Allah Swt berfirman:
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu
tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67)
Peristiwa
pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam
pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.
Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini, terjadi
pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan
Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa
sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat
terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.
Dalam
sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan
hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat
ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana
beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi
sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man
kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai
pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada
hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al Maidah: 3).
Sebelum
Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan
pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan
posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir
orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:
“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”
Ini adalah
kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan
Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan)
kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia
harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau
kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi
sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran
maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut
yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan
kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”
Sebagaimana
Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur
kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu
menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah
Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang
membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.
Peristiwa
Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan,
namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh
Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng
bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga
karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah
ada dalam lembaran sejarah.
Sementara
itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut,
bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu
maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang
hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan
penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.
Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
agama-Nya.”
Berkenaan
dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting:
Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga
beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh
jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?!
Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan
gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.
Bukankah
menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah
yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang
masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut?
Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi
lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan
imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan
kekaburan pemahaman.
Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah
Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi
hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak
kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya
Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84
perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan
peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan
dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan
hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan
perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).
Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang
kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari
kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari
fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka
perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar
tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan
membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya
mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna
dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan
Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.
Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama:
Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat,
tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun
pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang
meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka
yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk
menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”
atau
“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah
mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus
dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah
mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir
kehidupan beliau?!
Indikasi Kedua:
Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa
Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw
menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?
Indikasi Ketiga:
Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah
Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali
sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah
beliau sia-sia?
Indikasi Keempat:
Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair
dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam
Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw.
Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan
maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus
dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam
Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda
temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67,
dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait
dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn
Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).
Indikasi Kelima:
Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw
menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw
untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah
satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di
imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai
imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit
sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa
turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang
mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang
dibebaskan dll. [Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari]