Sabtu, 29 Oktober 2016

KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DALAM KONSTELASI POLITIK IRAN DAN LEBANON DI TIMUR TENGAH



Timur Tengah merupakan kawasan yang dikenal kaya akan sumber daya minyak dan derajat etnisitas yang tinggi. Meski demikian, nyatanya kelebihan ini tidak kemudian menciptakan perdamaian di wilayah itu. Konstelasi politik dan konflik yang berbau perebutan teritorial hingga pegaruh nilai yang ada menjadi isu yang terus bergulir di kawasan ini. Iran, Lebanon, Palestina dan Israel merupakan empat aktor yang juga menyumbang peran dalam drama politik regional Timur Tengah. Masing-masing memiliki ranah dan kasusnya sendiri, dan juga terkait satu sama lain.
Iran dan Determinasinya di Timur Tengah
Revolusi Iran merupakan sebuah peristiwa yang menjadi pemacu utama tergelorakannya semangat kebangkitan Islam di Timur Tengah dan bahkan dunia dengan cara jihad (Rabasa, 2003: 9). Bahkan Aghsan dan Jakobsen (2010: 559) mengatakan bahwa, Iran is generally portrayed as an unstoppable force with a capacity and a will to dominate the Persian Gulf and even the Middle East. Kajian terhadap negara Iran menunjukkan tiga indikasi utama dari semangat kebangkitan ini, yakni keinginan Iran untuk meningkatkan prestige di dunia Muslim, upaya balance of power dengan Arab Saudi dan peningkatan kekuatan detterence Iran dalam menghadapi tantangan eksternal, utamanya Amerika Serikat (Aghsan dan Jakobsen, 2010). Alasan Iran memiliki kepentingan yang sedemikian rupa tidak dapat dipisahkan dari alasan sebagai pengekspor minyak terbesar kedua di dunia, destinasi transit kapal minyak secara geografis dan teropong utama bagi perkembangan Afghanistan (Zanchetta, nd dalam mercury.ethz.ch). Hal inilah yang mendorong kekuatan Iran ingin ditumbuhkan secara signifikan.
Jalur hard power maupun soft power dilakukan Iran untuk meningkatkan derajat kekuatannya. Hal ini terbukti dari aktivitas penggelontoran dana bagi basis militer Iran dan proliferasi nuklir Shahab-1 hingga Shahab-3 yang sempat menjadi perbincangan internasional. Kemudian secara diplomatis, Iran melakuan pendekatan militan dengan kelompok Hamas di Palestina dan Hizbullah di Lebanon, serta melakukan kerja sama dengan negara-negara Gulf Corporation Council (GCC). Hal ini dilakukan untuk mendukung peningkatan basis militer Iran karena negara GCC seperti Bahrain, Qatar, Kuwait, Oman, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mampu diajak bekerjasama terkait pengadaan pesawat tempur, kapal tempur dan tank yang berteknologi tinggi serta personil dan lapangan pelatihan (Aghsan dan Jakobsen, 2010: 563). Soft power yang diperlihatkan Iran lebih kearah gaya kepemimpinan Mahmood Ahmadinejad yang denga beraninya menentang Eropa dan AS melalui paradigma revolusioner, dan sebaliknya justru mendukung penuh Hamas serta Hizballah dalam jihadnya (Zanchetta, nd dalam mercury.ethz.ch). Dan dengan ini Iran semakin menorehkan lompatan di tengah keruntuhan Pan-Arabisme (Aghsan-Jakobsen, 2010: 563). 
Namun Iran tidak lepas dari hambatan menuju kebangkitannya. Agresifitas Iran dianggap memicu arm race di Timur Tengah dan mendorong negara GCC beraliansi dengan AS untuk menyeimbangkan kekuatan. Sedangkan dari segi internalnya, Iran menghadapi polaritas pemerintahan dimana Supreme Leader mengalami delegitimasi akibat perbedaan ideologi yang menghambat pemecahan kebijakan. Hambatan internal lain adalah krisis ekonomi pasca revolusi akibat anjloknya harga minyak dunia (Aghsan dan Jakobsen, 2010: 567). Hambatan ini mengakibatkan perkembangan Iran cenderung tidak pasti di Timur Tengah. Dari hambatan yang ada, isu penolakan prolierasi nuklir menjadi isu panas di mata internasional. pembangunan nuklir yang ditujukan bagi perdamaian dan sumber enerli bagi Iran dituding sebagai ancaman internasional karena banyaknya keterkaitan Iran dengan kelompok teroris (Mousavi, 2010). Tentu saja penghakiman ini keluar dari AS yang akhirnya membagun aliansi dengan Inggris, Perancis dan Jerman berkaitan dengan penolakan kepemilikan nuklir oleh Iran. Alhasil, pada tahun 2006, IAEA sebagai Badan Energi Atom Internasional memberikan laporan pelanggaran Iran kepada Dewan Keamanan PBB atas material berbahaya yang ditimbun Iran, padahal Artikel 4 Iran menyatakan hak proliferasi nuklirnya.
Meski demikian, sejarah Perang Iran-Iraq mengajarkan pada Iran bahwa AS tidak akan mengijinkan program apapun yang mengancam kepentingannya termasuk nuklir Iran. Sehingga Iran gigih mempertahankan proliferasi nuklirnya (Mousavi, 2010). Pihak internasional lebih pada kekhawatiran akan stabilitas regional Timur Tengah yang dipertaruhkan oleh Iran jika terjadi kompetisi nuklir karena Arab, Mesir, juga Turki memilikikapabilitas untuk membangun senjata tersebut. AS menjadi pihak yang ikut campur karena hubungannya dengan negara GCC sebagai payung keamanan militer yang masih bergantung pada AS (Raigh-Hasan & Jakobsen, 2010). Kebangkitan Iran ini kemudian secara tidak langsung didukung oleh beberapa faktor seperti kegagalan kebijakan Amerika, naiknya harga minyak, serta konflik Israel dan Palestina. Revolusi Iran (1979) itu sendiri tidak terlepas sebagai faktor pemberi energi kebangkitan Iran, karena kekuatan ideologi Islam Iran, ancaman utama yakni AS, Yahudi Israel sebagai public enemy di Timur Tengah dengan perspektif Zionisme serta berbagai persengketaan di pulau-pulau Teluk Persia yang mungkin saja melebar (Larijani, 2007 dalam Hadian & Hormozi, 2011 : 26).
Kondisi ini diperparah oleh trauma Iran atas lambatnya penanganan PBB terhadap kasus Perang Irak-Iran yang dapat dikategorikan war crimes dan membawa banyak kerugian bagi Iran. Sehingga Iran tidak lagi mempercayakan national security and defence dalam ranah PBB (Hadian & Hormozi, 2011 : 27). Faktor self-pride Iran yang menjunjung tinggi martabat identitasnya pasca Revolusi Iran 1979 membuat kebijakan Iran belawanan dengan pendapat pihak Barat. Seluruh kondisi inilah yang membuat Iran terus mengobarkan semangat kebangkitan Islam di seluruh dunia melalui cara hard power dan soft power. Tidak menutup kemungkinan bahwa Iran akan mampu menjadi penguasa Timur Tengah meskipun saat ini perilakunya telah melunak pasca pergantian tampuk kepemimpinan. Hal ini didukung oleh perkembangan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan militer yang signifikan dalam negara. Bahkan ahli strategi perang Iran telah dilatih dengan pesat untuk meningkatkan kemampuan taktis negara ini.
Lebanon dan Shi’ah Triangle
Pemerintahan Lebanon merupakan salah satu pemerintahan yang dipengaruhi oleh segitiga axis Syi’ah yang terdiri atas Iran, Suriah dan Hizbullah yang saling berhubungan sejak tahun 1990an di bidang meliputi perwujudan kedamaian, kemakmuran ekonomi, berakhirnya ideologi yang dianggap tidak relevan dan modernisasi (Amidror, 2007: 1). Segitiga Syi’ah ini berkonotasi ganda, yakni sebagai kelompok ideologi radikal dan organisasi aksi fisik yang bahkan bergerak hingga ke kubu Sunni Palestina akibat munculnya Amerika Serikat dan Timur Tengah sebagai musuh bersama (Amidror, 2007: 1). Adanya konflik Israel-Palestina menyeret Lebanon (selatan) masuk dalam perebutan teritorial dengan Israel selama 22 tahun, akibat geografis Lebanon dan Israel yang berhimpitan. Pasca tahun 2000, okupasi Israel diakhiri, namun tensi kekerasan tetap terjadi dan menjadi kekhawatiran masyarakat setempat. Ditambah lagi dengan pergerakan dari aktor regional seperti Hizbullah, kelompok rakyat Palestina yang berbasis di Lebanon, dan Suriah, memiliki agenda tersendiri (Najem, 2000: 4006). Perebutan Lebanon Selatan ini terjadi setelah peristiwa pengusiran pasukan gerilya Palestina (PLO) dari Yordania ke Lebanon Selatan tahun 1970an.
Lebanon kemudian memiliki nilai yang sangat strategis dalam konflik ini akibat letak geografisnya yang memungkinkan kesempatan untuk meluncurkan serangan militer terhadap Israel (Najem, 2000: 4006). Dukungan Lebanon kepada Palestina didasari kepentingan terhadap transformasi ideologi menuju Sunni bagi sistem politik baru dan juga sebagai tameng utama kawasan Lebanon Selatan yang dijaga oleh Hizballah. Perang yang ada di Lebanon sendiri terjadi pada tahun 1975 dan 2006 akibat polarisasi pandangan elit domestik Lebanon tentang kedatangan PLO. Kristen Maronit menolak PLO karena pada akhirnya mendorong invasi Israel ke Lebanon Selatan pada tahun 1978 dan 1982 dengan mendirikan security zone (Najem, 2000: 4007). Suriah, Iran dan Hizballah berhasil mengusir pasukan Israel ini. Akibat hal ini, Hizballah menuntut peningkatan kapasitas militernya dan menjadi aktor dominan dalam pemerintahan Lebanon kemudian. Perguliran konflik teritoal yang makin rumit ini justru menguntungkan pihak Suriah dalam okupasi ke Israel terkait kasus bukit Golan sekaligus sebagai real bargaining chip dalam diplomasi. Mengetahui kepentingan ini, Israel kemudian menarik pasukannya dengan mandat Ehud Barak, sehingga Suriah tidak akan memiliki alasan lagi untuk menjustifikasi peran mereka secara terus-menerus di Lebanon (Najem, 2000: 4008).
Namun Suriah kemudian tetap mengontrol integrasi Lebanon Selatan yang dipegang Hizballah dalam negara Lebanon itu sendiri melalui mekanisme kontrol politik, sehingga menimbulkan tuntutan Suriah untuk menarik diri dari Lebanon (Najem, 2000: 4008). Meski demikian, paduan Hizballah, Amal dan Suriah mampu menciptakan stabilitas politik bagi Lebanon dan bahkan menindaklanjuti SLA dengan menyediakan pengadilan militer sebagai arbitrary show trials. Konflik Israel-Palestina yang berlarut mengakibatkan banyaknya kepentingan negara lain yang masuk baik secara langsung seperti Iran dan Suriah maupun secara tidak langsung layaknya Lebanon yang disetir oleh Iran dan Suriah. Bahkan, d Dalam Arab Summit yang baru terjadi, Suriah mengajukan pemberhentian normalisasi hubungan dengan Israel hingga krisis bisa diatasi. Bagi Suriah, kalkulasi level kerugian, opini publik dan legitimasi Bashar Al-Assad di Suriah yang belum kuat kala itu juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan (Najem, 2000: 4009).
Pengaruh Iran di Lebanon juga sangat kuat, hal ini terlihat dari beberapa indikasi. Konflik antara Sunni dan Syi’ah di Lebanon semakin memanas karena keberadaan segitiga axis dari Iran, Suriah, dan Hizbullah yang bertujuan memompa kekuatan dibanding negara-negara Sunni dan mengusir segala bentuk intervensi asing seperti Amerika Serikat (Amidror, 2007: 2). Tameng nuklir sebagai senjata penjagaan status pemimpin regional dan tameng terhadap ideologi yang berlawanan, membuat konflik semakin memanas. Proliferasi nuklir seperti yang diketahui pernah dilakukan oleh Shah Iran dan didukung oleh Hamas, Hizbullah dan Fatah, bahkan semakin mendorong semangat untuk memerangi Israel (Amidror, 2007: 2). Segitiga Syi’ah juga secara tidak langsung mengintimidasi melalui konstelasi harga minyak dunia, dukungan terhadap oposisi Sunni, dan pasokan senjata serta finansial oleh Iran dan Sriah ke kelompok-kelompok yang dianggap teroris seperti Hizballah (Amidror, 2007: 2). Sehingga terlihat jelas bahwa hubungan antara Suriah, Iran dan Lebanon dihubungkan oleh Hizballah sebagai pasukan penjaga Lebanon Selatan sekaligus dianggap sebagi oposisi atau lebih ekstrim sebagai teroris. Korelasi ini juga terlihat dari kesatuan visi ketiganya dalam mempertahankan legitimasi, upaya mengusir pihak asing dan jihad Islam. Dalam kasus ini, Iran merupakan penyumbang senjata dan finansial utama bagi Hizballah. Sedangkan Suriah menjadi jalur penyelundupan serta penyedia logistik perang bagi Hizballah. Hal ini dibuktikan dari penempatan kantor utama di Damaskus dan tentunya memberi suntikan kekuatan yang besar bagi Hamas di Palestina di bawah asistensi Iran (Amidror, 2007: 3).

Kondisi di atas membuat Lebanon kesulitan dalam mengatasi konflik internal maupun eksternal dari negaranya. Faktor yang paling dominan ialah banyaknya campur tangan asing dengan kepentingannya masing-masing. Bagaimana tidak, kegiatan politik yang ada di Lebanon didominasi oleh pendudukan Suriah selama 30 tahun dan menyuntikkan ideologi serta doktrin-doktrin sejarah (Sakr, 2005: 86). Rezim kekerasan bagi oposisi di Lebanon yang didogmakan oleh Suriah membuat politik Lebanon cenderung pasif dan tidak mandiri, sehingga Lebanon kesulitan dalam mengambil kebijakan bagi konflik yang dihadapinya karena Suriah yang selama ini menavigatori kebijakan pemerintahan Lebanon (Sakr, 2005: 87). Akibatnya, Suriah terlibat langsung dalam urusan kedaulatan Lebanon, ratusan penduduk menjadi korban penculikan, dikirim ke penjara Mezze atau Palmyra yang kejam (Sakr, 2005: 88). Hal inilah yang mengakibatkan ranah politik dan yudisial Lebanon juga sangat terpengaruh oleh segitiga Syi’ah Hizballah, Iran dan Suriah. Dimana Suriah secara langsung masuk dalam pengelolaan pemerintahan Lebanon, sedangkan Iran menjadi penopang utama segitiga tersebut.
Dari sini dapat dilihat dengan jelas bahwa pengaruh pemerintahan Lebanon secara langsung dikoyak oleh Suriah dan Iran melalui jembatan Hizbullah. Lebanon menduduki posisi yang strategis dalam perkembangan penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel. Namun, keberadaan segitiga Syi’ah justru melemahkan situasi domestik Lebanon yang mengindikasikan bahwa tarik-menarik kepentingan pihak-pihak luar tidak bisa dihindari di dalam wilayah domestik Lebanon. Masalah campur tangan asing inilah yang menyebabkan Lebanon menjadi powerless.
Prospek Penyelasaian Konflik Israel-Palestina 
Konflik Israel-Palestina merupakan konflik di kawasan Timur Tengah yang hingga saat ini masih terus bergulir. Perseteruan antara bangsa Arab dan Yahudi ini pada awalnya merupakan persoalan konflik teritorial, yang pada akhirnya berujung pada konflik dengan dimensi yang rumit karena dipengaruhi oleh nilai keagamaan, afiliasi politik dan hubungan antarnegara yang kompleks. Perjanjian damai yang awal mulanya dirancang pada tahun 2003 dalam bentuk Roadmap nyatanya tidak dapat dihindari hingga berujung pada perang (Farsakh, 2011: 55). Konsep territorial based itu sendiri telah muncul 400 tahun yang lalu, kemudian pada perkembangannya muncul Westphalia Treaty pada tahun 1648 yang merancang konsep nation-state. Kedua konsep ini tidak dapat serta-merta diterima sebagai dasar penyatuan Israel dan Palestina. Sehingga konflik ini terus berlanjut (Witkin, 2011 : 38). Alasan yang paling mendalam tidak lain adalah ketidak cocokan dua kubu bangsa yang mencari wilayah untuk didaulat, dimana wilayah tersebut memiliki ikatan historis dengan bangsa mereka yakni Palestina yang sesungguhnya sebagai nenek moyang bangsa Arab (Witkin, 2011 : 42).
Upaya negosiasi dalam penyelesaian perang ini bukannya tidak ada, terbukti dari banyaknya usaha penyelenggaraan negosiasi yang diajukan oleh berbagai pihak seperti PBB dan Liga Arab untuk mengakhiri perang berdarah selama 30 bulan, yang terjadi antar Israel melawan Hizbullah di Lebanon di tahun 2006 dan Israel melawan Hamas di Gaza ditahun 2008-2009 (Peleg dan Scham, 2010: 216). Sejarah perjanjian yang ada sebelumnya ternyata tidak membuat perjanjian antara Israel-Palestina cukup berhasil. Dalam hal ini terdapat sepuluh faktor normatif yang mempengaruhi terjadinya negosiasi yaitu berkaitan dengan kondisi status quo, otoritas dan kapabilitas pemimpin, simpatisan asing, perlunya arbriter, kepemimpinan AS, domestik AS, persiapan pra-negosiasi, momentum atau waktu yang tepat dan kekuatan pressure yang dibutuhkan (Peleg dan Scham, 2010: 221). Pada kenyataannya, kedua negara ini ingin keluar dari status quo menuju negara berdaulat secara utuh, terutama atas West Bank, Jerusalem dan Haram al-Sharif. Sehingga yang terjadi hanyalah diskusi yang alot antara kedua pihak. Kemudian, faktor kepemimpinan AS dalam administrasi Obama yang diharapkan akan membawa aksi solutif juga masih dipertanyakan netralitasnya. Diperparah dengan kapabilitas pemimpin antara dua pihak yang berseteru juga memiliki bargaining yang berbeda di mata dunia. Faktor trauma akan perang juga menjadi perhatian dalam negosiasi, sehingga saling tidak suka dan curiga akan terus membakar tensi Israel ataupun Palestina. Sehingga upaya melakukan tekanan juga akan menurun (Peleg dan Scham, 2010: 227). Dengan kondisi seperti ini maka, persiapan dan penentuan momentum negosiasi pun akan kurang efektif karena atmosfer perundingan yang pada dasarnya memang pelik.
Perebutan wilayah yang sangat berarti bagi identitas baik Palestina maupun Israel ini sempat memunculkan beberapa solusi berupa interspersed nation-state system atau sistem negara berselang-seling (Witkin, 2011 : 42), yang mana dalam satu wilayah tersebut, Israel dan Palestina  masing - masing akan memerintah sekelompok orang yang berbeda. Pendapat normalisasi hubungan ini dikarenakan adanya saling keterbutuhan tentang keamanan dari Israel dan pemberantasan teroris dari Palestina. Bagi Witkin, sistem mungkin diwujudkan karena pada dasarnya perbedaan yang mengakar antara keduanya sulit untuk dikompromikan, sehingga jalan terbaik adalah hidup berdampingan. Disini, baik Israel dan Palestina memiliki sovereignty penuh atas sekelompok orang atau bangsa tertentu dan pemerintahan yang dengan  konsep nation (Witkin, 2011 : 48). Meski demikian, konsep ini akan bermasalah ketika bergesekan dengan nilai etnis yang chauvinis, mutual enemy kawasan, goepolitikal, dan netralitas organisasi yang nantinya akan dibentuk dengan bantuan AS.
Program solutif juga ditawarkan oleh Judah Magnes, Martin Buber dan Brit Shalom pada kurun 1930an untuk membuat sistem bi-national state di tanah sengketa (Farsakh, 2011: 56), yang lalu ditolak oleh kedua belah pihak karena alasan hak kebangsaan. Kemudian, one-state solutio sebagai bentuk negara demokratis juga diperdengarkan oleh United Nations Special Committee on Palestine (UNSCOP), dimana kekuadaan ada pada Muslim, Yahudi dan Kristen. Ide ini juga itolak dengan alasan Yahudi yang merasa berhak sepenuhnya atas tanah Palestina, sehingga proklamasi kemerdekaan Israel pun terjadi pada tahun 1948 (Farsakh, 2011: 56). Hampir seluruh jenis perundingan berujung pada sikap keras kepala kedua pihak yang tidak mau berkompromi dan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. Situasi security dilemma yang dialami kedua belah pihak juga terjadi bila adanya dominasi Israel di sektor ekonomi dan politik, bila solusi one state dijalankan (Farsakh, 2011: 61). Ketiadaan sosok pemimpin Palestina yang sekuat Yasir Arafat menciptakan stigma bahwa perjuangan akan dilanjutkan oleh Hamas dan Fatah fokus untuk melakukan resistensi dan pembuktian diri bahwa Palestina dapat berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang sah (Farsakh, 2011: 65).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa konflik Israel-Palestina masih sangat sulit diselesaikan dalam bentuk perundingan karena kurangnya pemahaman atas kompromi itu sendiri antara kedua belah pihak yang bersengketa. Kemudian ketidakseimbangan kapabilitas pemimpin dan campur tangan asing juga menjadi faktor utama alotnya negosiasi dalam konflik ini. Kemudian menjadi penting, belajar dari perundingan Camp David II pada tahun 2000 dan Taba Talks di tahun 2001 yang mengalami kegagalan di masa pemerintahan Presiden Clinton dan Yasir Arafat serta Ehud Barak. Perundingan ini menjadi upaya terakhir dalam konflik Palestina-Israel, sehingga beberapa ulasan bahkan menyebutkan bahwa “Camp David II as a laboratory for failure” (Peleg & Scham, 2010: 228). Maka komponen yang perlu diperbaiki dalam proses negosiasi yang selanjutnya adalah, meredam personal clashes, saling memahami kepentingan dan konstelasi politik domestik yang ada, netralitas AS sebagai “honest broker” dan pentingnya membangun edukasi masyarakat akan masa depannya yang harus dicapai dalam perdamaian.


Referensi:
Amidror, Yaakov, 2007. "The Hizbullah-Syria-Iran Triangle", dalam The Middle East Review of International Affairs, 11 (1): 1-5.
Farsak, Lelila. 2011. “The One-State Solution and the Israeli-Palestinian Conflict: Palestinian Challenges and Prospects,” Middle East Journal, 64 (1): 55-71.
Hadian, Naser dan Shani Hormozi. 2011. “Iran’s New Security Environment Imperatives: Counter Containment or Engagement with the USdalam Iranian Reviews of Foreign Affairs 1 (4) 13 - 55.
Lowther, Adam. 2012. “Tujuh alasan Amerika Serikat tidak Menyerang Iran” [online] dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/10/116376309/Tujuh-Alasan-Amerika-Tidak-Menyerang-Iran [diakses pada 26 November 2013].
Najem, T. P., 2000. “Palestinian-Israeli Conflict and South Lebanon”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 35, No. 46 (Nov. 11-17, 2000), pp. 4006-4009.
Mousavi, Mohammad Ali dan Yasser Norouzi. 2010. “Iran-US Nuclear Standoff : A Game Theory Approach” dalam Iranian Reviews of Foreign Affairs 1 (1) : 121 - 152.
Peleg, Ilan dan Paul Scham. 2010. “Historical Breakthroughs in Arab-Israeli Negotiations: Lessons for the Future”, Middle East Journal, 64 (1): 31-54
Rabasa, Angel M. 2003. Political Islam in Southeast Asia: Moderates, Radicals and Terrorist. Oxford, New York: Oxford University Press for the International Institute for Strategic Studies.
Rahigh-Aghsan, Ali dan Peter Viggo Jakobsen. 2010. “The Rise of Iran: How Durable, How Dangerous?” dalam The Middle East Journal, 64 (4): 559-573.
Sakr, Etienne, 2005. "The Politics and Liberation of Lebanon”, dalam The Middle East Review of International Affairs, 9 (4): 86-105.
Tayseir M. Mandour. 2010. Islam and Religious Freedom: Role of Interfaith Dialogue in Promoting Global Peace.” Brigham Yong University Law Review.
Witkin, Nathan. 2011. “A Two State/One-Land Solution for the Israeli-Palestinian Conflict,” Middle East Journal, 65 (1): 31-54.
Zanchetta, Barbara. nd. “The Rise of Iran: Engagement or Containment?” [online] dalam http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/EINIRAS/128991/ichaptersection_singledocument/3f7cb144-85f2-4d1d-aa23-7e2efaa59c78/en/Chapter_3.pdf, [diakses pada 23 November 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar