Jumat, 29 Juli 2016

BENARKAH ayat Al-Ma’idah ayat 51 MELARANG kita memilih NON-MUSLIM sebagai PEMIMPIN??

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “AWLIYA ” mu; sebagian mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Kata “AWLIYA ” dalam Qs Al-Maidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama menerjemahkannya sebagai “pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal Al Thabary dan Ibn Katsir TIDAK menunjukkan kata “awliya” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi. Penjelasan Tafsir Ibn Katsir: “Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menye­butkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” kalian….(Al-Maidah: 51), hingga beberapa ayat berikutnya. Demikian penjelasan Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas. Ini ayat senada: QS An-Nissa ayat 144: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?” Ayat di atas juga melarang kita mengambil orang non-Muslim sebagai “awliya”. Mari kita cek apakah penafsiran Ibn Katsir terhadap makna “awliya” dalam QS Al- Maidah ayat 51 sama maknanya dg QS An-Nsisa ayat 144.
Kata Ibn Katsir: “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.” Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai “pemimpin” baik di Al Maidah ayat 51 maupun An-Nissa ayat 144. Yang dimaksud adalah berteman dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks Al-Maidah ayat 51 itu saat kaum Muslim kalah dalam Perang Uhud. Jadi ada yang tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak Yahudi dan Nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
فَإِنَّالنَّاسَلَمْيَتَنَازَعُوافِيأَنَّعَاقِبَةَالظُّلْمِوَخِيمَةٌوَعَاقِبَةُالْعَدْلِكَرِيمَةٌوَلِهَذَايُرْوَى : ” اللَّهُيَنْصُرُالدَّوْلَةَالْعَادِلَةَوَإِنْكَانَتْكَافِرَةًوَلَايَنْصُرُالدَّوْلَةَالظَّالِمَةَوَإِنْكَانَتْمُؤْمِنَةً ”
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan MENOLONG negara yang adil meski ia KAFIR dan TIDAK akan menolong negara yang zalim, meski ia MUKMIN.”
Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang ADIL (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia BUKAN Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. Kalau ada orang MUSLIM, yang bersikap ZHALIM dan melakukan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah TIDAK akan menolong orang yang zhalim. Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis. Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-olah sebagai “ayat pilkada”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar