Para ulama berselisih pendapat mengenai boleh atau tidaknya kirim
pahala pada mayit, apakah sampai ataukah tidak. Ada dua pendapat dalam
masalah ini.
Pendapat pertama: Setiap amalan sholih yang
dihadiahkan untuk mayit, maka pahalanya akan sampai. Contohnya: Kirim
pahala bacaan Al Qur’an, puasa, shalat dan ibadah lainnya.
Pendapat kedua: Setiap amalan sholih yang dihadiahkan untuk mayit itu sampai,
namun yang hanya berdasarkan dalil.
[1] Pendapat kedua ini menjadi pendapat ulama Syafi’iyah.
Pendapat kedua, itulah yang lebih tepat. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).
Begitu pula dalil lain yang mendukung adalah hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan,
atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Amalan yang Sampai pada Mayit
Berikut rincian beberapa amalan yang ada dalil menunjukkan manfaatnya amalan tersebut:
1- Haji dan Umrah
Yang membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَمَرَتِ
امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ
أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ
عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».
Istri Sinan bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia
tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya
ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu
bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
(HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu
Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits ini
shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Dalam riwayat lain,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “
Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).
Begitu pula boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,
عَنْ
أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ
وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».
Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “
Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “
Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya
shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
“
Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).
Juga didukung oleh hadits,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ
رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ
حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ
ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘
labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “
Siapa Syubrumah?” “
Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “
Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “
Belum.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya, “
Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini
dho’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi
‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
2- Qodho’ puasa wajib
Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “
waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).
3- Utang (qodho’) nadzar
Sa’ad bin ‘Ubadah
radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“
Tunaikanlah nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)
4- Sedekah atas nama mayit
Dari Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ
سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ
غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“
Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu
meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian
Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau
begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Lihat
Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314.
5- Amalan sholih dari anak yang sholih
Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Dari ‘Aisyah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“
Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah
hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang
tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi
orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah
hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
6- Do’a untuk mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si
mayit, baik dari anaknya, orang yang melakukan shalat jenazah untuknya,
dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah
Ta’ala,
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al Hasyr: 10). Ayat ini
menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh
orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah
do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun
yang sudah meninggal dunia.
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“
Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang
yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas
mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan,
malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal
dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad
Darda’). Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di
antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
7- Do’a anak yang sholih, sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya
Dalam hadits disebutkan,
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan,
atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Pembahasan selengkapnya sudah dibahas di Rumaysho.com dalam artikel
Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit.
Renungan bagi Syafi’iyah
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah berkata mengenai firman Allah
Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”,
ومن
هذه الآية استنبط الشافعي ومن تبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى
الموتى ؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ، ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى
الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء ، ولم
ينقل عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم ، ولو كان خيراً لسبقونا إليه وباب
القربات يقتصر فيه على النصوص ، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء ،
فأما الدعاء والصدقة ، فذاك مجمع على وصولها ومنصوصٌ من الشارع عليها
Dari ayat ini Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
bacaan Qur’an tidak sampai pahalanya pada mayit karena bacaan tersebut
bukan amalan si mayit dan bukan usahanya. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya dan tidak memotivasi mereka untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada
nash (dalil) dan tidak ada bukti otentik yang memuat anjuran tersebut. Begitu pula tidak ada seorang sahabat Nabi
-radhiyallahu ‘anhum- pun yang menukilkan ajaran tersebut pada kita.
Law kaana khoiron la-sabaquna ilaih (Jika amalan tersebut baik, tentu para sahabat lebih dahulu melakukannya). Dalam masalah ibadah (
qurobat)
hanya terbatas pada dalil, tidak bisa dipakai analogi dan qiyas. Adapun
amalan do’a dan sedekah, maka para ulama sepakat akan sampainya
(bermanfaatnya) amalan tersebut dan didukung pula dengan dalil (Lihat
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13: 279).
Jika kita menyatakan bahwa kirim pahala itu bermanfaat bagi mayit, maka silakan baca ulasan:
Antara Kirim Pahala dan Selamatan Kematian.
Semoga Allah memberi hidayah dan taufik untuk beramal sholih sesuai tuntunan Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.