Sabtu, 06 Agustus 2016

Apa dalilnya shalawât tanpa menyebut “Ali Muhammad” disebut sebagai shalawât yang bunting atau cacat? Mengapa kita dilarang untuk menyampaikan shalawât buntung atau cacat?

 
Apa dalilnya shalawât tanpa menyebut “Ali Muhammad” disebut sebagai shalawât yang bunting atau cacat? Mengapa kita dilarang untuk menyampaikan shalawât buntung atau cacat?
Pertanyaan Disebutkan bahwa apabila seseorang tatkala menyampaikan shalawât dan tidak menyebutkan “Âli Muhammad” maka ia telah melakukan dosa. Saya mengetahui hal ini dari Suyuthi dalam Tafsir-nya yang menukil dari Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah dimana seseorang berkata kepada Rasulullah Saw: Kami mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepada Anda. Namun bagiamana kami menyampaikan shalawât kepada Anda? Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah.. Allâhummah shalli ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrâhim innaka hamidun majîd.. Allâhummah bârik ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kamâ barakta ‘ala Ibrahim wa Âli Ibrahim innaka hamîdun majîd.” Suyuti mengimbuhkan pada hadis ini dengan menukil delapan belas hadis lainnya yang kesemuanya menunjukkan bahwa tatkala bershalawât maka redaksi Âli Muhammad juga harus disertakan. Sesuai nukilan dari Ibnu Hajar dalam Shawâiq, Rasulullah Saw melarang orang-orang beriman untuk menyampaikan shalawât buntung dan cacat yang semata-mata berkata, “Allâhumma shalli ‘ala Muhammad dan menganjurkan bahwa tatkala menyampaikan atau mengirimkan shalat maka katakanlah, “Allahummah shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.” Terdapat banyak riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab riwayat sekaitan dengan masalah ini.
Namun pertanyaan saya adalah bukankah ayat al-Qur’an tidak secara lugas dan tegas menunjukkan atas shalawât kepada Muhammad lalu bagaimana mungkin menyebut nama keluarga (Âli) Muhammad dalam shalat menjadi wajib? Bukankah hal ini merupakan bid’ah dalam agama? Ulama dalam hubungannya dengan penyebutan “asyhadu anna Aliyan waliyullah” dalam azan berkata, “Apabila dimaksudkan untuk menjalankan perbuatan mustahab maka akan memperoleh ganjaran. Dan apabila seseorang menyebutkannya sebagai bagian dari azan maka hal tersebut merupakan hal yang bid’ah dalam agama yang hukumnya haram. Nah, boleh tidak saya memandang shalawât atas keluarga Muhammad (Ali Muhammad) sebagai perbuatan mustahab disebabkan dalil lugasnya ayat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat menyampaikan shalawât kepada nabi. Wahai orang-orang yang beriman sampaikanlah shalawât kepadanya!” Padahal nabi sendiri tidak dapat dimasukkan sebagai Ahlibait dan demikian juga kata gantinya. Pada beberapa tempat lain dalam al-Qur’an, Ahlulbait dapat ditafsirkan dengan ulil amri, imam dan pemimpin, namun nabi tidak dapat disebut sebagai bagian dari Muhammad Saw. Dengan memperhatikan kelugasan dan ketegasan al-Qur’an kita dapat berkata bahwa shalawât atas keluarga Muhammad (Âli Muhammad) tidak termasuk bagian utama shalawât dan harus disebutkan sebagai bagian dari perbuatan mustahab. Dengan demikian, menyebutkan Âli Muhammad dalam shalawât tidak wajib hukumnya. Tolong beberkan jawaban teologis dan filosofis sehubungan dengan masalah ini dan Anda tidak perlu menyebutkan hadis-hadis yang menyinggung tentang shalawât kepada keluarga Muhammad dari riwayat Syiah dan Sunni karena saya mengetahui riwayat-riwayat tersebut.
Jawaban Global
Shalawât atas keluarga Muhammad (Ali Muhammad) dalam shalawât atas Rasulullah Saw tidak hanya bukan bid’ah akan tetapi sejalan dengan al-Qur’an, riwayat, akal dan irfan. Karena:
1.     Makna bid’ah adalah sesuatu yang tidak terdapat dalam agama kemudian dipandang sebagai bagian dari agama. Kami tidak memandang shalawât atas keluarga Muhammad Saw sebagai bidah karena terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah Saw dan Ahlulbait As terkait dengan masalah ini.
2.     Allah Swt memberikan tugas-tugas syariat (taklif) kepada para hamba-Nya dan al-Qur’an menjelaskan secara umum dan global inti kewajiban serta sebagian tipologi dari taklif-taklif tersebut. Namun seluruh hal yang partikular, syarat-syarat dan stipulasi-stipulasinya tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Untuk mengetahui seluruh bagian dan hal-hal yang partikular lainnya kita harus merujuk pada obyek wicara sesungguhnya al-Qur’an dan penafsir hakiki al-Qur’an yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Allah Swt menjadikan Rasulullah Saw sebagai penafsir dan penjelas al-Qur’an. Berdasaran hal ini, tatkala Rasulullah Saw dalam tafsir ayat shalawât bersabda bahwa Âli Muhammad (keluarga Muhammad) harus kalian sertakan dalam shalawât ke atasku; artinya hal ini dipahami dari al-Qur’an.
3.     Al-Qur’an di samping mengandung makna lahir ia juga memiliki makna-makna jeluk batin yang hanya diketahui oleh Nabi Saw dan para Imam Ahlulbait As. Makna lahir redaksi “al-nabi” meski tidak mencakup “Âli Muhammad” secara lahir namun mencakup “Âli Muhammad” berdasarkan makna batin.  
4.     Ayat-ayat al-Qur’an, memandang Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai hakikat yang satu. Di samping itu, masyarakat (urf) dan orang-orang berakal (uqalâ), memandang orang-orang yang satu pikiran dan satu keyakinan sebagai satu hakikat. Dan terdapat banyak riwayat yang menandaskan bahwa Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya adalah cahaya yang satu. Mengingat dalam Irfan, cahaya yang satu ini yaitu Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya disebut sebagai hakikat Muhammadiyah dan keluaran pertama. Dengan perhitungan ini bagaimana mungkin seseorang menyampaikan shalawât ke atas Rasulullah Saw namun tidak mengirimkan shalawât kepada keluarganya (Ahlulbait As)? Dengan kata lain, shalawât atas Ahlulbait As adalah identik dengan shalawât atas Rasulullah Saw dan keduanya mengisahkan satu hakikat dan realitas.
Poin terakhir, bahwa shalawât atas Rasulullah Saw tidak diwajibkan secara mutlak, melainkan pada hal-hal tertentu; misalnya pada tasyahhud shalat yang hukumnya wajib. Akan tetapi ketika ingin menyampaikan shalawât wajib maka menyebut “Âli Muhammad” juga akan menjadi wajib. Dalam hal-hal yang mustahab, menyebut “Ali Muhammad” juga hukumnya mustahab dan tidak menyertakan “Ali Muhammad” akan membuat shalawât yang disampaikan menjadi buntung (batra) dan cacat (nâqish).
Jawaban Detil
Untuk menjelaskan jawaban yang diberikan kiranya kita harus memperhatikan beberapa poin penting sebagai berikut:
1.     Bid’ah; artinya apa yang tidak terdapat dalam agama dijadikan sebagai bagian dari agama. Hal ini telah ditetapkan dan dibuktikan pada pembahasannya sendiri bahwa ucapan dan tindakan Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As adalah bagian dari agama. Karena itu, tatkala Anda berkata bahwa keluarga Muhammad (Âli Muhammad) tidak terdapat dalam al-Qur’an dan menyertakannya dalam shalawât sebagai bid’ah adalah pendapat yang keliru; karena apabila keluarga Muhammad tidak disebutkan dalam al-Qur’an, namun ketika ia dinyatakan dalam beberapa riwayat maka hal itu sudah termasuk bagian dari agama dan tidak akan tergolong sebagai bid’ah. Para juris yang berkata bahwa mengumandangkan syahâdah (kesaksian) atas wilâyah (asyahadu anna ‘Aliyyan waliyullâh, aku bersaksi bahwa sesungguhnya Ali adalah wali Allah) dalam azan apabila tidak dimaksudkan sebagai bagian dari azan maka syahadah ini tidak tergolong sebagai bid’ah dan maksud para fakih adalah bahwa kita memang tidak memiliki sebuah dalil dari agama (ayat-ayat dan riwayat-riwayat) bahwa syahâdah atas wilâyah ini merupakan bagian dari azan.
2.     Taklif-taklif dan tugas-tugas yang telah dibebankan Tuhan bagi manusia seperti bersuci (thaharah), shalat, puasa, haji, jihad, khumus, zakat dan lain sebagainya seluruhnya disebutkan dalam al-Quran. Namun al-Qur’an tidak menjelaskan seluruh hal-hal yang detil dan partikular, syarat-syarat, pelbagai kemestian dan halangan pada ayat-ayatnya, melainkan hanya menjelaskan keharusan dan beberapa bagian serta syarat-syarat dalam bentuk umum dan global. Misalnya inti kewajiban shalat disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa bagian dan syarat-syaratnya; seperti ruku, sujud, bersuci juga telah disinggung dalam al-Qur’an. Namun dzikir ketika ruku dan sujud, bacaan, tasbih arba’ah, qiyam yang bersambung dengan ruku, bagaimana bersuci seperti mandi, berwudhu dan bertayammum dan lain sebagianya tidak dijelaskan secara sempurna dan lengkap dengan pelbagai tipologinya pada satu pun ayat al-Qur’an. Metode kaum Muslimin semenjak awal untuk memperoleh hal-hal yang detil ini datang ke hadapan Rasulullah Saw dan bertanya tentang bagaimana melaksanakan taklif-taklif tersebut dan beramal sesuai dengan apa yang mereka dengarkan dari Rasulullah Saw.
Kaum Muslimin juga melakukan hal yang sama sekaitan dengan shalawât. Pasca turunnya ayat shalawât, “InnalLâha wa malâikatahu yushallûna ‘ala al-nabî yâ ayyuhalladzina âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslimâ[1]  kaum Muslimin datang ke hadapan Rasulullah Saw dan bertanya ihwal bagaimana menyampaikan shalawât atas Nabi Saw. Sebagaimana yang dituturkan dalam banyak riwayat (mutawatir) baik dari kalangan Syiah atau pun dari Sunni, Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Âli Muhammad kamâ shallaita ‘ala Ibrâhim…”[2] dan dengan demikian kaum Muslimin mengetahui tugas mereka dalam hubungannya dengan shalawât.[3] Dengan kata lain, tatkala Allah Swt menjadikan rasul-Nya sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an,[4] Dia berpandangan bahwa penjelasan dan penafsiran Rasulullah Saw adalah penafsiran-Nya. Dan Rasulullah Saw pada ayat shalawât, “yâ ayyuhalladzina âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslimâ”[5] menafsirkannya dengan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.” Kesimpulannya bahwa shalawât atas Âli Muhammad dipahami dari al-Qur’an itu sendiri.
3.     Al-Qur’an di samping memiliki makna secara lahir juga mengandung makna dalam secara batin yang juga diketahui oleh Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya.[6] Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa shalawât yang menyatakan “Âli Muhammad juga harus kalian sertakan sejatinya tengah menyinggung pada masalah batin al-Qur’an. Artinya meski makna lahir redaksi “al-nabi” tidak mencakup “Âli Muhammad,” namun dari sisi batin, Âli Muhammad tercakup dalam redaksi “al-Nabi pada ayat shalawât.
4.     Dari ayat-ayat al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa Allah Swt memandang Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai satu hakikat tunggal. Sebagai contoh, Anda cermati, ayat tathir, “Innama YuridulLlâh liyudzhiba ‘ankum al-rijs Ahl al-Bait wa yuthahhirakum tathirah.[7] Dari ayat ini Allah Swt menandaskan bahwa Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya sebagai satu hakikat tunggal. Ayat mawaddah,Qul la as’alukum ‘alaihi ajran illa al-mawaddah fi al-qurbâ[8] karena ketika Allah Swt menjadikan kecintaan terhadap al-Qurbâ (Ahlulbait) sebagai upah risalah Rasulullah Saw maka terang saja dalam pandangan Allah Swt, keduanya tidak terpisah dari satu dengan yang lain. Atau ayat mubâhala, “Qul ta’âlû nad’u abnâ’anâ wa abnâ’akum wa nisâ’anâ wa nisâ’akum wa anfusanâ wa anfusakum…”[9] sebagaimana yang Anda saksikan, pada ayat ini Baginda Ali As dinyatakan sebagai diri (nafs) Rasulullah Saw dan untuk menjadikan doanya terijabah maka Rasulullah Saw memandang kehadiran lima orang Ali Aba ini sebagai sesuatu yang diperlukan.
5.     Kita memiliki banyak riwayat yang menjelaskan Rasulullah Saw dan Ahlulbait As adalah satu cahaya. Sebagai contoh, silahkan Anda perhatikan riwayat berikut ini, “Aku diciptakan dari cahaya Tuhan dan Ahlulbaitku diciptakan dari cahayaku.”[10]
6.     Para arif juga menyebut esensi-esensi cahaya Rasulullah Saw dan Ahlulbait As sebagai hakikat Muhammadiyah dan keluaran pertama yang merupakan satu hakikat dan memiliki ragam jelmaan dan manifestasi.
7.     Dalam pandangan masyarakat (urf) dan orang-orang berakal (uqalâ), memandang orang-orang yang satu pikiran dan satu keyakinan, tiada pertentangan dan perbedaan pemikiran dan perbutan sebagai satu hakikat dan melihat mereka dengan satu perspektif.
Kesimpulannya adalah bahwa menyertakan shalawât atas Ahlulbait As dalam shalawât atas Nabi Saw tidak hanya bukan bid’ah melainkan sejalan dan selaras dengan al-Qur’an itu sendiri dan terdapat banyak riwayat, akal dan kebiasaan orang-orang berakal memandang bahwa shalawât atas Ahlulbait As adalah identik dengan shalawât atas Nabi Saw dan keduanya menceritakan tentang satu realitas.
Poin terakhir, bahwa shalawât atas Rasulullah Saw tidak diwajibkan secara mutlak, melainkan pada hal-hal tertentu; misalnya pada tasyahhud shalat yang hukumnya wajib. Akan tetapi ketika ingin menyampaikan shalawât wajib maka menyebut “Ali Muhammad” juga akan menjadi wajib.[11] Dalam hal-hal yang mustahab, menyebut “Ali Muhammad” juga hukumnya mustahab dan tidak menyertakan “Ali Muhammad” akan membuat shalawât yang disampaikan menjadi buntung (batra) dan cacat (nâqish). [IQuest]


[1]. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:56)
[2]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 419.  
[3]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat indeks: Al-Shalat ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad, Pertanyaan No. 482.  
[4].  “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7)
[5]. “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:56) 
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 90-95.  
[7].  “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:33)
[8]. Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. Syura [42]:23) 
[9]. “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Qs. Ali Imran [3]:61) 
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 15, hal. 20.  
[11]. Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 143, al-Qaul fi al-Tasyahhud, Masalah 1. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar