Timur Tengah merupakan kawasan yang
dikenal kaya akan sumber daya minyak dan derajat etnisitas yang tinggi.
Meski demikian, nyatanya kelebihan ini tidak kemudian menciptakan
perdamaian di wilayah itu. Konstelasi politik dan konflik yang berbau
perebutan teritorial hingga pegaruh nilai yang ada menjadi isu yang
terus bergulir di kawasan ini. Iran, Lebanon, Palestina dan Israel
merupakan empat aktor yang juga menyumbang peran dalam drama politik
regional Timur Tengah. Masing-masing memiliki ranah dan kasusnya
sendiri, dan juga terkait satu sama lain.
Iran dan Determinasinya di Timur Tengah
Revolusi Iran merupakan sebuah peristiwa
yang menjadi pemacu utama tergelorakannya semangat kebangkitan Islam di
Timur Tengah dan bahkan dunia dengan cara jihad (Rabasa, 2003: 9).
Bahkan Aghsan dan Jakobsen (2010: 559) mengatakan bahwa, Iran is
generally portrayed as an unstoppable force with a capacity and a will
to dominate the Persian Gulf and even the Middle East. Kajian
terhadap negara Iran menunjukkan tiga indikasi utama dari semangat
kebangkitan ini, yakni keinginan Iran untuk meningkatkan prestige di dunia Muslim, upaya balance of power dengan Arab Saudi dan peningkatan kekuatan detterence
Iran dalam menghadapi tantangan eksternal, utamanya Amerika Serikat
(Aghsan dan Jakobsen, 2010). Alasan Iran memiliki kepentingan yang
sedemikian rupa tidak dapat dipisahkan dari alasan sebagai pengekspor
minyak terbesar kedua di dunia, destinasi transit kapal minyak secara
geografis dan teropong utama bagi perkembangan Afghanistan (Zanchetta,
nd dalam mercury.ethz.ch). Hal inilah yang mendorong kekuatan Iran ingin
ditumbuhkan secara signifikan.
Jalur hard power maupun soft power
dilakukan Iran untuk meningkatkan derajat kekuatannya. Hal ini terbukti
dari aktivitas penggelontoran dana bagi basis militer Iran dan
proliferasi nuklir Shahab-1 hingga Shahab-3 yang sempat menjadi
perbincangan internasional. Kemudian secara diplomatis, Iran melakuan
pendekatan militan dengan kelompok Hamas di Palestina dan Hizbullah di
Lebanon, serta melakukan kerja sama dengan negara-negara Gulf Corporation Council (GCC).
Hal ini dilakukan untuk mendukung peningkatan basis militer Iran karena
negara GCC seperti Bahrain, Qatar, Kuwait, Oman, Arab Saudi dan Uni
Emirat Arab mampu diajak bekerjasama terkait pengadaan pesawat tempur,
kapal tempur dan tank yang berteknologi tinggi serta personil dan
lapangan pelatihan (Aghsan dan Jakobsen, 2010: 563). Soft power yang
diperlihatkan Iran lebih kearah gaya kepemimpinan Mahmood Ahmadinejad
yang denga beraninya menentang Eropa dan AS melalui paradigma
revolusioner, dan sebaliknya justru mendukung penuh Hamas serta
Hizballah dalam jihadnya (Zanchetta, nd dalam mercury.ethz.ch). Dan
dengan ini Iran semakin menorehkan lompatan di tengah keruntuhan
Pan-Arabisme (Aghsan-Jakobsen, 2010: 563).
Namun Iran tidak lepas dari hambatan menuju kebangkitannya. Agresifitas Iran dianggap memicu arm race
di Timur Tengah dan mendorong negara GCC beraliansi dengan AS untuk
menyeimbangkan kekuatan. Sedangkan dari segi internalnya, Iran
menghadapi polaritas pemerintahan dimana Supreme Leader
mengalami delegitimasi akibat perbedaan ideologi yang menghambat
pemecahan kebijakan. Hambatan internal lain adalah krisis ekonomi pasca
revolusi akibat anjloknya harga minyak dunia (Aghsan dan Jakobsen, 2010:
567). Hambatan ini mengakibatkan perkembangan Iran cenderung tidak
pasti di Timur Tengah. Dari hambatan yang ada, isu penolakan prolierasi
nuklir menjadi isu panas di mata internasional. pembangunan nuklir yang
ditujukan bagi perdamaian dan sumber enerli bagi Iran dituding sebagai
ancaman internasional karena banyaknya keterkaitan Iran dengan kelompok
teroris (Mousavi, 2010). Tentu saja penghakiman ini keluar dari AS yang
akhirnya membagun aliansi dengan Inggris, Perancis dan Jerman berkaitan
dengan penolakan kepemilikan nuklir oleh Iran. Alhasil, pada tahun 2006,
IAEA sebagai Badan Energi Atom Internasional memberikan laporan
pelanggaran Iran kepada Dewan Keamanan PBB atas material berbahaya yang
ditimbun Iran, padahal Artikel 4 Iran menyatakan hak proliferasi
nuklirnya.
Meski demikian, sejarah Perang Iran-Iraq
mengajarkan pada Iran bahwa AS tidak akan mengijinkan program apapun
yang mengancam kepentingannya termasuk nuklir Iran. Sehingga Iran gigih
mempertahankan proliferasi nuklirnya (Mousavi, 2010). Pihak
internasional lebih pada kekhawatiran akan stabilitas regional Timur
Tengah yang dipertaruhkan oleh Iran jika terjadi kompetisi nuklir karena
Arab, Mesir, juga Turki memilikikapabilitas untuk membangun senjata
tersebut. AS menjadi pihak yang ikut campur karena hubungannya dengan
negara GCC sebagai payung keamanan militer yang masih bergantung pada AS
(Raigh-Hasan & Jakobsen, 2010). Kebangkitan Iran ini kemudian
secara tidak langsung didukung oleh beberapa faktor seperti kegagalan
kebijakan Amerika, naiknya harga minyak, serta konflik Israel dan
Palestina. Revolusi Iran (1979) itu sendiri tidak terlepas sebagai
faktor pemberi energi kebangkitan Iran, karena kekuatan ideologi Islam
Iran, ancaman utama yakni AS, Yahudi Israel sebagai public enemy
di Timur Tengah dengan perspektif Zionisme serta berbagai persengketaan
di pulau-pulau Teluk Persia yang mungkin saja melebar (Larijani, 2007
dalam Hadian & Hormozi, 2011 : 26).
Kondisi ini diperparah
oleh trauma Iran atas lambatnya penanganan PBB terhadap kasus Perang
Irak-Iran yang dapat dikategorikan war crimes dan membawa banyak
kerugian bagi Iran. Sehingga Iran tidak lagi mempercayakan national security and defence dalam ranah PBB (Hadian & Hormozi, 2011 : 27). Faktor self-pride
Iran yang menjunjung tinggi martabat identitasnya pasca Revolusi Iran
1979 membuat kebijakan Iran belawanan dengan pendapat pihak Barat.
Seluruh kondisi inilah yang membuat Iran terus mengobarkan semangat
kebangkitan Islam di seluruh dunia melalui cara hard power dan soft power.
Tidak menutup kemungkinan bahwa Iran akan mampu menjadi penguasa Timur
Tengah meskipun saat ini perilakunya telah melunak pasca pergantian
tampuk kepemimpinan. Hal ini didukung oleh perkembangan politik,
ekonomi, pendidikan, sosial dan militer yang signifikan dalam negara.
Bahkan ahli strategi perang Iran telah dilatih dengan pesat untuk
meningkatkan kemampuan taktis negara ini.
Lebanon dan Shi’ah Triangle
Pemerintahan Lebanon
merupakan salah satu pemerintahan yang dipengaruhi oleh segitiga axis
Syi’ah yang terdiri atas Iran, Suriah dan Hizbullah yang saling
berhubungan sejak tahun 1990an di bidang meliputi perwujudan kedamaian,
kemakmuran ekonomi, berakhirnya ideologi yang dianggap tidak relevan dan
modernisasi (Amidror, 2007: 1). Segitiga Syi’ah ini berkonotasi ganda,
yakni sebagai kelompok ideologi radikal dan organisasi aksi fisik yang
bahkan bergerak hingga ke kubu Sunni Palestina akibat munculnya Amerika
Serikat dan Timur Tengah sebagai musuh bersama (Amidror, 2007: 1).
Adanya konflik Israel-Palestina menyeret Lebanon (selatan) masuk dalam
perebutan teritorial dengan Israel selama 22 tahun, akibat geografis
Lebanon dan Israel yang berhimpitan. Pasca tahun 2000, okupasi Israel
diakhiri, namun tensi kekerasan tetap terjadi dan menjadi kekhawatiran
masyarakat setempat. Ditambah lagi dengan pergerakan dari aktor regional
seperti Hizbullah, kelompok rakyat Palestina yang berbasis di Lebanon,
dan Suriah, memiliki agenda tersendiri (Najem, 2000: 4006). Perebutan
Lebanon Selatan ini terjadi setelah peristiwa pengusiran pasukan gerilya
Palestina (PLO) dari Yordania ke Lebanon Selatan tahun 1970an.
Lebanon kemudian memiliki nilai yang
sangat strategis dalam konflik ini akibat letak geografisnya yang
memungkinkan kesempatan untuk meluncurkan serangan militer terhadap
Israel (Najem, 2000: 4006). Dukungan Lebanon kepada Palestina didasari
kepentingan terhadap transformasi ideologi menuju Sunni bagi sistem
politik baru dan juga sebagai tameng utama kawasan Lebanon Selatan yang
dijaga oleh Hizballah. Perang yang ada di Lebanon sendiri terjadi pada
tahun 1975 dan 2006 akibat polarisasi pandangan elit domestik Lebanon
tentang kedatangan PLO. Kristen Maronit menolak PLO karena pada akhirnya
mendorong invasi Israel ke Lebanon Selatan pada tahun 1978 dan 1982
dengan mendirikan security zone (Najem, 2000: 4007). Suriah,
Iran dan Hizballah berhasil mengusir pasukan Israel ini. Akibat hal ini,
Hizballah menuntut peningkatan kapasitas militernya dan menjadi aktor
dominan dalam pemerintahan Lebanon kemudian. Perguliran konflik teritoal
yang makin rumit ini justru menguntungkan pihak Suriah dalam okupasi ke
Israel terkait kasus bukit Golan sekaligus sebagai real bargaining chip dalam
diplomasi. Mengetahui kepentingan ini, Israel kemudian menarik
pasukannya dengan mandat Ehud Barak, sehingga Suriah tidak akan memiliki
alasan lagi untuk menjustifikasi peran mereka secara terus-menerus di
Lebanon (Najem, 2000: 4008).
Namun Suriah kemudian tetap mengontrol
integrasi Lebanon Selatan yang dipegang Hizballah dalam negara Lebanon
itu sendiri melalui mekanisme kontrol politik, sehingga menimbulkan
tuntutan Suriah untuk menarik diri dari Lebanon (Najem, 2000: 4008).
Meski demikian, paduan Hizballah, Amal dan Suriah mampu menciptakan
stabilitas politik bagi Lebanon dan bahkan menindaklanjuti SLA dengan
menyediakan pengadilan militer sebagai arbitrary show trials.
Konflik Israel-Palestina yang berlarut mengakibatkan banyaknya
kepentingan negara lain yang masuk baik secara langsung seperti Iran dan
Suriah maupun secara tidak langsung layaknya Lebanon yang disetir oleh
Iran dan Suriah. Bahkan, d Dalam Arab Summit yang baru terjadi,
Suriah mengajukan pemberhentian normalisasi hubungan dengan Israel
hingga krisis bisa diatasi. Bagi Suriah, kalkulasi level kerugian, opini
publik dan legitimasi Bashar Al-Assad di Suriah yang belum kuat kala
itu juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan (Najem, 2000: 4009).
Pengaruh Iran di Lebanon juga sangat
kuat, hal ini terlihat dari beberapa indikasi. Konflik antara Sunni dan
Syi’ah di Lebanon semakin memanas karena keberadaan segitiga axis dari
Iran, Suriah, dan Hizbullah yang bertujuan memompa kekuatan dibanding
negara-negara Sunni dan mengusir segala bentuk intervensi asing seperti
Amerika Serikat (Amidror, 2007: 2). Tameng nuklir sebagai senjata
penjagaan status pemimpin regional dan tameng terhadap ideologi yang
berlawanan, membuat konflik semakin memanas. Proliferasi nuklir seperti
yang diketahui pernah dilakukan oleh Shah Iran dan didukung oleh Hamas,
Hizbullah dan Fatah, bahkan semakin mendorong semangat untuk memerangi
Israel (Amidror, 2007: 2). Segitiga Syi’ah juga secara tidak langsung
mengintimidasi melalui konstelasi harga minyak dunia, dukungan terhadap
oposisi Sunni, dan pasokan senjata serta finansial oleh Iran dan Sriah
ke kelompok-kelompok yang dianggap teroris seperti Hizballah (Amidror,
2007: 2). Sehingga terlihat jelas bahwa hubungan antara Suriah, Iran dan
Lebanon dihubungkan oleh Hizballah sebagai pasukan penjaga Lebanon
Selatan sekaligus dianggap sebagi oposisi atau lebih ekstrim sebagai
teroris. Korelasi ini juga terlihat dari kesatuan visi ketiganya dalam
mempertahankan legitimasi, upaya mengusir pihak asing dan jihad Islam.
Dalam kasus ini, Iran merupakan penyumbang senjata dan finansial utama
bagi Hizballah. Sedangkan Suriah menjadi jalur penyelundupan serta
penyedia logistik perang bagi Hizballah. Hal ini dibuktikan dari
penempatan kantor utama di Damaskus dan tentunya memberi suntikan
kekuatan yang besar bagi Hamas di Palestina di bawah asistensi Iran
(Amidror, 2007: 3).
Kondisi di atas membuat Lebanon
kesulitan dalam mengatasi konflik internal maupun eksternal dari
negaranya. Faktor yang paling dominan ialah banyaknya campur tangan
asing dengan kepentingannya masing-masing. Bagaimana tidak, kegiatan
politik yang ada di Lebanon didominasi oleh pendudukan Suriah selama 30
tahun dan menyuntikkan ideologi serta doktrin-doktrin sejarah (Sakr,
2005: 86). Rezim kekerasan bagi oposisi di Lebanon yang didogmakan oleh
Suriah membuat politik Lebanon cenderung pasif dan tidak mandiri,
sehingga Lebanon kesulitan dalam mengambil kebijakan bagi konflik yang
dihadapinya karena Suriah yang selama ini menavigatori kebijakan
pemerintahan Lebanon (Sakr, 2005: 87). Akibatnya, Suriah terlibat
langsung dalam urusan kedaulatan Lebanon, ratusan penduduk menjadi
korban penculikan, dikirim ke penjara Mezze atau Palmyra yang kejam
(Sakr, 2005: 88). Hal inilah yang mengakibatkan ranah politik dan
yudisial Lebanon juga sangat terpengaruh oleh segitiga Syi’ah Hizballah,
Iran dan Suriah. Dimana Suriah secara langsung masuk dalam pengelolaan
pemerintahan Lebanon, sedangkan Iran menjadi penopang utama segitiga
tersebut.
Dari sini dapat dilihat dengan jelas
bahwa pengaruh pemerintahan Lebanon secara langsung dikoyak oleh Suriah
dan Iran melalui jembatan Hizbullah. Lebanon menduduki posisi yang
strategis dalam perkembangan penyelesaian konflik antara Palestina dan
Israel. Namun, keberadaan segitiga Syi’ah justru melemahkan situasi
domestik Lebanon yang mengindikasikan bahwa tarik-menarik kepentingan
pihak-pihak luar tidak bisa dihindari di dalam wilayah domestik Lebanon.
Masalah campur tangan asing inilah yang menyebabkan Lebanon menjadi powerless.
Prospek Penyelasaian Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina merupakan
konflik di kawasan Timur Tengah yang hingga saat ini masih terus
bergulir. Perseteruan antara bangsa Arab dan Yahudi ini pada awalnya
merupakan persoalan konflik teritorial, yang pada akhirnya berujung pada
konflik dengan dimensi yang rumit karena dipengaruhi oleh nilai
keagamaan, afiliasi politik dan hubungan antarnegara yang kompleks.
Perjanjian damai yang awal mulanya dirancang pada tahun 2003 dalam
bentuk Roadmap nyatanya tidak dapat dihindari hingga berujung pada
perang (Farsakh, 2011: 55). Konsep territorial based itu
sendiri telah muncul 400 tahun yang lalu, kemudian pada perkembangannya
muncul Westphalia Treaty pada tahun 1648 yang merancang konsep nation-state.
Kedua konsep ini tidak dapat serta-merta diterima sebagai dasar
penyatuan Israel dan Palestina. Sehingga konflik ini terus berlanjut
(Witkin, 2011 : 38). Alasan yang paling mendalam tidak lain adalah
ketidak cocokan dua kubu bangsa yang mencari wilayah untuk didaulat,
dimana wilayah tersebut memiliki ikatan historis dengan bangsa mereka
yakni Palestina yang sesungguhnya sebagai nenek moyang bangsa Arab
(Witkin, 2011 : 42).
Upaya negosiasi dalam penyelesaian
perang ini bukannya tidak ada, terbukti dari banyaknya usaha
penyelenggaraan negosiasi yang diajukan oleh berbagai pihak seperti PBB
dan Liga Arab untuk mengakhiri perang berdarah selama 30 bulan, yang
terjadi antar Israel melawan Hizbullah di Lebanon di tahun 2006 dan
Israel melawan Hamas di Gaza ditahun 2008-2009 (Peleg dan Scham, 2010:
216). Sejarah perjanjian yang ada sebelumnya ternyata tidak membuat
perjanjian antara Israel-Palestina cukup berhasil. Dalam hal ini
terdapat sepuluh faktor normatif yang mempengaruhi terjadinya negosiasi
yaitu berkaitan dengan kondisi status quo, otoritas dan
kapabilitas pemimpin, simpatisan asing, perlunya arbriter, kepemimpinan
AS, domestik AS, persiapan pra-negosiasi, momentum atau waktu yang tepat
dan kekuatan pressure yang dibutuhkan (Peleg dan Scham, 2010: 221). Pada kenyataannya, kedua negara ini ingin keluar dari status quo
menuju negara berdaulat secara utuh, terutama atas West Bank, Jerusalem
dan Haram al-Sharif. Sehingga yang terjadi hanyalah diskusi yang alot
antara kedua pihak. Kemudian, faktor kepemimpinan AS dalam administrasi
Obama yang diharapkan akan membawa aksi solutif juga masih dipertanyakan
netralitasnya. Diperparah dengan kapabilitas pemimpin antara dua pihak
yang berseteru juga memiliki bargaining yang berbeda di mata
dunia. Faktor trauma akan perang juga menjadi perhatian dalam negosiasi,
sehingga saling tidak suka dan curiga akan terus membakar tensi Israel
ataupun Palestina. Sehingga upaya melakukan tekanan juga akan menurun
(Peleg dan Scham, 2010: 227). Dengan kondisi seperti ini maka, persiapan
dan penentuan momentum negosiasi pun akan kurang efektif karena
atmosfer perundingan yang pada dasarnya memang pelik.
Perebutan wilayah yang sangat berarti bagi identitas baik Palestina maupun Israel ini sempat memunculkan beberapa solusi berupa interspersed nation-state system
atau sistem negara berselang-seling (Witkin, 2011 : 42), yang mana
dalam satu wilayah tersebut, Israel dan Palestina masing - masing akan
memerintah sekelompok orang yang berbeda. Pendapat normalisasi hubungan
ini dikarenakan adanya saling keterbutuhan tentang keamanan dari Israel
dan pemberantasan teroris dari Palestina. Bagi Witkin, sistem mungkin
diwujudkan karena pada dasarnya perbedaan yang mengakar antara keduanya
sulit untuk dikompromikan, sehingga jalan terbaik adalah hidup
berdampingan. Disini, baik Israel dan Palestina memiliki sovereignty penuh atas sekelompok orang atau bangsa tertentu dan pemerintahan yang dengan konsep nation (Witkin, 2011 : 48). Meski demikian, konsep ini akan bermasalah ketika bergesekan dengan nilai etnis yang chauvinis, mutual enemy kawasan, goepolitikal, dan netralitas organisasi yang nantinya akan dibentuk dengan bantuan AS.
Program solutif juga ditawarkan oleh Judah Magnes, Martin Buber dan Brit Shalom pada kurun 1930an untuk membuat sistem bi-national state di tanah sengketa (Farsakh, 2011: 56), yang lalu ditolak oleh kedua belah pihak karena alasan hak kebangsaan. Kemudian, one-state solutio sebagai bentuk negara demokratis juga diperdengarkan
oleh United Nations Special Committee on Palestine (UNSCOP), dimana
kekuadaan ada pada Muslim, Yahudi dan Kristen. Ide ini juga itolak
dengan alasan Yahudi yang merasa berhak sepenuhnya atas tanah Palestina,
sehingga proklamasi kemerdekaan Israel pun terjadi pada tahun 1948
(Farsakh, 2011: 56). Hampir seluruh jenis perundingan berujung pada
sikap keras kepala kedua pihak yang tidak mau berkompromi dan
pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. Situasi security dilemma yang
dialami kedua belah pihak juga terjadi bila adanya dominasi Israel di
sektor ekonomi dan politik, bila solusi one state dijalankan
(Farsakh, 2011: 61). Ketiadaan sosok pemimpin Palestina yang sekuat
Yasir Arafat menciptakan stigma bahwa perjuangan akan dilanjutkan oleh
Hamas dan Fatah fokus untuk melakukan resistensi dan pembuktian diri
bahwa Palestina dapat berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang sah
(Farsakh, 2011: 65).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
konflik Israel-Palestina masih sangat sulit diselesaikan dalam bentuk
perundingan karena kurangnya pemahaman atas kompromi itu sendiri antara
kedua belah pihak yang bersengketa. Kemudian ketidakseimbangan
kapabilitas pemimpin dan campur tangan asing juga menjadi faktor utama
alotnya negosiasi dalam konflik ini. Kemudian menjadi penting, belajar
dari perundingan Camp David II pada tahun 2000 dan Taba Talks di tahun
2001 yang mengalami kegagalan di masa pemerintahan Presiden Clinton dan
Yasir Arafat serta Ehud Barak. Perundingan ini menjadi upaya terakhir
dalam konflik Palestina-Israel, sehingga beberapa ulasan bahkan
menyebutkan bahwa “Camp David II as a laboratory for failure” (Peleg
& Scham, 2010: 228). Maka komponen yang perlu diperbaiki dalam
proses negosiasi yang selanjutnya adalah, meredam personal clashes,
saling memahami kepentingan dan konstelasi politik domestik yang ada,
netralitas AS sebagai “honest broker” dan pentingnya membangun edukasi
masyarakat akan masa depannya yang harus dicapai dalam perdamaian.
Referensi:
Amidror, Yaakov, 2007. "The Hizbullah-Syria-Iran Triangle", dalam The Middle East Review of International Affairs, 11 (1): 1-5.
Farsak, Lelila. 2011. “The One-State Solution and the Israeli-Palestinian Conflict: Palestinian Challenges and Prospects,” Middle East Journal, 64 (1): 55-71.
Hadian, Naser dan Shani Hormozi. 2011.
“Iran’s New Security Environment Imperatives: Counter Containment or
Engagement with the US” dalam Iranian Reviews of Foreign Affairs 1 (4) 13 - 55.
Lowther, Adam. 2012. “Tujuh alasan
Amerika Serikat tidak Menyerang Iran” [online] dalam
http://www.tempo.co/read/news/2012/01/10/116376309/Tujuh-Alasan-Amerika-Tidak-Menyerang-Iran
[diakses pada 26 November 2013].
Najem, T. P., 2000. “Palestinian-Israeli Conflict and South Lebanon”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 35, No. 46 (Nov. 11-17, 2000), pp. 4006-4009.
Mousavi, Mohammad Ali dan Yasser Norouzi. 2010. “Iran-US Nuclear Standoff : A Game Theory Approach” dalam Iranian Reviews of Foreign Affairs 1 (1) : 121 - 152.
Peleg, Ilan dan Paul Scham. 2010. “Historical Breakthroughs in Arab-Israeli Negotiations: Lessons for the Future”, Middle East Journal, 64 (1): 31-54
Rabasa, Angel M. 2003. Political Islam in Southeast Asia: Moderates, Radicals and Terrorist. Oxford, New York: Oxford University Press for the International Institute for Strategic Studies.
Rahigh-Aghsan, Ali dan Peter Viggo Jakobsen. 2010. “The Rise of Iran: How Durable, How Dangerous?” dalam The Middle East Journal, 64 (4): 559-573.
Sakr, Etienne, 2005. "The Politics and Liberation of Lebanon”, dalam The Middle East Review of International Affairs, 9 (4): 86-105.
Tayseir M. Mandour. 2010. “Islam and Religious Freedom: Role of Interfaith Dialogue in Promoting Global Peace.” Brigham Yong University Law Review.
Witkin, Nathan. 2011. “A Two State/One-Land Solution for the Israeli-Palestinian Conflict,” Middle East Journal, 65 (1): 31-54.
Zanchetta, Barbara. nd. “The Rise of
Iran: Engagement or Containment?” [online] dalam
http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/EINIRAS/128991/ichaptersection_singledocument/3f7cb144-85f2-4d1d-aa23-7e2efaa59c78/en/Chapter_3.pdf,
[diakses pada 23 November 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar