8 Fenomena Alam Paling Aneh di Seluruh Dunia
Dunia ini menyimpan
segudang misteri, termasuk beberapa fenomena alam yang cukup aneh.
Misalnya, seperti yang sudah cukup dikenal, adalah sungai bawah laut
yang terletak di negara Meksiko.
Sabtu, 30 Juli 2016
Jumat, 29 Juli 2016
BENARKAH ayat Al-Ma’idah ayat 51 MELARANG kita memilih NON-MUSLIM sebagai PEMIMPIN??
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi “AWLIYA ” mu; sebagian mereka adalah “awliya”
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” Kata “AWLIYA ” dalam Qs Al-Maidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama menerjemahkannya sebagai
“pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik
semisal Al Thabary dan Ibn Katsir TIDAK menunjukkan kata “awliya” dalam
ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi. Penjelasan Tafsir Ibn Katsir: “Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi
menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang
lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah
Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi
itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi
bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau
suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya,
sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di
negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani
bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
“awliya” kalian….(Al-Maidah: 51), hingga beberapa ayat berikutnya. Demikian penjelasan Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas. Ini ayat senada: QS An-Nissa ayat 144: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?” Ayat di atas juga melarang kita mengambil orang non-Muslim sebagai
“awliya”. Mari kita cek apakah penafsiran Ibn Katsir terhadap makna
“awliya” dalam QS Al- Maidah ayat 51 sama maknanya dg QS An-Nsisa ayat
144.
Kata Ibn Katsir: “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.” Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai “pemimpin” baik di Al Maidah ayat 51 maupun An-Nissa ayat 144. Yang dimaksud adalah berteman dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks Al-Maidah ayat 51 itu saat kaum Muslim kalah dalam Perang Uhud. Jadi ada yang tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak Yahudi dan Nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
فَإِنَّالنَّاسَلَمْيَتَنَازَعُوافِيأَنَّعَاقِبَةَالظُّلْمِوَخِيمَةٌوَعَاقِبَةُالْعَدْلِكَرِيمَةٌوَلِهَذَايُرْوَى : ” اللَّهُيَنْصُرُالدَّوْلَةَالْعَادِلَةَوَإِنْكَانَتْكَافِرَةًوَلَايَنْصُرُالدَّوْلَةَالظَّالِمَةَوَإِنْكَانَتْمُؤْمِنَةً ”
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan MENOLONG negara yang adil meski ia KAFIR dan TIDAK akan menolong negara yang zalim, meski ia MUKMIN.”
Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang ADIL (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia BUKAN Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. Kalau ada orang MUSLIM, yang bersikap ZHALIM dan melakukan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah TIDAK akan menolong orang yang zhalim. Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis. Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-olah sebagai “ayat pilkada”.
Kata Ibn Katsir: “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.” Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai “pemimpin” baik di Al Maidah ayat 51 maupun An-Nissa ayat 144. Yang dimaksud adalah berteman dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks Al-Maidah ayat 51 itu saat kaum Muslim kalah dalam Perang Uhud. Jadi ada yang tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak Yahudi dan Nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
فَإِنَّالنَّاسَلَمْيَتَنَازَعُوافِيأَنَّعَاقِبَةَالظُّلْمِوَخِيمَةٌوَعَاقِبَةُالْعَدْلِكَرِيمَةٌوَلِهَذَايُرْوَى : ” اللَّهُيَنْصُرُالدَّوْلَةَالْعَادِلَةَوَإِنْكَانَتْكَافِرَةًوَلَايَنْصُرُالدَّوْلَةَالظَّالِمَةَوَإِنْكَانَتْمُؤْمِنَةً ”
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan MENOLONG negara yang adil meski ia KAFIR dan TIDAK akan menolong negara yang zalim, meski ia MUKMIN.”
Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang ADIL (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia BUKAN Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. Kalau ada orang MUSLIM, yang bersikap ZHALIM dan melakukan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah TIDAK akan menolong orang yang zhalim. Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis. Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-olah sebagai “ayat pilkada”.
Kamis, 28 Juli 2016
Selasa, 12 Juli 2016
Hidupnya Seorang Pemuda Harus Dengan Ilmu dan Taqwa
Pemikiran Suhrawardi Dalam Filsafat Islam
I.
Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu
yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi
di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa
Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam dunia
filsafat terdapat dua aliran besar yaitu aliran peripatetis dan iluminasi.
Mengerti dan mengetahui kedua aliran ini adalah hal yang sangat penting ketika
kita ingin mengkaji filsafat, karena semua filsuf khususnya muslim pada akhirnya
merujuk dan berkaitan kepada dua aliran ini. Aliran peripatetis merupakan
aliran yang pada umumnya diikuti oleh kebanyakan filsuf, sedangkan aliran
iluninasi di sini merupakan tandingan bagi aliran peripatetis. Aliran iluminasi
ini dipelpori oleh seorang tokoh filsuf muslim yaitu Suhrawardi al Maqtul yang
dikenal juga dengan sebutan bapak iluminasi.
Suhrawardi dikenal dalam kajian
Filsafat Islam karena kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran
iluninasi sebagai tandingan aliran peripatetis dalam filsafat, walaupun dia
masih dipengaruhi oleh para filsuf barat sebelumnya. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena sebagian atau bahkan keseluruhan bangunan Filsafat Islam ini
dikatakan kelanjutan dari filsafat barat yaitu Yunani. Dalam malakh ini kami
akan membahas mengenai biografi, karya dan pokok pemikiran Suhrawardi.
II. Rumusan
Masalah
A. Biografi
Suhrawardi
B. Karya
Suhrawardi
C. Pemikiran
Suhrawardi
III. Pembahasan
A. Biografi
Suhrawardi
Syaikh Syihab Al-Din Abu al-futuh Yahya ibn Habasy ibn
Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, Iran Barat Laut, dekat Zanjan
pada tahun 548 H/1153 M. ia dikenal dengan syaikh al-isyraq atau Master of
illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang
Martir), dan Al-Maqtul (Yang Terbunuh). Julukan Al-Maqtul bekaitan dengan
kematiannya yang dieksekusi.
Al-Suhrawardi belajar kepada seorang faqih dan teolog
terkenal, yaitu Majduddin Al-jili, guru Fakhruddin Al-Raji. Dia belajar logika
kepada Ibnu Sahlan Al-Sawi, penyusun kitab Al-Bashair Al-Nashiriyyah. Selain
itu ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis. Dan di Halb
ia belajar kepada Al-Syafir Iftikharuddin.
Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran
Illuminasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan
Tasawuf ditambah kecerdasannya yang tinggi, dalam kitab Thabaqat Al-Athiba
menyebutkan bahwa Suhrawardi sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam
ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul
Fiqih, begitu cerdas pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.[1]
Karena kepiawaian Suhrawardi mengeluarkan pernyataan
doktrin esoteris yang tandas, dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fiqih
menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu Al-Barakat al- Baghdadi yang
anti Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb (Aleppo) Suhrawrdi
di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zhahir Syah anak dari
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi al-Kurdi.[2]
B. Karya Karya Suhrawardi
Karya tulisan Suhrawardi tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan Gnostik
dalam bahasa arab dan persia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokan karya
Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu:
1.
Berisi pengajaran dan kaedah teosofi
yang merupakan penapsiran dan modifikasi terhadap filsafat Paripatetis ada
empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa arab, yaitu: Talwihat,
Muqowamat, Mutharahat, dan Hikmat Al-Isyraq. Hikmat Al-Isyraq merupakan karya
terahir yang secara seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah.
Pembahasan buku ini bertitik tekan pada cahaya Tuhan, setelah sebelumnya di
lakukan kritik terhadap Filsafat Paripatetik.
2.
Karangan pendek tentang Filsafat,
ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan,
yaitu Hayakil Al-Nur, Al-Alwah al- Imadiyah, Partaw-namah, fi Itiqadi
al-Hukama, al-lamahat, yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub.
3.
Karangan pendek yang bermuatan dan
berlambang mistis, pada umumnya dibahas dalam bahasa Persia, meliputi
Aqli-Surkh, Awaj-i Par-i |Jibrail, al- Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran,
Risalah fi Halat al- Thifuliyah, Ruji Bajamaat-i Shufiyan, Risalah fi al-Miraj,
dan Syafir-i Simurgh.
4.
Komentar dan terjemahan dari
filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-thair karya
ibnu Sina diterjemahkan kedalam bahasa persia; komentar terhadap kitab Isyarat
karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-Isyqi, yang terpusat
pada Risalah ibn Sina Fi al-Isyqi; serta sejumlah tafsir Al-Quran dan Hadis
Nabi.
Kemudian
Al Suhrawardi membuat banyak karya, dan dari karya-karyanya dibagi menjadi tiga
bagian, antara lain :
a.
Karya Pertama adalah Kitab induk Filsafat
Iluminasinya, antara lain :
1. Talwihat
(Pemberitahuan),
2. Al-Muqawwamat
(Yang Tepat),
3. Al-Masyari
wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
4. Al-Hikmah
Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan)
Karya
Hikmah al-Ishraq memuat tiga subyek yang mendasari bangunan filsafat
iluminasinya, yaitu:
1. Mengenai
alasan-alasan Suhrawardi menyusun Hikmat al-Ishraq.
2. Metodologi
Hikmat al-Ishraq, yang terdiri atas empat tahap, yaitu:
i. Aktifitas-aktifitas
diri seperti menasingkan diri, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri
untuk menerima ilham. Dalam hal ini filosof dengan kekuatan intuisinya dapat
merasakan “Cahaya Tuhan” dan “Penyikapan Diri”.[4]
ii. Tahap
dimana Tuhan memasuki wujud manusia.
iii. Tahap
pembangunan suatu ilmu yang benar.
iv. Tahap
penulisan atau menurunkan hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi.
3. Memuat hal-hal yang mendasari
bangunan filsafat iluminasi, yaitu pandangan Suhrawardi tentang sejarah
filsafat.
b. Karya Kedua adalah risalah
ringkas filsafat, antara lain:
1.
Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
2.
Al-Alwah Al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
3.
Partaw-Namah (Uraian Tentang Tajalli),
4.
Bustan Al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga yang
ditulis dalam bahasa Persia.
c. Karya ketiga berupa kisah perumpamaan, antara
lain:
1. Qishshah
Al-Gurbah Al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat),
2. Risalah
Ath-Thair (Risalah Burung), Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina, yakni
kitab Isyyarah wa Tanbihat.
3. Awz-i
pari-i Jibra’il (Suara Sayap Jibril),
4. Aql-i-surkh
(Akal Merah),
5. Ruzi
ba Jama’at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi),
6. Fi
Haqiqah at-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang
filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina.
7. Fi
Halah Ath-Thufuliyyah,
8. Lugah
Al-Muran (Bahasa Semit),
9.
Safir-i Simurgh
(Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra yang tinggi.[5]
C. Pemikran Suhrawardi
·
Metafisika dan Cahaya
Dalam falsafahnya, Suhrawardi banyak menggunakan
istilah-istilah yang berbeda dengan para filosof lainnya, ia menggunakan
istilah-istilah yang berbeda pengetiannya dari
biasa dipahami oleh orang banyak. Seperti Timur (Masyriq) dan Barat
(Maghrib), istilah ini tidak berhubungan dengan letak geografis, melainkan
berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas
dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan atau materi.
Barat Tengah adalah langit-langit yang
menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan.
Inti ajaran falsafah illuminasinya (Isyraqi) adalah cahaya, dari
sifat dan penyebaran cahaya. Tuhan adalah Cahaya yang ia sebut sebagai Nur
al-Anwar. Cahaya sebagai penggerak utama alam semesta, sedangkan alam
semesta merupakan sebuah proses penyinaran
raksasa, di mana semua wujud bermula dan berasal dari Prinsip Utama Yang
Esa (Tunggal).[6]
Cahaya ini adalah sumber segala sumber, dan tak ada yang bisa menyamakan
kedudukan Cahaya ini, Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling
nyata, sehingga mustahil bila ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas
dari cahaya. Pendapat ini sama dengan pemikiran
Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud. Suhrawardi juga berpendapat
bahwa Tuhan tidak dapat diliputi aksiden (‘ardh) ataupun substansi (jauhar),
karena dapat mengurangi Keesaan Tuhan.Maka dari itu, Cahaya Pertama mesti Satu
(Esa, Tunggal), baik dzat maupun sifat-Nya.[7]
Selain dari itu. salah satu ajaran Isyraqi adalah gradasi esensi, dan ajaran penting
lainnya adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran diri untuk meraih
persamaan dan kesatuan antara pikiran dan realitas. Dari teori gradasi esensi
dan teori kognisi, lahirlah teori alam mitsal di mana struktur ontologis
dari realitas spiritual atau “alam atas” dianggap mempunyai kemiripan atau
mengambil bentuk-bentuk gambar konkret dari alam materi atau “alam bawah”. Bagi
Suhrawardi, apa yang di sebut eksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder
yang tidak terdapat dalam realitas, sedang realitas yang sesungguhnya hanyalah
esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini
nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak
dikenali, maka dari itu cahaya tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas segala sesuatu cahaya menembus setiap susunan entitas,
fisik maupun non-fisik sebagai komponen essensial dari cahaya. Cahaya memiliki
tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan
Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar). Semakin dekat dengan Nur al-Anwar yang
merupakan cahaya yang paling sempurna maka akan semakin sempurnalah cahaya
tersebut begitupun sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud.[8]
Ketiga pemikiran utama dari Suhrawardi adalah:[9]
1. Cahaya, disini cahaya dibagi dua; pertama, cahaya dalam realitas
dirinya dan untuk dirinya. Cahaya ini merupakan bentuk asli, paling murni dan
tidak tercampur unsur kegelapan sedikitpun, cahaya yang paling mandiri. Kedua,
cahaya dalam dirinya sendiri tapi untuk sesuatu yang lain. Cahaya ini
bersifat aksidental dan terkandung di dalam sesuatu yang lain. Cahaya yang
tercampur dengan unsur kegelapan.
2. Kegelapan, kegelapan pun di bagi dua; pertama, kegelapan murni
disebut substansi kabur (al-Jauhar al-Ghasiq). Kedua, kegelapan
yang terdapat di dalam sesuatu yang lain, sudah terkontaminasi.
3. Barzakh (ishmus), yaitu pembatas, penyekat antara cahaya yang ada diatasnya
dan cahaya yang ada dibawahnya. Perantara, penghubung antara yang nyata dengan
yang gaib. Penghubung gelap dan terang, bentuk asli dari barzakh sendiri
adalah gelap. Barzakh diumpamakan sebagai kaca riben.
b) Epistemology
Dalam epistemologinya, Suhrawardi membahas secara panjang lebar masalah
pengetahuan, namun pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan
satu teori visi. Ia menganggap cara nalar dan cara intuisi
sebagai pasangan yang saling melengkapi, karena nalar tanpa intuisi dan iluminasi
tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan
penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan
pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat
mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[10]
Menurut Suhrawardi, jika kita hendak dapat mendalami secara lengkap sisi
intelektual murni falsafah transcendental, maka harus memahami secara mendalam
filsafat Aristoteles, Logika, Matematika dan Sufisme. Kita harus membebaskan
sepenuhnya pikiran kita dari prasangka dan dosa, sehingga pikiran kita secara
bertahap mampu mengembangkan indera
batin kita, yang mampu mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya
sebagai teori. Ciri yang paling nampak dalam falsafah Isyraqi Suhrawardi adalah
bahwa akal tanpa bantuan Dzauq maka tidak dapat dipercaya, karena Dzauq
berfungsi sebagai penyerap misterius atas segala esensi dan membuang
skeptisisme.Namun pengalaman spiritual itu pun perlu dirumuskan dan
disistematisasikan oleh pikiran yang logis. Jadi setiap bentuk dari
pengetahuan, akan bertujuan akhir pada iluminasi dan ma’rifat (gnosis),
yang ditempatkan oleh Suhrawardi pada puncak hierarki pengetahuan.[11]
c)
Kosmologi
Dalam
pandangannya tentang kosmologi, Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi
menjadi teori pancaran (iluminasi, isyraqi). Menurutnya, pancaran cahaya
bersumber dari sumber pertama yang ia sebut Nur al-Anwar. Pancaran dari
sumber pertama akan berjalan terus sepanjang sumbernya tetap eksis.
Konsekuensinya alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada. Namun menurut
Suhrawardi, Tuhan sangat berbeda dengan alam.Ia mengumpamakan hubungan antara
lampu dan sinarnya, lampu sebagai sumber cahaya jelas berbeda dengan sinar yang
dihasilkannya.[12]
Dalam
teori emanasinya, Suhrawardi membaginya menjadi dua, yaitu:
1. Adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur
al-Anwar. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul)
namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan.
Cahaya-cahaya itu bercirikan: (a) ada sebagai cahaya abstrak, (b) mempunyai
gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang
di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah)
apa yang ada di bawahnya. (c) mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana
sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah,
dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan
sebagai “wadah” bagi cahaya. (d) mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau
sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya
dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika
cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan cinta dan
kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika cahaya
perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri.
proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental
world).
2. Proses ganda iluminasi dan visi (penglihatan).
Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al-Anwar
tanpa durasi dan pada “momen” tersendiri Nur al-Anwar menyinarinya
sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan
dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini pada prosesnya menerima tiga cahaya,
dari Nur al-Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan Nur
al-Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya
meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
Lebih lanjut lagi
mengenai konsep kosmologi Suhrawardi, ia membagi alam kepada empat tingkatan,
yaitu:[13]
1. Alam cahaya dominator (‘alam al-anwar al-qahirah), yaitu alam
cahaya-cahaya mujarradad al-‘aqliyyah yang terbebas dari bentuk sama
sekali, mereka adalah pasukan Allah dan para malaikat yang dekat dengan Allah
serta para hamba yang ikhlas (mukhlish)
2. Alam cahaya-cahaya pengatur (‘alam al-anwar al-mudabbirah
al-isfahbadiyyah al-falakiyah wa al-insaniyyah)
3. Alam bentuk (‘alam al-ajsam) yang terdiri atas dua alam barzakh (barzakhiyyani),
yaitu alam materi (alam indrawi, ‘alam al-hissi) salah satunya adalah
alam barzakh falak-falak (barzakhiyyah al-falak) yang di dalamnya
terdapat bintang-bintang (al-kawakib) sedangkan yang lainnya adalah alam
barzakh anasir-anasir yang di dalamnya terdapat unsure-unsur gabungan (al-murakkabat)
4. Alam citra dan alam imajiner (‘alam al-mitsal wa al-khayal) atau
disebut juga alam bayangan murni. Di dalam alam ini akan terlihat bagaimana
jasad dibangkitkan kembali dan segala yang pernah dijanjikan melalui risalah
kenabian.
Begitulah pembagian ataupun pengelompokan alam menurut Suhrawardi. Namun
semua fenomena alam yaitu hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah
berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan diterangkan oleh operasi
langsung dan tidak langsung Cahaya Pertama atas segala sesuatu, yang satu sama
lainnya berbeda dalam kapasitas penerimaan banyak-sedikitnya penerangan.
Singkatnya, Alam Semesta ialah suatu hasrat yang membawa suatu kristalisasi
kerinduan kepada cahaya.[14]
IV.
Kesimpulan
Sebuah
simpulan dari sedikit uraian tentang al-Suhrawardi di atas, kita semakin
mengetahui bahwa dia adalah seorang tokoh filsuf muslim besar yang membangun
aliran iluminasi sebagai tandingan dari aliran peripatetis yang terlebih dahulu
mendahuluinya. Hal ini dilakukan al-Suhrawardi dalam rangka memadukan antara
ajaran tawasuf dengan filsafat. Pandangan dia bahwa pengetahuan itu bukan hanya
diperoleh dari hasil akal semata, akan tetapi dari rasa (dzauq) yang awalnya
ditempuh dengan jalan mujahadah dan musyahadah.
V.
Penutup
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis
banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi
penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
[1]
Abul Hadi, Filsafat Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke II,
(Jakarta: Bakhtiar van Hoeve, 2002), hal.214
[2]
H. A. Mustofa., Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) , hal.247
[3]
http://ihsanmaulana.wordpress.com/2010/04/27/pemikiran-teosofis-suhrawardi-al-maqtul/
[4] Hussein
Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Alif Muhammad dan Munir,(
Bandung: Zaman, 1998) h. 36
[5] Abul Hadi,
Filsafat Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke II, Jakarta: Bakhtiar
van Hoeve, 2002) h. 547
[6] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 223
[7] Amroeni Drajat, Ibid, hlm.
224
[8] A. Khudori Soleh, Ibid, hlm.
123-124
[9] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, hlm. 231-232
[10] Hasyimsyah Nasution, Ibid, hlm.
154
[11] Hasyimsyah Nasution, Ibid, hlm.
154
[12] Amroeni Drajat, Ibid, hlm.243-244
[13] Amroeni Drajat, Ibid, hlm.
248
[14] Hasyimsyah Nasution, Ibid,
hlm. 160
Langganan:
Postingan (Atom)