Selasa, 04 Oktober 2016

login administrator MAKNA ZIARAH DALAM PEMIKIRAN TASAWUF IBN ‘ARABI DAN RELEVANSINYA DENGAN KEHIDUPAN BERAGAMA MODERN



Mencermati pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi>, terutama dalam konteks pengalaman-pengalaman ziarah yang ia jalankan, sungguh terdapat suatu keunikan, khas, dan tampak berbeda dibanding dengan pemikiran tasawuf sufisufi lain. Tokoh sufi yang dijuluki al-syaikh al-akbar itu adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—seorang sufi berpengaruh yang dalam laku spiritual tasawufnya melakukan perjalanan ziarah, baik kepada guru-gurunya, ke kota suci Mekkah, Madinah, Yerusalem, hingga ziarah ke suatu tempat yang oleh kebanyakan orang (pengertian umum) lazim diidentikkan ke ‘makam’ atau ‘kuburan’ seseorang. Ibn ‘Arabi bukanlah tipologi seorang sufi yang cukup mengandalkan hati (al-qalb) untuk berziarah ke suatu tempat. Meskipun hati menurut kaum sufi merupakan organ tubuh yang disiapkan Allah untuk melakukan kontemplasi dan penyatuan dengan Yang Mutlak, sehingga sangat mungkin dalam melakukan ziarah ke mana pun, dapat dijangkau lewat pengalaman mistiknya, namun Ibn ‘Arabi> melampaui persepsi yang demikian. Ia justru selain memang memfungsikan “indera sufistiknya” untuk berkomunikasi langsung dengan Yang Ilahi, tapi juga melakukanya secara fisikli, yaitu menempuh perjalanan ziarah yang sangat jauh, dari waktu dan tempat berbeda. Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha menjawab teka-teki Ibn ‘Arabi> tentang apa sebenarnya makna ziarah baginya; mengapa ia melakukan ziarah; dan dalam konteks kehidupan beragama modern, berusaha mencari nilai relevansi pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi> dengan zaman modern sekarang ini. Oleh karenanya, upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sekaligus pula menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu dapat mengetahui makna ziarah dalam ajaran tasawufnya. Setelah itu, baru mencari nilai relevansinya dengan kehidupan beragama modern berdasarkan pengalaman-pengalaman ziarah menurut setidaknya tiga agama besar dunia: Kristen (Katolik), Yahudi, dan Islam. Bagi Ibn ‘Arabi, ziarah mempunyai fungsi yang sangat signifikan untuk meningkatkan kualitas kesufiannya. Di samping ziarah, yang memang identik dengan aktivitas berkunjung kepada seseorang yang telah meninggal atau ke tempat-tempat mulia, ia juga melakukan silaturrahmi kepada teman dan gurugurunya. Antara ziarah dan silaturrahmi, memang terdapat perbedaan terutama bila dilihat dari objek tujuannya, tapi Ibn ‘Arabi seringkali melakukannya secara serempak atau bersamaan. Dengan mencermati pengalaman-pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi>, tampak adanya dua kategori ziarah yang ia lakukan, yaitu ziarah dalam arti fisik, seperti kunjungannya ke tanah suci Mekkah dan ziarah ke makam kuburan. Sementara ziarah dalam arti non-fisik atau metafisik, ia lakukan bersama makhluk-makhluk Allah yang gaib, dan termasuk pula saat ia melakukan mi’ra>j menaiki tujuh tingkatan langit. Berdasarkan pengalaman-pengalaman inilah ziarah bagi Ibn ‘Arabi> mempunyai makna setidaknya dua hal, yakni untuk memenuhi panggilan Ilahi, yang menurut pengakuannya, ia mendapat perintah langsung dari-Nya; dan dengan berziarah, menjadikan kualitas kesufian Ibn ‘Arabi semakin tinggi. Pengkajian terhadap makna ziarah Ibn ‘Arabi ini juga memberikan kesadaran bahwa aktivitas ziarah merupakan fakta dan fenomena sosial yang terjadi di semua agama. Ziarah spiritiul Ibn ‘Arabi membangunkan kesadaran umat beragama sekarang ini, adanya ziarah yang hanya berorientasi pada bisnis dan pariwisata (tour) semata. Sementara wisata yang lebih berorientasi pada religiusitas dan spiritual, sangatlah minim terjadi. Hasil pengkajian, sebagaimana dipaparkan di atas, tentu memerlukan ketekunan dalam melakukan analisa. Pelacakan terhadap ajaran-ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi yang berkenaan dengan ziarah, tidaklah mudah dilakukan. Selain karena betapa rumit memahami bahasa yang ia gunakan di beberapa karyanya, juga tidaklah sistematis dan terkesan acak di lembaran-lembaran tulisannya. Untuk mengatasi problem ini, penulis menggunakan perangkat atau unsur-unsur metode: (1) Deskripsi, yakni dengan mengutip langsung pendapat-pendapat Ibn ‘Arabi>, (2) Interpretasi, digunakan untuk menafsir makna dari pendapatnya, dan (3) Komparasi, yang penulis gunakan untuk membandingkan pendapatnya itu dengan tokoh-tokoh sufi lain. Kemudian agar lebih jauh dalam memahami pemikirannya, penulis menggunakan pendekatan sufistik dan sosio-antropologis. Pendekatan sufistik dimaksudkan untuk menangkap secara empatik maksud dan tujuan filosofi pemikirannya tentang ziarah, yang itu merupakan bagian dari ajaran tasawufnya. Sedangkan pendekatan sosio-antropologis merupakan perangkat analisis yang digunakan penulis untuk mengurai fenomena ziarah sebagai fakta yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Ibn ‘Arabi, tapi juga oleh masyarakat luas di zaman modern. Penulis sengaja memilih pendekatan sosio-antropologis, karena hasil penjelasan dalam penelitian ini tidak menginginkan suatu uraian bercorak teologis, yang cenderung larut dalam perdebatan fiqhiyah soal boleh tidaknya seseorang melakukan ziarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar