Kalau Imamah bukan hal penting dan bukan Ushuluddin, mengapakah keharusan mengenal imam dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan mati jahiliyyah
Bersabda Rasulullahshallallahu ‘alayhi wa sallam:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah. [HR.
Muslim No. 1851, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 769, dari Muawiyah,
Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 14810, Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra No. 1638
Apakah Hakikat Bai’at itu?
Bai’at adalah satu jenis perjanjian dan kontrak antara pemberi bai’at
dari satu sisi, dan penerima bai’at dari sisi lain. Muatan bai’at ini
adalah ketaatan, mengikuti, menolong, dan membela orang yang dibai’at.
Dan sesuai dengan syarat yang disebutkan dalam bai’at, bai’at memiliki
tingkatan.Contohnya Bai’at al ‘Aqabah Al Ulaa berbeda isi dengan Bai’at Al Ridhwan. Begitu pun dengan bentuk bai’at terhadap jama’ah minal jama’ah muslimin
.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis, bai’at merupakan sejenis kontrak
yang mengikat (‘aqd lâzim) dari sisi pemberi bai’at. Ia wajib
mengamalkan apa yang telah diikrarkannya dalam bai’at tersebut. Dengan
demikian, hal ini termasuk bagian dari kaidah umum; “Aufû bil ‘Uqûd
(Penuhilah akad-akad itu).” (QS.Al-Maidah [5]: 1)
Oleh karena itu, orang yang memberikan bai’at tidak berhak untuk
meninggal kan bai’at-nya. Akan tetapi, apabila menurut penerima bai’at
tidak baik, ia dapat mencabut dan meninggalkan bai’at tersebut. Ketika
itulah pemberi bai’at baru terbebas dari keharusan menaati janji yang
diikrarkannya
Maka, dalam masalah bai’at, pemberi bai’at tidak dapat untuk meninggalkan bai’at-nya
Apakah Bai’at Memiliki Peran dalam Legitimasi Kepemimpinan Seorang Nabi atau Imam?
Nabi saw. dan para imam maksum a.s. yang ditunjuk oleh Allah swt. secara
langsung tidak pernah memerlukan bai’at. Maksudnya, ketaatan kepada
Nabi saw. dan para imam maksum a.s. dan penunjukkan dari sisi Tuhan
bersifat niscaya dan mesti, baik atas mereka yang berbai’at atau mereka
yang tidak.
Dengan kata lain, kedudukan kenabian dan imâmah adalah wajib untuk
ditaati. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang
yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amr di
antara Kamu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Dari sini mucsul satu pertanyaan, yaitu mengapa Nabi saw. berulang kali
mengambil bai’at dari para sahabat dan orang-orang yang baru memeluk
Islam?, sebagaimana tersebut di dalam Al-Qur’an secara jelas: bai’at
Ridhwân dalam surat Al-Fath [48], ayat 18, dan bai’at dengan penduduk
Makkah dalam surat Al-Mumtahanah [60].
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita tekankan bahwa seluruh bai’at
itu merupakan satu jenis pengukuhan atas loyalitas yang diambil pada
kondisi-kondisi tertentu, dan digunakan khususnya dalam menghadapi
keadaan kritis. Hal ini dilakukan supaya di bawah siluetnya, bai’at ini
dapat menghembuskan berkahnya kepada setiap orang.
Akan tetapi, bai’at yang dilakukan oleh para khalifah adalah sebagai
penerimaan kedudukan khilafah (pemerintahan). Betapapun demikian, kami
meyakini bahwa khilafah Nabi saw. bukan sebuah kedudukan yang diperoleh
melalui bai’at, melainkan semata-mata dari sisi Allah swt. dan terwujud
melalui persona Nabi saw. dan para imam maksum a.s.
Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa barang siapa mati dalam keadaan tidak
mengenal Imam zamannya maka ia mati jahiliyah. Maka kalau Imamah bukan
hal penting dan termasuk Ushuluddin mengapakah keharusan mengenal imam
dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan
mati jahiliyyah.
Nabi saw. bersabda :
Siapa mati yang sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah
Hadis di atas dan hadis-hadis mengandung makna serupa seperti yang
disebut Syeikh Al Mudzaffar dapat Anda jumpai dalam banyak kitab-kitab
mu’tabarah para ulama Ahlusunnah, di antaranya:
Shahih Bukhari, bab al Fitan,5/13.
Shahih Muslim,6/21-22 hadis1849.
Musnad Ahmad,2/83, 3/446 dan 4/96.
Shahih Ibn Hibban,6/49 hadis 4554.
Al Mu’jam Al Kabir; Al Thabarani,10/350 hadis 10687.
Mustadrak; Al Hakim,1/77.
Hilyatul Awliyaa’,3/224.
Jaami’ Al Ushuul; Ibn Al Atsiir Al Jazari,4/7.
Musnad Ath Thayalisi:259.
Al Kuna wa Al Alqaab,2/3.
Sunan Al Baihaqi,8/156 dan 157.
Al Mabshuuth; Al Sarkhasi,1/113.
Syarah Nahj Al Balaghah; Ibn Abi Al Hadid,9/155.
Syarah Muslim; Al Nawawi,12/44.
Talkhis Al Mustadrak; Al Dzahabi,1/77 dan177.
Tafsir Ibn Katsir,1/517.
Syarh Al Maqashid,2/275.
Majma’ al Zawaid,5/218,219,223 dan312.
Kanz Al Ummal,3/200.
Tafsiir Al Wushuul,2/39.
dll.
Hadis di atas telah disepakati kesahihannya, baik oleh Ahlusunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah.
Imamah termasuk ushuluddin, “Di antaranya adalah riwayat-riwayat yang
banyak yang menunjukkan bahwa barang siapa mati tanpa Imam maka ia mati
jahiliyah dan lain sebagainya, maka berarti ia termasuk ushuluddin,
seperti riwayat Muslim dalam bab Al Amr bi Luzuumi Al Jama’ah, pada kitab Al Imaarah dari Ibnu Umar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Barang siapa melepas tangan dari keta’atan ia berjumpa dengan Allah
pada hari kiamat tanpa memiliki bukti, dan barang siapa mati sedang
dilehernya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati jahiliyah.
Para pengikut ajaran Syi’ah Itsna Asyariyyah mendasarkan hukum mereka
(Syariah) pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Perbedaan antara hukum
syariah Sunni dan Syiah terletak pada keyakinan bahwa Nabi Muhammad
memberikan Ali ra. sebagai pemimpin pertama setelah Nabi Muhammad saw.
Lebih lanjut, menurut pengikut Syi’ah Itsna Asyariyyah, bahwa Imam atau
pemimpin umat tidaklah dapat dipilih oleh manusia secara demokrasi
(pemilu).
Imam adalah jabatan langsung dari Allah swt. Sedangkan pengikut Sunni
percaya bahwa pemimpin umat dipilih dengan pemilu dan yang memiliki
suara terbanyaklah yang menjadi pemimpin (khalifah). Perbedaan inilah
yang membuat Syi’ah dan Sunni menjadi terpecah.
Imam Ali merasa dirinya yang paling berhak tetapi orang-orang malah
membaiat Abu Bakar. Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW
Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di
Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz
yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata
telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi
Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang
dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal
Beliau”. [Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi]
Selama masa 6 bulan itu ternyata pemerintahan Abu Bakar mengalami
berbagai masalah seperti adanya “kaum yang murtad” dan adanya Nabi palsu
Musailamah Al Kadzdzab beserta pengikutnya. Berbagai masalah ini dapat
dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat.
Merekapun juga melihat tindakan memisahkan diri yang dilakukan Imam Ali
dan hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan fitnah
perpecahan.
Oleh karena itulah setelah 6 bulan Imam Ali memutuskan memberikan baiat
untuk menutup celah yang akan dimanfaatkan oleh kaum munafik dan baiat
ini adalah demi keutuhan umat islam. Inilah yang dimaksud Imam Ali bahwa
ia mengalami penderitaan dan kesulitan sepeninggal Nabi SAW [hal ini
telah diberitakan oleh Nabi SAW kepada Imam Ali]. Di satu sisi Beliaulah
yang paling berhak tetapi beliau tetap memberikan baiat demi keutuhan
umat islam.
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari
Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At
Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW
berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran [bersusah
payah] sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan
agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu” [Mustadrak Ash Shahihain 3/151 no 4677 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi]
Pernyataan Imam Ali kalau Beliau adalah yang paling berhak sepeninggal
Nabi SAW jelas berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi SAW
sendiri, diantaranya
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari
Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang
berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama
seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang
Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai
KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188 dengan sanad yang shahih]
Sepeninggal Abu Bakar, Umar ditunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya dan
orang-orangpun membaiat Umar. Disini Imam Ali melihat betapa
orang-orang menerima keputusan Abu Bakar dan membaiat Umar padahal Imam
Ali merasa bahwa Beliau adalah yang paling berhak. Hal inilah yang
dinyatakan oleh Beliau sebagai penderitaan dan kesulitan tetapi beliau
tetap bersabar dan ikut memberikan baiat pula kepada Umar agar tidak
menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Sepeninggal Umar, beliau memerintahkan pemilihan khalifah melalui
Majelis syura yang ia bentuk. Terdapat berbagai riwayat seputar masalah
ini yang terkadang “agak kontroversi” tetapi singkat cerita majelis
tersebut mengangkat Utsman sebagai khalifah. Sekali lagi Imam Ali
melihat orang-orang memilih Utsman padahal Imam Ali merasa yang paling
berhak. Hal inilah yang dinyatakan Imam Ali sebagai penderitaan dan
kesulitan yang beliau alami. Tidak ada satupun dikalangan umat yang
mengalami penderitaan dan kesulitan seperti itu. Beliau yang berhak
tetapi beliau tetap bersabar dan menerima. Tentu saja akhlak seperti ini
hanya dimiliki orang-orang khusus
.
Para sahabat dan tabi’in ada yang tidak berbai’at
Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Imam Ali radhiyallah ‘anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallah ‘anhu:
“Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at
sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan
apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umarradhiyallah ‘anhuma:
“Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab
Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang
yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal
lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” [Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103]
Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali radhiyallah ‘anhu
yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Shuhaib bin Sinan,
Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah
bin Zaid radhiyallah ‘anhum. [Tarikh Ar Rusul, 4/429]
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
ada hadis Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati
dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851, Ath Thabarani dalam Al
Kabir No. 769, dari Muawiyah, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul
‘Ummal No. 14810, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16389)
.
Maka, kematian orang yang tidak berbai’at kepada khalifah –jika dia ada- bermakna:
- Matinya seperti orang yang mati pada zaman jahiliyah
- Bukan dia-nya yang jahiliyah dan kafir
- Dihitung sebagai orang yang bermaksiat
- Bukan dia-nya yang jahiliyah dan kafir
- Dihitung sebagai orang yang bermaksiat
.
Para sahabat dan tabi’in ada yang tidak berbai’at
Ada pun tidak berbai’at kepada khalifah al ‘uzhma, telah terjadi pada
masa-masa awal Islam. Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali
Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:
“Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum
orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan
apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
.
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)
.
Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah yang tidak
memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin
Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit,
Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid
Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)
.
Satu persoalan utama yang sering terlepas pandang oleh umat Islam adalah
sejak dari masa dini Islam lagi adalah kasus penting, perlunya
keberadaan ‘Penunjuk Jalan’ atau Imam yang mana telah disabdakan oleh
Rasul Junjungan saaw:
Ibn Abu Asim di dalam kitab al-Sunnah, halaman 489 meriwayatkan hadis ini:
من مات وليس عليه إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati tanpa memiliki Imam, maka matinya adalah mati Jahiliyyah.
al-Albani di dalam komentarnya tentang hadis ini, menulis:
إسناده حسن ورجاله ثقات
Isnadnya hasan dan semua perawinya Tsiqah.
Ibn Hibban juga meriwayatkan di dalam Sahihnya, jilid 7 hlm 49:
من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa mati tanpa Imam, matinya adalah mati Jahiliyyah.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam sahihnya, kitab al Imarah:
“Barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.”
Maka, hadis ini adalah hadis yang sahih dan dipersetujui oleh semua kelompok Islam.
Walaupun terdapat perbedaan pandangan tentang maksudnya, kesahihan dan
terkenalnya hadis ini diperakui sedemikian rupa hingga para pemimpin
yang zalim pun gagal dalam menafikannya, makanya mereka mencari ulah
dalam memutarbelitkan maknanya.
Allamah Amini berkata setelah mengutip hadis ini dari sumber-sumber
Sunni yang sahih: Adalah sebuah kenyataan abadi bahawa sumber-sumber
Sunni yang sahih telah membuktikannya dan umat tidak memiliki pilihan
kecuali tunduk patuh kepadanya, dan keislaman seseorang itu tidak
menjadi sempurna kecuali dia menerima konsep dan kandungan hadis ini
.
Konsepnya menjelaskan tentang kesudahan yang dahsyat bagi mereka yang
matinya tanpa Imam, dan orang seperti itu adalah jauh dari keselamatan
dan rahmat. Kematian zaman Jahiliyyah adalah sebuah kematian yang
mengerikan, iaitu kematian atheisme dan tanpa iman.
Bagi menjelaskan hadis ini, maksud kata Jahiliyyah haruslah terlebih dahulu difahami.
Dari sudut pandang Al Quran dan hadis, zaman kenabian Rasul saaw adalah
zaman ilmu, manakala zaman sebelum misi kenabian adalah zaman
Jahiliyyah, iaitu, sebelum misi kerasulan Baginda saaw, umat tidak
mengetahui cara dan jalan untuk mengenali realiti-realiti kewujudan
disebabkan oleh penyimpangan pada agama-agama yang diwahyukan dan apa
yang jelas pada masyarakat saat itu atas nama agama adalah tidak lebih
dari tahyul dan ilusi
.
Bahkan agama-agama yang sudah diselewengkan dan penuh dengan
kepercayaan-kepercayaan ilusi ini, telah dijadikan alat oleh segelintir
pihak yang kaya dan berkuasa saat itu untuk menguasai dan menekan
masyarakat awam, sebuah realiti yang dirakam kemas dalam sejarah.
Misi suci Rasul saaw adalah permulaan bagi era ilmu pengetahuan. Misi
dasar dan utama Rasul saaw adalah memerangi kepercayaan tahyul dan
penyimpangan dan menjelaskan pada masyarakat tentang kebenaran.
MENGENALI IMAM YANG MANA?
Dengan sedikit pertimbangan terhadap kandungan hadis yang kita bicarakan
ini dan atas apa yang kita bicarakan di atas, langsung tidak membuka
ruang keraguan buat kita untuk mencari jawaban pada persoalan yang
dikemukakan: Imamah Imam yang manakah yang menjamin keberlangsungan
Islam yang murni, yang jika diabaikan oleh umat, bisa menjerumuskan
mereka pada status Jahiliyyah?
Mungkinkah yang dimaksudkan oleh hadis suci ini adalah mentaati siapapun
yang berkuasa untuk mengurus umat yang kita diwajibkan taat dan patuh,
jika mana kita ingkar, akan mengakibatkan kita mati Jahiliyyah, tanpa
peduli samada pemimpin itu bejat dan menyeleweng, atau sebagaimana yang
disebut oleh Al Quran:
“Imam-imam yang mengajak orang ke neraka”. (QS. al-Qashash: 41)
Menjadi bukti bahawa semua pemimpin yang menyeleweng sepanjang sejarah
Islam telah menggunakan hadis ini guna melegalisasikan kepemimpinan dan
mengukuhkan penguasaan mereka ke atas umat. Bahkan ulama-ulama yang
biasa mendatangi istana para Raja dan para pendakwah di istana-istana
menterjemahkan hadis Nabi saaw ini lalu mengalungkannya ke leher para
pemerintah yang menyeleweng ini. Adalah jelas, perbuatan mereka itu
bukanlah disebabkan oleh salahfaham mereka tentang maksud sebenar akan
hadis ini, sebaliknya ia adalah mainan kata semata-mata.
Adalah sukar untuk kita percaya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam
Syarah Nahjul Balaghah oleh Ibn Abi al Hadid, bahawa Abdullah ibn Umar
enggan membaiah Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as disebabkan oleh
kesalahfahaman dan tidak memiliki pengetahuan mendalam, namun berpegang
teguh pada hadis “Barangsiapa mati tanpa Imam…” yang dia riwayatkan
sendiri lalu, tanpa membuang waktu telah pergi bertemu dengan Hajjaj bin
Yusuf pada malam hari untuk memberikan bai’ahnya kepada Abdul Malik bin
Marwan, sang Khalifah…kerana dia tidak mahu melalui malamnya tanpa
adanya Imam!
Namun, apakah orang yang zalim dan kejam seperti para pemimpin dari Bani Umayyah dan Bani Abbassiyah layak untuk digelar Imam?
Allah SWT berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim
berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman:
“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
QS. al-Baqarah (2) : 124
QS. al-Baqarah (2) : 124
Dalam ayat yang kami bawakan ini, jelas, Imam tidak bisa disandang oleh mereka yang zalim, itu janji Allah.
Imamah adalah satu janji Allah, dikurniakanNya hanya kepada orang yang
adil, zuhud dan suci maksum. Andai para Imam tidak memiliki ciri ciri
kemaksuman ini, pastilah mereka terdedah pada kesalahan dan akan
menjerumuskan umat pada kesalahan juga. Ini bertentangan dengan firman
Allah yang berikut:
a) Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan.
QS. Hud (11) : 113
QS. Hud (11) : 113
b) Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan
janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara
mereka.
QS. al-Insan (76) : 24
QS. al-Insan (76) : 24
Dalam kedua dua ayat di atas, Allah telah memerintahkan kita agar jangan
cenderung pada orang yang zalim dan jangan mengikuti orang yang
berdosa. Maka, tanggapan kelompok jumhur bahawa para Khalifah wajib
ditaati tanpa bantahan adalah bertentangan dengan perintah Allah dalam
ayat ayat di atas.
Andaikata Imam bisa melakukan kesalahan, umat sendiri akan turut
melakukan kesalahan kerana mengikuti Imam yang salah. Hal seperti ini
tidak bisa diterima memandangkan kepatuhan dalam dosa adalah suatu dosa,
dilarang dan bertentangan dengan syariah. Tambahan pula, Imam akan
dipatuhi dan diingkari pada masa yang sama dan ini adalah mustahil.
Kepercayaan kelompok Jumhur bahawa umatlah yang memilih pemimpin atau Imam juga adalah bertentangan dengan firman Allah berikut:
a) Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).
QS. al-Qashash (28) : 68
QS. al-Qashash (28) : 68
b) Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
QS. al-Anbiya (21) : 73
QS. al-Anbiya (21) : 73
c) Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat Kami.
QS. as-Sajdah (32) : 24
QS. as-Sajdah (32) : 24
Ayat ayat di atas dengan jelas membuktikan bahawa para pemimpin atau
Imam adalah dipilih oleh Allah sendiri, dan ini berlawanan dengan
kepercayaan jumhur.
Lalu siapakah para Imam yang Allah pilih ini yang jika kita tidak mengenalnya, maka mati kita adalah matinya jahiliyah?
Mari kita telusuri hadis suci Nabi saaw untuk mendapatkan gambaran jelas tentang hal ini.
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ .
“ Para imam itu dari suku Quraisy.”
“ Para imam itu dari suku Quraisy.”
Hadits di atas (Al-a`immatu min Quraisy) diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
dalam Al-Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah Al-Aslami
(18941); An-Nasa`i dalam As-Sunan Al-Kubra (5942); Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf dari Anas (54/8) dan Ali bin Abi Thalib (54/17);
Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf dari Ali (19903); Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak (7061) dari Ali; Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir
dari Anas (724) dan dalam Ash-Shaghir dari Ali (426); Al-Baihaqi dalam
Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar dari Anas (1595); Ath-Thayalisi dalam
Al-Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam
As-Sunnah (34) dari Salman Al-Farisi dan Ali (64); Ibnu Abi Ashim dalam
As-Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam
Al-Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la Al-Maushili dalam
Al-Mu’jam (155); Ibnul A’rabi dalam Al-Mu’jam (2259) dari Ali; Ibnu
Asakir dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam
Al-Kamil (biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas.
Tentang sanadnya, Imam Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad, Abu
Ya’la, Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, dan Al-Bazzar ( Dalam riwayat
Al-Bazzar dengan lafal, “Al-Mulku fi Quraisy.”)
Para perawi Ahmad adalah orang-orang tsiqah (terpercaya)” (Majma’ Az- Zawa`id (8978).
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dan Al-Hakim dari
hadits Anas dengan sanad shahih” (Takhrij Ahadits Al-Ihya` (3711).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dari
Anas, Ath-Thabarani dalam Ad-Du’a`, dan Al-Bazzar serta Al-Baihaqi
dengan beberapa jalur periwayatan dari Anas. Saya katakan, sungguh saya
telah mengumpulkan jalur-jalur riwayat hadits ini dalam satu juz
tersendiri dimana ia diriwayatkan oleh hampir empat puluh orang sahabat.
… Dan sanadnya hasan” (At-Talkhish Al-Habir (1987).
Syaikh Syu’aib Al-Arna`uth berkata, “Hadits shahih dengan berbagai jalur
periwayatan dan hadits-hadits lain yang menguatkannya” (Musnad
Ash-Shahabah fi Al-Kutub At-Tis’ah (527).
Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih, diriwayatkan dari sejumlah sahabat,
di antaranya yaitu: Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Barzah
Al-Aslami” (Irwa` Al-Ghalil (520). Al-Albani juga menshahihkan hadits
ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (4523 dan 4524) dan dalam Shahih
At-Targhib wa At-Tarhib (2188 dan 2259).
Secara ringkas, demikian para ulama lain yang menshahihkan hadits ini; Imam Al-Munawi ( Faidh Al-Qadir (3108).
Syaikh Muhammad Ja’far Al-Kattani ( Nuzhum Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir (175).
Al-Ajluni (Kasyfu Al-Khafa` (850), Al-Burhanfuri (Kanzu Al-‘Ummal (1649, 14792, 23800) dan lain lain
Maka dari hadis ini kita tahu bahawa para Imam itu adalah dari Quraisy.
Namun, berapa ramaikah mereka ini? Hadis berikut menjelaskannya
Jabir bin Samurah berkata: “Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda:
“Islam akan senantiasa kuat di bawah 12 Khalifah”. Baginda kemudian
mengucapkan kata kata yang tidak aku fahami, lalu aku bertanya bapaku
apakah yang dikatakan oleh Rasulullah saaw. Beliau menjawab: “Semuanya
dari Quraisy” (Muslim. Sahih, jilid VI, hlm 3, Bukhari, Sahih, jilid
VIII, hlm 105, 128)
Apakah semua yang berstatus Quraisy layak menyandang gelaran Imam atau
Khalifaf ini? Hadis berikut pula merincikan siapakah para Imam atau
Khalifah yang berjumlah 12 orang itu
Nabi saaw bersabda: “Setelahku akan ada 12 Khalifah, semuanya dari Bani
Hasyim” (Qunduzi Hanafi, Yanabi’ al Mawaddah, jilid III, hlm 104)
Mungkin ada di kalangan yang berpenyakit dalam hati akan menyanggah
hadis ini dan mengatakan ianya tidak sahih. Jika demikian, kami
persilakan anda teruskan membaca hadis berikutnya pula
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua
Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara
bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan
berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182,
Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa
hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga
disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan
beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Maka, jika kita menyusun kembali semua premis premis yang dibawakan di atas, kita bisa menyimpulkan seperti berikut:
1. Sepeninggalan Rasul saaw, ada pengganti beliau yang dipanggil Imam/ khalifah
2. Imam/Khalifah ini berjumlah 12 orang
3. Kesemua mereka adalah dari Quraisy
4. Kesemua mereka adalah dari Bani Hasyim
5. Kesemua mereka adalah Ahlul Bayt Nabi as
Maka dengan ini, siapapun selain dari Ahlul Bayt as yang mendakwa diri
mereka sebagai Khalifah atau Imam umat, dakwaan mereka tertolak. Hujjah
yang kami bawakan di atas tidak membuka ruang walau sekecil apapun untuk
memberikan jabatan Khalifah/ Imamah pada selain Ahlul Bayt as
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam.
Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman,
setidaknya begitu yang saya tahu .
Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu
dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu
yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang
memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan
untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam.
Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang
Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah
Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi
yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi
dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat
Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang
Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri
menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi
sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan
akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa
* Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
* Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
* Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan
membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar.
Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi
Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas
bukan urusan penulis
.
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua
Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara
bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan
berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182,
Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa
hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga
disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan
beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus
menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya
dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah
Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah
setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW
adalah sangat beralasan
Pada : Mei 25, 2012
Melalui : Uthman Hapidzuin @ http://othmanhapidzuin.blogspot.com/2012/06/kalau-imamah-bukan-hal-penting-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar