Rabu, 03 Agustus 2016

Kalau Imamah bukan hal penting dan bukan Ushuluddin, mengapakah keharusan mengenal imam dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan mati jahiliyyah


Kalau Imamah bukan hal penting dan bukan Ushuluddin, mengapakah keharusan mengenal imam dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan mati jahiliyyah

Bersabda Rasulullahshallallahu ‘alayhi wa sallam:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah. [HR. Muslim No. 1851, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 769, dari Muawiyah, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 14810, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1638
Apakah Hakikat Bai’at itu?
Bai’at adalah satu jenis perjanjian dan kontrak antara pemberi bai’at dari satu sisi, dan penerima bai’at dari sisi lain. Muatan bai’at ini adalah ketaatan, mengikuti, menolong, dan membela orang yang dibai’at. Dan sesuai dengan syarat yang disebutkan dalam bai’at, bai’at memiliki tingkatan.Contohnya Bai’at al ‘Aqabah Al Ulaa berbeda isi dengan Bai’at Al Ridhwan. Begitu pun dengan bentuk bai’at terhadap jama’ah minal jama’ah muslimin
.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis, bai’at merupakan sejenis kontrak yang mengikat (‘aqd lâzim) dari sisi pemberi bai’at. Ia wajib mengamalkan apa yang telah diikrarkannya dalam bai’at tersebut. Dengan demikian, hal ini termasuk bagian dari kaidah umum; “Aufû bil ‘Uqûd (Penuhilah akad-akad itu).” (QS.Al-Maidah [5]: 1)
Oleh karena itu, orang yang memberikan bai’at tidak berhak untuk meninggal kan bai’at-nya. Akan tetapi, apabila menurut penerima bai’at tidak baik, ia dapat mencabut dan meninggalkan bai’at tersebut. Ketika itulah pemberi bai’at baru terbebas dari keharusan menaati janji yang diikrarkannya
Maka, dalam masalah bai’at, pemberi bai’at tidak dapat untuk meninggalkan bai’at-nya
Apakah Bai’at Memiliki Peran dalam Legitimasi Kepemimpinan Seorang Nabi atau Imam?
Nabi saw. dan para imam maksum a.s. yang ditunjuk oleh Allah swt. secara langsung tidak pernah memerlukan bai’at. Maksudnya, ketaatan kepada Nabi saw. dan para imam maksum a.s. dan penunjukkan dari sisi Tuhan bersifat niscaya dan mesti, baik atas mereka yang berbai’at atau mereka yang tidak.
Dengan kata lain, kedudukan kenabian dan imâmah adalah wajib untuk ditaati. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amr di antara Kamu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Dari sini mucsul satu pertanyaan, yaitu mengapa Nabi saw. berulang kali mengambil bai’at dari para sahabat dan orang-orang yang baru memeluk Islam?, sebagaimana tersebut di dalam Al-Qur’an secara jelas: bai’at Ridhwân dalam surat Al-Fath [48], ayat 18, dan bai’at dengan penduduk Makkah dalam surat Al-Mumtahanah [60].
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita tekankan bahwa seluruh bai’at itu merupakan satu jenis pengukuhan atas loyalitas yang diambil pada kondisi-kondisi tertentu, dan digunakan khususnya dalam menghadapi keadaan kritis. Hal ini dilakukan supaya di bawah siluetnya, bai’at ini dapat menghembuskan berkahnya kepada setiap orang.
Akan tetapi, bai’at yang dilakukan oleh para khalifah adalah sebagai penerimaan kedudukan khilafah (pemerintahan). Betapapun demikian, kami meyakini bahwa khilafah Nabi saw. bukan sebuah kedudukan yang diperoleh melalui bai’at, melainkan semata-mata dari sisi Allah swt. dan terwujud melalui persona Nabi saw. dan para imam maksum a.s.
Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa barang siapa mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya maka ia mati jahiliyah. Maka kalau Imamah bukan hal penting dan termasuk Ushuluddin mengapakah keharusan mengenal imam dianggap begitu penting sehingga yang tidak mengenal imam digolongkan mati jahiliyyah.
Nabi saw. bersabda :
Siapa mati yang sedang ia tidak mengenal imam zamannya maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah
Hadis di atas dan hadis-hadis mengandung makna serupa seperti yang disebut Syeikh Al Mudzaffar dapat Anda jumpai dalam banyak kitab-kitab mu’tabarah para ulama Ahlusunnah, di antaranya:
Shahih Bukhari, bab al Fitan,5/13.
Shahih Muslim,6/21-22 hadis1849.
Musnad Ahmad,2/83, 3/446 dan 4/96.
Shahih Ibn Hibban,6/49 hadis 4554.
Al Mu’jam Al Kabir; Al Thabarani,10/350 hadis 10687.
Mustadrak; Al Hakim,1/77.
Hilyatul Awliyaa’,3/224.
Jaami’ Al Ushuul; Ibn Al Atsiir Al Jazari,4/7.
Musnad Ath Thayalisi:259.
Al Kuna wa Al Alqaab,2/3.
Sunan Al Baihaqi,8/156 dan 157.
Al Mabshuuth; Al Sarkhasi,1/113.
Syarah Nahj Al Balaghah; Ibn Abi Al Hadid,9/155.
Syarah Muslim; Al Nawawi,12/44.
Talkhis Al Mustadrak; Al Dzahabi,1/77 dan177.
Tafsir Ibn Katsir,1/517.
Syarh Al Maqashid,2/275.
Majma’ al Zawaid,5/218,219,223 dan312.
Kanz Al Ummal,3/200.
Tafsiir Al Wushuul,2/39.
dll.
Hadis di atas telah disepakati kesahihannya, baik oleh Ahlusunnah wal Jama’ah maupun Syi’ah.
Imamah termasuk ushuluddin, “Di antaranya adalah riwayat-riwayat yang banyak yang menunjukkan bahwa barang siapa mati tanpa  Imam maka ia mati jahiliyah dan lain sebagainya, maka berarti ia termasuk ushuluddin, seperti riwayat Muslim  dalam bab Al Amr bi Luzuumi Al Jama’ah, pada kitab Al Imaarah dari Ibnu Umar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Barang siapa melepas tangan dari keta’atan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa  memiliki bukti, dan barang siapa mati sedang dilehernya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati jahiliyah.
Para pengikut ajaran Syi’ah Itsna Asyariyyah mendasarkan hukum mereka (Syariah) pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Perbedaan antara hukum syariah Sunni dan Syiah terletak pada keyakinan bahwa Nabi Muhammad memberikan Ali ra. sebagai pemimpin pertama setelah Nabi Muhammad saw. Lebih lanjut, menurut pengikut Syi’ah Itsna Asyariyyah, bahwa Imam atau pemimpin umat tidaklah dapat dipilih oleh manusia secara demokrasi (pemilu).
Imam adalah jabatan langsung dari Allah swt. Sedangkan pengikut Sunni percaya bahwa pemimpin umat dipilih dengan pemilu dan yang memiliki suara terbanyaklah yang menjadi pemimpin (khalifah). Perbedaan inilah yang membuat Syi’ah dan Sunni menjadi terpecah.
Imam Ali merasa dirinya yang paling berhak tetapi orang-orang malah membaiat Abu Bakar. Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW
Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi]
Selama masa 6 bulan itu ternyata pemerintahan Abu Bakar mengalami berbagai masalah seperti adanya “kaum yang murtad” dan adanya Nabi palsu Musailamah Al Kadzdzab beserta pengikutnya. Berbagai masalah ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat. Merekapun juga melihat tindakan memisahkan diri yang dilakukan Imam Ali dan hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan fitnah perpecahan.
Oleh karena itulah setelah 6 bulan Imam Ali memutuskan memberikan baiat untuk menutup celah yang akan dimanfaatkan oleh kaum munafik dan baiat ini adalah demi keutuhan umat islam. Inilah yang dimaksud Imam Ali bahwa ia mengalami penderitaan dan kesulitan sepeninggal Nabi SAW [hal ini telah diberitakan oleh Nabi SAW kepada Imam Ali]. Di satu sisi Beliaulah yang paling berhak tetapi beliau tetap memberikan baiat demi keutuhan umat islam.
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran [bersusah payah] sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu” [Mustadrak Ash Shahihain 3/151 no 4677 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi]
Pernyataan Imam Ali kalau Beliau adalah yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW jelas berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi SAW sendiri, diantaranya
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188 dengan sanad yang shahih]
Sepeninggal Abu Bakar, Umar ditunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya dan orang-orangpun membaiat Umar. Disini Imam Ali melihat betapa orang-orang menerima keputusan Abu Bakar dan membaiat Umar padahal Imam Ali merasa bahwa Beliau adalah yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan oleh Beliau sebagai penderitaan dan kesulitan tetapi beliau tetap bersabar dan ikut memberikan baiat pula kepada Umar agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Sepeninggal Umar, beliau memerintahkan pemilihan khalifah melalui Majelis syura yang ia bentuk. Terdapat berbagai riwayat seputar masalah ini yang terkadang “agak kontroversi” tetapi singkat cerita majelis tersebut mengangkat Utsman sebagai khalifah. Sekali lagi Imam Ali melihat orang-orang memilih Utsman padahal Imam Ali merasa yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan Imam Ali sebagai penderitaan dan kesulitan yang beliau alami. Tidak ada satupun dikalangan umat yang mengalami penderitaan dan kesulitan seperti itu. Beliau yang berhak tetapi beliau tetap bersabar dan menerima. Tentu saja akhlak seperti ini hanya dimiliki orang-orang khusus
.
Para sahabat dan tabi’in ada yang tidak berbai’at
Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Imam Ali radhiyallah ‘anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallah ‘anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar  dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umarradhiyallah ‘anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” [Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103]
Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali radhiyallah ‘anhu  yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid  radhiyallah ‘anhum. [Tarikh Ar Rusul, 4/429]

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
ada hadis Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 769, dari Muawiyah, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 14810, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16389)
.
Maka, kematian orang yang tidak berbai’at kepada khalifah –jika dia ada- bermakna:
-    Matinya seperti orang yang mati pada zaman jahiliyah
-    Bukan dia-nya yang jahiliyah dan kafir
-    Dihitung sebagai orang yang bermaksiat
.
Para sahabat dan tabi’in ada yang tidak berbai’at
Ada pun tidak berbai’at kepada khalifah al ‘uzhma, telah terjadi pada masa-masa awal Islam. Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
.
Lalu Ali menemui Ibnu Umar  dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)
.
Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah   yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu  yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid  Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)
.
Satu persoalan utama yang sering terlepas pandang oleh umat Islam adalah sejak dari masa dini Islam lagi adalah kasus penting, perlunya keberadaan ‘Penunjuk Jalan’ atau Imam yang mana telah disabdakan oleh Rasul Junjungan saaw:
Ibn Abu Asim di dalam kitab al-Sunnah, halaman 489 meriwayatkan hadis ini:
من مات وليس عليه إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati tanpa memiliki Imam, maka matinya adalah mati Jahiliyyah.
al-Albani di dalam komentarnya tentang hadis ini, menulis:
إسناده حسن ورجاله ثقات
Isnadnya hasan dan semua perawinya Tsiqah.
Ibn Hibban juga meriwayatkan di dalam Sahihnya, jilid 7 hlm 49:
من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa mati tanpa Imam, matinya adalah mati Jahiliyyah.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam sahihnya, kitab al Imarah:
“Barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.”
Maka, hadis ini adalah hadis yang sahih dan dipersetujui oleh semua kelompok Islam.
Walaupun terdapat perbedaan pandangan tentang maksudnya, kesahihan dan terkenalnya hadis ini diperakui sedemikian rupa hingga para pemimpin yang zalim pun gagal dalam menafikannya, makanya mereka mencari ulah dalam memutarbelitkan maknanya.
Allamah Amini berkata setelah mengutip hadis ini dari sumber-sumber Sunni yang sahih: Adalah sebuah kenyataan abadi bahawa sumber-sumber Sunni yang sahih telah membuktikannya dan umat tidak memiliki pilihan kecuali tunduk patuh kepadanya, dan keislaman seseorang itu tidak menjadi sempurna kecuali dia menerima konsep dan kandungan hadis ini
.
Konsepnya menjelaskan tentang kesudahan yang dahsyat bagi mereka yang matinya tanpa Imam, dan orang seperti itu adalah jauh dari keselamatan dan rahmat. Kematian zaman Jahiliyyah adalah sebuah kematian yang mengerikan, iaitu kematian atheisme dan tanpa iman.
Bagi menjelaskan hadis ini, maksud kata Jahiliyyah haruslah terlebih dahulu difahami.
Dari sudut pandang Al Quran dan hadis, zaman kenabian Rasul saaw adalah zaman ilmu, manakala zaman sebelum misi kenabian adalah zaman Jahiliyyah, iaitu, sebelum misi kerasulan Baginda saaw, umat tidak mengetahui cara dan jalan untuk mengenali realiti-realiti kewujudan disebabkan oleh penyimpangan pada agama-agama yang diwahyukan dan apa yang jelas pada masyarakat saat itu atas nama agama adalah tidak lebih dari tahyul dan ilusi
.
Bahkan agama-agama yang sudah diselewengkan dan penuh dengan kepercayaan-kepercayaan ilusi ini, telah dijadikan alat oleh segelintir pihak yang kaya dan berkuasa saat itu untuk menguasai dan menekan masyarakat awam, sebuah realiti yang dirakam kemas dalam sejarah.
Misi suci Rasul saaw adalah permulaan bagi era ilmu pengetahuan. Misi dasar dan utama Rasul saaw adalah memerangi kepercayaan tahyul dan penyimpangan dan menjelaskan pada masyarakat tentang kebenaran.
MENGENALI IMAM YANG MANA?
Dengan sedikit pertimbangan terhadap kandungan hadis yang kita bicarakan ini dan atas apa yang kita bicarakan di atas, langsung tidak membuka ruang keraguan buat kita untuk mencari jawaban pada persoalan yang dikemukakan: Imamah Imam yang manakah yang menjamin keberlangsungan Islam yang murni, yang jika diabaikan oleh umat, bisa menjerumuskan mereka pada status Jahiliyyah?
Mungkinkah yang dimaksudkan oleh hadis suci ini adalah mentaati siapapun yang berkuasa untuk mengurus umat yang kita diwajibkan taat dan patuh, jika mana kita ingkar, akan mengakibatkan kita mati Jahiliyyah, tanpa peduli samada pemimpin itu bejat dan menyeleweng, atau sebagaimana yang disebut oleh Al Quran:
“Imam-imam yang mengajak orang ke neraka”. (QS. al-Qashash: 41)
Menjadi bukti bahawa semua pemimpin yang menyeleweng sepanjang sejarah Islam telah menggunakan hadis ini guna melegalisasikan kepemimpinan dan mengukuhkan penguasaan mereka ke atas umat. Bahkan ulama-ulama yang biasa mendatangi istana para Raja dan para pendakwah di istana-istana menterjemahkan hadis Nabi saaw ini lalu mengalungkannya ke leher para pemerintah yang menyeleweng ini. Adalah jelas, perbuatan mereka itu bukanlah disebabkan oleh salahfaham mereka tentang maksud sebenar akan hadis ini, sebaliknya ia adalah mainan kata semata-mata.
Adalah sukar untuk kita percaya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Syarah Nahjul Balaghah oleh Ibn Abi al Hadid, bahawa Abdullah ibn Umar enggan membaiah Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as disebabkan oleh kesalahfahaman dan tidak memiliki pengetahuan mendalam, namun berpegang teguh pada hadis “Barangsiapa mati tanpa Imam…” yang dia riwayatkan sendiri lalu, tanpa membuang waktu telah pergi bertemu dengan Hajjaj bin Yusuf pada malam hari untuk memberikan bai’ahnya kepada Abdul Malik bin Marwan, sang Khalifah…kerana dia tidak mahu melalui malamnya tanpa adanya Imam!
Namun, apakah orang yang zalim dan kejam seperti para pemimpin dari Bani Umayyah dan Bani Abbassiyah layak untuk digelar Imam?
Allah SWT berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
QS. al-Baqarah (2) : 124
Dalam ayat yang kami bawakan ini, jelas, Imam tidak bisa disandang oleh mereka yang zalim, itu janji Allah.
Imamah adalah satu janji Allah, dikurniakanNya hanya kepada orang yang adil, zuhud dan suci maksum. Andai para Imam tidak memiliki ciri ciri kemaksuman ini, pastilah mereka terdedah pada kesalahan dan akan menjerumuskan umat pada kesalahan juga. Ini bertentangan dengan firman Allah yang berikut:
a) Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.
QS. Hud (11) : 113
b) Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.
QS. al-Insan (76) : 24
Dalam kedua dua ayat di atas, Allah telah memerintahkan kita agar jangan cenderung pada orang yang zalim dan jangan mengikuti orang yang berdosa. Maka, tanggapan kelompok jumhur bahawa para Khalifah wajib ditaati tanpa bantahan adalah bertentangan dengan perintah Allah dalam ayat ayat di atas.
Andaikata Imam bisa melakukan kesalahan, umat sendiri akan turut melakukan kesalahan kerana mengikuti Imam yang salah. Hal seperti ini tidak bisa diterima memandangkan kepatuhan dalam dosa adalah suatu dosa, dilarang dan bertentangan dengan syariah. Tambahan pula, Imam akan dipatuhi dan diingkari pada masa yang sama dan ini adalah mustahil.
Kepercayaan kelompok Jumhur bahawa umatlah yang memilih pemimpin atau Imam juga adalah bertentangan dengan firman Allah berikut:
a) Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).
QS. al-Qashash (28) : 68
b) Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
QS. al-Anbiya (21) : 73
c) Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.
QS. as-Sajdah (32) : 24
Ayat ayat di atas dengan jelas membuktikan bahawa para pemimpin atau Imam adalah dipilih oleh Allah sendiri, dan ini berlawanan dengan kepercayaan jumhur.
Lalu siapakah para Imam yang Allah pilih ini yang jika kita tidak mengenalnya, maka mati kita adalah matinya jahiliyah?
Mari kita telusuri hadis suci Nabi saaw untuk mendapatkan gambaran jelas tentang hal ini.
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ .
“ Para imam itu dari suku Quraisy.”
Hadits di atas (Al-a`immatu min Quraisy) diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Al-Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah Al-Aslami (18941); An-Nasa`i dalam As-Sunan Al-Kubra (5942); Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dari Anas (54/8) dan Ali bin Abi Thalib (54/17); Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf dari Ali (19903); Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7061) dari Ali; Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari Anas (724) dan dalam Ash-Shaghir dari Ali (426); Al-Baihaqi dalam Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar dari Anas (1595); Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam As-Sunnah (34) dari Salman Al-Farisi dan Ali (64); Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam Al-Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la Al-Maushili dalam Al-Mu’jam (155); Ibnul A’rabi dalam Al-Mu’jam (2259) dari Ali; Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas.
Tentang sanadnya, Imam Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, dan Al-Bazzar ( Dalam riwayat Al-Bazzar dengan lafal, “Al-Mulku fi Quraisy.”)
Para perawi Ahmad adalah orang-orang tsiqah (terpercaya)” (Majma’ Az- Zawa`id (8978).
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dan Al-Hakim dari hadits Anas dengan sanad shahih” (Takhrij Ahadits Al-Ihya` (3711).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dari Anas, Ath-Thabarani dalam Ad-Du’a`, dan Al-Bazzar serta Al-Baihaqi dengan beberapa jalur periwayatan dari Anas. Saya katakan, sungguh saya telah mengumpulkan jalur-jalur riwayat hadits ini dalam satu juz tersendiri dimana ia diriwayatkan oleh hampir empat puluh orang sahabat. … Dan sanadnya hasan” (At-Talkhish Al-Habir (1987).
Syaikh Syu’aib Al-Arna`uth berkata, “Hadits shahih dengan berbagai jalur periwayatan dan hadits-hadits lain yang menguatkannya” (Musnad Ash-Shahabah fi Al-Kutub At-Tis’ah (527).
Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih, diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya yaitu: Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Barzah Al-Aslami” (Irwa` Al-Ghalil (520). Al-Albani juga menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (4523 dan 4524) dan dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2188 dan 2259).
Secara ringkas, demikian para ulama lain yang menshahihkan hadits ini; Imam Al-Munawi ( Faidh Al-Qadir (3108).
Syaikh Muhammad Ja’far Al-Kattani ( Nuzhum Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir (175).
Al-Ajluni (Kasyfu Al-Khafa` (850), Al-Burhanfuri (Kanzu Al-‘Ummal (1649, 14792, 23800) dan lain lain
Maka dari hadis ini kita tahu bahawa para Imam itu adalah dari Quraisy. Namun, berapa ramaikah mereka ini? Hadis berikut menjelaskannya
Jabir bin Samurah berkata: “Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda: “Islam akan senantiasa kuat di bawah 12 Khalifah”. Baginda kemudian mengucapkan kata kata yang tidak aku fahami, lalu aku bertanya bapaku apakah yang dikatakan oleh Rasulullah saaw. Beliau menjawab: “Semuanya dari Quraisy” (Muslim. Sahih, jilid VI, hlm 3, Bukhari, Sahih, jilid VIII, hlm 105, 128)
Apakah semua yang berstatus Quraisy layak menyandang gelaran Imam atau Khalifaf ini? Hadis berikut pula merincikan siapakah para Imam atau Khalifah yang berjumlah 12 orang itu
Nabi saaw bersabda: “Setelahku akan ada 12 Khalifah, semuanya dari Bani Hasyim” (Qunduzi Hanafi, Yanabi’ al Mawaddah, jilid III, hlm 104)
Mungkin ada di kalangan yang berpenyakit dalam hati akan menyanggah hadis ini dan mengatakan ianya tidak sahih. Jika demikian, kami persilakan anda teruskan membaca hadis berikutnya pula
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Maka, jika kita menyusun kembali semua premis premis yang dibawakan di atas, kita bisa menyimpulkan seperti berikut:
1. Sepeninggalan Rasul saaw, ada pengganti beliau yang dipanggil Imam/ khalifah
2. Imam/Khalifah ini berjumlah 12 orang
3. Kesemua mereka adalah dari Quraisy
4. Kesemua mereka adalah dari Bani Hasyim
5. Kesemua mereka adalah Ahlul Bayt Nabi as
Maka dengan ini, siapapun selain dari Ahlul Bayt as yang mendakwa diri mereka sebagai Khalifah atau Imam umat, dakwaan mereka tertolak. Hujjah yang kami bawakan di atas tidak membuka ruang walau sekecil apapun untuk memberikan jabatan Khalifah/ Imamah pada selain Ahlul Bayt as
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu :mrgreen: . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi ;)
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa
* Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
* Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis :mrgreen:
.
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan :mrgreen:
Pada :  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar