Suluk-suluk Sunan
Bonang
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat
dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan
pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran
tasawufnya yang
disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam
kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah
Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk
Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk
Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan
lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa
seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara
seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak
dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang
dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi
dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti,
smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi
umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli
tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh
mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak
menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai
tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami
keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf
(tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal
Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara
keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi
ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan
mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’
(perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M.
2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai
seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’.
Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf,
ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak
memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap
Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala
sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan
hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung
jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M
menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau
`isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas
penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran
tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis,
suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan
ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana
pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan
ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan
pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan
Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta
citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang
diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra
sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan
merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
(Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka
sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu
dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq)
dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat
suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau
Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan
Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk
tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam
Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk
ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan
Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin
mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin
berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu,
kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang
pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan
wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian
para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin
memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga
menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya
serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak
kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di
dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya
digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai
kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan
maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia
melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk
ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara
sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik
jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan.
Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan
menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian
pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam
Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan
jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian
tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat
peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di
dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam
fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat
al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini
digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan
hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap.
Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada
seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan
kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam
syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia
yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di
dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah
syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan
mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”.
Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang
Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka
dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis,
tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat
diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana
gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan.
Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan,
akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan
jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah
tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa
saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh
Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama..
Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh
al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi
lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa
cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang
membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna
pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah
tempat kediaman Tuhan).
Lanjutan dari Suluk-suluk Sunan Bonang 1, hanya dibahas 2 saja, yaitu
suluk Jebeng dan suluk wujil
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan
mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya
manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat
diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan
Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal
suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti
api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas
dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan
dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Hanya bara dan nyalanya,
hanya kilatan cahaya, hanya asapnya kelihatan. Ketauilah wujud sebelum
api menyala dan sesudah api padam karena serba diliputi rahasia. Adakah
kata-kata yang bisa menyebutkan? Jangan tinggikan diri melampaui ukuran.
Berlindunglah semata kepada-Nya. Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah
ruh. Jangan bertanya. Jangan memuja nabi dan wali-wali. Jangan mengaku
Tuhan. Jangan mengira tidak ada padahal ada. Sebaiknya diam. Jangan
sampai digoncang oleh kebingungan pencapaian sempurna, bagaikan orang
yang sedang tidur dengan seorang perempuan, kala bercinta. Mereka karam
dalam asyik, terlena. Hanyut dalam berahi. Anakku, terimalah
dan pahami dengan baik ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi
sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat
teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928.
Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi
doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah
meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de
Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan
disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978),
disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang
penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful
Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan
kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972).
Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi
seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang
di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes
1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan
ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M)
dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari
Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri
(mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran
ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali
(al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu
”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan
pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu
agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi
kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang
digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra
Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam
(abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks
SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI
merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional
Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh
Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang
(Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam
bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi
karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha
menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan
Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW
tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa
pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu
ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya
Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan
Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera
raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya
dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya
Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari
sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata
nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya
kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu
Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15
tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke
pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini
memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu”
(Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan
munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman
peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang
agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum
Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya
Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang
di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa,
menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di
Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan
huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis
Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika
agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis
teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga
banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa
pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita
pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu
dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu
aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara
demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing
bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu
kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang
masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama,
memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai
mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW
dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang
zaman, di Timur maupun Barat:
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar