Ada beberapa sudut pandang tentang perbedaan antara Islam dan
iman. Kami tidak ingin masuk dalam rincian semacam itu. Jika kita
mengungkapkan Islam dan iman secara bersamaan, orang Islam adalah orang
yang beriman kepada Allah dan seluruh sendi keimanan serta berserah diri
kepada-Nya. Artinya, orang Islam adalah orang yang secara ikhlas
terikat dengan seluruh perintah Allah dalam penataan kehidupannya,
kehidupan keluarganya, dan kehidupan sosialnya. Kaum muslim dalam
beberapa waktu tidak mendapatkan kesempatan untuk menerapkan Islam
secara total. Namun, jika semangat mereka terhadap Islam dan keinginan
untuk menerapkannya terdapat dalam hati mereka, semoga Allah tidak
menghukum mereka. Sebab, menjauhi Islam berarti menempuh jarak yang jauh
sehingga tidak mungkin kembali kepadanya secara sekaligus hanya dengan
satu langkah. Apabila mereka berharap kembali kepada Islam dengan tekad
yang kuat dan keinginan yang besar lalu mereka mulai menetapkan langkah
dan pemikiran untuk kembali, mereka telah menyelamatkan diri mereka dari
beban tanggung jawab. Itu karena hanya ada dua jalan untuk lepas dari
beban tanggung jawab pada Hari Kiamat: hidup bersama Islam secara
sempurna atau berjuang mengembalikan Islam ke dalam kehidupan.
Apabila salah satunya tidak terwujud, tidak ada tempat untuk selamat
dari pertanggungjawaban pada Hari Kiamat. Kehidupan mereka di dunia pun
akan hina, sebab jauh dari Islam akan membuat kekafiran berkuasa atas
masyarakat dan berbagai aspek kehidupannya, baik kehidupan sosial,
ekonomi, bisnis, maupun militer. Mereka juga akan kalah dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu, mereka akan menjalani hisab atas
kelalaian mereka pada Hari Kiamat.
Bisa jadi jangka waktunya tidak sampai 1.300 tahun, tetapi periode
kemajuan umat Islam tidak kurang dari seribu tahun. Pada masa itu mereka
telah sampai di puncak yang tinggi, terutama pada masa Khulafa Rasyidin
yang ketika itu kecepatan dalam mencapai ketinggian sangat menakjubkan.
Rasulullah saw. telah memberitakan masa ini dengan bersabda, “Akan
datang suatu masa kepada manusia yang ketika itu mereka berperang.
Mereka ditanya, ‘Adakah sahabat Rasulullah saw. di antara kalian ?’
Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat kemenangan. Mereka kemudian
berperang dan ditanya, ‘Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat
Rasulullah saw.?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Mereka pun mendapat
kemenangan.’”[1]
Dalam hadis lain Rasul saw. menunjuk kepada ketiga generasi berbahagia itu dengan bersabda, “Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”[2] Kalau kita melihat sejarah umat Islam, tampak jelaslah kebenaran sabda Nabi saw. ini.
Masa Khulafa Rasyidin hanya berlangsung selama 30 tahun. Meski
demikian, kaum muslim pada masa Usman ibn Affan r.a. telah menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Di satu sisi mereka telah sampai ke Erzurum dan
di sisi lain mereka sampai ke Laut Aral. Semua ini disebabkan oleh
semangat jihad yang mereka bawa. Afrika ketika itu telah dibuka dan
dikuasai dari ujung ke ujung. Bahkan, Uqbah ibn Nafi‘, panglima Islam
yang pertama pergi ke sana dan berhasil menguasai Afrika pada masa
hidupnya, wafat dalam usia lima puluh tahun. Artinya, dalam beberapa
tahun saja ia berhasil menyempurnakan penguasaan Afrika hingga mencapai
Samudera Atlantik yang oleh bangsa Arab disebut dengan Lautan Teduh.
Selanjutnya, ia mengarungi laut seraya berkata, “Wahai Tuhan, seandainya
bukan karena laut ini, tentu aku sudah berlalu di sejumlah negeri untuk
berjuang di jalan-Mu.”[3]
Dalam jihad itu, ia juga berhasil mengikutsertakan kaum barbar dalam
barisannya. Kaum muslim saat itu tidak memiliki kendaraan lintas benua,
kapal pengangkut pesawat terbang, atau kapal yang bisa menghadapi badai
di lautan. Mereka sampai ke berbagai negeri dengan mengendarai unta.
Apabila hendak mencapai negeri di seberang lautan, mereka melintasi
lautan dengan menaiki kapal kecil yang sederhana. Kendati demikian,
mereka mampu membuka negeri-negeri di Timur dan di Barat dalam waktu
yang singkat. Bila kita perhitungkan secara matematis, kita bisa
mengatakan bahwa apa yang berhasil dikuasai umat Islam pada masa Khulafa
Rasyidin menyamai bahkan melebihi apa yang berhasil dikuasai pada masa
Umayyah, Abbasiah, Saljuk, dan Usmani, padahal berbagai pendudukan pada
masa Khulafa Rasyidin pertama-tama ditujukan untuk membuka hati dan
menyebarkan Islam.
Di antara rahasia takdir, sejumlah negeri yang ditinggali kaum muslim
saat ini dibuka dan dikuasai pada masa sahabat. Meskipun Andalusia
berada di bawah kekuasaan Islam selama kira-kira delapan abad, saat ini
di sana tidak ada sesuatu yang memuaskan hatimu. Sementara itu, di
Turkistan, Dagistan, Mongogistan, dan Uzbekistan, sejumlah masjid,
menara, dan sekolah agama masih ada karena negeri-negeri tersebut
diduduki oleh para sahabat. Negeri-negeri tersebut telah melahirkan
beberapa tokoh besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan Islam, seperti
Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibnu Sina, dan al-Farabi. Islam telah hidup di
negera-negara tersebut dengan kebenaran.
Semoga negara-negara yang sendi-sendinya telah dibangun secara ikhlas
dan benihnya telah ditanam secara jujur serta telah bercampur dengan
darah para sahabat itu insya Allah akan kembali kepada Islam.[4]
Ya, kita semua menunggu era tersebut. Kita merasakan keberadaan kita di
negara-negara itu. Kita yakin akan datang suatu hari ketika Islam
kembali ke sana seperti gelombang yang susul-menyusul. Ini adalah
persoalan lain dan penting yang tidak kita bahas di sini. Marilah kita
kembali kepada pembahasan semula.
Apabila sahabat berhasil membuka dan menguasai dunia dalam waktu
singkat, tentu hal ini karena sejumlah sebab. Setiap sahabat mencintai
dakwah Islam sampai tingkat dakwah menyatu dengan hatinya. Orang yang
melihat mereka hanya dari luar dan tidak mengetahui hakikatnya pasti
mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang sembrono bahkan gila,
karena tindakan mereka benar-benar mencengangkan akal.
Ali ibn Abu Talib r.a. tidur di kasur Rasul saw. pada malam beliau
hijrah dari Mekah ke Madinah. Ini berarti sejak awal ia telah rela
dirinya terkena sabetan pedang. Namun, tangan-tangan kaum musryik tetap
menggantung di udara ketika mengetahui bahwa orang yang tidur di tempat
tersebut bukan Rasulullah saw. melainkan putra pamannya, Ali r.a. Adapun
sebab yang membuat tangan mereka kaku di udara adalah sesuatu yang
menakjubkan, karena akal mereka tidak mampu memahaminya.
Bagaimana seorang pemuda berusia 17 tahun dapat melakukan pengorbanan
semacam itu yang bisa menamatkan hidupnya dengan cara paling keji? Kaum
musyrik—termasuk Abu Jahal—tercengang tatkala melihat kenyataan
tersebut. Abu Jahal kemudian pergi ke rumah Abdullah ibn Jahsy dan naik
ke atap lalu di sana ia mendengar embikan kambing di dalam rumah. Ia pun
tidak bisa menutupi keheranannya, karena tidak ada satu pun orang di
rumah itu. Ketika Rasul saw. berhijrah ke Madinah, semua orang segera
ikut berhijrah.
Suatu hari Utbah ibn Rabi‘ah, Abbas ibn Abdul-Muttalib, dan Abu Jahal
ibn Hisyam melintasi rumah keluarga Jahsy yang sedang pergi menuju
dataran tinggi Mekah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa ada satu pun
penghuninya. Melihat hal tersebut, ia bersenandung:
Setiap rumah meskipun dalam waktu lama selamat
suatu saat akan hancur dan binasa.
Selanjutnya, Utbah berkata, “Rumah bani Jahsy kosong ditinggal pergi penghuninya.”[5]
Mereka meninggalkan segalanya: rumah mereka, keluarga mereka, harta
mereka, dan kambing-kambing mereka. Jadi, bagaimana kaum musyrik bisa
memahami hal ini?
Ya. Ketika Abu Bakar r.a. berhijrah dari Mekah ke Madinah, ia tidak
membawa seorang pun keluarganya. Ia tidak membawa istri, ayah, ataupun
anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Mekah dan berhijrah sendirian
[bersama Rasulullah saw.]. Usman ibn Affan r.a. pun tidak membawa
istrinya, Ruqayyah r.a., putri Rasulullah saw. dan penyejuk hatinya.
Seandainya dikatakan bahwa Ruqayyah membutuhkan orang yang siap
berkorban untuknya, tentu semua siap mengorbankan diri untuknya. Namun,
ia menetap di Mekah dan Usman berhijrah seorang diri ke Madinah.
Masa itu adalah masa orang-orang yang secara tulus dan ikhlas terpaut
dengan Rasul saw. Sikap mereka mengikuti dan mencintai Muhammad adalah
sesuatu yang menakjubkan. Sampai-sampai Urwah ibn Mas‘ud setelah menemui
Rasul saw. dalam perjanjian Hudaibiah dan melihat perlakuan para
sahabat beliau kepada beliau—ketika beliau berwudu, mereka memperebutkan
air bekas wudunya, ketika beliau membuang ludah, mereka memperebutkan
ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka segera
mengambilnya—Urwah kembali ke Mekah dan berkata, “Kaum apa itu?! Demi
Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah penguasa; Aku telah diutus kepada
kaisar, kisra, dan raja Najasyi. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat
seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh para pengikutnya
seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada
Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh
ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu ia lumurkan dahak
itu ke wajah dan kulitnya. Jika beliau memberikan perintah, mereka
segera melakukannya. Jika beliau berwudu, mereka memperebutkan air bekas
wudunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka
tidak pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.”[6]
Ya. Begitulah tingkat penghormatan dan cinta sahabat kepada Rasulullah
saw., sementara Rasulullah saw. sendiri berkata kepada orang yang
berdiri menghormatinya, “Janganlah kalian berdiri seperti bangsa asing
berdiri untuk mengagungkan satu sama lain.”[7]
Namun, mereka tetap berdiri menghormati beliau, karena semakin merendah
kepada beliau, semakin bertambah kecintaan mereka kepada beliau.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berlari ketika melihat Jibril a.s.
untuk pertama kali. Ini terjadi pada awal turunnya wahyu. Salah seorang
pecinta Rasul saw. berujar, “Seandainya Jibril a.s. melihat hakikat
Muhammad dari balik tirai, pasti ia akan kehilangan kesadaran.” Rasul
saw. semakin mulia ketika hubungannya dengan Allah semakin dekat. Namun,
semakin mulia, beliau pun semakin merendah sebab beliau menganggap
dirinya hanya seorang manusia. Beliau tidak mau diperlakukan dengan cara
yang melampaui batas dan merasa risih dengan perlakuan demikian.
Itulah era saat hati dan jiwa para sahabat berpadu bersama Rasulullah
saw. Sampai-sampai beliau berkata kepada mereka, “Kehidupan adalah
kehidupan kalian dan kematian adalah kematian kalian.”[8]
Ucapan ini tidak dilontarkan untuk menghibur mereka, namun untuk
menggambarkan kesatuan hati dan jiwa. Saat tiba perintah kepada mereka
untuk berhijrah di tanah Allah yang luas guna menyebarkan Islam, mereka
tidak menyanggah dan bertanya, “Mengapa?” Akan tetapi, mereka segera
berhijrah dan bertebaran di muka bumi demi Islam tanpa pernah berpikir
kembali ke tanah air mereka. Mereka lebih memilih mati di tanah air baru
tanpa keraguan sedikit pun atas hijrah yang mereka lakukan.
Ketika Sa‘ad ibn Abi Waqqash menderita sakit panas di Mekah, ia sangat
bersedih. Rasul saw. bertanya tentang sebab kesedihannya itu. Ia
menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah aku ditinggal setelah
sahabat-sahabatku pergi?” Dalam riwayat lain: “Apakah aku tertinggal
dalam berhijrah? Aku khawatir meninggal dunia di sini di Mekah, bukan di
Madinah tempat tujuan hijrah yang telah menjadi kota penuh berkah
dengan keberadaanmu di sana. Aku khawatir hijrahku menjadi cacat dan
tidak sempurna.” Itu karena keterpautan para sahabat dengan kota Madinah
mengacu kepada cinta mereka kepada Rasulullah saw. yang memutuskan
untuk menetap di sana. Mereka benar-benar cinta kepada beliau. Namun,
ketika ada perintah kepada mereka untuk berhijrah ke seluruh pelosok
dunia untuk menyebarkan Islam, tidak tampak keraguan atau penolakan
sedikit pun dari mereka karena mereka mencintai Islam. Sebagaimana
Majnun yang tergila-gila kepada Laila terus berada di seputar Laila,
hati para sahabat telah terpaut dan tertarik untuk menyebarkan Islam ke
seluruh penjuru guna mendapatkan rida Allah Swt. dan rida Rasul-Nya saw.
Ya. Ketika datang perintah kepada mereka, mereka segera bertebaran di
seluruh pelosok dunia. Di antara mereka ada yang pergi ke Tabuk, ada
yang pergi ke Yaman, serta ada yang pergi ke Hadramaut dengan semangat
tak tertandingi.
Ketika sejumlah negara dan pemerintah berusaha menghalangi perjalanan
dan perluasan Islam serta berusaha menghadang para pejuang itu, terpaksa
kaum muslim menghunus pedang mereka karena mereka memikul tugas suci:
menyebarkan cahaya di bumi. Tatkala para musuh menggunakan kekuatan
materi untuk menghalangi mereka, terpaksa para sahabat menggunakan
kekuatan pula untuk menghadapi mereka.
Telah tiba waktunya untuk berjihad dan berperang. Dalam hal ini mereka
tidak berlambat-lambat, namun bersegera menuju kancah perang. Mereka
membunuh dan terbunuh, tetapi tidak satu pun dari mereka lari
meninggalkan medan perang. Dalam setiap perang, mereka berhasil
mendapatkan kemenangan hingga akhirnya sampai ke negeri Cina. Sebagai
individu dan masyarakat, mereka adalah contoh kepahlawanan yang hanya
bisa dikenang dalam legenda.
Rasul saw. tidak membebani siapa pun melebihi batas kemampuannya.
Kendati demikian, setiap sahabat rela memikul tugas yang nyaris
melampaui kemampuannya dan saling berlomba dalam hal tersebut. Ali r.a.
mengeluhkan sakit pada matanya ketika Rasul saw. hendak menuju Khaibar.
Karena itu, beliau ingin agar Ali tetap berada di Madinah, namun Ali
r.a. tidak rela dan menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
engkau akan membiarkanku bersama anak-anak kecil dan wanita? Wahai
Rasulullah, demi Allah, aku tidak ingin engkau keluar ke sebuah negeri
kecuali aku bersamamu.”[9] Demikianlah, akhirnya ia ikut serta dalam Perang Khaibar dan Allah membuka Khaibar lewat tangannya.
Suatu kali, ketika Rasul saw. pergi dari Madinah, beliau menyerahkan
urusan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum yang merupakan salah satu kerabat
dekat Khadijah al-Kubra r.a. Jadi, orang semacam inilah yang
diperbolehkan tidak ikut ke medan jihad karena ia buta dan lanjut usia.
Sebetulnya bisa saja ia tidak ikut serta ke medan jihad sepanjang
hidupnya, namun ia juga turut keluar berjihad di bumi Allah yang luas
ini bersama para pejuang lain di jalan Allah. Ini dilakukannya setelah
kematian Rasulullah saw. Tidak ada yang dapat mengecualikannya untuk
tidak ikut keluar dengan alasan buta. Ia bergabung dengan pasukan yang
menuju Qadisiah meskipun usianya sudah lanjut. Sejumlah riwayat
mengatakan bahwa mereka berusaha menempatkannya di barisan belakang pada
hari peperangan, namun ia bisa sampai ke Panglima Sa‘ad ibn Abi Waqqash
seraya terus meminta izin kepadanya untuk membawa panji. Akhirnya, ia
terbunuh sebagai syahid dalam perang tersebut menurut salah satu
riwayat.[10]
Ini adalah contoh orang yang mengorbankan nyawa di jalan Allah dengan
penuh semangat dan kesungguhan. Kepergian Rasulullah saw. menjadi
kesempatan besar bagi Ibnu Ummi Maktum, sebab seandainya Rasulullah saw.
masih hidup, tentu beliau akan mencegahnya untuk berjihad karena uzur
yang dimilikinya. Saat ini tidak ada lagi yang dapat menghalanginya
untuk ikut berjihad. Karena itu, ia bergembira bisa ikut dalam barisan
pertama.
Abu Thalhah adalah orang yang sangat tua dan telah lemah. Suatu ketika
saat membaca surah al-Tawbah dan sampai pada ayat: “Pergilah berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat,”
ia memanggil istri dan anak-anaknya. Ia berkata kepada mereka, “Aku
merasa Tuhan meminta berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua.
Siapkanlah diriku.” Anak-anaknya berkata, “Engkau telah berjuang bersama
Rasulullah saw. hingga beliau meninggal dunia. Juga dengan Abu Bakar
dan Umar. Sekarang biarlah aku berperang menggantikanmu.” Namun, Abu
Thalhah bersikeras dengan permintaannya, “Siapkanlah diriku!” Tidak ada
gunanya ucapan dan rayuan kepadanya. Karena itu, mereka bangkit untuk
menaikkannya ke kuda dan mengikatnya dengan baik. Tetapi, tubuh lemahnya
tidak dapat menghadapi penatnya perjalanan panjang. Ia pun menyerahkan
nyawanya di tengah lautan.[11] Barangkali sebelum wafat ia bersyukur kepada Allah Swt. atas kesempatan yang diberikan kepadanya.
Khalid ibn Zaid (Abu Ayyub al-Anshari r.a.) pada masa Yazid ibn
Muawiyah ikut serta dalam rombongan yang menuju Konstantinopel meskipun
ia sudah sangat tua. Ia menempuh jarak yang jauh itu hingga sampai ke
pintu Konstantinopel. Ketika Nabi saw. berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub
al-Anshari telah menikah dan memiliki sejumlah anak. Telah berlalu
sekitar 50 tahun ketika ia keluar bersama pasukan Islam untuk membuka
Konstantinopel di bawah pimpinan Yazid ibn Muawiyah. Dengan demikian,
usianya sekitar 80 tahun ketika ia berjihad bersama pasukan itu. Ia
menempuh jarak yang sangat jauh dari Madinah menuju Istambul di atas
punggung kuda. Di sini aku ingin bertanya, “Apakah tujuan para sahabat
dan orang-orang seperti mereka dalam berjuang?” Banyak ayat dan hadis
memuji mereka.
Al-Quran berbicara tentang mereka sebagai kaum Muhajirin dan Ansar.
Orang-orang semacam mereka juga disebutkan dalam Taurat dan Injil.
Mereka telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Kalian akan membuka
Konstantinopel, maka pemimpin terbaik adalah pemimpinnya dan pasukan
terbaik adalah pasukan itu.”[12]
Jadi, tujuan mereka adalah menjadi pasukan penuh berkah itu dan meraih
rida Rasul saw. Jika tidak, apa lagi motif dari perjuangan besar dan
penderitaan itu? Rasulullah saw. mengisyaratkan kedudukan tertinggi bagi
pasukan yang berhasil membuka Konstantinopel. Para sahabat tentu ingin
mendapatkannya sehingga berlomba untuk itu.
Itulah tujuan dan target Abu Ayyub al-Anshari r.a. Karena itulah, ia
bangkit dan bertolak dari Madinah lalu menempuh jarak yang panjang dalam
sebuah perjalanan berat dan melelahkan. Minggu demi minggu dan bulan
demi bulan berlalu, namun pembukaan dan pendudukan itu belum terwujud.
Penyakit dan kepenatan menimpa sahabat yang telah tua itu. Ia selalu
bertanya apakah pendudukan sudah terwujud. Saat ia sekarat, Panglima
Yazid ibn Muawiyah menanyakan permintaan terakhirnya. Ia berkata, “Jika
aku mati, naikkanlah aku dan bawalah ke negeri musuh selama
memungkinkan. Jika sudah tidak memungkinkan, kuburkanlah aku kemudian
kembalilah!” Ketika telah meninggal dunia, Yazid mengangkut lalu
membawanya ke negeri musuh. Ketika keadaan tidak lagi memungkinkan,
Yazid menguburnya di benteng Konstantinopel dan kembali.[13]
Kira-kira enam abad kemudian, Allah Swt. memberikan kehormatan
terwujudnya kabar gembira ini kepada sang pahlawan Muhammad al-Fatih
yang ketika itu baru berusia 22 tahun. Ia sangat beruntung mendapatkan
kabar gembira Rasul saw. berikut ridanya serta berhasil menunaikan tugas
besar yang mengakhiri suatu era dan memulai era baru dalam sejarah umat
manusia sekaligus menampilkan semangat Islam kepada Eropa. Di antara
takdir Allah, namanya sama dengan nama Nabi saw. Ia bernama Muhammad dan
bergelar al-Fatih setelah berhasil membuka [Konstantinopel yang
kemudian diubah menjadi] Istambul. Tentu jiwa Abu Ayyub al-Anshari
sangat senang mendengar sorak kegembiraan Muhammad al-Fatih saat memuji
Allah atas kemenangan itu dan memasuki kota tersebut di atas punggung
kuda. Pemimpin [terbaik] itu adalah al-Fatih dan pasukan [terbaik] itu
adalah pasukannya.
Demikianlah orang-orang yang telah merelakan dirinya untuk jihad
semacam itu atau untuk jihad dalam memberikan dakwah dan petunjuk ketika
mereka menduduki berbagai negeri, sehingga negeri-negeri itu tetap
berada dalam kekuasaan mereka selama berabad-abad. Namun, ketika
penyakit “cinta duniadan takut mati” menghinggapi hati umat
Islam—sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam beberapa hadisnya, mereka
mulai kehilangan negeri-negeri itu satu demi satu.
Dua atau tiga masa sebelum ini kita memiliki posisi dan kedudukan
penting dalam sejarah manusia dan percaturan internasional. Namun, saat
ini kita kehilangan kedudukan dan posisi tersebut. Dalam hal ini hanya
ada satu penjelasan. Pada masa kemajuan, kita memiliki semangat Islam,
tunduk kepada Allah, dan menyerah total kepada seluruh perintah-Nya,
sementara pada masa kemunduran penyakit wahn telah menghinggapi
hati kita. Dengan kata lain, yang ada dalam diri kita adalah rasa takut
mati, kelemahan, cinta dunia, dan kecemasan menghadapi masa depan.
Umat Islam telah menguasai seluruh dunia—dengan kecepatan
menakjubkan—selama sekitar seribu tahun dan memimpin dunia dengan baik.
Mungkinkah kita mengembalikan keberhasilan tersebut kepada sebab selain
bahwa kaum muslim dulu telah mengorbankan seluruh milik mereka, baik
jiwa maupun harta, di jalan Allah Swt.?
Kita melihat semangat yang sama pada semua pejuang dan pahlawan dunia
Islam. Mereka tidak terpaut dengan rasa cinta kepada kehidupan, tetapi
mereka senang mempersembahkan kehidupan ini untuk orang lain. Tujuan
mereka hanya satu: menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Kita melihat sikap ini pada Alip Arselan, Kalj Arselan, Sultan Murad,
Muhammad al-Fatih, dan Yawuz Salim, serta para pahlawan lainnya. Dalam
Perang Malazghirat yang terkenal, Alip Arselan memakai jubah putih. Ia
berdiri di depan pasukannya dan menyampaikan pidato yang berapi-api.
Dalam pidatonya, ia berkata bahwa ia berdoa kepada Allah agar jubah
putihnya itu menjadi kain kafannya. Artinya, ia lebih menginginkan
kematian syahid daripada kemenangan. Karena itu, ia memakai kain
kafannya dan tanpa ragu-ragu menerobos pasukan yang jumlahnya
berkali-kali lipat melebihi jumlah pasukannya. Siang harinya, ia
mendapatkan kemenangan, namun ada hal yang membuatnya sedih: ia belum
ditakdirkan untuk mendapatkan syahid dalam perang.
Sultan Murad I berdoa kepada Allah sebelum perang untuk memenangkan
kaum muslim dan memberinya kematian syahid. Ternyata, doanya dikabulkan.
Pasukannya menang dan ia sendiri mati syahid. Ketika ia tertusuk pedang
besar di dadanya dan tersungkur ke tanah, mereka menanyakan permintaan
terakhirnya. Selepas mengucap dua kalimat syahadat, ia mengungkapkan
kata-kata terakhirnya, “Janganlah kalian turun dari punggung kuda!”
Negara yang didirikan oleh orang-orang seperti mereka memiliki
kedudukan internasional sepanjang masa. Seluruh mata senantiasa
memandangnya. Ya, pengorbanan semacam itu yang diperlihatkan oleh para
pahlawan dan menempatkan rida Allah di posisi pertama itulah yang
menjamin kelangsungan hidup kita dengan penuh kemuliaan.
Ketika kita kehilangan semangat ini, musuh mengepung kita dari berbagai
arah dan mulai menelan kita secara berangsur-angsur. Ya. Pertama-tama
kita mati dalam hal semangat, kemudian dalam hal kemuliaan, dan
selanjutnya dalam hal fisik. Sekarang kita mengharapkan bantuan dari
negara-negara besar dan kita menganggap penundaan pembayaran utang
kepada negara-negara itu sebagai kesuksesan besar.
Jika umat ini ingin kembali kepada kemuliaannya seperti sediakala, ia
harus menerapkan semua faktor yang telah membuatnya mulia pada masa
sebelumnya tanpa mengabaikan satu pun faktor, karena “manusia tidak memperoleh kecuali apa yang telah
[1] H.R. Bukhari dan Muslim.
[2] H.R. Bukhari dan Muslim.
[3] Ibnul-Atsir, al-Kâmil fî al-Târikh,IV, h. 106.
[4] Penulis menulis ini sebelum negara-negara tersebut terlepas dari pendudukan Rusia.
[5] Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, II, h. 114 – 115.
[6] H.R. Bukhari; Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah,III, h. 328; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, IV, h. 175.
[7] H.R. Abu Daud dan Imam Ahmad.
[8] H.R. Muslim dan Imam Ahmad.
[9] H.R. Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad.
[10] Ibnul-Atsir, Usud al-Ghâbah,IV, h. 264.
[11] Ibid., VI, h. 181 – 182.
[12] H.R. al-Hakim dan Imam Ahmad.
[13] Ibnu Hajar, al-Ishâbah,II, h. 274 dan Ibnu Sa‘ad, al-Thabaqât,III, h. 484.