Mencermati
pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi>, terutama dalam konteks
pengalaman-pengalaman ziarah yang ia jalankan, sungguh terdapat suatu
keunikan, khas, dan tampak berbeda dibanding dengan pemikiran tasawuf
sufisufi
lain. Tokoh sufi yang dijuluki al-syaikh al-akbar itu adalah salah
satu—untuk
tidak mengatakan satu-satunya—seorang sufi berpengaruh yang dalam laku
spiritual tasawufnya melakukan perjalanan ziarah, baik kepada
guru-gurunya, ke
kota suci Mekkah, Madinah, Yerusalem, hingga ziarah ke suatu tempat yang
oleh
kebanyakan orang (pengertian umum) lazim diidentikkan ke ‘makam’ atau
‘kuburan’ seseorang.
Ibn ‘Arabi bukanlah tipologi seorang sufi yang cukup mengandalkan hati
(al-qalb) untuk berziarah ke suatu tempat. Meskipun hati menurut kaum
sufi
merupakan organ tubuh yang disiapkan Allah untuk melakukan kontemplasi
dan
penyatuan dengan Yang Mutlak, sehingga sangat mungkin dalam melakukan
ziarah ke mana pun, dapat dijangkau lewat pengalaman mistiknya, namun
Ibn
‘Arabi> melampaui persepsi yang demikian. Ia justru selain memang
memfungsikan “indera sufistiknya” untuk berkomunikasi langsung dengan
Yang
Ilahi, tapi juga melakukanya secara fisikli, yaitu menempuh perjalanan
ziarah
yang sangat jauh, dari waktu dan tempat berbeda.
Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha menjawab teka-teki Ibn
‘Arabi>
tentang apa sebenarnya makna ziarah baginya; mengapa ia melakukan
ziarah; dan
dalam konteks kehidupan beragama modern, berusaha mencari nilai
relevansi
pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi> dengan zaman modern sekarang ini. Oleh
karenanya, upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sekaligus
pula
menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu dapat mengetahui makna ziarah
dalam
ajaran tasawufnya. Setelah itu, baru mencari nilai relevansinya dengan
kehidupan
beragama modern berdasarkan pengalaman-pengalaman ziarah menurut
setidaknya tiga agama besar dunia: Kristen (Katolik), Yahudi, dan
Islam.
Bagi Ibn ‘Arabi, ziarah mempunyai fungsi yang sangat signifikan untuk
meningkatkan kualitas kesufiannya. Di samping ziarah, yang memang
identik
dengan aktivitas berkunjung kepada seseorang yang telah meninggal atau
ke
tempat-tempat mulia, ia juga melakukan silaturrahmi kepada teman dan
gurugurunya.
Antara ziarah dan silaturrahmi, memang terdapat perbedaan terutama
bila dilihat dari objek tujuannya, tapi Ibn ‘Arabi seringkali
melakukannya secara
serempak atau bersamaan.
Dengan mencermati pengalaman-pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi>, tampak
adanya dua kategori ziarah yang ia lakukan, yaitu ziarah dalam arti
fisik, seperti
kunjungannya ke tanah suci Mekkah dan ziarah ke makam kuburan.
Sementara
ziarah dalam arti non-fisik atau metafisik, ia lakukan bersama
makhluk-makhluk
Allah yang gaib, dan termasuk pula saat ia melakukan mi’ra>j menaiki
tujuh
tingkatan langit. Berdasarkan pengalaman-pengalaman inilah ziarah bagi
Ibn
‘Arabi> mempunyai makna setidaknya dua hal, yakni untuk memenuhi
panggilan
Ilahi, yang menurut pengakuannya, ia mendapat perintah langsung
dari-Nya; dan
dengan berziarah, menjadikan kualitas kesufian Ibn ‘Arabi semakin
tinggi.
Pengkajian terhadap makna ziarah Ibn ‘Arabi ini juga memberikan
kesadaran
bahwa aktivitas ziarah merupakan fakta dan fenomena sosial yang terjadi
di
semua agama. Ziarah spiritiul Ibn ‘Arabi membangunkan kesadaran umat
beragama sekarang ini, adanya ziarah yang hanya berorientasi pada bisnis
dan
pariwisata (tour) semata. Sementara wisata yang lebih berorientasi pada
religiusitas dan spiritual, sangatlah minim terjadi.
Hasil pengkajian, sebagaimana dipaparkan di atas, tentu memerlukan
ketekunan dalam melakukan analisa. Pelacakan terhadap ajaran-ajaran
tasawuf
Ibn ‘Arabi yang berkenaan dengan ziarah, tidaklah mudah dilakukan.
Selain
karena betapa rumit memahami bahasa yang ia gunakan di beberapa
karyanya,
juga tidaklah sistematis dan terkesan acak di lembaran-lembaran
tulisannya.
Untuk mengatasi problem ini, penulis menggunakan perangkat atau
unsur-unsur
metode: (1) Deskripsi, yakni dengan mengutip langsung pendapat-pendapat
Ibn
‘Arabi>, (2) Interpretasi, digunakan untuk menafsir makna dari
pendapatnya, dan
(3) Komparasi, yang penulis gunakan untuk membandingkan pendapatnya itu
dengan tokoh-tokoh sufi lain.
Kemudian agar lebih jauh dalam memahami pemikirannya, penulis
menggunakan pendekatan sufistik dan sosio-antropologis. Pendekatan
sufistik
dimaksudkan untuk menangkap secara empatik maksud dan tujuan filosofi
pemikirannya tentang ziarah, yang itu merupakan bagian dari ajaran
tasawufnya.
Sedangkan pendekatan sosio-antropologis merupakan perangkat analisis
yang
digunakan penulis untuk mengurai fenomena ziarah sebagai fakta yang
terjadi
tidak hanya dilakukan oleh Ibn ‘Arabi, tapi juga oleh masyarakat luas di
zaman
modern. Penulis sengaja memilih pendekatan sosio-antropologis, karena
hasil
penjelasan dalam penelitian ini tidak menginginkan suatu uraian
bercorak
teologis, yang cenderung larut dalam perdebatan fiqhiyah soal boleh
tidaknya
seseorang melakukan ziarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar