Senin, 17 Oktober 2016

Kebangkitan Revolusi Isalam Imam Khomeini



Berbicara tentang Imam Khomeini pastilah tidak akan terlepas dari dua dimensi besar beliau, yaitu politik dan kearifan (irfan). Kecakapan dalam kepemimpinan dan kecerdasan spiritual inilah yang menjadikan nama beliau abadi dalam torehan tinta emas sejarah kehidupan manusia. Hamid Algar dalam sebuah artikelnya "The Fusion of The Gnostic and The Political in The Personality and Life of Imam Khomeini" menyatakan bahwa semua yang secara dekat mengenal beliau maupun yang hanya sebentar bertemu beliau memberikan kesaksian bahwa beliau memiliki pandangan yang melampaui batas politik. Keberpaduan politik dan kearifan inilah yang tampaknya merupakan ciri khusus beliau.

Namun, dalam note sederhana ini, saya hanya ingin berbagi sedikit seputar dimensi kearifan beliau. Imam Khomeini merupakan sosok teosentris, yang selalu menjadikan Allah sebagai tujuan. Semua perjuangan dan gerakan beliau semata-mata demi meraih keridaan-Nya. Ini tampak dalam jawaban beliau kepada Yasser Arafat (18 Februari 1979) yang berkata bahwa ketika Israel dapat berlindung dan bergantung kepada Amerika, Palestina juga bisa bersandar kepada bangsa Iran.

Namun, Imam Khomeini justru menjawab, "Tempat berlindung yang kuat hanyalah Allah. Saya menasihati Anda, rakyat saya, dan rakyat Anda untuk selalu berpaling kepada Allah, bukan kepada kekuatan-kekuatan duniawi. Jangan bergantung kepada sesuatu yang material, melainkan kepada yang spiritual. Kekuatan Allah lebih besar ketimbang semua kekuatan duniawi. Dengannya, kita menyaksikan sebuah bangsa yang lemah dan bertangan kosong mampu mengalahkan seluruh kekuatan duniawi, dan Insya Allah akan terus demikian."

Ketundukan dan kerendahan diri beliau di hadapan Allah tak diragukan lagi. Beliau tak pernah sekalipun meninggalkan salat malam (tahajjud), meski dalam kondisi lelah atau sakit sekalipun. Beliau habiskan malam dengan menangis dan bermunajat kepada Allah. Diriwayatkan oleh Hujjatul Islam Ashtiyani bahwa suatu ketika salah seorang keluarga Imam memasuki kamar beliau di rumah sakit sebelum masuk waktu subuh. Ia mendapati Imam tengah menangis tersedu-sedu-hingga wajah beliau basah oleh air mata-sembari bermunajat kepada Allah.

Beliau selalu menganggap ibadah salat lebih penting dari urusan apa pun. Karenanya, salat di awal waktu menjadi rutinitas beliau sehari-hari, meski dalam perjalanan, di penjara, di pengasingan, dan bahkan saat tergolek lemah di rumah sakit. Diriwayatkan oleh Firishte I'rabi bahwa sejak satu jam sebelum masuk Zhuhur, beliau selalu bertanya kepada siapa saja yang menjenguk beliau di rumah sakit, "Berapa lama lagi waktu Zhuhur tiba?" Bahkan ketika kondisi beliau sedang kritis dan tak sadarkan diri, saat itu dokter membisikkan bahwa waktu Maghrib telah tiba, dan subhanallah beliau meresponnya dan segera melaksanakan salat melalui gerakan isyarat tangan dan alis.

Diriwayatkan pula oleh Sayid Ahmad Khomeini bahwa Imam pernah mendadak menghentikan pidato (pada detik-detik terakhir pengasingan beliau di Perancis), hanya karena hendak melaksanakan salat di awal waktu. Padahal situasi itu merupakan momen besar dan efektif, di mana revolusi telah mencapai titik kemenangan yang ditandai dengan kaburnya Syah. Apalagi pidato ini diliput oleh sekitar 150 kamerawan dari berbagai penjuru dunia dan direlai oleh stasiun-stasiun televisi Internasional seperti CNN, BBC, dan lain-lain, juga oleh beragam kantor berita seperti Associated Press, United Press, dan Reuters, termasuk pula media cetak dan radio. Tetapi, semua ini tidak mempengaruhi Imam sedikit pun dalam melaksanakan rutinitasnya tersebut.

Diriwayatkan juga oleh Ayatullah Qarhi bahwa ketika Imam berada di pengasingan Najaf, rumah kecil beliau selalu menjadi tempat berjamaah salat Zhuhur dan Asar. Banyak yang mengikuti salat berjamaah ini, hingga memenuhi rumah dan halaman. Saat Imam memasuki ruangan, beliau begitu berhati-hati dalam melangkah. Hal ini demi agar beliau tidak menginjak sepatu atau jubah orang lain. Luar biasa, hingga sejauh ini cara beliau menghormati hak orang lain.
Diriwayatkan pula bahwa Imam pernah menolak ketika rumah mungil beliau hendak dipasangi pendingin ruangan, sementara saat itu sedang musim kemarau yang begitu panas. Ketika ditanya mengapa beliau menolaknya, beliau menjawab bahwa saat itu warga Afghanistan-yang tengah dijajah oleh Rusia-sedang mengalami kepanasan yang sama.

Masih banyak lagi sebenarnya yang bisa disampaikan. Namun demikian, saya berharap melalui catatan minim di atas setidaknya kita bisa memperoleh deskripsi tentang dimensi kearifan beliau. Karenanya, tak heran bila Syaikh Ahmad Deedat, seorang ulama dan pakar kristologi yang terkenal dengan bukunya The Choice, tak berdaya membendung kekagumannya kepada beliau ketika berkunjung ke Republik Islam Iran pada tanggal 3 Maret 1982.

Ia berkata, "Kami lalu mengunjungi Imam Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini. Setelah menunggu beberapa saat, Imam pun muncul sekitar sepuluh meter dari tempatku. Beliau lalu memberikan khutbah sekitar setengah jam, dan tak ada yang beliau sampaikan kecuali Al-Quran. Orang ini bak komputer Al-Quran saja. Karismanya memang mempesona. Saat melihat wajahnya, tanpa sadar airmata Anda akan menetes di pipi. Anda hanya tinggal menatapnya, maka Anda akan menangis."

Tak terasa, dua puluh dua tahun sudah Imam Khomeini meninggalkan dunia ini untuk kembali kepada Kekasihnya. Namun, saya yakin, perjuangan dan semangatnya akan selalu hidup di hati mereka yang menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Tina Conlon, seorang tokoh Nasrani Kanada, bahkan tanpa ragu mengungkapkan perasaannya, "Saya tidak terlalu mengenal Imam Khomeini, namun saya telah banyak mempelajari beliau sejak enam belas tahun lalu. Saya menganggap beliau salah seorang pemimpin spiritual saya. Beliau memperjuangkan urusan Tuhan dengan menentang penindasan. Beliau melawan kezaliman demi rakyat Iran yang menderita di bawah penindasan Syah. Beliau melawan kezaliman rezim apartheid atas warga kulit hitam Afrika Selatan. Beliau melawan kezaliman atas warga Palestina, yang hingga saat ini tak terlindungi dari kejahatan hanya karena mereka ingin kembali ke rumah mereka."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar