musnad Abi Ya’la Maushili 12: 19/6665.
[30]
Ad-Durrul Mantsur 6 hal: 58
[31]
Abdur Razzaq, Al-Mushannaf 11 hal: 372/20773, Mustadrak Hakim 4 hal:
557, Kasyful Ghummah 3 hal: 259.
[32]
Musnad Ahmad 3 hal: 36, Shahih Ibnu Shabban 8 hal: 290/6284,
Mustadrak Hakim 4 hal: 557, Muntakhabul Atsar hal: 148/19.
[33]
Ibrazul Wahmil Maknun hal: 515.
[34]
Mustadrak Hakim 4 hal: 557, Al-Bayan hal: 500, Al-Jamiush Shagghir 2
hal: 672/9244, At-Tajul Jami’ lil Ushul 5 hal: 343, Ibrazul Wahm hal: 508.
[35]
Mashabbihus Sunnah 3 hal: 392/4212, Al-Manarul Munif hal: 144/330.
[36]
Sunan Abi Daud 4 hal: 107/4385, Mushannaf Abdur Razzaq 11 hal:
372/20773, Ma’alimus Sunan 4 hal: 344, At-Tasyrif bil Minan hal: 153/189 dan
190 bab 159 menukil dari Hammad di kitab Al-Fitan 1 hal: 364/1063 dan 1064,
Ibnu Bithriq Hilli, Al-Umdah hal: 433/910.
[37]
Kamaluddin 1 hal: 287/5 bab 25, Faraidus Sinthain 2: 335/587,
Yanabiul Mawaddah 3 bab 94.
[38]
Sunan Abi Daud 4: 107/4284, Sunan Ibnu Majah 2: 1368/4086,
Al-Mu’jamul Kabir 23: 267/566, Mustadrak 4: 557. Beberapa ulama yang menukil
dari Sahih Muslim hadis tersebut, mereka adala: Ibnu Hajar Haitami dalam
Shawaiq: 163 bab 11 dari pasal pertama, Muttaqi Hindi dalam Kanzull Ummal
14: 264/38662, Syekh Muhammad Bin Ali Shabban dalam Is’afur RaghiBin: 145,
Syekh Hasan Adawi Hamzawi Maliki dalam Masyariqul Anwar: 112, kesemanya
bersepakat bahwa Imam Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan hadis ini,
hanyasaja dalam naskah Sahih Muslim yang ada sekarang ini riwayat tersebut
tidak kita jumpai ?!
[39]
Kunji Syafi’i dalam Al-Bayan menyatakan kesahihan hadis ini, juga
Suyuthi dalam Al-Jamiush Shaghir, seperti yang dinyatakan pula dalam cacatan
kaki At-Tajul Jami’ lil Ushul 5: 343. Baghawi menggolongkan dalan
hadis-hadis hasan di kitab Mashabihus Sunnah 3: 492/4211. Abul Faidl setelah
melkukan penelitian terhadap sanad hadis ini samapi pada kesimpulan bahwa
hadis ini adalah hadis yang sahih didukung oleh para perawi yang tsiqah.
Albani mengakui kebenaran sanadnya sesuai dengan yang dianut oleh
Ahlussunnah, juga Al-Atsar fil Mahdiyyil Muntadzar karya Syekh Abdul Muhsin
Bin Hamd Abbad: 18. Telah lewat dalam pembahasan yang laluperkataan Qurthubi
akan kemutawatirannya, rujuklah !
[40]
Al-Fitan 1: 375/1117, dinukil oleh Kanzul Ummal 14: 591/39675.
[41]
Al-Fitan 1: 375/1114 dinukil dalam At-Tasyrif bil Minan: 176/237 bab
189
[42]
Al-Fitan 1: 374/1112 dinukil oleh At-Tasyrif bil Minan 157: 202 bab
163.
[43]
‘Iqdud Durar: 44 dari bab pertama, Al-Fitan 1: 368-369/1082 yang
dinukil oleh Sayyid Ibnu Thawus dalam At-Tasyrif: 157/201 bab 163.
[44]
Sunan Abi Daud 4: 108/4290, dinukil oleh Jamiul Ushul 11: 49-50/7814,
Kanzul Ummal 13: 647/37636, sesuai dengan apa yang ada di Al-Fitan 1:
374-375/1113.
[45]
Jazri Dimasyqi Syafi’i, Asmal Manaqib fi Tahdzibi Asnal
Mathalib:165-168/61.
[46]
Sayyid Shadruddin Sadr, Al-Mahdi: 68.
[47]
Mundziri, Mukhtashar Sunan Abi Daud 6: 162/4121.
[48]
Tahdzib At Tahdzib 8:56-100.
[49]
At-Tasyrif: 285/412 bab 76 menukil dari Fitan karangan Salili dengan
sedikit perbedaan
[50]
Ibnul Qayyim, Al-Manarul Munif hal: 148 / pasal 329 / 50, dari
Thabarani dalam Al-Ausath, ‘Iqdud Durar hal: 45 dari bab pertama, disebutkan
di dalamnya ( Hafidz Abu Nu’aim mengeluarkannya dalam Sifatul Mahdi ), Muhib
Thabari, Dzakhairul ‘Uqba hal: 136 disebutkan di dalamnya ( Semua hadis yang
telah lalu diperjelas dengan hadis ini ), Faraidus Simthain 2 hal: 325/ bab
575/ 61, Ibnu Hajar, Al-Qaulul Mukhtashar: 7 /bab 37/ 1, Faraidu Fawaidil
Fikr: bab 2/ 1, Sirah Halabiyyah 1: 193, Yanabiul Mawaddah 3: bab 63/ 94.
Selain terdapat hadis-hadis lain yang khusus berkenaan dengan masalah ini
seperti didalam kitab Maqtalul Husain AS tulisan Khawarizmi Hanafi 1: 196,
Faraidus Simthain 2: 310-315 hadis ke 561 - 569, Yanabiul Mawaddah 3: 170/
212 bab 93 dan 94.
Dari sumber Syiah dapat anda rujuk kitab Kasyful Ghummah 3: 259, Kasyful
Yaqin: 117, Itsbatul Hudah 3: 617/ 174 bab 32, Hilyatul Abrar 2: 701/ bab
54/ 41, Ghayatul Maram: 694/ bab 17/ 141. Kitab Muntakhabul Atsar menukil
banyak hadis yang diriwayatkan baik oleh Syiah maupun oleh Ahlussunnah,
silahkan merujuk..
[51]
Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf 15: 198/ 19493, Thabarani, Al-Mu’jamul
Kabir 10: 163/ 10213 dan 10: 166/ 10222, Mustadrak Hakim 4: 442. Dari
kalangan ulama Syiah Allamah Majlisi menukilnya dalam Biharul Anwar 51: 82/
21 dari Kasyful Ghummah karangan Arbili 3: 261 yang menukil dari kitab
Al-Arbain karya Abu Nu’aim.
[52]
Sunan Abi Amr Dani: 94 -95, Takhiru Baghdad 1: 370 dan tidak
seorangpun dari kalangan Syiah yang meriwayatkannya.
[53]
Tarikhu Baghdad 5: 391, Kitabul Fitan karangan Nu’aim Bin Hammad 1:
367/ 1076 dan 1077 di dalamnya disebutkan. Nu’aim berkata “Saya mendengar
riwayat ini tanpa menyebutkan nama ayahnya, lebih dari satu kali.”
Diriwayatkan juga dalam kitabKanzul ‘Ummal 14: 268/ 38678 dari Ibnu Asakir.
Sayyyid Ibnu Thawus menukilnya dalam At-Tasyrif bil Minan 156/ bab 196 dan
197/ 163 dari Al-Fitan karangan Ibnu Hammad, seperti yang disebutkan oleh
Ibnu Hajar dalam Al-Qaulul Mukhtashar 40/ 4 secara mursal.
[54]
Nu’aim Bin Hammad 1: 368/ 1080 yang dinukil Sayyid Ibnu Thawus dalam
At-Tasyrif bil Minan: 257/ 200.
[55]
Rujuk: Taahdzibul Kamal 9: 191/1911, Tahdzibut Tahdzib 3: 240 di
dalam kedua kitab tersebut dinukil riwayat yang benar dari Risydin Bin Abi
Risydin.
[56]
Musnad Ahmad 1: 376, 377, 430, dan 448.
[57]
Sunan Tirmidzi 4: 505/ 2230.
[58]
Mustadrak Hakim 4: 442.
[59]
Mishbahus Sunnah 492/ 4210.
[60]
‘Iqdud Durar 51 bab ke-2
[61]
Ibid: 51- 56/ bab ke-2.
[62]
Hadis maudlu’ dan palsu ini dinukil di dalam Mu’jam Ahaditsil Imamil
Mahdi dari Maqatilut ThaliBin: 163 -164.
[63]
Kunji Syafi’i, Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 482.
[64]
Ustadz Saad Muhammad Hasan, Al-Mahdiyyah fil Islam: 69.
[65]
Mustadrak Hakim 3: 109.
[66]
Sunan Tirmidzi 5: 662/ 3786, Hadis Tsaqalain diriwayatkan oleh lebih
dari tiga puluh orang shahabat, sedangkan perawinya di setiap masa berjumlah
ratusan orang. Rujuk: Haditsuts Tsaqalain Tawaturuhu Fiqhuhu karya Sayyid
Ali Husaini Milani: 47 - 51. Didalam kitab tersebut beliau menyebutkan
sebagian dari perawi hadis ini yang cukup menjadi dalil akan kebenarannya.
[67]
Q. Surah Ahzab: 33. Rujuk pula riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa
Nabi SAW selalu berdiri di depan rumah Fatimah seraya membaca ayat ini di
dalam tafsir Thabari 22: 6.
[68]
Ash-Shawaiqul Muhriqah: 149.
[69]
Sahih Bukhari 5: 13 bab Al-Fitan, Sahih Muslim 6: 21-22/ 1849.
[70]
Ushulul Kafi 1: 303/5, 1: 308/1,2,3 dan 1: 378/ 2, Raudhatul Kafi 8:
129/ 123, Kamaluddin 2: 412-413/ 10, 11, 12, 15 bab 39, Al-Imamatu wat
Tabshirah: 219/69,70 dan 71, Qurbul Isnad: 351/ 1260, Bashairud Darajat:
259, 509 dan 510.
[71]
Rujuk: Musnad Ahmad 2: 83, 3: 446, 4: 96, Musnad Abi Daud Thayalisi:
259, Al-Mu’jamul Kabir 10: 350/ 10687, Mustadrak Hakim 1: 77, Hilyatul
Auliya’ 3: 224, AL-Kuna wal Asma’ 2: 3, Sunan Baihaqi 8: 156, 157, Jamiul
Ushul 4: 70, Nawawi, Syarhu Sahihi Muslim 12: 440, Dzahavi, Talkhishul
Mustadrak 1: 77 dan 177, Haitsami, Majmauz Zawaid 5: 218,219,223, 225, 312,
Tafsir Ibnu Katsir 1: 517. Seperti juga yang dikeluarkan oleh Kasyi dalam
Rijal: 235/ 428 dalam biografi Salim Bin Abi Hafshah.
[72]
Abu Zahrah. Al-Imamush Shadiq: 194.
[73]
Hadis ini dikeluarkan oleh Iskafi Mu’tazili dalam Al-Mi’yar wal
Muwazanah: 81, Ibnu Qutaibah dalam Uyunul Akhbar: 7, Ya’qubi dalam Tarikhnya
2: 400, Ibnu Abdi Rabbih dalam Al-’Iqdul Farid 1: 265, Abu Thalib Makki
dalam Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub 1: 227, Baihaqi dalam Al-Mahasin wal
Masawi’: 40, Khatib dalam Tarikhnya 6: 479 dalam bigrafi Ishaq Nakha’i,
Khawarizmi Hanafi dalam Al-Manaqib: 13, Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib 2:
192, Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah yang akan kami jelaskan
nanti, Ibnu Abdil Barr dalam Al-Mukhtashar: 12, Taftazani dalam Syarhul
Maqashid 5: 241, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari 6: 385,
Kulaini meriwayatkannya dari Amirul Mu’minin AS dalam Ushulul Kafi 1: 136/
7, 1: 270/3, 1: 274/ 3, Shaduq dalam Kamaluddin 1: 287/ 4 bab 25, 1: 289
-294/ 2 bab 26 dari banyak jalur dan 1: 302/1 bab 26
[74]
Ibnu Abil Hadid, Syarhu Nahjil Balaghah 18: 351.
[75]
Fathul Bari Syarhu Sahih Bukhari 6: 385.
[76]
Syekh Muhammad Abduh, Syarhu Nahjil Balaghah 4: 691/ 85, Syarhu Ibnu
Abil Hadid 18: 351.
[77]
Ushul Kafi 1: 136/1 bab Innal Ardla la Takhlu min Hujjah denga sanad
hadis dari sebagian ulama kita dari Ahmad Bin Muhammad Bin Isa dari Muhammad
Bin Abi Umair dari Husain Bin Abil ‘Ala’ dari Imam Shadiq AS.
[78]
Sahih Bukhari 4: 164 Kitab Al-Ahkam bab Al-Istikhlaf, Shaduq juga
mengeluarkannya dri Jabir Bin Samurah dalam Kamaluddin 1: 272/ 19 dan
Al-Khishal 2: 469 dan 475.
[79]
Sahih Muslim 2: 119 kitab Al-Imarah, bab Annas Tbba’un li Quresy,
beliau mengeluarkannya dari sembilan jalur.
[80]
Musnad Ahmad 5: 90, 93, 97, 100, 106, 107, Shaduq juga
mengeluarkannya dari Ibnu Mas’ud dalam Kamaluddin 1: 270/ 16.
[81]
‘Aunul Ma’bud 11: 262 Syarh hadis ke-4259.
[82]
Q. Surah Maidah: 12.
[83]
Lihat pernyataan mereka dalam kitab As-Suluk fi Ma’rifati Duwalil
Muluk karya Muqrizi 1: 13-15 dari bagian pertama, Tafsir Ibnu Katsir 2: 34
ketika menafsirkan ayat ke-12 dari surah Maidah, Syarhul ‘Aqidahit
Thahawiyyah 2: 736, Syarah Sunan Abi Daud karya Al-Hafidz Ibnul Qayyim 11:
263 syarh hadis ke-4259, Al-Hawi lil Fatawi 2: 85.
[84]
Yanabiul Mawaddah 3: 105 bab 77 dalam menjelaskan hadis
“Sepeninggalku ada dua belas orang khalifah”.
[85]
Syahid Muhammad Baqir Sadr, Bahts Haulal Mahdi: 54-55.
[86]
Yanabiul Mawaddah 3: 161 bab 93.
[87]
Ibid 3: 99.
[88]
Ibid 3: 212 bab 93.
[89]
Ibid 3: 170 bab 94.
[90]
Kamaluddin 1: 313/ 4 bab 28.
[91]
Ushulul Kafi 1: 532/ hadis ke-9 bab 126.
[92]
Silsilatu Muallafatisy Syekh Mufid/ Jawabatu Ahlil Maushil fil ‘Adad
war Ru’yah -cetakan Beirut- 9: 25. Beliau mengolongkannya di dalam tulisan
tersebut termsuk dari shahabat-shahabat Imam Muhammad Baqir dan termasuk
ulama besar yang menjadi tempat merujuk untuk mengetahui halal dan haram
juga tempat meminta fatwa dan penjelasan hukum, yang tidak ada jalan untuk
menghujat maupun mencela mereka. Demikianlah komentar beliau RA.
[93]
Khazzaz, Kifayatul Atsar: 8-9 dari Muqaddimah.
[94]
Kamaluddin 2: 335/ 6, dan di akhirnya beliau menyebutkan hadis
tersebut.
[95]
Ushulul Kafi 1: 534-535/ 20 bab 126. Majlisi dalam Mir`atul ‘uqul 6:
235 memasukkannya dalam kategori hadis majhul. Dan hal ini salah, karena
adanya pernyataan ulama seperti Syhekh Tusi, Najasyi dan mereka yang hidup
seteelah kedua ulama tersebut bahwa seluruh perawi yang ada dalam sanad
Al-Kafi seluruhnya tsiqah. Mungkin kesalahan ini berasal dari kesalahan
beliau dalam menilai Muhammad Bin Imran bekas budak Imam Baqir AS yang tidak
ada pernyataan tentang ketsiqahannya dari para ulama. Akan tetapi hal tidak
berpengaruh apa-apa, sebab selain dia ada pula perawi tsiqah yang
meriwayatkannya dan adanya pernyataan Abu Bashir bahwa beliau telah
mendengarnya dari Imam Baqir AS. Lalu apa yang mencegah untuk mendengar
hadis tersebut dari Imam Ja’far Shadiq AS ?
[96]
Ushulul Kafi 1: 525/ 1 bab 126.
[97]
Ibid 1: 525/ 2 bab 126.
[98]
Adapun jika sang perawi adalah orang yang tsiqah, ulama bersepakat
bahaw hal tersebut tidak disyaratkan lagi, sebab hadis yang dibawa oleh
perawi tsiqah kebenarannya telah terjamin. Setelah keberannya terjamin
pastilah hadis tersebut akan sesuai dengan kenyataan, seperti masalah
turunnya Isa AS, kemunculan Mahdi, fitnah Dajjal dan lain-lain, walaupun
belum terjadi.
[99]
Ushulul Kafi 1: 529/ 4 bab 126, Kamaluddin 1: 270/ 15 bab 24,
AL-Khishal 2: 477/ 41 dari abwab Itsnai ‘Asyar.
[100]
Kamaluddin 1: 19 dari Muqaddimah penulis.
[101]
Hadis ini dikeluarkan oleh Daruquthni, seperti yang disebutkan oleh
Kunji Syafi’i dalam Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 501-502 bab 9, Ibnu
Shabbagh Al-Maliki, Al-Fushulul Muhimmah: 295-296 pasal 120, Sham’ani dalam
Fadhailsh Shahabah seperti yang dinukil dalam Yanabiul Mawaddah: 49 bab 94,
dan didalam Mu’jamu Ahaditsil Mahdi 1: 145/ 77 ditegaskan bahwa perawi hadis
sangat banyak yang disebutkan semuanya akan sampai menjadi satu jilid kitab.
[102]
‘Iqdud Durar: 132 bab 4 pasal 2
[103]
Ibid.
[104]
Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah 1: 281-282 Syarh Khotbah
ke-16.
[105]
Yanabiul Mawaddah 3: 168 bab 94.
[106]
Ibid.
[107]
Al-Khishal 2: 475/ 38 dari Abwab Itsnai ‘Asyar. Kamaluddin 1: 262/ 9
bab 24.
[108]
Ushulul Kafi 1: 533/ 15 bab 126.
[109]
Al-Khishal 2: 480/ 50 Abwab Istnai ‘Asyar.
[110]
Yanabiul Mawaddah 3: 162 bab 94, juga di 2: 83 dalam Mawaddah
kesepuluh dengan judul fi ‘Adadil Aimmah wa Annal Mahdiyya Minhum.
[111]
Kamaluddin 2: 370/ 1 bab 35.
[112]
Ibid 2: 360/ 2 bab 34, dalam bab yang sama beliau juga menyebutkan
hadis tersebut dari beberapa jalur.
[113]Iqdud
Durar: 188 bab 6.
[114]
Ushulul Kafi 1: 336/ 4 bab 80.
[115]
Yanabiul Mawaddah 3: 166 bab 94.
[116]
Ibid 3: 115-116 bab 80 seraya menegaskan bahwa beliau menukilnya dari
Faraidus Simthain karya Himwaini Syafi’i.
[117]
Ushulul Kafi 1: 337/ 5 bab 80, lihat pula Kamaluddin 2: 342/ 24 bab
33 dan 2: 346/ 32 bab 33 dengan sanad yang lain, tetapi sanad yang pertama
lebih bagus.
[118]
Ushulul Kafi 1: 340/ 19 bab 80.
[119]
Kamaluddin 2: 350/ 44 bab 33.
[120]
Ushulul Kafi 1: 338/ 10 bab 80, dalam bab yang sama beliau
mengeluarkannya dengan jalur yang sahih dari sebagian ulama kita dari Ahmad
Bin Muhammad dari Ali Bin Hakam dari Muhammad Bin Muslim 1: 340/ 15
[121]
Kamaluddin 2: 347/ 35 bab 33.
[122]
Ushulul Kafi 1: 336/ 3 bab 80.
[123]
Kamaluddin 2: 347/ 40 bab 33.
[124]
Ushulul Kafi 1: 340/ 18 bab 80. Shaduq juga mengeluarkannya dengan
sanad yang sahih sesuai dengan pendapat yang lebbih bahwa Muhammad Bin Ali
Majilwaih adalah orang tsiqah, Kamaluddin 2: 418/ 10 bab 44.
[125]
‘Iqdud Durar: 178 bab 5.
[126]
Kafi 1: 341/ 33 bab 80 mengeluarkannya dari Ahmad Bin Hasan dari Umar
Bin Yazid dari Hasan Bin Rabi’ Himdani, yang secara zahir adalah sanad yang
sahih. Sebab Saad dan Himyari tidak hanya meriwaytkannya dari Ahmad Bin
Husain Bin Umar Bin Yazid, akan tetapi dia juga meriwayatkannya dari banyak
jalur dari Ahmad Bin Hasan, yaitu Ibnu Ali Bin Fadhdhal Fathahi yang dikenal
tsiqah. Adapun riwayatnya dari Umar Bin Yazid, memiliki nnnilai yang sama
baik dikatakan bahwa Umar tersebut adalah Shaiqal maupun Bayya’ Sabiri,
kerena keduanya meninggal berpuluh-puluh tahun sebelum terjadinya ghaibah.
[127]
Kamaluddin 1: 324/ 1 bab 32. Dalam bab yang sama Shaduq juga
mengeluarkannya dari Ummu Hani’ dari Imam Muhammad Baqir AS 1: 330/ 15 bab
32 dengan sedikit perbedaan.
[128]
Ibid 2: 381/ 5 bab 37, Kafi 1: 328/ 3 bab 75.
[129]
Rijal Najasyi: 303/ 828.
[130]
Ushulul Kafi 1: 328/ 2 bab 76.
[131]
Ibid 1: 328/ 1 bab 76.
[132]
Kamaluddin 2: 424/ 1 dan 2 bab 42, Kitab Al-Ghaibah karya Syekh
Thusi: 234/ 204.
[133]
Ushulul Kafi 1; 330/ 3 bab 77, Kamaluddin 2: 433/ 14 bab 42.
[134]
Kamaluddin 2: 431/ 7 bab 42.
[135]
Kamaluddin 2: 431/ 6 bab 42 dan 2: 432/ 10 bab 42.
[136]
Ibid 2: 430/ 5 bab 42, Kitab Al-Ghaibah 244/ 211.
[137]
Ushulul Kafi 1: 329-330/ 1 bab 77. Shaduq juga meriwayatkannya dengan
sanad yang sahih dari ayahnya dan Muhammad Bin Hasan dari Abdullah Bin
Ja’far Himyari, Kamaluddin 2: 441/ 14 bab 42.
[138]
Ushulul Kafi 1: 329/ 4 bab 76 dan 1: 331/ 4 bab 77.
[139]
Q. Surah Baqarah: 260.
[140]
Kamaluddin 2: 435/ 3 bab 43.
[141]
Ibid 2: 502/ 31 bab 45.
[142]
Syekh Thusi, Al-Ghaibah: 394/ 363.
[143]
Masalah-masalah tesebut telah dikumpulkan secara tersendiri dalam
tiga jilid buku oleh Syekh Muhammad Gharawi dengan nama Al-Mukhtar fi
Kalimatil Imamil Mahdi AS.
[144]
Al-Kafi 1: 331/ 8 bab 77, Syekh Mufid, Al-Irsyad 2: 253, Syekh Thusi,
Al-Ghaibah: 268/ 232 dan: 357/ 319.
[145]
Al-Kafi 1: 331/ 6 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 268/231.
[146]
Al-Ghaibah: 259/ 226.
[147]Kamaluddin
2: 445/ 19 bab 43.
[148]
Ibid 2: 384/ 1 bab 38.
[149]
Ibid 2: 456/ 21 bab 43.
[150]
Ibid 2: 444/ 18 bab 43, Al-Ghaibah: 253/ 223.
[151]
Ibid 2: 444/ 18 bab 43, Al-Ghaibah: 253/ 223.
[152]
Al-Ghaibah: 258/226.
[153]
Al-Kafi 1: 331/ 5 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 269/ 233.
[154]
Al-Ghaibah: 357/ 319.
[155]
Ibid: 272/ 237.
[156]
Al-Kafi 1: 331/ 7 bab 77, Al-Irsyad 2: 352
[157]
Kamaluddin 2: 443/ 17 bab 43.
[158]
Ibid 2: 432/ 9 bab 43 dan 2: 434/ 1 bab 43.
[159]
Al-Kafi 1: 331/ 9 bab 77, Kamaluddin 2: 442/ 15 bab 43, Al-Irsyad 2:
353, Al-Ghaibah: 248/ 217.
[160]
Al-Kafi 1: 331/ 3 bab 77, Kamaluddin 2: 424/1 bab 42 dan 2: 426/2 bab
42, Al-Irsyad 2: 351, Al-ghaibah: 234/ 204, 237/ 205 dan 239/ 207.
[161]
Al-Ghaibah: 271/ 236.
[162]
Ibid: 248/ 218.
[163]
Kamaluddin 2: 502/ 61 bab 45, Al-Ghaibah: 320/ 266 dan: 322/ 269.
[164]
Kamaluddin 2: 441/ 13 bab 43.
[165]
Al-Kafi 1: 328/ 3 bab 76 dan 1: 332/ 12 bab 77, Al-Irsyad 2: 353,
Al-Ghaibah: 234/ 203.
[166]
Al-Ghaibah: 263/ 228.
[167]
Kamaluddin 2: 491/ 14 bab 45.
[168]
Al-Kafi 1: 515/ 3 bab 125, Kamaluddin 2: 437 setelah hadis 6 bab 43.
[169]
Al-Ghaibah: 247/ 216.
[170]
Al-Kafi 1: 329/ 1 bab 76, 1: 329/ 4 bab 76 dan 1: 331/ 4 bab 77,
Al-Irsyad 2: 351, Al-Ghaibah: 355/ 316.
[171]
Kamaluddin 2: 470/ 24 bab 73, Al-Ghaibah: 259/ 227.
[172]
Al-Kafi 1: 330/ 2 bab 77, Al-Irsyad 2: 351, Al-Ghaibah: 268/ 230.
[173]
Kamaluddin 2: 477 setelah hadis 6 bab 43.
[174]
Al-Ghaibah: 269/ 234 dan: 270/ 235.
[175]
Kamaluddin 2: 442/ 15 bab 43, beliau membawakan riwayat bahwa Ja’far
Kadzdzab telah melihat Imam Mahdi.Dilihat dari dzahir riwayat, sepertinya
dia juga telah melihat Imam Mahdi. Akan tetapi dalam Al-Kafi dinyatakan
dengan tegas bahwa dia idak pernah melihat beliau tetapi hanya bertemu
dengan orang yang telah melihat Al-Mahdi, yaitu Ja’far Kadzdzab. Al-Kafi 1:
331/ 9 bab 77.
[176]
Kamaluddin 2: 433/ 13 bab 42, 2: 435/ 3 bab 43, 2: 440/ 9 bab 43, 2:
440/ 10 bab 43 dan 2: 441/ 14 bab 43.
[177]
Ibid 2: 435/ 2 bab 43.
[178]Al-Ghaibah:
273/ 238.
[179]
Ibid 257/ 225.
[180]Kamaluddin
2: 442-443/ 16 bab 43.
[181]
Al-Kafi 1: 332/ 13 bab 77, Kamaluddin 2: 441/ 12 bab 43, Al-Irsyad
2: 354, Al-Ghaibah: 246/ 215 disebutkan di dalamnya Dharif bukan Tharif.
[182]
Al-Kafi 1: 331/ 6 bab 77, Al-Irsyad 2: 352, Al-Ghaibah: 268/ 231.
[183]
Kamaluddin 2: 475 setelah hadis 25 bab 43.
[184]
Ibid 2: 431/ 8 bab 42.
[185]
Ibid 2: 474 setelah hadis 25 bab 43, Al-Ghaibah: 272/ 237.
[186]
Al-Ghaibah: 273-276/ 238.
[187]
Kamaluddin 2: 431/ 7 42.
[188]
Ibid 2: 441/ 11 bab 43.
[189]
Ibid 2: 430/ 5 bab 42 dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nasim
bersama Mariah telah melihat beliau AS.
[190]
Ibid 2: 442/ 16 bab 43.
[191]
Al-Irsyad 2: 336.
[192]
Abu Nasr Bukhari, Sirrus Silsilatil ‘Alawiyyah: 39.
[193]
Al-Mujdi fi Ansabit Thalibiyyin: 130.
[194]
Fakhrur Razi, Asy-Syajaratul Mubarakatu fi Ansabit Thalibiyyin:
78-79.
[195]
Al-Fakhri fi Ansabit Thalibiyyin: 7.
[196]
‘Umdatut Tahlib fi Ansabi Aali Abi Thalib: 199.
[197]
Jamaluddin Ahmad Bin ‘Inabah, Al-Fushulul Fakhriyyah (tentang nasab):
134-135.
[198]
Ahli nasab bermadzhab Zaidiyyah Sayyid Abul Hasan Muhammad Husaini
Yamani Shan’ani, Raudhatul Albab li Ma’rifatil Ansab: 105.
[199]
Suwaidi, Sabaikudz Dzahab: 346.
[200]
Ad-Durarul Bahiyyah fil Ansabil Haidariyyah wal Uwaisiyyah, cetakan
Halab Suriah tahun 1405 H: 73.
[201]
Catatan kaki Ad-Durarul Bahiyyah: 73-74.
[202]
Rujuk kitab Al-Imanush Shahih karya Sayyid Qazwaini, kitab Al-Imamul
Mahdi fi Nahjil Balaghah karya Syekh Mahdi Faqih Imani, kitab Man Huwa
Al-Imamul Mahdi karangan Tabrizi, Ilzamun Nashib karangan Syekh Ali Yazdi
Hairi, Al-Imamul Mahdi karangan Ustadz Ali Muhammad Dakhil, kitab Ad-Difa’
‘Anil Kafi karangan Sayyid Tsamir ‘Amidi. Nama terakhir ini menyebutkan nama
seratus dua puluh delapan orang dari ulama Ahlussunnah yang mengakui
kelahiran Imam Mahdi AS sesuai dengan urutan abad kehidupan mereka. Diawali
dengan Abu Bakar Muhammad Bin Harun Ruyani wafat tahun 307 H di dalam
kitabnya Al-Musnad (tulisan tangan) dan di akhiri dengan ulama di zaman
sekarang Ustadz Yunus Ahmad Samara’i di dalam kitabnya Samarra’ fi Adabil
Qarnits Tsalitsil Hijri. Buku ini dicetak dengan bantuan Universitas Baghdad
pada tahun 1968 M. Lihat kitab Difa’ ‘Anil Kafi 1: 568-592 di bawah judul
Dalil ke-6: ‘I’tirafatu Ahlissunnah (pengakuan Ahlussunnah).
[203]
Al-Kamil fit Tarikh 7: 274 di akhir kejadian tahun 260 H.
[204]
Wafayatul A’yan 4: 176/ 562.
[205]
Ushulul Kafi 1: 514 bab 125.
[206]
Kamaluddin 2: 430/ 4 bab 42.
[207]
Al-’Ibar fi Khabari Man Ghabar 3: 31.
[208]
Tarikhu Duwalil Islam, dalam juz yang khusus menyebutkan
peristiwa-peristiwa dan kematian antara tahun 251-260 H: 113/ 159.
[209]
Siyaru A’lamin Nubala’ 13: 119/ terjemahan nomer 60.
[210]
Mu’min Bin Hasan Syablanji Syafi’i menukilnya dari beliau dalam Nurul
Abshar: 186.
[211]
Ibnu Hajar Haitami, Ash-Shawaiqul Muhriqah, cetakan pertama hal: 207,
cetakan kedua hal: 124, dan cetakan ketiga hal: 313-314.
[212]
Al-Ithaf bi Hubil Asyraf: 68.
[213]
Nurul Abshar: 186.
[214]
Al-A’lam 6: 80.
[215]
Sya’rani, Al-Yawaqit wal Jawahir 2: 143, percetakan Mushthafa Al-Babi
Al-Halabi Mesir tahun 1378 H - 1959 M.
[216]
Mathalibus Saul 2: 79 bab 12.
[217]
Tadzkiratul Khawash: 363.
[218]
Al-Bayan fi Akhbari Shahibiz Zaman: 521 bab 25.
[219]
Ibnu Shabbagh Maliki, Al-Fushulul Muhimmah: 287-200.
[220]
Mudhaffar, Dalailush Shidq 2: 574-575 dari pembahasan kelima. Perlu
diketahui bahwa Syekh Muhammad Hasan Mudhaffar di dalam kitab Dalailush
Shidq menukil kitab Ibthalul Bathil secara lengkap.
[221]
Ibnu Thulun Hanafi, Al-Aimmatul Itsna ‘Asyar: 117.
[222]
Ibid: 118.
[223]
Perhatikan kalimat yang beliau bawakan “Ulama bersepakat...” Lalu
bandingkan dengan apa yang klaim oleh segelintir mereka yang terpelajar
dan yang mengikuti jejak mereka dengan slogan-slogan palsu berkedok
pembaharuan.
[224]
Qirmani, Akhbarud Duwal wa Aatsarul Uwal: 353-354, pasal ke-11.
[225]
Yanabi’ Al Mawaddah 3:114 di akhir bab 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar